Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Jawa: ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀,
translit. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Pegon: كسلطانن ڠايوڮياكارتا هادنڠرت)
adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan
pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik
yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen
Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan
kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940.
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan pecahan
Kerajaan Mataram Islam yang lahir sebagai hasil Perjanjian Giyanti. Perjajian
yang ditandatangani pada 1755 tersebut membagi Mataram Islam menjadi dua
kekuasaan, yaitu Nagari Kesultanan Ngayogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi dan
Kasunanan Surakarta untuk Pakubuwono III.
Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai penguasa pertama
Kesultanan Ngayogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sejak itu,
gelar penguasa Keraton Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengkubuwono, yang
berkedudukan di Jalan Rotowijayan Blok No. 1, Panembahan, Kecamatan Kraton,
Yogyakarta.
A. DAFTAR RAJA KERATON KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADINIGRAT
NAMA |
JANGKA HIDUP |
AWAL PEMERINTAHAN |
AKHIR PEMERINTAHAN |
KELUARGA |
GAMBAR |
SULTAN HAMENGKU
BUWONO I 1. Pangeran
Mangkubumi 2. Bendoro Raden
Mas Sujono 3.Susuhunan Kabanaran |
6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792 |
1755 |
1792 |
a.
Amangkurat IV : Ayah b.
Mas Ayu Tejawati : Ibu |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO II 1. Sultan
Sepuh 2. Raden Mas Sundoro |
7 Maret 1750 – 3 Januari 1828 |
2 April 1792 |
3 Januari 1828 |
a. Sultan
Hamengku Buwono I : Ayah b. Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR Kadipaten : Ibu |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO III 1. Gusti Raden Mas Surojo |
20 Februari 1769 – 3 November 1814 |
Desember 1810 |
3 November 1814 |
a. Sultan
Hamengku Buwono II: Ayah b. Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton : Ibu |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO IV Gusti Raden Mas Ibnu Jarot |
3 April 1804 – 6 Desember 1823 |
9 November 1814 |
6 Desember 1823 |
a. Sultan
Hamengku Buwono III : Ayah b. Gusti Kanjeng Ratu Kencana (GKR Hageng) : Ibu |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO V Gusti Raden Mas Gathot Menol |
24 Januari 1820 – 5 Juni 1855 |
19 Desember 1823 |
5 Juni 1855 |
a. Sultan
Hamengku Buwono IV : Ayah b. Gusti Kangjeng Ratu Kencono : Ibu |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO VI 1. Sinuhun Mangkubumi 2. Gusti Raden Mas Mustojo |
10 Agustus 1821 - 20 Juli 1877 |
5 Juli 1855 |
20 Juli 1877 |
a. Sultan
Hamengku Buwono IV : Ayah b. Gusti Kangjeng Ratu Kencono : Ibu |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO VII 1. Sultan Ngabehi (Sultan Sugih) 2. Gusti Raden Mas Murtejo |
4 Februari 1839 – 30
Desember 1931 |
13 Agustus 1877 |
30 Desember 1931 |
a. Sultan
Hamengku Buwono VI : Ayah b. Gusti Kanjeng Ratu Sultan |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO VIII Gusti Raden Mas Sujadi |
3 Maret 1880- 22 Oktober 1939 |
8 Februari 1921 |
22
Oktober 1939 |
a. Sultan
Hamengku Buwono VII : Ayah b. Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Permaisuri
kedua) : Ibu |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO IX 1. Gusti Raden Mas Dorodjatun 2. Bapak Pramuka Indonesia. |
12 April 1912 – 2 Oktober 1988 |
18 Maret 1940 |
2 Oktober
1988 |
a. Sultan
Hamengku Buwono VIII : Ayah b. Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom
Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah) |
|
SULTAN HAMENGKU
BUWONO X Bendara Raden Mas Herjuno Darpito |
2 April 1946- Sekarang |
7 Maret 1989- |
Sekarang |
a. Sultan
Hamengku Buwono IX : Ayah b. KRAy. Windyaningrum |
1. SRI
SULTAN HAMENGKU BUWONO I
Sri Sultan Hamengku Buwono I ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇ |
Susuhunan Kabanaran Sri Sultan Hamengkubuwana I |
Sultan Keraton Kasultanan Yogyakarta ke-1 |
Bertakhta : 13
Februari 1755 - 24 Maret 1792 Penobatan : 13
Maret 1755 Penerus : Hamengkubuwana
II |
Informasi Pribadi |
Kelahiran
Raden Mas Sujana 4 Agustus
1717 (Rabu Pon, 26 Ruwah Wawu 1641) Kesultanan
Mataram Kartasura, Mataram Kematian 24
Maret 1792 (umur 74) Karaton
Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat Pemakaman
Astana Kasuwargan, Imogiri, Yogyakarta Wangsa
Mataram |
Gelar Naik Tahta/Jumeneng Nata :
Ngarso Dalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang
Jumeneng Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Nama Anumerta
: - Sunan
Kabanaran - Pangeran
Mangkubumi |
Ayah : Amangkurat
IV Ibu : Mas Ayu
Tejawati Permaisuri : Gusti
Kanjeng Ratu Kencana & Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten Agama : Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana I (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧇, 6
Agustus 1717 – 24 Maret 1792) merupakan pendiri
sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792
·
ASAL USUL
Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana setelah dewasa bergelar
Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV susuhunan Mataram
kedelapan, yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6
Agustus 1717.
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di
Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II
(kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan
pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.
Pada tahun 1742 Keraton Kartasura diserbu kelompok pemberontak.
Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan
pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV
dari Madura.
Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa
(keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukawati.
Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk
siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukawati. Mangkubumi dengan berhasil
mengusir Sambernyawa pada tahun 1746, tetapi ia dihalang-halangi Patih
Pringgalaya yang menghasut PB II supaya membatalkan perjanjian sayembara.
Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin
memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir
kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda.
Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron
van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei
1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan
gabungan Mangkubumi mengawinkan Raden Mas Said dengan puterinya yaitu Rara
Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
·
PERLAWANAN
Perang antara Mangkubumi dan Sambernyawa melawan kedudukan
Pakubuwana II yang disebut para sejarawan disebut sebagai Perang Takhta Jawa
III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang
prajurit.
Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya
pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit
parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan Mataram
kepada VOC untuk melindungi segenap keluarganya pada tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai susuhunan
bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di basis pertahanannya, sedangkan
VOC mengangkat putra Pakubuwana II yang bernama Raden Mas Suryadi sebagai
Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III.
Raden Mas Suryadi disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut
Susuhunan Kabanaran, karena bermarkas di desa Banaran di daerah Sukawati
(sekarang Sragen).
Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai
Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin
Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.
·
PERSELISIHAN
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Sambernyawa terjadi
perselisihan. Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi tunggal atas
Mataram yang tidak terbagi.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Sambernyawa
akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang
menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh
Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai
kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September
1754.
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi
mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan
daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real
dibagi dua 10.000 real untuk Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwana III.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan
naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan
Hamengkubuwana I. Wilayah Mataram yang dikuasai Pakubuwana III dibagi menjadi
dua. Mangkubumi mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan
perjanjian persekutuan baru antara kelompok Mangkubumi bergabung dengan
Pakubuwana III dan VOC menjadi persekutuan untuk menghancurkan pemberontakan kelompok
Pangeran Sambernyawa.
Bersekutunya Mangkubumi dengan Pakubuwana III adalah permulaan
menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
·
PERJUANGAN ATAS BUMI MATARAM
Era tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan
merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu
Pangeran Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh
Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton
harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.
Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu
-Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan
oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk
mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh
VOC di bumi Mataram. Akan tetapi, akibat penghianatan dan kecurangan yang
dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi
menemui jalan buntu.
Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian
memutuskan untuk keluar dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka
terhadap VOC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa.
Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah
dari cengkeraman VOC.
Di sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono
II semakin menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat
yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16
Desember 1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian
digantikan oleh puteranya Paku Buwono III. Mengetahui adanya kesepakatan
tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur.
Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya
dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di
bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.
Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan
Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Selain itu,
Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut
merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh
sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur
Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.
Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak
penyelesaian masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa,
mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan
cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa
dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan
Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk
menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.
Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan
Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan
rancangan awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil
kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata
sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian
butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti.
Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh
pihak-pihak terkait.
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal
Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal
1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
·
MENDIRIKAN KERATON KASULTANAN YOGYAKARTA
HADINIGRAT
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi
dua. Pakubuwana III sebagai susuhunan tetap melanjutkan pemerintahan di
Surakarta, sedangkan Mangkubumi bergelar Hamengkubuwana I menjadi sultan di
Yogyakarta. Kemudian, Mangkubumi resmi menjadi sultan namun ia belum mendirikan
keraton untuk tempat pememerintahnya. Untuk mendirikan keraton Mangkubumi
kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu
belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka
Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya.
Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ayogya
sebuah dalem yang bernama Dalem Garjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Pakubuwana
II sebagai Dalem Ayogya. Oleh karena itu, ibu kota baru dari kerajaan yang
menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan
kearifan Sultan Hamengku Buwono I. Juga disebutkan mengenai kecerdasan beliau
terkait ilmu tata kota dan arsitektur. Dalam menentukan posisi Keraton
Yogyakarta, menurut catatan itu, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan
lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk
Yogyakarta.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari desa
Banaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai
ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kesultanan yang dipimpin oleh
Hamengkubuwana I kemudian lebih dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati
posisi yang sangat strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di
sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh
Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan.
Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Tidak hanya
tata ruang dan bangunannya, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di
kompleks keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis,
dan spiritual yang tinggi. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono
juga membangun kompleks istana air Taman Sari. Atas hasil karya serta karakter
kuat Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great
builder”, sejajar dengan Sultan Agung.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu
besar. Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi
total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh
tanggung jawab). Konsep-konsep luhur ini menjadi credo atau prinsip bagi
Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram.
Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah golong gilig
manunggaling kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan
antara umat dengan Tuhan) serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian
alam). Semuanya menjadi nilai-nilai utama yang menjadi pedoman karakter tidak
hanya bagi keraton tetapi juga masyarakat Yogyakarta.
·
USAHA MENAKLUKAN SURAKARTA
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja
berambisi ingin mengembalikan Mataram menjadi kerajaan yang utuh. Surakarta
saat itu dipimpin oleh Pakubuwana III yang mendapat perlindungan dari Belanda
sehingga niat Hamengkubuwana I untuk memerangi Surakarta sulit diwujudkan,
apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunagara I yang memiliki ambisi
yang sama, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan
monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang
jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwana IV sebagai susuhunan memiliki
kesamaan dengan Hamengkubuwana I. Pakubuwana IV juga berambisi mengembalikan
keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwana IV mengabaikan atas
berdirinya Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi,
hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwana I. Setelah pengangkatan
saudaranya menjadi pangeran, Pakubuwana IV juga tidak mengakui hak waris takhta
adipati anom (putra mahkota) Yogyakarta. Pihak VOC mulai resah menghadapi raja
baru tersebut karena ancaman perang terbuka di Jawa kembali bisa menyebabkan
keuangan VOC terkuras.
Pakubuwana IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta
dengan tidak mau mencabut nama Mangkubumi untuk saudaranya. Memang dalam
Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kesultanan
Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini dapat dimengerti
bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung jawab kerajaan.
Sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini beriring dengan munculnya
penasihat penasihat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan
VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa
bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I kembali
bersekutu bersama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka
bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Pakubuwana IV
memiliki penasihat spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya
menyerah untuk membiarkan penasihat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini
adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya
penasihat spiritual dengan golongan bangsawan yang merupakan ancaman potensial
pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan
putri Pakubuwana III dengan tujuan untuk mempersatukan kembali Mataram namun
gagal. Pakubuwana IV yang merupakan pewaris takhta Pakubuwana III lahir untuk
menggantikan peran ayahnya.
·
KELUARGA PRIBADI
a.
Permaisuri (garwa padmi)
1)
Gusti Kanjeng Ratu Kencana
putri Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Kakek dari pihak ayah
adalah Pakubuwana I
2)
Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten
putri Ki Ageng Drepayuda. Ia juga dikenal sebagai Gusti Kanjeng
Ratu Tegalrejo atau Gusti Kanjeng Ratu Hageng setelah kematian suaminya
b.
Selir (garwa ampeyan)
1)
Bendara Raden Ayu Tilarsa
2)
Bendara Mas Ayu Sawerdi
3)
Bendara Raden Ayu Srenggara
4)
putri Ki Tumenggung Natayudha, Bupati Kedu
5)
Bendara Mas Ayu Mindaka
6)
Bendara Mas Ayu Asmarawati
7)
Bendara Raden Ayu Jumanten
8)
Bendara Mas Ayu Wilapa
9)
Bendara Mas Ayu Ratnawati
10)
Bendara Mas Ayu Chindaka
11)
Bendara Mas Ayu Tandhawati
12)
Bendara Mas Ayu Turunsi
13)
Bendara Raden Ayu Ratna Puryawati
14)
Bendara Raden Ayu Daya Asmara
15)
Bendara Mas Ayu Gandasari
16)
Bendara Mas Ayu Karnakawati
17)
Bendara Mas Ayu Setyawati
18)
Bendara Mas Ayu Padmasari
19)
Bendara Mas Ayu Sari
20)
Bendara Mas Ayu Pakuwati
21)
Bendara Mas Ayu Chitra Kusuma
c.
Anak
1)
Gusti Raden Mas Intu
lahir dari GKR. Kencana, kemudian bergelar Kanjeng Pangeran
Adipati Anom Hamengkunegara Ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra. Ia
meninggal sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
2)
Gusti Pangeran Hangabehi
lahir dari BRAy. Tilarsa
3)
Gusti Raden Mas Sundara
lahir dari GKR. Kadipaten. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana II
4)
Bendara Pangeran Harya Demang Tanpanangkil
lahir dari BMAy. Sawerdi
5)
Bendara Pangeran Harya Dipasanta
lahir dari BMAy. Asmarawati
6)
Bendara Pangeran Harya Natakusuma
lahir dari BRAy. Srenggara. Diangkat menjadi Adipati Kadipaten
Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam I
7)
Bendara Pangeran Harya Kusumayudha
lahir dari BMAy. Wilapa. Ia juga dikenal sebagai Bendara Pangeran
Harya Hadikusuma
8)
Bendara Pangeran Harya Silarang
lahir dari BMAy. Cindhaka. Ia juga dikenal sebagai Bendara
Pangeran Harya Dipawijaya I atau Pangeran Harya Haji Muhammad Abu Bakar
9)
Bendara Raden Mas Adiwijaya
lahir dari BMAy. Tandhawati. Kemudian bergelar Bendara Pangeran
Harya Panular, seorang Wakil Dalem untuk Hamengkubuwana V
10)
Bendara Pangeran Harya Mangkukusuma
lahir dari BMAy. Turunsi. Ia juga seorang Wakil Dalem
11)
Bendara Pangeran Harya Hadikusuma II
lahir dari BRAy. Daya Asmara
12)
Bendara Pangeran Harya Dipasana
lahir dari BMAy. Gandasari
13)
Bendara Pangeran Harya Blitar
lahir dari BRAy. Daya Asmara
14)
Bendara Raden Mas Sudarma
lahir dari BMAy. Setyawati. Ia kemudian bergelar Bendara Pangeran
Harya Santakusuma
15)
Bendara Raden Mas Sabiril
lahir dari BMAy. Padmasari. Ia kemudian bergelar Bendara Pangeran
Harya Panengah
16)
Bendara Raden Mas Suwardi
lahir dari BMAy. Sari
17)
Gusti Raden Ajeng Inten
lahir dari GKR. Kencana. Ia kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu
Bendara. Menikah dengan Mangkunegara I lalu bercerai, menikah lagi dengan
Bendara Pangeran Harya Dipanegara, putra Bendara Pangeran Harya Hangabehi dari
Surakarta. Kakek dari pihak ayah adalah Amangkurat IV.
18)
Bendara Raden Ayu Jayaningrat
lahir dari BRAy. Tilarsa
19)
Bendara Raden Ayu Purbayasa
lahir dari BRAy. Srenggara. Ia juga dikenal sebagai Bendara Raden
Ayu Dhanukusuma. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Dhanukusuma, putra
sulung Danurejo I
20)
Bendara Raden Ayu Sasradiningrat
lahir dari BMAy. Mindaka
21)
Bendara Raden Ayu Rangga Prawiradirja
lahir dari BRAy. Srenggara
22)
Bendara Raden Ayu Natayudha I
lahir dari BRAy. Jumanten
23)
Bendara Raden Ayu Yudhakusuma I
lahir dari BRAy. Srenggara
24)
Bendara Raden Ayu Sasrakusuma I
lahir dari BMAy. Ratnawati
25)
Bendara Raden Ayu Yudhakusuma II
lahir BMAy. Trisnawati
26)
Bendara Raden Ajeng Sutiya
Ia juga dikenal sebagai Bendara Raden Ayu Jayadiwira
27)
Bendara Raden Ayu Pringgalaya
lahir dari BRAy. Daya Asmara
28)
Bendara Raden Ayu Dhanunegara
lahir dari BMAy. Turunsi
29)
Bendara Raden Ayu Mangkundirja
lahir dari BMAy. Pakuwati
30)
Bendara Raden Ayu Ratnadinigrat
lahir dari BMAy. Chitra Kusuma
31)
Bendara Raden Ayu Purwadipura
lahir dari BMAy. Sari
·
SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL
Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I
diantaranya adalah: Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya,
Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo.
Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 (1
Ruwah 1718 TJ), dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Kelak, pada
tanggal 3 November 2006, sebuah negara non kerajaan yang proses kelahirannya
sangat lekat dengan keturunan beliau akan menganugerahi Sri Sultan Hamengku
Buwono I sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati
diri bangsa
·
PENGHARGAAN
Bintang
Mahaputera Adipurna (2006)
·
GALERI
|
|
|
|
|
2. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO II
Sri Sultan Hamengku
Buwono II ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ |
Sultan Sepuh Sri Sultan Hamengku Buwono II |
Sultan Yogyakarta ke-2 |
Bertakhta :
1792-1810; 1811-1812; 1826-1828 Penobatan : 2
April 1792 Pendahulu : Sultan
Hamengkubuwana I Penerus :
Sultan Hamengkubuwana III & Sultan Hamengkubuwana V Pemahkotaan :
1798 |
Informasi Pribadi |
Nama Kecilnya
: Raden Mas Sundoro Kelahiran : 7
Maret 1750, Gunung Sindoro Kematian : 3
Januari 1828 (umur 77), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Pemakaman : Kotagede,
Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik Tahta/Jumeneng Nata : Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Kalih ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah : Sultan
Hamengkubuwana I Ibu: Gusti
Kanjeng Ratu Kadipaten (Permaisuri kedua) Permaisuri : - Gusti
Kanjeng Ratu Kedhaton - Gusti
Kanjeng Ratu Hemas - Gusti
Kanjeng Ratu Kencana Wulan - Gusti
Kanjeng Ratu Sultan Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana II (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧒꧇, 7
Maret 1750 – 3 Januari 1828) adalah raja
Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 – 1810, 1811 – 1812, dan
1826 – 1828. Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan
Sultan Sepuh. Masa jabatannya yang kedua adalah yang paling singkat dalam
sejarah Kesultanan Yogyakarta.
·
RIWAYAT MASA MUDA
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Sundara, putra kelima
Sultan Hamengkubuwana I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR
Kadipaten. Beliau dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya Pangeran
Mangkubumi melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan VOC. Ketika kedaulatan
Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti tahun 1755, Mas
Sundara juga ikut diakui sebagai adipati anom.
Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700), terjadi kegelisahan
di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir
abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas
Sundara menulis kitab Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan
gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya.
Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton
Yogyakarta, dengan nama Kangjeng Kyai Suryaraja.
·
PEMERINTAHAN
Sejak tahun 1808 Herman Wilem Daendels menjadi Gubermur
Jenderal Hindia Belanda. Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang anti
feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan
raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels)
seperti minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti
yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam keraton. Minister juga tidak perlu
melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti
melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan
sirih dan tuak kepada raja Jawa. Selain itu, Daendels memerintahkan agar segera
menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di keraton Jawa.
Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap
merendahkan derajatnya. Sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik
tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan
Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II
yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan
Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II).
Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden
Rangga Prawiradirjo III (Raden Ronggo), bupati wedana Madiun yang menentang
pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok,
berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh
Daendels.
Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan
pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin
mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari
surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga terdapat cap
berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan tmenolak
tuduhan itu karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih. Pada
bulan Desember 1810, Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana
II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai Sultan Hamengkubuwana
III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan
kedudukan Patih Danureja II.
·
PEMERINTAHAN PERIODE PERTAMA
Sejak tahun 1808 Herman Wilem Daendels menjadi Gubermur
Jenderal Hindia Belanda. Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang anti
feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan
raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels)
seperti minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti
yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam keraton. Minister juga tidak perlu
melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti
melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan
sirih dan tuak kepada raja Jawa. Selain itu, Daendels memerintahkan agar segera
menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di keraton Jawa.
Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap
merendahkan derajatnya. Sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik
tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan
Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II
yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan
Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II). Kemudian
Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden Rangga
Prawiradirjo III (Raden Ronggo), bupati wedana Madiun yang menentang
pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok,
berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh
Daendels.
Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan
pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin
mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari
surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga terdapat cap
berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan
tmenolak tuduhan itu karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih.
Pada bulan Desember 1810, Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan
Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai Sultan
Hamengkubuwana III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta
mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.
·
PEMERINTAHAN PERIODE KEDUA
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali. Tak hanya itu, Sultan juga berinisiatif menyingkirkan Danureja II yang dianggap sebagai biang keladi masalah yang dihadapi sultan dengan Daendels. Pada September 1811, Danureja II dibunuh di depan Sitihinggil atas perintah sultan ketika hendak menghadiri rapat di keraton.
Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya
dengan sikapnya terhadap Belanda. Terutama pada putranya, Mas Suraja, sikap
sultan bisa dibilang amat keras, mengingat putranya tersebut dianggap turut
berperan dalam menyingkirkan dirinya dari singgasana kesultanan tahun 1810.
Pembersihan besar-besaran yang dilakukan sultan setelahnya, bahkan nyaris
mengancam keselamatan jiwa sang putra mahkota. Dengan Inggris, tercatat nyaris
terjadi pertumpahan darah antara utusan Raffles dengan kerabat keraton di depan
Sultan, hanya akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari
singgasana Sultan, sewaktu wakil gubernur Inggris tersebut hendak mengunjungi
Yogyakarta bulan Desember 1811.
Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana
II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini
terbongkar oleh Inggris. Maka, pada tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris yang
dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Terjadi perang besar yang berakhir
dengan kekalahan kesultanan. Hamengkubuwana II ditangkap dan dibuang ke pulau
Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya.
Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta.
Pangeran Natakusuma, yang mendukung Inggris, diangkat oleh Thomas Raffles
sebagai Paku Alam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.
·
PEMERINTAHAN PERIODE KETIGA
Pada tahun 1825 terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro
(putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun
1816). Saat itu raja yang bertahta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V, yang
bertahta menggantikan ayahnya tahun 1823 saat dirinya masih berumur 3 tahun.
Perlawanan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari
rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan
mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II
kembali bertahta pada 18 Agustus 1826, sedangkan Hamengkubuwana V agak
disingkirkan oleh Belanda. Kedatangan sultan sebagai penguasa Yogyakarta
terbukti sedikit banyak melemahkan kekuatan Diponegoro, mengingat
kepopulerannya semasa masih menjabat sebelum dibuang ke Penang tahun 1812. Pada
masa itu, sultan berusaha keras menertibkan keadaan dan mengembalikan keamanan
di wilayahnya, meskipun dihimpit oleh tuntutan-tuntutan Belanda dalam rangka
memadamkan Perang Diponegoro. Beberapa tokoh penting keraton berhasil dibujuk
pulang ke Yogyakarta, namun demikian, sultan sendiri tidak pernah berniat
serius untuk membujuk Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, putranya, untuk
menghentikan perlawanan. Belanda mencurigai tindakan sultan ini sebagai
dukungan terselubung terhadap perlawanan Diponegoro.
·
WAFAT
Sultan Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil
sebagai Sinuhun Sepuh), akhirnya mangkat pada tanggal 3 Januari 1828 setelah
menderita sakit radang tenggorokan dan akibat usia tua. Pemerintahan kembali
dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V. Berbeda dari penguasa-penguasa
Kesultanan Yogyakarta lainnya, jenazah Hamengkubuwana II tidak dimakamkan di
Imogiri, melainkan di kompleks pemakaman Kotagede. Hal ini terjadi karena
pertimbangan keamanan. Jalur perjalanan ke Imogiri kala itu dikuasai oleh kubu
Pangeran Diponegoro.
·
KELUARGA
a. Hamengkubuwana
II memiliki 4 permaisuri (Jawa: garwa dalem):
1.
GKR. Kedhaton (1750-1820), puteri Kanjeng Raden
Adipati Purwodiningrat, Bupati Magetan, dan memiliki anak:
§
GRM. Surojo (bergelar Hamengkubuwana III)
§
GKR. Bendoro, menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Sumodiningrat, cucu Hamengkubuwana I dari puterinya RAy.
Joyoningrat.
§
GKR. Hangger, menikah dengan Danureja II, patih Yogyakarta.
§
Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi
§
GKR. Maduretno, menikah dengan Rangga
Prawiradirja III.
2.
Gusti Raden Ayu Pretiwiningrum/GKR. Hemas
(1760-1826), puteri Kanjeng Pangeran Haryo Pakuningrat dan Ratu Alit, puteri
Pakubuwana II, dan memiliki anak:
§
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkudiningrat
(1778-1824), kakek buyut Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno, Presiden
Indonesia ke-1)
3.
GKR. Kencono Wulan (skt. 1780-1859), puteri Kyai
Ronodigdoyo, dan memiliki anak:
§
GKR. Ayu, menikah dengan Paku Alam II
§
GRM. Sudaryo, mati muda.
§
GKR. Anom, menikah dengan R A A T Danuningrat I
atau Sayyid Alawi bin Ahmad bin Sa'id bin Abdul Wahab bin Sulaiman Basyeiban
Bupati Pertama Magelang.
§
GRM. Sumadi, mati muda.
§
GKR. Timur (lahir 1800), menikah dengan Raden
Mas Salyo/KRT. Joyowinoto/KPH. Notokusumo/Suryoningprang, putera Paku Alam I.
§
Gusti Raden Ajeng Sudarminah
§
GKR. Sasi, menikah dengan Danureja III, patih
Yogyakarta.
4.
GKR. Sultan, tidak memiliki anak.
b. Di samping permaisuri, Hamengkubuwana
II juga memiliki 27 selir (Jawa: garwa ampeyan):
1.
Bandara Raden Ayu Sepuh, dan memiliki anak:
§
Bendara Raden Ayu Gusti Wiryonegoro.
§
Bendara Raden Ayu Pringgodiningrat
§
Bendoro Pangeran Haryo Martosono/Murdoningrat (1774-1826),
kakek canggah Margono Djojohadikoesoemo, pendiri Bank Negara Indonesia.
§
BRAy. Prawirodiningrat II
2.
Bandara Mas Ayu Supenoningsih, dan memiliki
anak:
§
BRAy. Sindurejo
§
BRAy. Jayengrono
§
BRAy. Cokrodiwiryo
3.
BRAy. Herowati, dan memiliki anak:
§
BRAy. Joyoningrat
§
BPH. Dipowiyono (1771-1815)
§
BPH. Wiromenggolo
§
BRAy. Prawirodiningrat I
4.
BRAy. Supenowati, dan memiliki anak:
§
BRAy. Wiryowinoto
§
BRAy. Kartodipuro
§
BRAy. Yudhoprawiro
5.
BMAy. Sukarso, dan memiliki anak:
§
BPH. Pamot (lahir 1775)
§
BRAy. Prawirokusumo (lahir 1800), menikah dengan
Raden Panji Prawirokusumo, cucu Hamengkubuwana I dari puteranya BPH. Hadikusumo
II.
6.
BRAy. Wetan, dan memiliki anak:
§
BPH. Singosari
§
BRAy. Prawirodiningrat II
7.
BMAy. Yati, dan memiliki anak:
§
BRAy. Bayusentono
§
BRAy. Prawiroyudho
§
BRAy. Ronggo Prawirosentiko
8.
BMAy. Pujoningsih, dan memiliki anak:
§
BRAy. Sosrowijoyo
§
BPH. Silarong (lahir 1785)
§
BRAy. Martodiningrat
§
BPH. Senokusumo/Notopuro
9.
BMAy. Doyorogo, dan memiliki anak:
§
BPH. Hadiwinoto I (gugur tahun 1826)
§
BPH. Sutowijoyo, wali raja untuk Hamengkubuwana
V
§
BRAy. Sosronegoro
§
BPH. Sosronegoro II
§
BRAy. Mangkuyudho
§
Bendara Raden Mas Muryani/BPH. Notoboyo (lahir
1795)
§
BPH. Notodipuro/Purbowinoto (lahir 1801)
10.
BMAy. Sumarsonowati, dan memiliki anak:
§
BPH. Joyokusumo I (1787-1829)
§
BRAy. Notoyudho
11.
BMAy. Mirmosari, dan memiliki anak:
§
BRAy. Ngabdani
§
BRAy. Nitinegoro
§
BRAy. Sosrowijoyo II
§
BPH. Abdul Arifin/Hadiwijoyo (lahir 1794),
menikah dengan puteri BPH. Hadikusumo II (putera Hamengkubuwana I).
§
BPH. Djuminah/BPH. Teposono/BRM. Kasim (lahir
1797)
§
BRAy. Secodirjo
§
BPH. Martosono/Puger, mertua Paku Alam III.
§
BRAy. Puspodiningrat
12.
BRAy. Mindoko, dan memiliki anak:
§
BRAy. Sosrowinoto
§
BRAy. Prawirowinoto
13.
BRAy. Gondowati, dan memiliki anak:
§
BRM. Yakub/BPH. Dipowijoyo (lahir 1793), menantu
Raden Tumenggung Sosrokusumo, Bupati Grobogan.
14.
BMAy. Citrowati, dan memiliki anak:
§
BRAy. Tomoprawiro
§
BRAy. Notorejo
15.
BRAy. Pinongkowati, dan memiliki anak:
§
BRAy. Yudhowijoyo
16.
BRAy. Wardoyo, dan memiliki anak:
§
BRM. Japar/BPH. Singosekar/Riyokusumo (lahir
1798)
17.
Bendara Mas Ajeng Citrosari, dan memiliki anak:
§
BRAy. Samparwadi
18.
BMAj. Sasmitowati, dan memiliki anak:
§
BPH. Purwokusumo/Bintoro
§
BrAy. Reksokusumo
19.
BMAj. Surtikanthi, dan memiliki anak:
§
BRAy. Jayengsastro
§
BRAy. Sosrodipuro
§
BRAy. Sosrodipuro II
20.
BMAj. Doto, dan memiliki anak:
§
BRAy. Prawiroloyo
21.
BRAy. Pandansari, dan memiliki anak:
§
BRAy. Projodiningrat
22.
BMAj. Puspitoresmi, dan memiliki anak:
§
BRAy. Notonegoro I
§
BRAy. Notonegoro II
23.
BMAj. Niloresmi, dan memiliki anak:
§
BRAy. Joyodirjo
24.
BRAy. Manyonosari, dan memiliki anak:
§
BPH. Mangkudipuro/Purwokusumo/Joyokusumo, ayah
mertua Hamengkubuwana VII.
§
BRAy. Martokusumo
25.
BMAj. Cepoko, dan memiliki anak:
§
BPH. Wijil/Hadiwijoyo II
26.
BMAj. Rantamsari, dan memiliki anak:
§
BPH. Tejokusumo/Hadinegoro
27.
BRAy. Kulon, dan memiliki anak:
§
BPH. Timur/Pujokusumo
§
BRAy. Dewi, menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Martonegoro, cucu Hamengkubuwana I dari puteranya BPH. Demang Tanpo
Nangkil.
§
BPH. Timur
·
PENINGGALAN SRI SULTAN HB II
Sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan
Hamengku Buwono II juga meninggalkan karya-karya monumental. Mulai dari
membentuk korps/satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan
persenjataan yang lebih baik, hingga membangun benteng baluwarti yang
dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar.
Di bidang sastra beliau mewariskan karya-karya heroik yang
berbau pertahanan dan militer, seperti: Babad Nitik Ngayogya dan Babad
Mangkubumi. Dua karya babad ini menceritakan perjuangan berdirinya Keraton
Yogyakarta. Juga karya sastra yang bersifat fiksi, lahir berkat beliau, di
antaranya Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang terakhir merupakan
karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta.
Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk membuat berbagai
bentuk wayang kulit dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon
Jayapusaka. Tokoh utama dalam lakon tersebut adalah Bima yang begitu tepat
menggambarkan watak jujur, keras dan juga tegas dari Sri Sultan Hamengku Buwono
II.
·
GALERI
3. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO III
Hamengkubuwana
III ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧓꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana III |
Sultan Yogyakarta ke-3 |
Bertakhta :
1810-1811,12 Juni 1812 - 3 November 1814 Pendahulu :
Sultan Hamengkubuwana II Penerus :
Sultan Hamengkubuwana IV |
Informasi Pribadi |
Nama Kecil :
Gusti Raden Mas Surojo Kelahiran :
20 Februari 1769 (Malam Rabu Kliwon, 18 Syawal Dal 1694), Kraton Yogyakarta Kematian : 3
November 1814 (umur 45). Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Pemakaman :
Astana Kasuwargan, Imogiri, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Tiga ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah: Sultan
Hamengkubuwana II Ibu: Gusti
Kanjeng Ratu Kedhaton Permaisuri:
Gusti Kanjeng Ratu Kencana, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Gusti Kanjeng Ratu
Wandhan Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana III (20 Februari 1769 – 3 November
1814) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode,
yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.
Ia juga merupakan ayah dari Pangeran Diponegoro, tokoh yang
berpengaruh dalam Perang Jawa pada tahun 1825-1830.
·
LATAR BELAKANG
Beliau memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Surojo, lahir pada
tanggal 20 Februari 1769. Adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton. Dalam biografi Tan Jin Sing disebutkan bahwa
beliau adalah orang yang pendiam dan cenderung mengalah.
Pada usianya yang ke 41, tepatnya Bulan Desember 1810,
terjadi manuver pasukan Belanda ke Keraton Yogyakarta sebagai buntut
perseteruan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Letnan Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels. Akibat dari perseteruan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono
II dilengserkan dari jabatannya oleh pemerintah kolonial Belanda.
Saat itulah kemudian RM. Surojo diangkat sebagai Hamengku
Buwono III dengan pangkat regent atau wakil Raja. Sementara itu, Sri Sultan
Hemengku Buwono II masih tetap diijinkan untuk tinggal di dalam keraton dengan
sebutan Sultan Sepuh.
Nyaris setahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1811, ketika
tentara Inggris berhasil mengalahkan bala tentara Belanda dan merebut tanah
Jawa, beliau dilengserkan dari statusnya dan kembali menjadi putra mahkota. Sri
Sultan Hamengku Buwono II kembali naik tahta.
Bertindak sebagai mediator antara Sri Sultan HB II dengan
Inggris adalah Pangeran Notokusomo, adik Sultan Hamengku Buwono II lain Ibu. Di
kemudian hari Pangeran Notokusumo menjadi sahabat bagi Letnan Gubernur Jenderal
Inggris karena pemahamannya yang tinggi atas sastra dan kebudayaan Jawa.
Pada awalnya Letnan Gubernur Jenderal Inggris mengakui Sri
Sultan Hamengku Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Yogyakarta, dan
mengangkat RM. Surojo sebagai Adipati Anom. Namun hal ini hanya berselang
kurang dari setahun karena sikap keras Sri Sultan Hamengku Buwono II menjadikan
Raffles mencabut dukungannya. Pada tanggal 21 Juni 1812, Sri Sultan Hamengku
Buwono II dilengserkan, dan Adipati Anom disahkan menjadi Sri Sultan Hamengku
Buwono III untuk yang kedua kali.
Pada saat bersamaan dengan pengangkatan Adipati Anom sebagai
Hamengku Buwono III, putra sulungnya dari garwa selir RM. Antawirya diberi
gelar Bendara Pangeran Ario Diponegoro. Alih-alih turut campur dalam urusan
istana, Pangeran Diponegoro memilih untuk tinggal bersama neneknya di desa
Tegalrejo (barat laut Keraton Yogyakarta) untuk mendalami ilmu agama. Sama-sama
memiliki sifat yang keras dan tidak mau tunduk kepada bangsa asing seperti
kakeknya -Sri Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Diponegoro sendiri nantinya
mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda yang dicatat dalam sejarah
pemerintah kolonial sebagai perang yang paling menguras energi dan biaya.
Sejak kedatangan Inggris, peta geopolitik Kasultanan
Yogyakarta berubah drastis. Yogyakarta harus melepaskan Kedu, separuh Pacitan,
Japan, Jipang dan Grobogan untuk dikuasai Inggris dengan ganti rugi sebesar
100.000 real per tahun. Pada masa ini pula, Sultan harus menyerahkan 4000 cacah
wilayah Adikarto (Kulonprogro) kepada Pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi
pangeran merdika (otonom) di dalam Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I (1813-1829). Selain itu, Sultan juga
harus menyerahkan 1000 cacah lagi wilayahnya kepada Kapiten Cina Tan Jin Sing
atas bantuan yang diberikan selama Sri Sultan Hamengku Buwono III masih
berkedudukan sebagai putera mahkota. Kelak Sri Sultan Hamengku Buwono III
mengangkat Tan Jin Sing menjadi Bupati Yogyakarta dan memberinya gelar KRT
Secadiningrat.
Perubahan penting lainnya yang terjadi akibat campur tangan
Inggris pada kurun waktu ini adalah terkait prajurit keraton. Inggris melarang
para raja memiliki kekuatan militer apapun selain yang diijinkan oleh
pemerintah kolonial. Sebagai gantinya, pasukan Inggris dan Sepoy menjadi
resimen utama pengamanan istana. Akibatnya sebanyak lebih dari 9000 prajurit
keraton, termasuk yang dari Bugis dan Bali, hidup menderita. Banyak diantara
mereka yang kemudian dimobilisasi oleh Inggris untuk bekerja di
perkebunan-perkebunan milik kolonial di luar Jawa.
Pada tanggal 3 November 1814 (19 Dulkangidah 1741), Sri
Sultan Hamengku Buwono III wafat pada usia 45 tahun. Beliau dimakamkan di
Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri. Masa pemerintahannya tercatat hanya
berlangsung selama 865 hari. Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, anak bungsu Sri
Sultan Hamengku Buwono III dari GKR Kencono (Ratu Ibu, pasca 1816; Ratu Hageng,
pasca 1820), yang telah diangkat sebagai putra mahkota menjadi penerus ayahnya
sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada usia 10 tahun.
·
PENOBATAN SEBAGAI RAJA
Di tengah-tengah penjarahan Keraton Yogyakarta, sebuah
upacara disiapkan untuk merayakan penobatan Hamengkubuawana III. Upacara yang
dimulai dengan parade militer yang terdiri dari infanteri, pasukan berkuda, dan
artileri medan berkuda dari Madras disusun menjadi lima belas barisan
diperintahkan untuk memenuhi lapangan selebar hampir seratus meter yang
membentang antara Benteng Vredeburg dan kediaman residen. Tepat sebelum parade
militer dimulai, tembakan senapan menggelegar sembilan belas kali untuk
memberikan salut dari arah benteng dan band militer pasukan berkuda penjaga
sultan yang beranggotakan orang Indo dan Ambon semakin menegaskan aura militer
untuk penobatan sultan yang baru.
Kapten Wlliam Colebrooke RA, yang menyaksikan upacara itu
menggambarkan upacara ini sebagai "upacara yang sangat mengesankan"
yang ia tulis dalam sepucuk surat untuk ayahnya, Kolonel Paulet Colebrooke RA,
di Kent, Inggris.
·
RIWAYAT PEMERITAHAN
Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana
II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi
serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari
permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.
Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta
setelah peristiwa pemberontakan Raden Ronggo. Herman Daendels kemudian
mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau
wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara
Hamengkubuwana II di Cirebon.
Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda
terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik
takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.
Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan
Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi
di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke
Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus
menerima konsekuensi, antara lain:
Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan,
Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000
real setiap tahunnya.
Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa
tentara keamanan keraton saja.
Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran
Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku
Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat
meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih
anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Karena Hamengkubuwana masih berusia 10
tahun, maka Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja. Sementara itu putra
tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan
perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.
·
PENINGGALAN SRI SULTAN HB III
Kampung Ketandan, di dekat Jalan Malioboro, yang kini ramai
sebagai pusat niaga serta budaya Tionghoa di Yogyakarta dibangun pada masa Sri
Sultan Hamengku Buwono III. Awalnya kampung tersebut merupakan tempat para
pekerja pemungut pajak yang digeluti oleh pendatang dari Cina. Di sini terdapat
sebuah bangunan berloteng yang diperuntukkan bagi penasehat pribadi Sultan, Tan
Jin Sing, seorang kapitan Cina dari Kedu yang mahir berbagai bahasa.
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono III juga mendatangkan
sebuah kereta kuda dari Inggris yang dikabarkan konstruksinya tahan peluru.
Kereta itu diberi nama Kyai Mondro Juwolo. Meskipun singkat, masa pemerintahan
Sri Sultan Hamengku Buwono III pada saat itu merupakan kurun dimana rakyat
Yogyakarta menikmati suasana yang lebih aman dan makmur.
·
GALERI
4. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IV
Hamengkubuwana
IV ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧔꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana IV |
Sultan Yogyakarta ke-4 |
Bertakhta :
10 November 1814 - 6 Desember 1823 Penobatan : 9
November 1814 (Usia 10
tahun) Pendahulu :
Sultan Hamengkubuwana III Penerus :
Sultan Hamengkubuwana V Pemahkotaan :
21 Juni 1812 Wali raja :
Paku Alam I |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap
: Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot Kelahiran : 3
April 1804 (Selasa Kliwon, 22 Besar Jimakir 1730), Kraton Yogyakarta,
Yogyakarta Kematian : 6
Desember 1823 (umur 19), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Pemakaman :
Astana Besiyaran, Imogiri, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Sekawan ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Nama
Anumerta: Sinuhun Jarot Seda Besiyar Ayah : Sultan
Hamengkubuwana III Ibu : Gusti
Kanjeng Ratu Kencana (GKR Hageng) Permaisuri
:Gusti Kanjeng Ratu Kencana Agama : Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana IV (Bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦺꦴꦤꦺꦴ꧇꧔꧇),
(3 April 1804 – 6 Desember 1823) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang
memerintah pada tahun 1814 - 1822.
·
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, putra
kedelapan belas Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng
Ratu Kencono tanggal 3 April 1804. Ia naik tahta menggantikan ayahnya pada usia
sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I
ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih
Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki
jabatan-jabatan penting di keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada
Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang
hasilnya justru merugikan rakyat kecil.
Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan
sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan
dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1823 saat
sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar
anumerta Sinuhun Jarot, Seda Besiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini
menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra
mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai raja, bergelar
Hamengkubuwono V.
·
KEHIDUPAN PRIBADI
1. Pemaisuri (Garwah Padmi)
§ Gusti Kanjeng Ratu Kencana
Putri Dhanureja II, Patih Yogyakarta dan Gusti Kanjeng Ratu
Hangger. Kakek dari pihak ibu adalah Hamengkubuwana II.
2. Selir (Garwah Ampeyan)
§ Bendara Raden Ayu Dewaningrum
§ Bendara Raden Ayu Murcitaningrum
§ Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
§ Bendara Raden Ayu Turunsih
§ Bendara Raden Ayu Daya Asmara
§ Bendara Raden Ayu Murtiningrum
§ janda Hamengkubuwana III
§ Bendara Raden Ayu Ratnaningrum
§ Bendara Raden Ayu Widyawati
§ putri Ki Dhalang Jiwatenaya
3. Anak
§ Kanjeng Pangeran Adipati Anom
Hamengkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram
lahir dari GKR. Kencana, meninggal pada usia 108 hari
§ Gusti Raden Mas Gathot Menol
lahir dari GKR. Kencana. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana
V
§ Bendara Pangeran Harya Hangabehi
lahir dari BRAy. Daya Asmara. Ia adalah pegawai KNIL, juga
dikenal sebagai Bendara Pangeran Harya Suryadiningrat atau Bendara Pangeran
Harya Panengah.
§ Gusti Raden Mas Mustaya
lahir dari GKR. Kencana. Kemudian bergelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Mangkubumi, naik takhta sebagai Hamengkubuwana VI
§ Bendara Pangeran Harya Surya Negara
lahir dari BRAy. Widyawati. Ia adalah pegawai KNIL,
sastrawan Jawa ternama, serta penulis utama Babad Ngayogyakarta.
§ Bendara Raden Mas Tritustha
lahir dari BRAy. Dewaningrum, meninggal muda
§ Gusti Bendara Raden Ayu Maduratna
lahir dari BRAy. Murcitaningrum. Menikah dengan Kanjeng Pangeran
Harya Yudhanegara I atau Kanjeng Raden Tumenggung Prawiradirja.
§ Bendara Raden Mas Sunadi
lahir dari BRAy. Dewaningrum
§ Bendara Raden Ayu Dhanureja
lahir dari BRAy. Ratna Adiningrum. Menikah dengan Dhanureja
IV, Patih Yogyakarta.
§ Bendara Raden Ayu Niti Negara
lahir dari BRAy. Turunsih. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Niti Negara II, cucu Hamengkubuwana II dari pihak ibu.
§ Bendara Raden Ayu Jayaningrat
lahir dari BRAy. Murtiningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Jayaningrat.
§ Bendara Raden Ayu Suryatmaja
lahir dari BRAy. Ratnaningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Suryatmaja.
§ Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton
lahir dari GKR. Kencana, meninggal muda
§ Bendara Raden Ajeng Mutoinah
lahir dari BRAy. Murtiningrum
§ Bendara Raden Mas Pirngadi
lahir dari BRAy. Widyawati
§ Bendara Raden Mas Samadikun
lahir dari BRAy. Ratnaningrum
·
GALERI
5. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO V
Hamengkubuwana V ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧕꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana V |
Sultan Yogyakarta ke-5 |
Bertakhta: 19
Desember 1823 - 5 Juni 1855 Penobatan:
1823 (Umur 3 tahun) Pendahulu:
Sultan Hamengkubuwana IV Penerus:
Sultan Hamengkubuwana VI Wali raja:
Ratu Ageng (Nenek), GKR Ratu Kencono (Ibu), Pangeran Mangkubumi (Saudara
kakek), Pangeran Diponegoro (Saudara ayah) |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap:
Gusti Raden Mas Gathot Menol Kelahiran: 24
Januari 1820 (Senin Kliwon, 7 Rabiul Akir Alip 1747), Kraton Yogyakarta,
Yogyakarta Kematian: 5
Juni 1855 (umur 34), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Pemakaman:
Astana Besiyaran, Imogiri, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga
'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping
Gangsal ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah: Sultan
Hamengkubuwana IV Ibu: GKR
Kencono Permaisuri:
Gusti Kanjeng Ratu Kencana dan Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana V (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦺꦴꦤꦺꦴ꧇꧕꧇,
24 Januari 1820 – 5 Juni 1855) adalah sultan kelima Kesultanan Yogyakarta, yang
berkuasa tanggal 19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826, dan kemudian dari 17
Januari 1828 - 5 Juni 1855 yang diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwana II
karena ketidakstabilan politik dalam Kesultanan Yogyakarta saat itu.
·
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwana V adalah Gusti Raden Mas
Gathot Menol, putra keenam Hamengkubuwana IV yang lahir pada tanggal 24 Januari
1820 dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Kencono. Sewaktu dewasa ia bergelar
Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839
dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Melihat tahun
pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1820 maka
Sultan Hamengku Buwono V waktu permulaan bertakhta baru berumur 3 (tiga) tahun.
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton
Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan
Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan
perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan
dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada
kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga
kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditanggapi dengan
tentangan oleh beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu
Gusti Raden Mas Mustojo (nantinya naik takhta bergelar Hamengkubuwana VI).
Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan
Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan
Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk
menggantikan sultan dengan GRM Mustojo. Keadaan semakin menguntungkan GRM
Mustojo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin
ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. Kekuasaan Sultan Hamengkubuwana V
semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan
istri ke-5 sultan sendiri, Kangjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwana V
hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman
dan tenteram selama masa pemerintahannya.
Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam
sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal
dengan peristiwa wereng saketi tresno (bahasa Indonesia: wafat oleh yang
dicinta), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu
Kangjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab
istrinya berani membunuh Sultan, suaminya.
Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB
V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. 13 hari pasca sultan
tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus tahta
Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng
Gusti Timur Muhammad.
Seperti yang telah diperkirakan, Raden Mas Mustojo
dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar Sri Sultan
Hamengkubuwana VI kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra
mahkota sudah siap memimpin sebagai sultan. Namun, yang terjadi kemudian bukan
sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang
dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo
atau yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).
Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan
HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur Muhammad yang seharusnya naik tahta.
Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap
raja dan istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan
HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu
Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado,
Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.
·
KEHIDUPAN PRIBADI
1. PEMAISURI (GARWA PADMI)
§
Gusti Kanjeng Ratu Kencana
lahir sebagai Raden Ajeng Suradinah, putri Kanjeng Pangeran
Harya Purwanegara dan Gusti Kanjeng Ratu Anom. Kakek dari pihak ibu adalah
Hamengkubuwana II. Ia dikenal sebagai Kanjeng Ratu Sasi setelah bercerai
§
Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton
lahir sebagai Raden Ajeng Andaliyah, putri Bendara Pangeran
Harya Hadinegara atau Bendara Pangeran Harya Suryaning-Ngalaga. Kakek dari
pihak ayah adalah Hamengkubuwana III. Dibuang ke Manado setelah suaminya
meninggal
2. SELIR (GARWA AMPEYAN)
§
Bendara Raden Ayu Dewaningsih
§
Bendara Raden Ayu Panukmawati
§
Bendara Raden Ayu Ratna Sri Wulan
3. ANAK
§
Bendara Raden Mas Sepuh
lahir dari BRAy. Dewaningsih, meninggal muda
§
Gusti Raden Mas Timur Muhammad
lahir dari GKR. Kedhaton. Bergelar Kanjeng Bendara Pangeran
Harya Suryaning-Ngalaga
§
Gusti Bendara Raden Ayu Hangabehi
lahir dari BRAy. Dewaningsih. Menikah dengan Hamengkubuwana
VI kemudian bercerai lalu menikah lagi dengan Kanjeng Raden Tumenggung Ganda
Kusuma
§
Bendara Raden Ajeng Timur
lahir dari BRAy. Dewaningsih, meninggal muda
§
Bendara Raden Ajeng Suwarti
lahir dari BRAy. Panukmawati, meninggal muda
§
Bendara Raden Ajeng Rabingu
lahir dari BRAy. Panukmawati, meninggal muda
§
Bendara Raden Ajeng Humissalamah
lahir dari BRAy. Ratna Sri Wulan, meninggal muda
§
Bendara Raden Ayu Hadiwinata
lahir dari BRAy. Panukmawati. Menikah dengan Bendara
Pangeran Harya Hadiwinata, putra keenam Hamengkubuwana VI
§
Bendara Raden Ajeng Sukinah
lahir dari BRAy. Ratna Sri Wulan. Menikah dengan Gusti
Pangeran Harya Mangkubumi/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, putra
kelima Hamengkubuwana VI
·
GALERI
6. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VI
Hamengkubuwana VI ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧖꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana VI |
Sultan Yogyakarta ke-6 |
Bertakhta: 5
Juli 1855 - 20 Juli 1877 Penobatan: 5
Juli 1855 Pendahulu:
Sultan Hamengkubuwana V Penerus:
Sultan Hamengkubuwana VII |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap:
Gusti Raden Mas Mustojo Kelahiran: 10
Agustus 1821 (Ahad Pon, 21 Dulkaidah Ehe 1748), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Kematian: 20
Juli 1877 (umur 55), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Pemakaman:
Astana Besiyaran, Imogiri, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Enem ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah: Sultan
Hamengkubuwana IV Ibu: Gusti
Kanjeng Ratu Kencono Permaisuri:
Gusti Kanjeng Ratu Kencana & Gusti Kanjeng Ratu Sultan Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana VI (Bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦺꦴꦤꦺꦴ꧇꧖꧇,
10 Agustus 1821 – 20 Juli 1877) adalah sultan keenam Kesultanan Yogyakarta yang
memerintah pada tahun 1855 – 1877, berjuluk Sinuhun Mangkubumi. Dia
menggantikan kakaknya, Hamengkubuwana V yang meninggal di tengah
ketidakstabilan politik dalam tubuh Keraton Yogyakarta.
·
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Nama asli Sultan Hamengkubuwana VI adalah Gusti Raden Mas
Mustojo, merupakan putra kedua belas Sultan Hamengkubuwana IV yang lahir pada
tahun 1821 dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono.
Hamengkubuwana VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu
Hamengkubuwana V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwana V tewas dibunuh oleh
selirnya sendiri (istri ke-5) Kanjeng Mas Ayu Hemawati ditengah ketidakstabilan
politik di kesultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahannya terjadi gempa
bumi yang besar yang meruntuhkan sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari,
Tugu Golong Gilig, Masjid Gedhe (masjid keraton), Loji Kecil (sekarang Istana
Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya di
Kesultanan Yogyakarta.
Pada masa Hamengkubuwana V, Gusti Raden Mas Mustojo adalah
seorang penentang keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang
menjalankan hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia Belanda yang ada di bawah
Kerajaan Belanda. Namun setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi
raja, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya
yang sebelumnya dia tentang keras.
Semasa pemerintahan Hamengkubuwana VI kemudian mulai timbul
pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwana VI, tetapi pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat diredam
dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan Danurejo V, patih
Keraton Yogyakarta saat itu. Hubungan dengan berbagai kerajaan pun terjalin
kuat pada masa pemerintahan HB VI, apalagi setelah beliau menikah dengan putri
Kesultanan Brunai.
Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan
kerajaan-kerajaan lain, tercatat bahwa Sultan Hamengkubuwono VI dapat
mengatasinya dengan arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan
pemerintahan Hindia Belanda agak mulai menuai konflik terutama karena keraton
Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang
menjadi musuh pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda.
Pemerintahan Hamengkubuwana VI berakhir ketika ia meninggal
dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putra tertuanya, Gusti Raden Mas
Murtejo, sebagai sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwana VII.
Naiknya Hamengkubuwana VII menggantikan ayahnya
Hamengkubuwana VI sebagai raja Yogyakarta yang baru mendapat tentangan dari
permaisuri Almarhum Sultan Hamengkubuwana V, Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton,
karena seharusnya yang naik takhta adalah Gusti Raden Mas Timur Muhammad putra
Hamengkubuwana V. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan
pembangkangan terhadap raja dan istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk
menghapus trah Sultan Hamengkubuwana V dan demi melanggengkan kekuasaan Sultan
Hamengkubuwana VII beserta keturunannya nanti. Gusti Kanjeng Ratu Sekar
Kedhaton dan Gusti Raden Mas Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke
Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.
·
KEHIDUPAN RIBADI
1. PEMAISURI (GARWA PADMI)
§ Gusti Kanjeng Ratu Kencana
putri Pakubuwana VIII dari Surakarta. Ia kemudian bergelar
Gusti Kanjeng Ratu Hamengkubuwana.
§ Gusti
Kanjeng Ratu Sultan
putri Ki Ageng Prawirarejasa. Ia kemudian bergelar Gusti
Kanjeng Ratu Hageng.
2. SELIR (GARWA AMPEYAN)
§
Bendara Raden Ayu Tejaningrum
§
Bendara Raden Ayu Pujaratna
§
Bendara Raden Ayu Ratnaningdia
§
Bendara Raden Ayu Sasmitaningrum
§
Bendara Raden Ayu Puspitaningrum
§
Bendara Raden Ayu Murtiningrum
§
Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
§
Bendara Raden Ayu Dewaningrum
3. ANAK
§
Gusti Raden Mas Murteja
lahir dari GKR. Sultan. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana
VII
§
Bendara Raden Mas Sulaiman
lahir dari BRAy. Pujaratna, meninggal muda
§
Bendara Pangeran Harya Purbaya
lahir dari BRAy. Ratnaningdia
§
Gusti Pangeran Harya Surya Mataram
lahir dari GKR. Sultan
§
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi
lahir dari GKR. Sultan. Ia adalah kakek Hamengkubuwana IX
dari pihak ibu.
§
Bendara Pangeran Harya Hadiwinata
lahir dari BRAy. Puspitaningrum.
§
Bendara Pangeran Harya Hadiwijaya
lahir dari BRAy. Ratna Adiningrum
§
Gusti Pangeran Harya Bumi Nata
lahir dari GKR. Sultan
§
Gusti Pangeran Harya Puger
lahir dari GKR. Sultan
§
Gusti Pangeran Harya Suryaputra
lahir dari GKR. Sultan
§
Gusti Pangeran Harya Anom
lahir dari GKR. Sultan
§
Bendara Raden Ajeng Samilah
lahir dari BRAy. Tejaningrum, meninggal muda
§
Gusti Kanjeng Ratu Hangger
lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden Adipati
Danureja VI, Patih Yogyakarta.
§
Gusti Kanjeng Ratu Pembayun
lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden Adipati
Danureja V, Patih Yogyakarta[3]
§
Gusti Kanjeng Ratu Anom
lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Dhanuningrat
§
Bendara Raden Ayu Purwadiningrat
lahir dari BRAy. Sasmitaningrum. Menikah dengan Kanjeng
Raden Tumenggung Purwadiningrat
§
Gusti Kanjeng Ratu Hayu
lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Paku Alam IV lalu
bercerai kemudian menikah lagi dengan Raden Mas Adipati Harya Hadiningrat atau
Kanjeng Pangeran Harya Chandranegara IV, Bupati Demak. Ia adalah nenek Raden
Ajeng Kartini dari pihak ayah.
§
Gusti Kanjeng Ratu Bendara
lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Wijil
§
Gusti Raden Ajeng Kusdilah
lahir dari GKR. Kencana, meninggal muda
§
Gusti Kanjeng Ratu Sasi
lahir dari GKR. Kencana. Menikah dengan Kanjeng Bendara
Pangeran Harya Suryaning-Ngalaga putra Hamengkubuwana V, kemudian dengan
Kanjeng Raden Tumenggung Suryadirja atau Kanjeng Raden Tumenggung Jayawinata
§
Bendara Raden Ayu Natayudha
lahir dari BRAy. Murtiningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumemggung Natayudha
§
Bendara Raden Ayu Mangkuyudha
lahir dari BRAy. Ratna Adiningrum. Menikah dengan Kanjeng
Raden Tumenggung Mangkuyudha
§
Bendara Raden Ayu Suryamurcita
lahir dari BRAy. Dewaningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Suryamurcita
·
GALERI
7. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VII
Hamengkubuwana VII ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧗꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana VII |
Sultan Yogyakarta ke-7 |
Bertakhta: 13
Agustus 1877 - 30 Januari 1921 Penobatan: 13
Agustus 1877 Pendahulu:
Sultan Hamengkubuwana VI Penerus:
Sultan Hamengkubuwana VIII |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap:
Gusti Raden Mas Murtejo Kelahiran: 4
Februari 1839 (Senin Legi, 20 Dulkaidah Je 1766) Kraton Yogyakarta Kematian: 30
Desember 1931 (umur 92) Pesanggrahan Ambarukmo, Yogyakarta Pemakaman:
Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Pitu ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah: Sultan
Hamengkubuwana VI Ibu: Gusti
Kanjeng Ratu Sultan (Permaisuri kedua) Permaisuri:
Gusti Kanjeng Ratu Kencana/Gusti Kanjeng Ratu Wandhan, Gusti Kanjeng Ratu
Hemas, Gusti Kanjeng Ratu Kencana II Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇,
4 Februari 1839 – 30 Desember 1931) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah
pada tahun 1877-1921. Dia juga dikenal dengan sebutan Sinuwun Behi dan Sultan
Ngabehi (Sultan Sugih).
·
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo, putra tertua
Sultan Sri Sultan Hamengkubuwana VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839.
Dia naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 13 Agustus 1877.
Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII, banyak didirikan
pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian
pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar F200.000,00.
Hal ini membuat Sultan sangat kaya sehingga sering memperoleh julukan Sultan
Sugih.
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju
modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim
putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang saat
itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra
mahkotanya yang keempat (Gusti Raden Mas Sujadi, bergelar Gusti Pangeran Harya
Purbaya) sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan
keabsahannya karena putera mahkota yang pertama (Gusti Raden Mas Akhaddiyat,
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara I), yang seharusnya
menggantikan ayahnya, tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas
penyebab kematiannya. Penggantinya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
Hamengkunegara II (kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Juminah, kakek dari
seniman Indonesia, Bagong Kussudiardja), diberhentikan karena alasan kesehatan.
Putra mahkota yang ketiga, Gusti Raden Mas Putro (bergelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara III), meninggal dunia tanggal 21 Februari
1913 akibat sakit keras setelah kembali dari Kulon Progo.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda
yang tidak setuju dengan putera mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang
terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota
ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini
berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat
Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada cerita bahwa sang ayah diasingkan oleh
putera mahkota yang keempat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar keraton
Yogyakarta)
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang
anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara
politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun
takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada raja yang
meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan.
Sampai saat ini ada dua raja setelah Hamengkubuwono VII yang meninggal di luar
keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII (meninggal dunia setelah menjemput putra
mahkota, Gusti Raden Mas Dorojatun, dari Batavia) dan Hamengkubuwono IX
(meninggal dunia di Amerika Serikat). Bagi masyarakat Jawa adalah suatu
kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII
meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan
dimakamkan di Pemakaman Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta
pensiun kepada Belanda untuk madeg pandita (menjadi pertapa) di Pesanggrahan
Ngambarrukmo.
·
KEHIDUPAN PRIBADI
Anak tertua dari Sultan Hamengkubuwana VI dan istri
pertamanya Kanjeng Ratu Sepuh/Gusti Kanjeng Ratu Sultan/Gusti Kanjeng Ratu
Hageng dan diangkat anak oleh Gusti Kanjeng Ratu Kencana.
1. PEMAISURI (GARWA PADMI)
§
Bendara Raden Ayu Sukina/Bendara Raden Ayu
Mangkubumi (b. 1836), putri termuda Hamengkubuwana V dengan istri keduanya,
Bendara Raden Ayu Dewaningsih.
§
Gusti Kanjeng Ratu Hemas, putri dari Kanjeng
Raden Tumengung Jayadipura atau dari Pangeran Suryadiningrat.
§
Gusti Kanjeng Ratu Kencana, kemudian diasingkan
lalu bergelar Gusti Kanjeng Ratu Wandhan, putri dari Raden 'Ali Basa
'Abdu'l-Mustafa Senthot Prawiradirja.
§
Gusti Kanjeng Ratu Kencana II/Bendara Raden Ayu
Ratna Sri Wulan, putri dari Bendara Pangeran Harya Hadinegara.
2. SELIR (GARWA AMPEYAN)
§
Bendara Raden Ayu Ratnaningsih.
§
Bendara Raden Ayu Ratnaningdia.
§
Bendara Raden Ayu Ratna Adi.
§
Bendara Raden Ayu Ratnasangdia.
§
Bendara Raden Ayu Ratnajiwata.
§
Bendara Raden Ayu Puryaningdia.
§
Bendara Raden Ayu Devaratna.
§
Bensara Raden Ayu Puspitaningdiya.
§
Bendara Raden Ayu Srengkara Adinindia.
§
Bendara Raden Ayu Rukmidiningdia.
§
Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum.
§
Bendara Raden Ayu Ratna Puspita.
§
Bendara Raden Ayu Tejaningrum.
§
Bendara Raden Ayu Ratna Mandaya, putri dari
Patih Dhanuraja VI.
3. ANAK
§
Memiliki 31 putra
§ Memiliki 38 putri
·
GALERI
|
|
8. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII
Hamengkubuwana VIII ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧘꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana VIII |
Sultan Yogyakarta ke-8 |
Bertakhta: 8
Februari 1921 - 22 Oktober 1939 Penobatan: 8
Februari 1921 (Selasa Kliwon, 29 Jumadil Awal Alip 1851) Pendahulu:
Sultan Hamengkubuwana VII Penerus:
Sultan Hamengkubuwana IX |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap:
Gusti Raden Mas Sujadi Kelahiran: 3
Maret 1880, Kraton Yogyakarta Kematian: 22
Oktober 1939 (umur 59), RS Panti Rapih, Yogyakarta Pemakaman:
Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Wolu ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah: Sultan
Hamengkubuwana VII Ibu: Gusti
Kanjeng Ratu Hemas (Permaisuri kedua) Permaisuri:
Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana VIII (atau Gusti Raden Mas Sujadi,
lahir di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, 3 Maret 1880 – meninggal di Rumah
Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, 22 Oktober 1939 pada umur 59 tahun) Hanacaraka: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧘꧇
adalah salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939. Beliau
dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada 8 Februari 1921. Pada masa
Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai
untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan.
Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi,
banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak
bertakhta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas
Leiden.
·
PEMERINTAHAN
Pada masa pemerintahannya, ia banyak mengadakan rehabilitasi
bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah Bangsal Pagelaran
yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara
Yogyakarta). Bangunan lainnya yang direhabilitasi adalah tratag Siti Hinggil,
Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Ia juga merupakan salah satu orang
pertama dari kalangan politikus papan atas Kota Yogyakarta yang mendukung
perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam pembentukan Muhammadiyah sebagai bentuk
loyalitasnya pada Islam.
·
PENGHARGAAN
§
Grand Cross of the Order of Orange-Nassau (1937)
§
Commander of the Order of the Netherlands Lion
(1925)
§
Grand Cross of the Order of the Wendish Crown of
Mecklenburg
§
Grand Cross of the Royal Order of Cambodia
§
Grand Cross of the Order of the Black Star of
Benin of France
§
Knight Commander of the Most Noble Order of
Thailand (1929)
§
Grand Officer of the Order of Leopold II of
Belgium
§
Commander 1st Class of the Order of Vasa of
Sweden
§
Grand Officer of the Order of the Million
Elephants and White Parasol of Luang Prabang (Laos)
·
MENINGGAL DUNIA
Ia meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di
daerah Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput
Gusti Raden Mas Dorojatun dari Belanda. Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa
ia meninggal dunia di rumah sakit Onder de Bogen (kini Rumah Sakit Panti Rapih)
setelah jatuh sakit di dalam kereta api di wilayah Kroya. Gusti Raden Mas
Dorojatun yang belum sempat menyelesaikan sekolahnya, mendadak dipanggil
pulang. Di Batavia, Sultan menyerahkan keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada
Gusti Raden Mas Dorojatun sebagai tanda suksesi kerajaan, sekaligus sebagai
isyarat bahwa Gusti Raden Mas Dorojatun-lah yang kelak akan menggantikan
sebagai Sultan.
·
KEHIDUPAN PRIBADI
1. ISTRI
§
Raden Ayu Siti Katina, putri Gusti Pangeran
Adipati Mangkubumi, tahun 1907.
§
Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya
§
Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya
§
Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya
§
Raden Ayu Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati
Anom Hamangkunegara/Kanjeng Ratu Alit, putri Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi
(putra Hamengkubuwana VI).
§
Bendara Raden Ayu Rukmi Aningdiya
§
Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
§
Bendara Raden Ayu Ratna Puspita
2. ANAK
a) PUTRA
§
Bendara Raden Mas ... dari Bendara Raden Ayu
Purya Aningdiya, meninggal sebelum sempat diberi nama.
§
Bendara Raden Mas Mustari dari Bendara Raden Ayu
Puspitaningdiya
§
Mayor Bendara Raden Mas Jartabitu/Kanjeng Gusti
Pangeran Hangabehi dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan
Bendara Raden Ayu Siti Mustakirun.
§
Kapten Bendara Raden Mas Sungangusamsi/Gusti
Bendara Pangeran Harya Purbaya dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya,
menikah dengan Bendara Raden Ayu Madusari/Raden Ayu Purbaya.
§
Bendara Raden Mas Sumeru/Gusti Bendara Pangeran
Harya Dhanupaya dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya
§
Bendara Raden Mas Sudiarsa dari Bendara Raden
Ayu Purya Aningdiya
§
Bendara Raden Mas Kartala/Gusti Bendara Pangeran
Harya Mangkudiningrat dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya, menikah dengan
Raden Ajeng Sumani dan menikah dengan Raden Ajeng Amiratna/Bendara Raden Ayu
Mangkudiningrat, putri kedua dari Paku Alam VI dan Kanjeng Gusti Timur (putri
Paku Alam III).
§
Bendara Raden Mas Tinggartala/Gusti Pangeran
Harya Prabuningrat dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya
§
Gusti Raden Mas Dorojatun/Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dari Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara/Kanjeng
Ratu Alit.
§
Bendara Raden Mas Duryatnanu dari Bendara Raden
Ayu Purya Aningdia
§
Bendara Raden Mas Mahikyaun/Gusti Bendara
Pengeran Harya Suryawijaya dari Bendara Raden Ayu Rukmi Aningdiya
§
Bendara Raden Mas Rais ul-Ngah Askari/Gusti
Bendara Pangeran Harya Bintara dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya
§
Bendara Raden Mas Alpasuatlamin/Gusti Bendara
Pangeran Harya Suryabrangta dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya
§
Bendara Raden Mas Mupasalukatini dari Bendara
Raden Ayu Puspitaningdiya
§
Bendara Raden Mas Ila ul-Kirami/Gusti Bendara
Pangeran Harya Murdaningrat dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya
§
Bendara Raden Mas Makan ul-Munayati/Gusti
Bendara Pangeran Harya Pujakusuma dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya
§
Bendara Raden Mas Pel ul-Kuluki/Gusti Bendara
Pangeran Harya Suryaputra dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
§
Bemdara Raden Mas Sunwata/Gusti Bendara Pangeran
Harya Hadiwijaya dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita
§
Bendara Raden Mas Sahadatsatir dari Bendara
Raden Ayu Ratna Puspita
§
Bendara Raden Mas Hening/Gusti Bendara Pangeran
Harya Yudhanegara dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
§
Bendara Raden Mas Dr. Banakamsi/Gusti Bendara
Pangeran Harya Dr. Dipayana dari Bendara Raden Ayu Tejaningrum
§
Bendara Raden Ayu Satriya/Gusti Bendara Pangeran
Benawa dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
§
Bendara Raden Mas Danangjaya dari Kanjeng
Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
§
Bendara Raden Mas Rabinharyani/Gusti Bendara
Pangeran Harya Puger dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita
b) PUTRI
§
Bendara Raden Ajeng Gusti Siti Sundarumiya/Gusti
Kanjeng Ratu Pembayun dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya, menikah dengan
Bendara Pangeran Harya Pakuningrat (putra tertua Kanjeng Gusti Raden Mas
Putra/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamengkunegara)
§
Bendara Raden Ajeng Siti Sayadi/Gusti Bendara
Raden Ayu Sinduraja dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya, menikah dengan
Kanjeng Raden Tumenggung Sinduraja.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Sadari/Gusti Bendara
Raden Ayu Purbawinata dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan
Kanjeng Raden Tumenggung Purbawinata/Kanjeng Pangeran Harya Purbawinata.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Kadarmi/Gusti Bendara
Raden Ayu Jayaningrat dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan
Kanjeng Raden Tumenggung Jayaningrat.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Kajananywa/Gusti
Bendara Raden Ayu Jayawinata dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya,
menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Jayawinata.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Mutasangilun dari
Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya
§
Bendara Raden Ajeng Siti Nuriwadina/Gusti
Bendara Raden Ayu Chandradiningrat dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya,
menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Chandradiningrat.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Kuswanayi/Gusti Bendara
Raden Ayu Cakradiningrat dari Bendara Raden Ayu Rukmi Aningdiya, menikah dengan
Gusti Bendara Pangeran Harya Cakradiningrat (putra dari Kanjeng Gusti Raden Mas
Putra/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamengkunegara).
§
Bendara Raden Ajeng Siti Sriwayati/Gusti Bendara
Raden Ayu Purbasaputra dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya, menikah
dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purbaseputra.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Swandari/Gusti Bendara
Raden Ayu Purwadiningrat dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan
Kanjeng Raden Tumenggung Purwadiningrat.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Hilal
ul-Ngasarati/Gusti Bendara Raden Ayu Kusumadiningrat dari Bendara Raden Ayu
Puspitaningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Kusumadiningrat.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Sutyanti/Gusti Bendara
Raden Ayu Jayaningrat dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum, menikah
dengan Ir. Raden Puspaharsana Jayaningrat.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Padmasari/Gusti Bendara
Raden Ayu Sumarman dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum, menikah
dengan Raden Sumarman, S.H.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Wayarini dari Bendara
Raden Ayu Ratna Puspita
§
Bendara Raden Ajeng Siti Prayuti dari Bendara
Raden Ayu Ratna Puspita
§
Bendara Raden Ajeng Siti Widyastuti/Gusti
Bendara Raden Ayu Andayaningrat dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna
Adiningrum, menikah dengan Raden Suwarna Andayaningrat.
§
Bendara Raden Ajeng Siti Sutarnin dari Bendara
Raden Ayu Ratna Puspita
·
GALERI
9. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
Hamengkubuwana IX ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana IX |
Sultan Yogyakarta ke-9 Bertakhta 18 Maret 1940 – 2 Oktober
1988 |
Penobatan: 18
Maret 1940 Pendahulu:
Sultan Hamengkubuwana VIII Pengganti:
Sultan Hamengkubuwana X |
Wakil Presiden
Indonesia ke-2 |
Masa jabatan 23 Maret 1973 – 23 Maret 1978 Presiden:
Soeharto Pendahulu:
Mohammad Hatta Pengganti:
Adam Malik |
Menteri Koordinator
Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1 |
Masa jabatan 6 September 1950 – 27 April 1951 Presiden:
Soeharto Pendahulu:
Tidak ada, jabatan baru Pengganti:
Widjojo Nitisastro |
Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5 |
Masa jabatan 6 September 1950 – 27 April 1951 Presiden:
Soekarno Perdana
Menteri: Mohammad Natsir Pendahulu:
Abdul Hakim Pengganti:
Suwiryo |
Menteri Negara
Indonesia |
1948-1949:
Menteri Negara 1948–1950:
Menteri Pertahanan 1952–1953:
Menteri Pertahanan 1964–1966: Menteri/Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan 1966: Menteri
Pariwisata |
Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta ke-1 |
Masa jabatan 4 Maret 1950 – 2 Oktober 1988 Wakil: Paku
Alam VIII Pengganti:
Paku Alam VIII |
Ketua Kwartir Nasional
Gerakan Pramuka ke-1 |
Masa jabatan 14 Agustus 1961 – 27 November 1974 Pendahulu:
Tidak ada, jabatan baru Pengganti: M.
Sarbini |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap:
Gusti Raden Mas Dorodjatun Lahir: 12
April 1912, Ngasem, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Keresidenan
Yogyakarta, Hindia Belanda Meninggal: 2
Oktober 1988 (umur 76) Washington, D.C., Amerika Serikat Pemakaman:
Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta Wangsa:
Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah: Sultan
Hamengkubuwana VIII Ibu: Kanjeng
Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah) Agama: Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana IX (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇; 12
April 1912 – 2 Oktober 1988, lahir dengan
nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden
Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX juga merupakan
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak
Pramuka Indonesia.
·
KEHIDUPAN AWAL DAN PENDIDIKAN
1. MASA KECIL
Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti
Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan Gusti
Pangeran Puruboyo dari istri utamanya, Raden Ajeng Kustilah. Pada tahun 1914,
ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat
menjadi Putra Mahkota Yogyakarta. Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden
Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915.
Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia
dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918–1919. Monfries serta Roem dkk.
menuliskan bahwa penyebab pemulangan ini adalah retaknya hubungan antara KRA
Adipati Anom dengan mertuanya; sementara Romo Tirun mengatakan bahwa
penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang
merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk melindungi KRA
Adipati Anom.
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya
untuk mulai tinggal terpisah dari keraton. Dorodjatun kecil menangis keras dan
terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan. Ia tinggal
bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah
Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman.
Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie
("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.
Nama panggilan ini terus ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda,
serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai
Hamengkubuwana IX.
Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman
kanak-kanak Frobel School kemudian Eerste Europese Lagere School B untuk
pendidikan dasarnya. Setahun kemudian, ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan
bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada bulan Juli
1925. Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III
sekolah tersebut, yaitu pada bulan Februari 1921. Di sekolah tersebut,
Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat
itu.
Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hoogere
Burgerschool (HBS) Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal bersama keluarga
Voskuil, seorang sipir penjara di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup
panas, Dorodjatun merasa tidak cocok dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke
HBS Bandoeng pada tahun 1928. Di sana, ia bersama kakaknya, BRM Tinggarto,
tinggal bersama dengan seorang tentara militer Belanda, Letnan Kolonel De Boer.
2. PENDIDIKAN DI BELANDA
Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung,
ayah Dorodjatun dan Tinggarto memerintahkan mereka untuk belajar ke Belanda.
Mereka berangkat melalui jalur laut bulan Maret 1930 dengan ditemani oleh
keluarga Hofland, seorang direktur pabrik gula di Gesikan. Mereka berdua
bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem yang merupakan gabungan dari dua
lembaga berbeda, yaitu Hoogere Burgerschool B (HBS-B) dan Stedelijk Gymnasium.
Di Haarlem, mereka tinggal di kediaman kepala sekolah mereka, Mourik
Broekman.[20] Dorodjatun kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di
sekolah tersebut. Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda,
ia harus turun dua kelas di Haarlem. Ia bukanlah siswa yang istimewa maupun
cemerlang di sana. Meskipun beberapa nilainya tergolong baik, Dorodjatun harus
mengulang di beberapa mata pelajaran, terutama hingga dua kali di pelajaran
geometri dan trigonometri. Kakaknya, Tinggarto, juga mengalami hal yang sama di
Haarlem. Keduanya berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun 1934.
Dorodjatun dan kakaknya kemudian pindah ke Leiden. Mereka
masuk ke perguruan tinggi Rijksuniversiteit Leiden, kini Universitas Leiden.
Dorodjatun mengambil studi Indologi, studi yang mempelajari administrasi
kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda; sementara Tinggarto
memilih studi yang lebih populer, yakni bidang hukum. Belum sempat
menyelesaikan tesis untuk gelar doktorandusnya, Dorodjatun bersama
saudara-saudaranya yang berada di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja
untuk kembali ke Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke
Polandia tahun 1939. Tesis yang hampir selesai tersebut dibawa ke Jawa
bersamanya dalam bentuk manuskrip dan belum pernah dikumpulkan. Naskah itu
hilang dan hanya diketahui judulnya saja, yaitu "Kontrak Politik antara
Sunan Solo dan Pemerintah Belanda". Hingga akhir hayatnya, Hamengkubuwana
IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat
mengikuti wisuda kelulusannya.
·
MENJADI SULTAN YOGYAKARTA
1. PULANG KE HINDIA BELANDA
Setelah tiba di Batavia pada bulan Oktober 1939, GRM
Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok. Paman-paman
yang menjemputnya bersikap hormat serta menggunakan krama inggil untuk
menegurnya, bukan ngoko seperti biasanya. Dorodjatun beserta rombongan
penjemputnya kemudian pergi menuju Hotel des Indes, tempat ayah dan anggota
keluarga lainnya menginap di Batavia.
Ketika seorang penguasa swapraja sedang berada di Batavia,
umumnya ada banyak agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang
dihadiri keluarga kerajaan bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan santapan
malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada saat bersiap untuk
menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun disematkan keris Kyai Jaka Piturun
oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada putra penguasa yang
dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini menandakan
bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.
Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia,
keluarga kerajaan beserta Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta
api Eendaagsche Express. Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit
hingga tak sadarkan diri. Sesampainya di Yogyakarta, ia segera dilarikan ke
Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga wafat pada tanggal 22 Oktober
1939.
2. KONTRA POLITIK
Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan
menandatangani kontrak politik baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum
naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika Dorodjatun akan naik takhta. Sebelum
pejabat Belanda dapat melakukan negosiasi dengan calon Sultan baru, proses
suksesi di internal keluarga kerajaan harus diselesaikan terlebih dahulu.
Dengan ini, Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para saudara
dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya.
Kesemua kerabatnya tidak keberatan jika Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya.
Banyak penulis dan sejarawan yang mengatakan bahwa secara de facto dari sini
Dorodjatun sebenarnya sudah menjadi Sultan Yogyakarta ke-9, tepatnya sekitar
tanggal 26 Oktober 1939, dua hari setelah pemakaman ayahnya.
Untuk membuat kontrak baru, Dorodjatun harus bernegosiasi
dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam sebagai perwakilan Pemerintah Hindia
Belanda. Lucien Adam merupakan seorang pejabat senior Hindia Belanda dan
seorang Javanicus (ahli adat istiadat Jawa). Monfries mencatat bahwa Gubernur
Adam ingin segera membentuk hubungan yang baik dengan Dorodjatun dalam
laporan-laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia. Mereka berdua pun
memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengambil studi di Universitas Leiden,
meskipun terpaut umur yang cukup jauh. Adam, yang umurnya sudah mendekati 50
tahun, merasa harus menjadi seperti figur ayah yang bertanggung jawab bagi
Dorodjatun. Keduanya sebenarnya termasuk cukup akrab bahkan sering saling
meminjam buku bacaan satu sama lain.
Hampir setiap hari Dorodjatun harus bertemu dengan Gubernur
Adam sejak awal November 1939 untuk merundingkan kontrak politiknya. Perjanjian
ini digunakan untuk memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa
Hamengkubuwana VIII berkuasa dan memiliki isi yang lebih detail. Perundingan
tersebut berlangsung alot. Menurut buku Takhta untuk Rakyat, pembicaraan
mengenai jabatan Patih Danurejo yang selain bertanggung jawab kepada Sultan
juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat dari Pemerintah Hindia
Belanda, serta prajurit keraton yang diminta agar berada di bawah KNIL menjadi
penyebabnya. Sementara itu, Monfries, mengutip laporan-laporan Gubernur Adam,
menuliskan bahwa Adam mengalami kesulitan dalam perundingan di bidang anggaran
sipil, kepolisian, hutan, dan jangkauan otoritas hukum Sultan atas
rakyat-rakyatnya. Monfries berpendapat bahwa sangat sulit menemukan penjelasan
dari bukti-bukti yang ada atas perbedaan yang sangat besar dari versi
Hamengkubuwana dengan laporan-laporan Gubernur Adam.
Di lain hal, Gubernur Adam, dalam laporannya kepada
pemerintah pusat di Batavia, mengatakan bahwa Dorodjatun memiliki perilaku yang
baik. Ia menambahkan bahwa Dorodjatun telah mengubah sistem perbelanjaan di
keraton dengan cepat. Rencana kebijakan lain yang disorot oleh Adam adalah
reformasi besar-besaran di keraton oleh Dorodjatun, yaitu dalam hal tingkat
kekuasaan kepada rakyatnya, pembagian antara kekayaan keraton dan kesultanan
yang lebih jelas, dan pengaturan pembayaran gaji kepada anggota keluarganya.
Selain itu, Dorodjatun ingin mengurangi jumlah pegawai negeri sembari menaikkan
gaji mereka, juga mengubah peran tentara dengan menambahkan tugas jaga kepada
mereka.
Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun tiba-tiba
menyetujui kontrak politik tersebut secara langsung tanpa adanya penolakan atas
isi-isinya sebagaimana yang telah ia sampaikan dalam perundingan-perundingan
sebelumnya. Ia mengaku melakukannya setelah mendapatkan wisik (bisikan) dari
almarhum ayahnya yang mendatanginya dalam mimpi.
Wis, Tholé, tekena
waé. Landa bakal lunga saka bumi kéné.
(Sudahlah, Nak, tanda
tangani saja. Belanda akan pergi dari bumi sini.)
Wisik yang diterima
Dorodjatun.
Kegiatan perundingan selesai lebih cepat daripada laporan Gubernur
Adam tanggal 18 Februari 1940 yang menyatakan bahwa perundingan mungkin selesai
pada bulan April sebelum Grebeg diadakan. Dengan demikian, prosesi upacara
penobatan dilaksanakan sebulan lebih cepat daripada pelaksanaan Grebeg. Kontrak
politik yang terdiri atas 17 bab dan 59 pasal tersebut kemudian ditandatangani
oleh kedua pihak pada tanggal 12 Maret 1940 meskipun dalam surat tertanggal 18
Maret 1940.
3. PENOBATAN
GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana
IX pada tanggal 18 Maret 1940, sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik
dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk
dua gelar sekaligus. Gelar pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku
Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota.
Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga
Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.
Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara,
serta dua pangeran dari Solo. Beberapa pejabat senior Belanda seperti H.J. van
Mook, Gubernur Semarang, dan Gubernur Solo juga hadir. Dalam upacara ini,
Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato yang bernada progresif dan teguh
pendirian serta menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa.
·
PERANG DUNIA II
1. PENDUDUKAN BELANDA
Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda rencananya akan
menghadiri perayaan naik takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang dilaksanakan
pada tanggal 8 Mei 1940. Belum sempat sampai di Yogyakarta, Panglima dipanggil
kembali ke Belanda. Dua hari setelah perayaan dilangsungkan, Jerman menduduki
Belanda. Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengumpulkan dana perang;
Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite Dukungan dengan sumbangan sebesar
2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden dari Kesultanan Yogyakarta,
dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian, otoritas Belanda agak
kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit berbicara untuk hal ini,
berbeda dengan Paku Alam yang menyatakan dukungannya kepada Gubernur Adam.
Pada bulan April–Mei 1941, Menteri Koloni Charles Walter
sempat berkunjung ke Hindia Belanda, tetapi tidak mengunjungi Vorstenlanden
meskipun telah didesak oleh pers lokal. Tanggal 6 Desember 1941, Gubernur
Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap
Jepang setelah terjadinya Pengeboman Pearl Harbor. Gubernur Adam dalam
pertemuannya dengan Gubernur Jenderal di Batavia menyusun rencana apabila
Jepang menyerang Hindia Belanda. Monfries mengungkapkan bahwa empat penguasa
Vorstenlanden rencananya akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Jakarta
atau Bandung; sementara Sultan mengatakan bahwa keempat penguasa akan dibawa
oleh Belanda untuk mengungsi ke Australia. Hamengkubuwana menolak ajakan
tersebut dan menyatakan akan tetap berada di Yogyakarta. Dalam beberapa catatan
dan wawancara, ia juga mengatakan bahwa Belanda memiliki rencana untuk
menculiknya dan menjadikannya tawanan, tetapi pergerakan tentara Jepang yang
sangat cepat menyebabkan rencana ini gagal.
"Apa pun yang
akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak,
saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat".
2. PENDUDUKAN JEPANG
Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang.
Tentara Jepang yang datang kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada
Gubernur Adam untuk sementara. Gubernur Adam dan Hamengkubuwana IX selalu aktif
memberikan pesan publik agar tidak terjadi kepanikan di masyarakat. Setelah
keadaan Yogyakarta lebih tenang, Sultan Hamengkubuwana bersama Patih Danurejo
mengunjungi beberapa daerah kekuasaannya. Sultan menyimpulkan bahwa rakyat
tetap tenang dan tidak terlalu terganggu dengan keadaan perang. Hamengkubuwana
yang mudah mengadaptasikan pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah
Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang sangat aktif dalam mengumumkan dan
mengimplementasikan sebagian besar isi dekret pemerintahan militer Jepang, membuat
atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai. Terlepas dari itu, Adam
diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret dan diasingkan
secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.
Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan
pemerintahan di daerahnya di bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih
Dalem yang sebelumnya harus bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah
Kolonial Belanda kini hanya bertanggung jawab kepada Sultan saja. Pada tanggal
1 Agustus 1942, Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta menjadikan
Yogyakarta sebuah Kooti atau Kochi, sementara Hamengkubuwana IX menjadi Koo
(penguasa) wilayah tersebut. Jepang menganggap Sunan Pakubuwana sebagai primus
inter pares di antara keempat penguasa Vorstenlanden; ketika ada undangan
pertemuan dengan petinggi tentara Jepang, Sunan sering mewakili tiga penguasa
lainnya. Jika Sunan dan Sultan bersama-sama hadir, Sunan mewakili Surakarta dan
Mangkunegaran, sementara Sultan mewakili Yogyakarta dan Pakualaman. Bulan
September 1944, Pakubuwana XI jatuh sakit, Hamengkubuwana IX menggantikannya
menjadi perwakilan di antara para penguasa Vorstenlanden. Peran ini kemudian
diambil kembali oleh Pakubuwana XII ketika naik takhta menggantikan ayahnya
yang mangkat.
Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa,
banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi
data statistik produktivitas pertanian dan peternakan. Sultan mengajukan pembangunan sebuah kanal
irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak agar pengairan sawah dapat
dilakukan sepanjang tahun dari yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan.
Usulan ini diterima oleh pihak Jepang. Monfries mencatat bahwa pemerintah
kolonial bahkan membantu pendanaan pembangunannya sebanyak satu juta gulden.
Pembangunan saluran irigasi ini kemudian dijadikan alasan agar tidak banyak
romusa yang diambil dari Yogyakarta, sehingga masyarakat lebih difokuskan di
sini. Saluran irigasi ini kemudian disebut Selokan Mataram, sementara dalam
bahasa Jepang dinamakan Gunsei Hasuiro atau Gunsei Yosuiro (Kanal Yosuiro).
Saluran ini dinilai berhasil, ditandai dengan meningkatnya produktivitas
pertanian sehingga sumbangan bahan pangan kepada tentara Jepang juga meningkat.
Meskipun telah berhasil mengurangi jumlah romusa yang diambil kolonial, Romo
Tirun mengungkapkan bahwa tetap ada penduduk yang diambil menjadi romusa,
tetapi jika dibandingkan dengan daerah lain maka jumlah di Yogyakarta lebih
sedikit. Klaim ini dibantah oleh Monfries yang menuliskan bahwa walaupun memang
jumlahnya lebih kecil daripada keseluruhan Jawa, laporan tahun 1944 mengatakan
bahwa jumlah romusa yang dikirim malah melebihi jumlah yang diminta Jepang.
Selama masa pendudukan Jepang ini, Hamengkubuwana IX melakukan
beberapa reformasi di Kesultanan. Pada akhir bulan Juli 1942, ia mengganti
nama-nama lembaga pemerintahan daerah yang sebelumnya berbahasa Belanda menjadi
berbahasa Jawa. Pada tahun 1944, ia membuat layanan publik dapat diakses dari
kelas dan kelompok masyarakat mana pun sehingga banyak pegawai negeri yang
diterima dari kalangan biasa, membentuk komite daerah untuk membantu para
panewu (camat), juga mengeluarkan instruksi agar pelatihan pegawai negeri
dilakukan lebih intensif. Selain itu, ia menghapus distrik dan menjadikan
kapanewon (kecamatan) sebagai lembaga administratif terbawah, juga menghapus
pengadilan khusus bagi bangsawan. Selo Soemardjan mengungkapkan bahwa sebagian
besar reformasi itu adalah uji coba, sehingga tidak semuanya berjalan dengan sukses.
Akhir tahun 1944, kesehatan Patih Danurejo yang merupakan
sepupu ayah Sultan mulai menurun. Pada tanggal 17 Juli 1945, Patih Danurejo
mengundurkan diri dengan alasan umur yang sudah lanjut dan telah mengabdi
selama 12 tahun di jabatan tersebut. Hamengkubuwana IX mengambil alih
tugas-tugasnya sejak 1 Agustus 1945 dan berkantor di Kepatihan, tempat para
patih bekerja. Meskipun dalam dekret pembentukan Kooti dijelaskan bahwa
Pemerintahan Tentara Jepang harus menunjuk seorang Somutyokan (Patih), pemerintah
saat itu tidak mempermasalahkan hal ini. Sejak saat itu, jabatan Patih Danurejo
dihapuskan.
·
MASA REVOLUSI NASIONAL
1. BERGABUNG DENGAN INDONESIA
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengirimkan telegram ucapan selamat
kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan
Indonesia. Pada tanggal 20 Agustus 1945, dikirimkan lagi telegram oleh
Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta,
menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan";
diikuti oleh Paku Alam VIII. Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai
kerajaan di Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia. Pada
tanggal 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai
daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Paku Alam VIII juga menyatakan
amanat setelahnya atas Kadipaten Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta.
Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat, ditandai dengan tibanya
Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah
pusat untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini
ditandatangani Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram
dari Yogyakarta tiba, menandakan bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian
Indonesia.
2. AWAL MASA REVOLUSI NASIONAL
Karena banyaknya jumlah laskar pemuda setelah kemerdekaan,
termasuk di Yogyakarta, Hamengkubuwana IX meminta para pemuda melapor kepadanya
di kantornya (Kepatihan) agar lebih mudah mengorganisasikan mereka. Ia kemudian
membentuk Laskar Rakyat Mataram, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tentara
Rakyat Mataram, gabungan dari laskar-laskar yang telah ada. Sri Sultan menjadi
panglimanya, sementara Selo Soemardjan menjadi kepala stafnya. Setelahnya,
Hamengkubuwana diterima menjadi perwira kehormatan senior Tentara Keamanan
Rakyat, menjadi anggota dewan tertinggi tentara bersama tiga penguasa Catur Sagotra
yang lain, serta menerima pangkat jenderal kehormatan pada bulan November 1945.
Bulan November 1945, saat Pertempuran Surabaya terjadi, Sri
Sultan melawat ke Surabaya. Ia bertemu dengan Gubernur Soerjo di Mojokerto
sebelum tiba di pinggiran Kota Surabaya. Sultan mengatakan kepada wartawan
bahwa pertempuran ini menunjukkan kekejaman Inggris serta kebijakan diplomasi
bukanlah hal yang tepat untuk kasus ini. Terdapat cerita terkenal dari
kunjungan ini, yaitu ketika Sultan mencapai daerah sekitar Madiun, ia dicegat
sekelompok warok yang menanyakan, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab,
"Saya Suyono," dan lolos.
3. YOGYAKARTA MENJADI IBU KOTA NEGARA
Pada tanggal 3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan ibu
kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pemindahan ini pada awalnya
merupakan tawaran Sri Sultan dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui kurir
ke Jakarta. Sore tanggal 4 Januari 1946, Soekarno, Mohammad Hatta, dan para
pejabat negara kala itu berangkat dengan perjalanan kereta luar biasa ke
Yogyakarta. Kedatangan mereka di Stasiun Tugu disambut oleh Sri Sultan.
Untuk kebutuhan pemerintahan RI, banyak gedung di Yogyakarta
dijadikan kantor-kantor pemerintah. Salah satunya adalah Gedung Agung menjadi
kantor presiden yang hingga saat ini masih menjadi Istana Presiden Indonesia.
Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Sultan Hamengkubuwana membantu pendanaan
operasional pemerintahan RI.
Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Hamengkubuwana memulai
beberapa reformasi. Ia menetapkan seluruh bisnis resmi dilakukan dengan bahasa
Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa. Ia memberikan sebagian keraton untuk
digunakan Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghibahkan lahan di Bulaksumur
yang menjadi kampus UGM saat ini. Ia dinilai berhasil mengantisipasi adanya
revolusi—seperti yang terjadi di Surakarta dan sebagian besar Sumatra—di
Yogyakarta yang dikhawatirkan akan melengserkan dirinya.
4. AWAL KARIER DI KABINET
Hamengkubuwana
IX ditunjuk menjadi Menteri Negara di Kabinet Sjahrir III, pertama kalinya ia
masuk ke dalam jajaran kabinet. Kala itu, ia ditugasi dalam urusan mengenai
daerah istimewa di Indonesia. Semasa menjabat jabatan tersebut, ia memberi
saran dan mencoba memecahkan masalah yang terjadi di daerah-daerah istimewa
yang lain. Ia mengunjungi Surakarta setelah terjadinya pergolakan antarpihak
pemerintahan di sana pada bulan Oktober 1946. Ia juga mengunjungi beberapa kota
di Sumatra pada bulan Maret 1946 untuk melihat keadaan pemimpin adat dan
keluarga mereka yang ditahan oleh revolusionis di sana. Bulan April 1947, ia
kembali lagi ke Sumatra mengunjung Pematang Siantar, Bukittinggi, dan Medan. Ia
mencoba menyelesaikan masalah revolusi sosial Sumatra, yang disebutkan Monfries
sebagai "usaha yang hampir mustahil". Dalam kunjungannya ke Pematang
Siantar, Hamengkubuwana sempat menegaskan bahwa Perundingan Linggarjati tidak
menjamin kemerdekaan sepenuhnya, menekankan bahwa perlu adanya kesatuan antara
tentara, pemerintah, dan masyarakat.
Pada tahun
1948, Hamengkubuwana IX ditunjuk menjadi Menteri Negara Koordinator Keamanan
dalam Kabinet Hatta I. Hatta pada awalnya menginginkannya menjadi Menteri
Pertahanan, tetapi ia menolak sehingga Hatta yang mengisi jabatan itu. Bulan
September 1948, terjadi Pemberontakan PKI di Madiun. Sri Sultan kemudian
berdiskusi dengan Soekarno dan mengutus Abdul Haris Nasution ke Madiun.
Nasution menganggap pemberontakan tersebut harus cepat ditumpaskan, ia khawatir
komandan-komandan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan bergabung dengan
pemberontak. Pada pertemuan kabinet setelahnya, Soedirman diberikan kuasa
"untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi menjaga negara".
Soedirman menempatkan Nasution dalam komando strategis operasi itu.
Hamengkubuwana IX membuat siaran agar rakyat mendukung Soekarno dan
pemerintahan Hatta, menegaskan bahwa pemerintahan ini dibentuk untuk membangun
negara dan pihak komunis hanya ingin menghancurkannya. Hamengkubuwana, Gubernur
Soerjo, dan Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur lantas pergi ke Madiun.
Hamengkubuwana IX jauh di depan meninggalkan mobil Gubernur Soerjo dan Kepala
Kepolisian yang kemudian diketahui terbunuh di Walikukun. Hamengkubuwana IX
mengatakan bahwa ia dilaporkan hal tersebut oleh seorang kurir setengah jam
setelah melewati daerah tersebut, kontras dengan klaim Nasution yang
menyebutkan bahwa pembunuhan tersebut baru diketahui olehnya dua hari setelah
jasad mereka ditemukan.
Dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, Hamengkubuwana IX
mengusulkan bentuk pemerintahan baru di Surakarta. Ia secara terbuka menyamakan
Surakarta sebagai 'Barat yang Liar' (The Wild West). Ia melapor kepada Hatta
bahwa pendekatan terbaik untuk menyelesaikan masalah di sana adalah dengan
menggunakan organ administratif yang masih layak dengan tetap memasukkan para
pangeran agar kalangan monarki tidak menjadi "kekuatan
antirevolusioner". Ia mengusulkan Daerah Istimewa Surakarta dengan
identitasnya sendiri tetapi dipandu undang-undang yang diberlakukan di Jawa
Tengah. Struktur pemerintahan yang ada adalah daerah tersebut akan dipimpin
seorang gubernur yang dipilih Presiden; dibantu tujuh orang dewan pemerintahan:
lima orang dipilih badan legislatif daerah, satu dipilih Sunan Surakarta, dan
satu dipilih Adipati Mangkunegara; dan juga dibantu oleh Dewan Penasihat yang
terdiri atas Sunan dan Adipati. Keputusan ini dianggap lumayan memuaskan
Republiken yang antifeodal tanpa menghilangkan pengaruh monarki demi menarik
sentimen lokal karena penggabungan Surakarta ke Jawa Tengah yang belum begitu
umum bagi rakyat Surakarta.
5. AGRESI MILITER II
Pada tanggal
19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi militernya. Aksi militer
ini diawali dengan penyerbuan Lapangan Terbang Maguwo. Tentara Belanda mulai
menyebar ke Yogyakarta dan mengepung kota. Soekarno segera melaksanakan sidang
kabinet darurat. Sebelum sidang dimulai, Soekarno memberi tahu Sultan
Hamengkubuwana IX bahwa ia tetap akan keluar kota untuk menghindari penangkapan
Belanda. Perdana Menteri Mohammad Hatta sedang berada di Kaliurang untuk
bertemu dengan Komisi Tiga Negara; karena tak kunjung datang di Gedung Agung,
Sultan diminta Soekarno untuk menjemputnya. Sultan ditemani dengan Sjahrir
berangkat ke Kaliurang, singgah sebentar di Kepatihan untuk memerintahkan
persiapan pengungsian sementara bagi pemimpin pemerintahan di Gunungkidul, dan
di tengah perjalanan menjumpai Hatta yang telah berjalan kembali ke kota.
Mereka kembali ke Yogyakarta; ketika tiba di Gedung Agung, sidang telah selesai
diputuskan. Soekarno memutuskan untuk tidak jadi keluar kota, membiarkan
dirinya ditangkap oleh Belanda, dan memberikan kekuasaan kepada Syafruddin
Prawiranegara di Bukittinggi. Syafruddin diberitahukan keputusan ini melalui
siaran radio, tetapi ia tak mengetahuinya. Meskipun demikian, Syafruddin telah
berinisiasi membentuk pemerintahan serupa di sana, sehingga keputusan ini telah
dilaksanakan meskipun tanpa konsultasi dengan pemerintah pusat.
6. PENGEPUNGAN YOGYAKARTA
Siang hari tanggal 19 Desember 1948, Tentara Belanda telah
sampai di tengah kota Yogya. Sultan Hamengkubuwana IX memerintahkan untuk
menutup seluruh gerbang keraton agar tidak ada mata-mata Belanda yang masuk. Ia
tidak menerima tamu kecuali rakyat yang telah mengungsi di keraton sebelum
perintah penutupan gerbang dikeluarkan. Sultan sempat bertemu dengan Kolonel
van Langen dan Westerhof, seorang pejabat Belanda, yang menunjukkannya sebuah
peta Yogyakarta yang telah diberi tanda-tanda tertentu. Peta tersebut memiliki
arti bahwa Sultan bebas bergerak tetapi hanya di dalam area keraton. Satu demi
satu pemimpin negara diasingkan. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diberangkatkan
ke Berastagi, sebelum kemudian disatukan kembali bersama Hatta, Mohamad Roem,
Ali Sastroamidjojo, dan Assaat di Bangka Beberapa pemimpin negara yang selamat
dapat meloloskan diri ke luar kota maupun hidup dalam penyamaran.
Bulan Januari 1949, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku
Alam VIII mengundurkan diri dari jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar urusan keamanan diserahkan kepada
tentara Belanda. Selain itu, karena tidak lagi mengemban tanggung jawab
pemerintah daerah, mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk bekerja sama
dengan Belanda, membuktikan bahwa rumor mereka bekerja sama dengan Belanda
adalah salah. Belanda yang menyadari masih kuatnya pengaruh Sultan terhadap
rakyatnya berusaha untuk merangkulnya. Letnan Gubernur Jenderal van Mook
kemudian digantikan oleh Komisaris Tinggi Beel. Utusan-utusan Belanda dari
kalangan bangsa Indonesia seperti Hussein Jayadiningrat dan Sultan Hamid II,
juga pejabat-pejabat Belanda seperti Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan
Kolonel van Langen yang satu persatu datang ke keraton, semuanya ditolak. Pada
masa itu, Menteri Koloni Maan Sassen merencanakan sebuah negara bagian
Indonesia yang baru di Jawa Tengah yang mungkin akan dipimpin oleh Sultan.
Sultan dibujuk dengan tawaran daerah kekuasaan di Kedu dan
Banyumas, tambahan wilayah di Jawa Timur, kemudian seluruh Jawa dan Madura
sebagai "Super Wali Negara", dan bahkan sebagai Deputi (Wakil)
Gubernur Jenderal Hindia Timur. Tak hanya itu, Sultan juga ditawari saham perusahaan
kereta api hingga sejumlah besar uang. Meskipun demikian, utusan-utusan
tersebut hanya dapat bertemu saudara Sultan seperti Prabuningrat, Mudaningrat,
dan Bintoro dengan alasan bahwa ia sedang sakit. Mereka menerima utusan-utusan
tersebut tetapi tidak memberikan jawaban atau balasan atas tawaran yang ada.
Tak peduli dengan itu, Kabinet Belanda masih tetap berharap Hamengkubuwana akan
memihak kepada mereka.
7. SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Karena kondisi perang yang berkepanjangan, Sultan Hamengkubuwana
IX memandang rakyatnya makin menderita dan melihat semangat para pejuang makin
memudar. Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi atas Indonesia pada tanggal 28
Januari 1949. Sultan mengetahui bahwa pada awal bulan Maret, sebuah rapat Dewan
Keamanan PBB mengenai Indonesia akan diadakan kembali. Ia mengambil kesempatan
ini dengan mengusulkan kepada Soedirman sebuah serangan agar dunia tahu bahwa
Republik Indonesia masih ada. Soedirman menyetujuinya dan menyarankan Sultan
berbicara dengan komandan setempat, Letkol Soeharto. Pada tanggal 14 Februari
1949, Letkol Soeharto bertemu dengan Sultan. Ia menyamar sebagai seorang abdi
dalem. Pertemuan yang membahas rencana Serangan Umum 1 Maret ini, diadakan di
tempat tinggal Prabuningrat, kakak Sultan.
Pada tanggal 22 Februari 1949, kompleks Kepatihan, kantor
Sultan, dijarah oleh tentara Belanda. Mereka membawa beberapa dokumen, termasuk
naskah tesis Sultan yang belum sempat dikumpulkan, dan menemukan beberapa
instruksi rahasia. Oleh karenanya, para pejabat Belanda mulai tidak sabar.
Mereka mulai berencana menggulingkan Sultan. Menteri Luar Negeri Belanda van
Maarseveen setuju bahwa Komisaris Tinggi Beel dapat "menduduki keraton dan
mengganti Sultan" jika situasinya memburuk. Beberapa sumber mencatat bahwa
beberapa anggota keluarga Sultan sempat terbujuk, tetapi tidak berlangsung
lama.
Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul enam pagi, ditandai dengan
bunyi sirene berakhirnya jam malam yang ditetapkan Belanda, pasukan Indonesia
menyerang Yogyakarta secara serentak. Setelah serangan berlangsung selama enam
jam, pasukan berhasil menduduki tempat-tempat yang telah direncanakan, kemudian
dikomando untuk menarik diri dan kembali ke pangkalan masing-masing. Ketika
bala bantuan Belanda datang dari Magelang, para pejuang sudah menarik diri.
Sore harinya, Kolonel van Langen dan Residen Stok datang, menuduh bahwa ada
tembakan dari dalam keraton selama Serangan Umum. Mereka juga memberi tahu
bahwa Jenderal Meijer, Komandan Umum Jawa Tengah, akan datang menemui Sultan.
Keesokan harinya, 2 Maret 1949, Jenderal Meijer datang.
Sultan ditemani Prabuningrat menerima mereka dengan pakaian sederhana, untuk
menunjukkan keterpaksaannya, hingga taraf sesuatu yang tidak sopan untuk
menerima tamu dalam adat Jawa. Di sini Sultan sempat berkata, "Saya tidak
meminta Tuan-Tuan datang ke Yogya," yang dimaksudkan kepada seluruh tamu
yang datang. Selain itu, Sultan bahkan telah menyiapkan satu tas penuh pakaian,
karena menduga akan ditangkap, dan akan turun takhta apabila berbagai provokasi
Belanda makin menjadi-jadi. Namun, Sultan meminta agar ia "ditinggalkan
dalam kedamaian" dan bila Belanda akan mengacak-acak keraton, "Lebih
baik saya mati dulu!" Rombongan tersebut akhirnya meninggalkan keraton
dengan tenang dan sopan.
8. PENYERAHAN KEDAULATAN INDONESIA
Pada tanggal 3 Maret 1949, Majelis Permusyawaratan Federal
(BFO) mengeluarkan resolusi yang menyerukan pemulangan pemimpin-pemimpin
Republik dari pengasingan. Pada tanggal 23 Maret, Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan Resolusi Kanada, yang dinilai berkekuatan lemah, tetapi memperkuat
resolusi bulan Januari. Perundingan Roem-Roijen dimulai pada pertengahan April
1949; mencapai kesepakatan Persetujuan Roem-Roijen yang ditandatangani pada
tanggal 7 Mei 1949. Hamengkubuwana IX membuka kembali kantor-kantor Kesultanan
pada pertengahan bulan Mei. Tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta dimulai
dari Bantul tanggal 24 Juni, dari Kota Yogyakarta tanggal 29 Juni, hingga dari
DIY sepenuhnya pada tanggal 30 Juni 1949; kekuasaan atas Yogyakarta
dikembalikan kepada Hamengkubuwana IX. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiba di Yogyakarta dari Bangka.
Syafruddin Prawiranegara mengembalikan kekuasaan dari PDRI kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada tanggal 24 Juli 1949, dibentuk susunan delegasi
Konferensi Meja Bundar. Persetujuan mengenai penyerahan kedaulatan Indonesia
ditandatangani di Den Haag pada tanggal 2 November 1949. Di Amsterdam,
dilakukan upacara penyerahan kedaulatan di Istana Dam oleh Ratu Juliana dengan
Moh. Hatta. Di Jakarta, upacara serupa dilakukan di Istana Koningsplein oleh
A.H.J. Lovink dengan Hamengkubuwana IX. Upacara dilanjutkan dengan penurunan
Bendera Belanda dan penaikan Bendera Indonesia di Istana Koningsplein. Karena
teriakan "merdeka" yang bersahutan di sana, Istana Koningsplein atau
Istana Gambir kemudian mulai disebut sebagai Istana Merdeka.
·
PASCA REVOLUSI NASIONAL
Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada
kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah
ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai Wakil
Presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih
kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang
mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai
Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada
KKN.
·
KEPRAMUKAAN
Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam
organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX
telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika
berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah,
Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat
itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan
organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.
Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk
Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan
Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri
Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan
Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan
Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20
Mei 1961.
Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai
Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile,
juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan
Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua
Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).
Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir
Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa
bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi
Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas
terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen.
Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).
Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun
Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”,
mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia
bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the
Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan
tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM)
kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan. Atas jasa
tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang
berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor
Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka
Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88
tentang Bapak Pramuka.
·
MANGKAT
Sultan Hamengkubuwana IX bersama KRA Nindyakirana berkunjung
ke Washington, D.C. pada tanggal 27 September 1988. Di sana, Sultan bersama KRA
Nindyakirana menginap di Hotel Embassy Row, tepat di depan KBRI Washington.
Pada tanggal 28 September, Sultan menjalankan pemeriksaan kesehatan di Rumah
Sakit Walter Reed. Ia juga menjadwalkan pemeriksaan kesehatan mata di Boston
pada tanggal 3 Oktober. Sore hari Minggu, 2 Oktober 1988 waktu setempat, Sri
Sultan diketahui muntah-muntah di hotel tempatnya menginap. 15 menit kemudian
ambulans datang; Sultan dilarikan ke unit gawat darurat George Washington
University Hospital. Tidak ada pengantar yang dapat masuk ke tempat perawatan
gawat darurat Sultan. Pada pukul 20.05 waktu setempat, tim dokter menyatakan
Hamengkubuwana IX telah meninggal dunia.
Kabar meninggalnya Hamengkubuwana IX disampaikan oleh
Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada Presiden Soeharto pukul 07.00 WIB di
kediaman Presiden di Jalan Cendana. Presiden Soeharto memutuskan untuk
melakukan upacara pemakaman kenegaraan dan menetapkan masa berkabung selama
seminggu. Beberapa saat kemudian, datang Duta Besar Amerika Serikat Paul
Wolfowitz menyampaikan surat belasungkawa Presiden Ronald Reagan. Ia juga
menyampaikan bahwa AS telah menyiapkan pesawat Air Force Two untuk menerbangkan
jenazah Sultan hingga ke Jakarta. Soeharto berterima kasih atas bantuan AS,
tetapi ia ingin pesawat Indonesia yang menjemput jenazah Sultan. Pada akhirnya
disepakati Air Force Two akan terbang dari Pangkalan Udara Bersama Andrew,
Maryland ke Pangkalan Udara Hickam, Honolulu. Pesawat Garuda Indonesia DC-10
kemudian membawa jenazah dari Honolulu ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Kamis, 6 Oktober 1988, jenazah telah sampai di Jakarta.
Dilakukan upacara penerimaan dengan inspektur upacara Jenderal Benny Moerdani.
Setelah disemayamkan sebentar di Kantor Perwakilan DIY di Jakarta, jenazah
dilepas oleh Wakil Presiden Soedharmono dan diterbangkan ke Bandara Adisutjipto
dengan pesawat Hercules milik TNI AU.
1. PEMAKAMAN
Jumat, 7 Oktober 1988, jenazah Sultan telah sampai di
Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pada pukul 10.30 WIB, dilaksanakan pernikahan massal empat putra
Sultan yang sebenarnya akan dilaksanakan tanggal 5 November. Pangeran
Pakuningrat, Cakraningrat, Candraningrat, dan Yudhaningrat dinikahkan oleh
Penghulu Keraton di depan peti jenazah Sultan. Keraton dibuka sejak pukul 14.00
hingga pukul 06.00 keesokan harinya dan langsung diramaikan oleh masyarakat
yang berkumpul untuk menyaksikan.
Prosesi pemakaman Hamengkubuwana IX dimulai pada Sabtu, 8
Oktober 1988. Jenazah dilepas dari gerbang Magangan oleh Presiden Soeharto,
Pangeran Purubojo (kakak Sultan), dan Pangeran Mangkubumi (putra sulung
Sultan). Iring-iringan pembawa jenazah dipimpin oleh Pangeran Yudhaningrat. Di
belakang kereta pembawa jenazah, kuda kesayangan Sultan dibiarkan berjalan
tanpa penunggang mengikuti iring-iringan. Sesuai dengan tradisi, kereta Kyai
Rata Pralaya yang membawa jenazah Sultan Hamengkubuwana dilewatkan di antara
dua beringin kembar di Alun-Alun Selatan lalu di bawah Gerbang Nirbaya keluar
dari kompleks keraton.
Pada pukul 15.00, iring-iringan tiba di Astana Imogiri,
pemakaman kerajaan Wangsa Mataram. Jenazah disalatkan di Masjid Pajimatan
sebelum dibawa dan dimakamkan di Astana Saptorenggo, tempat makam Sultan yang
telah disiapkan sebelumnya. Pemakaman Sultan dihadiri oleh Ketua BPK Jenderal
M. Jusuf; Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut;
Kapolri; serta Duta Besar AS Paul Wolfowitz dan Duta Besar Australia Bill
Morrisson.
·
PENINGGALAN
1. SENI DAN BUDAYA
Meskipun sibuk di bidang pemerintahan, Hamengkubuwana IX
juga peduli akan seni dan budaya di Yogyakarta. Ia mewariskan Tari Golek Menak
yang terinspirasi dari cerita wayang golek dan Serat Menak yang bersumber
kepada Hikayat Amir Hamzah. Ia juga mewariskan Tari Bedhaya Sapta yang
dimainkan oleh tujuh orang, tidak seperti Tari Bedhaya pada umumnya yang
dimainkan sembilan orang. Selain itu, ada pula Tari Bedhaya Sangaskara[m] atau
Bedhaya Manten yang dimainkan enam orang pada saat pernikahan
putra-putrinya.[169] Tari Bedhaya Arya Penangsang dan Bedhaya Damarwulan juga
diciptakan olehnya.
Selain menekuni bidang tari, Sultan juga menekuni bidang
fotografi. Ada dua kamera yang senantiasa dipakainya yang kini disimpan di
Museum Hamengkubuwana IX, Keraton Yogyakarta. Beberapa hasil potret
Hamengkubuwana IX adalah ketika Mohammad Hatta bersalaman dengan pemain sepak
bola asal Mozambik pada tahun 1955. Pada tahun yang sama, ia juga sempat
memotret atlet kejuaraan atletik Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di Stadion
Ikada, Jakarta. Pada tahun 1972, ia juga sempat memotret Candi Borobudur
sebelum dipugar.
·
KEHIDUPAN PRIBADI
1. SILSILAH
Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan
permaisuri Raden Ajeng Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom
Hamengkunegara/Kanjeng Ratu Alit.
2. ISTRI, ANAK, MANTU
No |
Istri |
Anak |
Mantu |
1. |
BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo,
buyut HB VI (1940) |
BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH
Hadikusuma |
Dr. Sri Hardani |
BRM Kaswara/GBPH Hadisurya |
Andinidevi |
||
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom |
Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata |
||
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma |
KRT Murdakusuma |
||
BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmakusuma |
KRT Ir Suyono Darmakusuma |
||
2. |
RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA
Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III
(1943) |
BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi,
SH/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X |
Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA
Mangkubumi/GKR Hemas |
BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo |
Hj. Nuraida |
||
BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto |
Aryuni Utari |
||
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma |
KRT Riyakusuma |
||
3. |
KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden
Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948) |
BRM Harumanta/GBPH Prabukusuma, S.Psi |
Roswarini Sri Yuniarsih |
BRM Kuslardiyanta |
Jeng Yeni |
||
BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM. |
Raden Roro Endang Hermaningrum |
||
BRM Abirama/GBPH Candradiningrat |
Hery Iswanti |
||
BRA Kushandanari |
|
||
BRA Sri
Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo |
KRT Padmokusumo Sastronegoro |
||
4. |
KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA
Brongtodiningrat, cucu HB VII |
BRM Anindita/GBPH Pakuningrat |
Nurita Afridiana |
BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat |
Lakhsmi Indra Suharjana |
||
BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat |
Farida Indah |
||
BRM Sarsana/GBPH Suryomataram |
|
||
BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro |
Iceu Cahyani |
||
BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro |
Rr. Endang Retno Werid Soelasmi Lim |
||
5. |
Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri
Handaru Widharna (1977) |
|
|
·
PENGHARGAAN
Atas jasa-jasanya kepada Republik Indonesia, Sri Sultan
Hamengkubuwana IX dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 1990
berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53/TK/Tahun
1990.[2]
1. TANDA KEHORMATAN
Hamengkubuwana IX juga dianugerahi berbagai tanda kehormatan
dari dalam maupun luar negeri. Tanda kehormatan tersebut di antaranya:
v INDONESIA
Bintang Republik
Indonesia Adipradana: 20 Mei 1967 |
Bintang Mahaputera Adipurna: 20
Mei 1967 |
Bintang Mahaputera
Adipradana: 15 Februari 1961 |
Bintang Gerilya: 1959 |
Bintang Bhayangkara
Pratama: 30 Juni 1962 |
Bintang Sewindu Angkatan Perang
Republik Indonesia |
Satyalancana Peringatan
Kemerdekaa |
Satyalancana Kesetiaan |
Satyalancana Perang
Kemerdekaan II |
Satyalancana Perang Kemerdekaan II |
v LUAR NEGERI
Malaysia |
Seri Setia Mahkota (S.S.M. (K)) –
Tun (1972) |
Jerman |
Salib Agung Orde Jasa Republik
Federal Jerman |
Belanda |
Kesatria Salib Agung Orde Singa
Belanda |
Panglima Orde Oranye-Nassau |
|
Thailand |
Kesatria Salib Agung (Kelas
Pertama) Orde Gajah Putih |
Jepang |
Kordon Agung Orde Matahari Terbit
(1982) |
Britania Raya |
Honorary Knight Grand Cross of The
Most Distinguished Order of St Michael and St George (GCMG; 1974) |
·
GALERI
10 . SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X
Hamengkubuwana X ꦯꦿꦶꦯꦸꦭ꧀ꦡꦟ꧀ꦲꦩꦼꦁꦑꦸꦨꦮꦟ꧇꧑꧐꧇ |
Sri Sultan Hamengkubuwana X |
Sultan Yogyakarta ke-10
|
Mulai menjabat 7 Maret 1989 Penobatan: 1989,
34 tahun lalu Pendahulu: Hamengkubuwana
IX Pewaris jelas:
GKR Mangkubumi (Putri Mahkota) |
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-3
|
Presiden: B.J.
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono,
Joko Widodo Wakil: Paku
Alam IX (2003–2015) dan Paku Alam X (2016–sekarang) Pendahulu: Paku
Alam VIII |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap:
Bendara Raden Mas Herjuno Darpito Lahir: 2
April 1946 (umur 76), Indonesia Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia Kebangsaan:
Indonesia Wangsa : Mataram |
Naik
Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Sedasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ayah: Hamengkubuwana
IX Ibu: KRAy.
Windyaningrum Permaisuri: Gusti
Kanjeng Ratu Hemas Anak: GRA Nurmalita
Sari/GKR Pembayun/GKR Mangkubumi GRA
Nurmagupita/GKR Condrokirono GRA
Nurkamnari Dewi/GKR Maduretno GRA Nurabra
Juwita/GKR Hayu GRA Nurastuti
Wijareni/GKR Bendara Agama: Islam Pekerjaan: Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta Pendidikan: Universitas
Gadjah Mada |
Tanda Tangan: |
|
|
|
Sri Sultan Hamengkubawana X, (sering disingkat HB X;
(Hanacaraka): ꦯꦿꦶꦯꦸꦭ꧀ꦡꦟ꧀ꦲꦩꦼꦁꦑꦸꦨꦮꦟ꧇꧑꧐꧇; lahir 2 April 1946) yang lahir
dengan nama Bendara Raden Mas Herjuno Darpito adalah raja Kasultanan Yogyakarta
yang bertakhta sejak tahun 1989. Saat ini, ia juga menjabat sebagai Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta ketiga yang menjabat sejak 3 Oktober 1998.
·
SILSILAH
1.
Anak laki-laki tertua dari Sultan Hamengkubuwana
IX dari istri keduanya:
RA Siti Kustina (BRA Widyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy
Adipati Anum)
2.
Menikah dengan :
Tatiek Drajad Suprihastuti (BRA Mangkubumi/GKR Hemas; putri
dari Kolonel Raden Subanadigda Sastrapranata, pada tahun 1968).
3.
Memiliki saudara antara lain :
§
GBPH Joyokusumo
§
GBPH Hadiwinoto
§
GBPH Prabukusuma
§
GBPH Yudhaningrat
4.
Memiliki lima orang putri :
§
GRA Nurmalita Sari (GKR Pembayun/GKR Mangkubumi)
(menikah dengan KPH Wironegoro)
§
GRA Nurmagupita (GKR Condrokirono)
(menikah dan bercerai dengan [KRT] Suryokusumo)
§
GRA Nurkamnari Dewi (GKR Maduretno)
(menikah dengan KPH Purbodiningrat)
§
GRA Nurabra Juwita (GKR Hayu)
(menikah dengan KPH Notonegoro)
§
GRA Nurastuti Wijareni (GKR Bendoro)
(menikah dengan KPH Yudanegara)
·
MASA KECIL
Hamengkubuwana X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito.
Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra
mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing
Mataram.
Hamengkubuwana X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum
Jurusan Ketatanegaraan di Universitas Gajah Mada pada 1983. Hamengkubuwana X
juga sempat memimpin Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (KAGAMA).
1. RIWAYAT PENDIDIKAN
§
SD Keputran I Yogyakarta (1959–1960)
§
SMP Negeri 3 Yogyakarta (1962–1963)
§
SMA Negeri 6 Yogyakarta (1965–1966)
§
Universitas Gadjah Mada (Fakultas Hukum, Jurusan
Ketatanegaraan; 1982)
·
PENOBATAN
Penobatan Hamengkubuwana X sebagai raja Yogyakarta
dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar
resmi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat”.
Papan pengumuman mengumumkan penobatan Hamengkubuwana X
tanggal 7 Maret 1989 sebagai raja Kasultanan Yogyakarta yang baru.
Setelah Sabdaraja pertama yang diucapkan pada tanggal 30
April 2015, gelarnya Sultan kemudian berubah menjadi “Ngarsa Dalem Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh
Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng
ing Tata Panatagama”.
Penobatan Bendara Raden Mas (BRM) Herjuna Darpita sebagai
Raja Kesultanan Yogyakarta dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta merupakan yang
pertama kali di dalam sejarah Republik Indonesia, setelah semua pendahulunya
dinobatkan dibawah pemerintahan VOC maupun Hindia Belanda.
·
KEGIATAN ORGANISASI
Hamengkubuwana X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah
memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD
Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa
konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat
sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 2010, bersama
dengan Surya Paloh, Hamengkubuwana X mencetuskan pendirian Nasional Demokrat.
·
MENJADI GUBENUR YOGYAKARTA
Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa
perdebatan, pada 1998 ia ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwana X tidak
didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 ia ditetapkan lagi, setelah terjadi
beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa
jabatan 2003-2008. Kali ini ia didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.
Sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, ia tidak
menguber penghargaan dan piagam pengakuan. Menurutnya, peradaban kota
memerlukan sentuhan kasih dan hati nurani.
"Kota kita tidak
memerlukan kata pujian yang berlebihan. Dia hanya perlu sentuhan kasih dari
hati nurani kita." (Kutipan dari Monumen Tapak Prestasi, Yogyakarta)
·
MENJADI JOGJA MENJADI INDONESIA
"Sudah
semestinya keistimewaan Jogja adalah untuk Indonesia. Bahwa menjadi Jogja,
adalah menjadi Indonesia."
Kalimat tersebut disampaikan dengan penuh penekanan oleh
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwana X dalam pembukaan
Festival Kesenian Yogyakarta ke-29 di depan Gerbang Kantor Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta Kepatihan, Yogyakarta.
"Menjadi Jogja,
menjadi Indonesia."
Kalimat tersebut dimaknai bahwa karakter Jogja akan selalu
menguatkan Indonesia. Mahasiswa, seniman, akademisi, wisatawan, dan terutama
masyarakat Jogja diharapkan terus membawa nilai-nilai ke-Jogja-an ke berbagai
titik di Indonesia. Nilai-nilai tersebut antara lain:
1.
'Hamemayu Hayuning Bawono', yang menciptakan
kenyamanan.
2.
'Manunggaling kawula Gusti', yang mengajarkan
ketauladanan.
3.
'Golong gilig', yang mencerminkan gotong royong.
4.
'Watak Satriya: Sawiji, Greget, Sengguh Ora
Mingkuh', yang dimaknai sebagai jati diri yang kuat, tetapi tetap terbuka.
·
GEMPA YOGYAKARTA
Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi
yang terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 skala richter atau 6,3
magnitudo yang menewaskan lebih dari 6.000 orang dan melukai puluhan ribu orang
lainnya.
·
KIPRAH NASIONAL
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran
Keraton pada 7 April 2007, Hamengkubuwana X menegaskan tekadnya untuk mulai
berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya
untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
·
GELAR DAN TANDA KEHORMATAN
Pada 27 Desember 2011, ia menerima gelar doktor kehormatan
(doctor honoris causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Gelar
tersebut karena kiprahnya dalam seni dan budaya, terutama seni pertunjukan
tradisi dan kontemporer sejak 1989.
1. TANDA KEHORMATAN DALAM NEGERI
Indonesia |
Bintang Mahaputera Utama - 2007 |
2. TANDA KEHORMATAN LUAR NEGERI
Jepang |
Order of the Rising Sun, Gold and Silver Star 28 Juni 2022 |
·
PENERUS
Sultan Hamengkubuwana X menghadapi persoalan terkait
penerusnya karena tidak memiliki putra dan hanya memiliki putri bernama.
Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian
Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan Hamengkubuwana X secara
mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama pada 6 Maret 2015. Dalam UU No. 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan
bahwa salah satu syarat menjadi gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
"menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat
pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;" yang dianggap
hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat Sultan
selanjutnya.
1. SABDA RAJA DAN DHAWUH RAJA
Pada akhirnya, Hamengkubuwana X memutuskan mengeluarkan
Sabdaraja yang diucapkan pada tanggal 30 April 2015 dan Dhawuhraja pada tanggal
5 Mei 2015. Sabdaraja tersebut menghasilkan keputusan mengenai pengubahan nama
gelarnya menjadi Hamengkubawana, sedangkan Dhawuhraja menghasilkan keputusan mengangkat
GKR Pembayun sebagai GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng ing
Mataram. Namun kemudian, pada tanggal 3 Juli 2015 Sultan menarik kembali
Sabdaraja tersebut dan mencabut permohonan penggantian gelarnya di Pengadilan
Negeri Yogyakarta, sehingga kini nama gelarnya kembali menjadi seperti semula.
·
GALERI
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar