Sri Sultan Hamengku
Buwono II ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ |
Sultan Sepuh Sri Sultan Hamengku Buwono II |
Sultan Yogyakarta ke-2 |
Bertakhta :
1792-1810; 1811-1812; 1826-1828 Penobatan : 2
April 1792 Pendahulu :
Sultan Hamengkubuwana I Penerus :
Sultan Hamengkubuwana III & Sultan Hamengkubuwana V Pemahkotaan :
1798 |
Informasi Pribadi |
Nama Kecilnya
: Raden Mas Sundoro Kelahiran : 7
Maret 1750, Gunung Sindoro Kematian : 3
Januari 1828 (umur 77), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Pemakaman :
Kotagede, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Naik Tahta/Jumeneng Nata : Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Kalih ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah : Sultan
Hamengkubuwana I Ibu: Gusti
Kanjeng Ratu Kadipaten (Permaisuri kedua) Permaisuri
: - Gusti
Kanjeng Ratu Kedhaton - Gusti
Kanjeng Ratu Hemas - Gusti
Kanjeng Ratu Kencana Wulan - Gusti
Kanjeng Ratu Sultan Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana II (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧒꧇, 7
Maret 1750 – 3 Januari 1828) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah
selama tiga periode, yaitu 1792 – 1810, 1811 – 1812, dan 1826 – 1828. Pada
pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh. Masa
jabatannya yang kedua adalah yang paling singkat dalam sejarah Kesultanan
Yogyakarta.
A. RIWAYAT MASA MUDA
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Sundara, putra kelima
Sultan Hamengkubuwana I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR
Kadipaten. Beliau dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya Pangeran
Mangkubumi melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan VOC. Ketika kedaulatan
Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti tahun 1755, Mas
Sundara juga ikut diakui sebagai adipati anom.
Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700), terjadi kegelisahan
di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir
abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas
Sundara menulis kitab Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan
gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya.
Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton
Yogyakarta, dengan nama Kangjeng Kyai Suryaraja.
B. PEMERINTAHAN
Sejak tahun 1808 Herman Wilem Daendels menjadi Gubermur
Jenderal Hindia Belanda. Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang anti
feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan
raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels)
seperti minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti
yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam keraton. Minister juga tidak perlu
melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti
melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan
sirih dan tuak kepada raja Jawa. Selain itu, Daendels memerintahkan agar segera
menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di keraton Jawa.
Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap
merendahkan derajatnya. Sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik
tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan
Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II
yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan
Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II).
Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden
Rangga Prawiradirjo III (Raden Ronggo), bupati wedana Madiun yang menentang
pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok,
berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh
Daendels.
Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan
pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin
mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari
surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga terdapat cap
berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan
tmenolak tuduhan itu karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih.
Pada bulan Desember 1810, Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan
Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai Sultan
Hamengkubuwana III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta
mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.
C. PEMERINTAHAN PERIODE PERTAMA
Sejak tahun 1808 Herman Wilem Daendels menjadi Gubermur
Jenderal Hindia Belanda. Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang anti
feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan
raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels)
seperti minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti
yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam keraton. Minister juga tidak perlu
melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti
melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan
sirih dan tuak kepada raja Jawa. Selain itu, Daendels memerintahkan agar segera
menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di keraton Jawa.
Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap
merendahkan derajatnya. Sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik
tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan
Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II
yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan
Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II).
Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden
Rangga Prawiradirjo III (Raden Ronggo), bupati wedana Madiun yang menentang
pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok,
berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh
Daendels.
Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan
pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin
mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari
surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga terdapat cap
berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan
tmenolak tuduhan itu karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih.
Pada bulan Desember 1810, Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan
Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai Sultan
Hamengkubuwana III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta
mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.
D. PEMERINTAHAN PERIODE KEDUA
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara
direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali
menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali.
Tak hanya itu, Sultan juga berinisiatif menyingkirkan Danureja II yang dianggap
sebagai biang keladi masalah yang dihadapi sultan dengan Daendels. Pada
September 1811, Danureja II dibunuh di depan Sitihinggil atas perintah sultan
ketika hendak menghadiri rapat di keraton.
Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya
dengan sikapnya terhadap Belanda. Terutama pada putranya, Mas Suraja, sikap
sultan bisa dibilang amat keras, mengingat putranya tersebut dianggap turut
berperan dalam menyingkirkan dirinya dari singgasana kesultanan tahun 1810.
Pembersihan besar-besaran yang dilakukan sultan setelahnya, bahkan nyaris mengancam
keselamatan jiwa sang putra mahkota. Dengan Inggris, tercatat nyaris terjadi
pertumpahan darah antara utusan Raffles dengan kerabat keraton di depan Sultan,
hanya akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari singgasana
Sultan, sewaktu wakil gubernur Inggris tersebut hendak mengunjungi Yogyakarta
bulan Desember 1811.
Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung
Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua
raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada tanggal 19 Juni 1812, pasukan
Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Terjadi perang besar
yang berakhir dengan kekalahan kesultanan. Hamengkubuwana II ditangkap dan
dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya.
Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta.
Pangeran Natakusuma, yang mendukung Inggris, diangkat oleh Thomas Raffles
sebagai Paku Alam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.
E. PEMERINTAHAN PERIODE KETIGA
Pada tahun 1825 terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro (putra
Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816).
Saat itu raja yang bertahta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V, yang
bertahta menggantikan ayahnya tahun 1823 saat dirinya masih berumur 3 tahun.
Perlawanan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari
rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan
mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II
kembali bertahta pada 18 Agustus 1826, sedangkan Hamengkubuwana V agak
disingkirkan oleh Belanda. Kedatangan sultan sebagai penguasa Yogyakarta
terbukti sedikit banyak melemahkan kekuatan Diponegoro, mengingat
kepopulerannya semasa masih menjabat sebelum dibuang ke Penang tahun 1812. Pada
masa itu, sultan berusaha keras menertibkan keadaan dan mengembalikan keamanan
di wilayahnya, meskipun dihimpit oleh tuntutan-tuntutan Belanda dalam rangka
memadamkan Perang Diponegoro. Beberapa tokoh penting keraton berhasil dibujuk
pulang ke Yogyakarta, namun demikian, sultan sendiri tidak pernah berniat
serius untuk membujuk Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, putranya, untuk
menghentikan perlawanan. Belanda mencurigai tindakan sultan ini sebagai
dukungan terselubung terhadap perlawanan Diponegoro.
F. WAFAT
Sultan Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil
sebagai Sinuhun Sepuh), akhirnya mangkat pada tanggal 3 Januari 1828 setelah
menderita sakit radang tenggorokan dan akibat usia tua. Pemerintahan kembali
dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V. Berbeda dari penguasa-penguasa
Kesultanan Yogyakarta lainnya, jenazah Hamengkubuwana II tidak dimakamkan di
Imogiri, melainkan di kompleks pemakaman Kotagede. Hal ini terjadi karena
pertimbangan keamanan. Jalur perjalanan ke Imogiri kala itu dikuasai oleh kubu
Pangeran Diponegoro.
G. KELUARGA
G. PENINGGALAN
SRI SULTAN HB II
Sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan
Hamengku Buwono II juga meninggalkan karya-karya monumental. Mulai dari
membentuk korps/satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan
persenjataan yang lebih baik, hingga membangun benteng baluwarti yang
dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar.
Di bidang sastra beliau mewariskan karya-karya heroik yang
berbau pertahanan dan militer, seperti: Babad Nitik Ngayogya dan Babad
Mangkubumi. Dua karya babad ini menceritakan perjuangan berdirinya Keraton
Yogyakarta. Juga karya sastra yang bersifat fiksi, lahir berkat beliau, di
antaranya Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang terakhir merupakan
karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta.
Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk membuat berbagai
bentuk wayang kulit dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon
Jayapusaka. Tokoh utama dalam lakon tersebut adalah Bima yang begitu tepat
menggambarkan watak jujur, keras dan juga tegas dari Sri Sultan Hamengku Buwono
II.
H. GALERI
![]() |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar