Mengenai Saya

Foto saya
Hi, Nama Saya Sandra Bagus Nugroho saya pemilik Blog History Of World Empire

Senin, 03 April 2023

DAFTAR SULTAN KERATON KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADINIGRAT

 

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Jawa: ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀, translit. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Pegon: كسلطانن ڠايوڮياكارتا هادنڠرت) adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940.

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan pecahan Kerajaan Mataram Islam yang lahir sebagai hasil Perjanjian Giyanti. Perjajian yang ditandatangani pada 1755 tersebut membagi Mataram Islam menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kesultanan Ngayogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi dan Kasunanan Surakarta untuk Pakubuwono III.

Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai penguasa pertama Kesultanan Ngayogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sejak itu, gelar penguasa Keraton Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengkubuwono, yang berkedudukan di Jalan Rotowijayan Blok No. 1, Panembahan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta.

A.   DAFTAR RAJA KERATON KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADINIGRAT

NAMA

JANGKA HIDUP

AWAL PEMERINTAHAN

AKHIR PEMERINTAHAN

KELUARGA

GAMBAR

SULTAN HAMENGKU BUWONO I

 

1. Pangeran Mangkubumi

 

2. Bendoro Raden Mas Sujono

3.Susuhunan Kabanaran

6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792

1755

1792

a.       Amangkurat IV : Ayah

 

b.       Mas Ayu Tejawati : Ibu


SULTAN HAMENGKU BUWONO II

 

1. Sultan Sepuh

 

2. Raden Mas Sundoro

7 Maret 1750 – 3 Januari 1828

2 April 1792

3 Januari 1828

a. Sultan Hamengku Buwono I : Ayah

 

b. Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR Kadipaten : Ibu



SULTAN HAMENGKU BUWONO III

 

1. Gusti Raden Mas Surojo

 

20 Februari 1769 – 3 November 1814

Desember 1810

3 November 1814

a. Sultan Hamengku Buwono II: Ayah

 

b. Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton : Ibu



SULTAN HAMENGKU BUWONO IV

 

Gusti Raden Mas Ibnu Jarot

 

 

3 April 1804 – 6 Desember 1823

9 November 1814

6 Desember 1823

a. Sultan Hamengku Buwono III : Ayah

 

b. Gusti Kanjeng Ratu Kencana (GKR Hageng) : Ibu



SULTAN HAMENGKU BUWONO V

 

Gusti Raden Mas Gathot Menol

24 Januari 1820 – 5 Juni 1855

19 Desember 1823

5 Juni 1855

a. Sultan Hamengku Buwono IV : Ayah

 

b. Gusti Kangjeng Ratu Kencono : Ibu



SULTAN HAMENGKU BUWONO VI

 

1. Sinuhun Mangkubumi

 

2. Gusti Raden Mas Mustojo

10 Agustus 1821 - 20 Juli 1877

5 Juli 1855

20 Juli 1877

a. Sultan Hamengku Buwono IV : Ayah

 

b. Gusti Kangjeng Ratu Kencono : Ibu



SULTAN HAMENGKU BUWONO VII

 

1. Sultan Ngabehi (Sultan Sugih)

 

2. Gusti Raden Mas Murtejo

4 Februari 1839 – 30 Desember 1931

13 Agustus 1877

30 Desember 1931

a. Sultan Hamengku Buwono VI : Ayah

 

b. Gusti Kanjeng Ratu Sultan
(Permaisuri kedua)

 



SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII

 

Gusti Raden Mas Sujadi

 

3 Maret 1880- 22 Oktober 1939

8 Februari 1921

 

 

22 Oktober 1939

a. Sultan Hamengku Buwono VII : Ayah

 

b. Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Permaisuri kedua) : Ibu



SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

 

1. Gusti Raden Mas Dorodjatun

 

2. Bapak Pramuka Indonesia.

12 April 1912 – 2 Oktober 1988

18 Maret 1940

2 Oktober 1988

 

a. Sultan Hamengku Buwono VIII : Ayah

 

b. Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah)



SULTAN HAMENGKU BUWONO X

 

Bendara Raden Mas Herjuno Darpito 

 

2 April 1946- Sekarang

7 Maret 1989-

Sekarang

a. Sultan Hamengku Buwono IX : Ayah

 

b. KRAy. Windyaningrum



1.  SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO I

Sri Sultan Hamengku Buwono I

꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇

 

Susuhunan Kabanaran

Sri Sultan Hamengkubuwana I

Sultan Keraton Kasultanan Yogyakarta ke-1

Bertakhta : 13 Februari 1755 - 24 Maret 1792

Penobatan : 13 Maret 1755

Penerus : Hamengkubuwana II

Informasi Pribadi

Kelahiran Raden Mas Sujana

4 Agustus 1717 (Rabu Pon, 26 Ruwah Wawu 1641)

Kesultanan Mataram Kartasura, Mataram

Kematian 24 Maret 1792 (umur 74)

Karaton Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat

Pemakaman Astana Kasuwargan, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa Mataram

Gelar Naik Tahta/Jumeneng Nata :

Ngarso Dalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Nama Anumerta :

- Sunan Kabanaran

- Pangeran Mangkubumi

Ayah : Amangkurat IV

Ibu : Mas Ayu Tejawati

Permaisuri : Gusti Kanjeng Ratu Kencana & Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten

Agama : Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana I (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧇, 6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792

·        ASAL USUL

Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV susuhunan Mataram kedelapan, yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.

Pada tahun 1742 Keraton Kartasura diserbu kelompok pemberontak. Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukawati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukawati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Sambernyawa pada tahun 1746, tetapi ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut PB II supaya membatalkan perjanjian sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Raden Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

·        PERLAWANAN

Perang antara Mangkubumi dan Sambernyawa melawan kedudukan Pakubuwana II yang disebut para sejarawan disebut sebagai Perang Takhta Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan Mataram kepada VOC untuk melindungi segenap keluarganya pada tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai susuhunan bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di basis pertahanannya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II yang bernama Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Raden Mas Suryadi disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kabanaran, karena bermarkas di desa Banaran di daerah Sukawati (sekarang Sragen).

Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.

·        PERSELISIHAN

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Sambernyawa terjadi perselisihan. Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.

Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Sambernyawa akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua 10.000 real untuk Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwana III.

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah Mataram yang dikuasai Pakubuwana III dibagi menjadi dua. Mangkubumi mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwana III dan VOC menjadi persekutuan untuk menghancurkan pemberontakan kelompok Pangeran Sambernyawa.

Bersekutunya Mangkubumi dengan Pakubuwana III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

·        PERJUANGAN ATAS BUMI MATARAM

Era tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.

Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu -Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. Akan tetapi, akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.

Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.

Di sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III. Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.

Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.

Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.

Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

·        MENDIRIKAN KERATON KASULTANAN YOGYAKARTA HADINIGRAT

Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III sebagai susuhunan tetap melanjutkan pemerintahan di Surakarta, sedangkan Mangkubumi bergelar Hamengkubuwana I menjadi sultan di Yogyakarta. Kemudian, Mangkubumi resmi menjadi sultan namun ia belum mendirikan keraton untuk tempat pememerintahnya. Untuk mendirikan keraton Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya. Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ayogya sebuah dalem yang bernama Dalem Garjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya. Oleh karena itu, ibu kota baru dari kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan kearifan Sultan Hamengku Buwono I. Juga disebutkan mengenai kecerdasan beliau terkait ilmu tata kota dan arsitektur. Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, menurut catatan itu, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari desa Banaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kesultanan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan. Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Tidak hanya tata ruang dan bangunannya, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis, dan spiritual yang tinggi. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono juga membangun kompleks istana air Taman Sari. Atas hasil karya serta karakter kuat Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great builder”, sejajar dengan Sultan Agung.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar. Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh tanggung jawab). Konsep-konsep luhur ini menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah golong gilig manunggaling kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan) serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian alam). Semuanya menjadi nilai-nilai utama yang menjadi pedoman karakter tidak hanya bagi keraton tetapi juga masyarakat Yogyakarta.

·        USAHA MENAKLUKAN SURAKARTA

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berambisi ingin mengembalikan Mataram menjadi kerajaan yang utuh. Surakarta saat itu dipimpin oleh Pakubuwana III yang mendapat perlindungan dari Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I untuk memerangi Surakarta sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunagara I yang memiliki ambisi yang sama, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwana IV sebagai susuhunan memiliki kesamaan dengan Hamengkubuwana I. Pakubuwana IV juga berambisi mengembalikan keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwana IV mengabaikan atas berdirinya Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwana I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi pangeran, Pakubuwana IV juga tidak mengakui hak waris takhta adipati anom (putra mahkota) Yogyakarta. Pihak VOC mulai resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka di Jawa kembali bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras.

Pakubuwana IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama Mangkubumi untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kesultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung jawab kerajaan.

Sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini beriring dengan munculnya penasihat penasihat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I kembali bersekutu bersama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Pakubuwana IV memiliki penasihat spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasihat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasihat spiritual dengan golongan bangsawan yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwana III dengan tujuan untuk mempersatukan kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan pewaris takhta Pakubuwana III lahir untuk menggantikan peran ayahnya.

·        KELUARGA PRIBADI

a.      Permaisuri (garwa padmi)

1)      Gusti Kanjeng Ratu Kencana

putri Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Kakek dari pihak ayah adalah Pakubuwana I

2)      Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten

putri Ki Ageng Drepayuda. Ia juga dikenal sebagai Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau Gusti Kanjeng Ratu Hageng setelah kematian suaminya

b.      Selir (garwa ampeyan)

1)      Bendara Raden Ayu Tilarsa

2)      Bendara Mas Ayu Sawerdi

3)      Bendara Raden Ayu Srenggara

4)      putri Ki Tumenggung Natayudha, Bupati Kedu

5)      Bendara Mas Ayu Mindaka

6)      Bendara Mas Ayu Asmarawati

7)      Bendara Raden Ayu Jumanten

8)      Bendara Mas Ayu Wilapa

9)      Bendara Mas Ayu Ratnawati

10)   Bendara Mas Ayu Chindaka

11)   Bendara Mas Ayu Tandhawati

12)   Bendara Mas Ayu Turunsi

13)   Bendara Raden Ayu Ratna Puryawati

14)   Bendara Raden Ayu Daya Asmara

15)   Bendara Mas Ayu Gandasari

16)   Bendara Mas Ayu Karnakawati

17)   Bendara Mas Ayu Setyawati

18)   Bendara Mas Ayu Padmasari

19)   Bendara Mas Ayu Sari

20)   Bendara Mas Ayu Pakuwati

21)   Bendara Mas Ayu Chitra Kusuma

 

c.      Anak

1)      Gusti Raden Mas Intu

lahir dari GKR. Kencana, kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra. Ia meninggal sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.

2)      Gusti Pangeran Hangabehi

lahir dari BRAy. Tilarsa

3)      Gusti Raden Mas Sundara

lahir dari GKR. Kadipaten. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana II

4)      Bendara Pangeran Harya Demang Tanpanangkil

lahir dari BMAy. Sawerdi

5)      Bendara Pangeran Harya Dipasanta

lahir dari BMAy. Asmarawati

6)      Bendara Pangeran Harya Natakusuma

lahir dari BRAy. Srenggara. Diangkat menjadi Adipati Kadipaten Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam I

7)      Bendara Pangeran Harya Kusumayudha

lahir dari BMAy. Wilapa. Ia juga dikenal sebagai Bendara Pangeran Harya Hadikusuma

8)      Bendara Pangeran Harya Silarang

lahir dari BMAy. Cindhaka. Ia juga dikenal sebagai Bendara Pangeran Harya Dipawijaya I atau Pangeran Harya Haji Muhammad Abu Bakar

9)      Bendara Raden Mas Adiwijaya

lahir dari BMAy. Tandhawati. Kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Panular, seorang Wakil Dalem untuk Hamengkubuwana V

10)   Bendara Pangeran Harya Mangkukusuma

lahir dari BMAy. Turunsi. Ia juga seorang Wakil Dalem

11)   Bendara Pangeran Harya Hadikusuma II

lahir dari BRAy. Daya Asmara

12)   Bendara Pangeran Harya Dipasana

lahir dari BMAy. Gandasari

13)   Bendara Pangeran Harya Blitar

lahir dari BRAy. Daya Asmara

14)   Bendara Raden Mas Sudarma

lahir dari BMAy. Setyawati. Ia kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Santakusuma

15)   Bendara Raden Mas Sabiril

lahir dari BMAy. Padmasari. Ia kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Panengah

16)   Bendara Raden Mas Suwardi

lahir dari BMAy. Sari

17)   Gusti Raden Ajeng Inten

lahir dari GKR. Kencana. Ia kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Menikah dengan Mangkunegara I lalu bercerai, menikah lagi dengan Bendara Pangeran Harya Dipanegara, putra Bendara Pangeran Harya Hangabehi dari Surakarta. Kakek dari pihak ayah adalah Amangkurat IV.

18)   Bendara Raden Ayu Jayaningrat

lahir dari BRAy. Tilarsa

19)   Bendara Raden Ayu Purbayasa

lahir dari BRAy. Srenggara. Ia juga dikenal sebagai Bendara Raden Ayu Dhanukusuma. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Dhanukusuma, putra sulung Danurejo I

20)   Bendara Raden Ayu Sasradiningrat

lahir dari BMAy. Mindaka

21)   Bendara Raden Ayu Rangga Prawiradirja

lahir dari BRAy. Srenggara

22)   Bendara Raden Ayu Natayudha I

lahir dari BRAy. Jumanten

23)   Bendara Raden Ayu Yudhakusuma I

lahir dari BRAy. Srenggara

24)   Bendara Raden Ayu Sasrakusuma I

lahir dari BMAy. Ratnawati

25)   Bendara Raden Ayu Yudhakusuma II

lahir BMAy. Trisnawati

26)   Bendara Raden Ajeng Sutiya

Ia juga dikenal sebagai Bendara Raden Ayu Jayadiwira

27)   Bendara Raden Ayu Pringgalaya

lahir dari BRAy. Daya Asmara

28)   Bendara Raden Ayu Dhanunegara

lahir dari BMAy. Turunsi

29)   Bendara Raden Ayu Mangkundirja

lahir dari BMAy. Pakuwati

30)   Bendara Raden Ayu Ratnadinigrat

lahir dari BMAy. Chitra Kusuma

31)   Bendara Raden Ayu Purwadipura

lahir dari BMAy. Sari

·        SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL

Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya adalah: Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo.

Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 (1 Ruwah 1718 TJ), dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Kelak, pada tanggal 3 November 2006, sebuah negara non kerajaan yang proses kelahirannya sangat lekat dengan keturunan beliau akan menganugerahi Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati diri bangsa

·        PENGHARGAAN

Bintang Mahaputera Adipurna (2006)

·        GALERI

 

 

 

 

2.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO II

Sri Sultan Hamengku Buwono II

꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇

 

Sultan Sepuh

Sri Sultan Hamengku Buwono II

Sultan Yogyakarta ke-2


Bertakhta : 1792-1810; 1811-1812; 1826-1828

Penobatan : 2 April 1792

Pendahulu : Sultan Hamengkubuwana I

Penerus : Sultan Hamengkubuwana III & Sultan Hamengkubuwana V

Pemahkotaan : 1798

Informasi Pribadi

Nama Kecilnya : Raden Mas Sundoro

Kelahiran : 7 Maret 1750, Gunung Sindoro

Kematian : 3 Januari 1828 (umur 77), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Pemakaman : Kotagede, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata :

Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Kalih ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah : Sultan Hamengkubuwana I

Ibu: Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten (Permaisuri kedua)

Permaisuri :       

- Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton

- Gusti Kanjeng Ratu Hemas

- Gusti Kanjeng Ratu Kencana Wulan

- Gusti Kanjeng Ratu Sultan

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana II (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧒꧇, 7 Maret 1750 – 3 Januari 1828) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 – 1810, 1811 – 1812, dan 1826 – 1828. Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh. Masa jabatannya yang kedua adalah yang paling singkat dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta.

·        RIWAYAT MASA MUDA

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Sundara, putra kelima Sultan Hamengkubuwana I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR Kadipaten. Beliau dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti tahun 1755, Mas Sundara juga ikut diakui sebagai adipati anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700), terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundara menulis kitab Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta, dengan nama Kangjeng Kyai Suryaraja.

·        PEMERINTAHAN

Sejak tahun 1808 Herman Wilem Daendels menjadi Gubermur Jenderal Hindia Belanda. Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels) seperti minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam keraton. Minister juga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa. Selain itu, Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di keraton Jawa. Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya. Sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II). Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo III (Raden Ronggo), bupati wedana Madiun yang menentang pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok, berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh Daendels.

Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga terdapat cap berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan tmenolak tuduhan itu karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih. Pada bulan Desember 1810, Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai Sultan Hamengkubuwana III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

·        PEMERINTAHAN PERIODE PERTAMA

Sejak tahun 1808 Herman Wilem Daendels menjadi Gubermur Jenderal Hindia Belanda. Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels) seperti minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam keraton. Minister juga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa. Selain itu, Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di keraton Jawa. Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya. Sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II). Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo III (Raden Ronggo), bupati wedana Madiun yang menentang pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok, berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh Daendels.

Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga terdapat cap berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan tmenolak tuduhan itu karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih. Pada bulan Desember 1810, Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai Sultan Hamengkubuwana III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

·        PEMERINTAHAN PERIODE KEDUA

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali. Tak hanya itu, Sultan juga berinisiatif menyingkirkan Danureja II yang dianggap sebagai biang keladi masalah yang dihadapi sultan dengan Daendels. Pada September 1811, Danureja II dibunuh di depan Sitihinggil atas perintah sultan ketika hendak menghadiri rapat di keraton.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan sikapnya terhadap Belanda. Terutama pada putranya, Mas Suraja, sikap sultan bisa dibilang amat keras, mengingat putranya tersebut dianggap turut berperan dalam menyingkirkan dirinya dari singgasana kesultanan tahun 1810. Pembersihan besar-besaran yang dilakukan sultan setelahnya, bahkan nyaris mengancam keselamatan jiwa sang putra mahkota. Dengan Inggris, tercatat nyaris terjadi pertumpahan darah antara utusan Raffles dengan kerabat keraton di depan Sultan, hanya akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari singgasana Sultan, sewaktu wakil gubernur Inggris tersebut hendak mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Terjadi perang besar yang berakhir dengan kekalahan kesultanan. Hamengkubuwana II ditangkap dan dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma, yang mendukung Inggris, diangkat oleh Thomas Raffles sebagai Paku Alam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

·        PEMERINTAHAN PERIODE KETIGA

Pada tahun 1825 terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertahta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V, yang bertahta menggantikan ayahnya tahun 1823 saat dirinya masih berumur 3 tahun.

Perlawanan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertahta pada 18 Agustus 1826, sedangkan Hamengkubuwana V agak disingkirkan oleh Belanda. Kedatangan sultan sebagai penguasa Yogyakarta terbukti sedikit banyak melemahkan kekuatan Diponegoro, mengingat kepopulerannya semasa masih menjabat sebelum dibuang ke Penang tahun 1812. Pada masa itu, sultan berusaha keras menertibkan keadaan dan mengembalikan keamanan di wilayahnya, meskipun dihimpit oleh tuntutan-tuntutan Belanda dalam rangka memadamkan Perang Diponegoro. Beberapa tokoh penting keraton berhasil dibujuk pulang ke Yogyakarta, namun demikian, sultan sendiri tidak pernah berniat serius untuk membujuk Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, putranya, untuk menghentikan perlawanan. Belanda mencurigai tindakan sultan ini sebagai dukungan terselubung terhadap perlawanan Diponegoro.

·        WAFAT

Sultan Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sinuhun Sepuh), akhirnya mangkat pada tanggal 3 Januari 1828 setelah menderita sakit radang tenggorokan dan akibat usia tua. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V. Berbeda dari penguasa-penguasa Kesultanan Yogyakarta lainnya, jenazah Hamengkubuwana II tidak dimakamkan di Imogiri, melainkan di kompleks pemakaman Kotagede. Hal ini terjadi karena pertimbangan keamanan. Jalur perjalanan ke Imogiri kala itu dikuasai oleh kubu Pangeran Diponegoro.

·        KELUARGA

a. Hamengkubuwana II memiliki 4 permaisuri (Jawa: garwa dalem):

1.       GKR. Kedhaton (1750-1820), puteri Kanjeng Raden Adipati Purwodiningrat, Bupati Magetan, dan memiliki anak:

§  GRM. Surojo (bergelar Hamengkubuwana III)

§  GKR. Bendoro, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat, cucu Hamengkubuwana I dari puterinya RAy. Joyoningrat.

§  GKR. Hangger, menikah dengan Danureja II, patih Yogyakarta.

§  Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi

§  GKR. Maduretno, menikah dengan Rangga Prawiradirja III.

2.       Gusti Raden Ayu Pretiwiningrum/GKR. Hemas (1760-1826), puteri Kanjeng Pangeran Haryo Pakuningrat dan Ratu Alit, puteri Pakubuwana II, dan memiliki anak:

§  Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkudiningrat (1778-1824), kakek buyut Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno, Presiden Indonesia ke-1)

3.       GKR. Kencono Wulan (skt. 1780-1859), puteri Kyai Ronodigdoyo, dan memiliki anak:

§  GKR. Ayu, menikah dengan Paku Alam II

§  GRM. Sudaryo, mati muda.

§  GKR. Anom, menikah dengan R A A T Danuningrat I atau Sayyid Alawi bin Ahmad bin Sa'id bin Abdul Wahab bin Sulaiman Basyeiban Bupati Pertama Magelang.

§  GRM. Sumadi, mati muda.

§  GKR. Timur (lahir 1800), menikah dengan Raden Mas Salyo/KRT. Joyowinoto/KPH. Notokusumo/Suryoningprang, putera Paku Alam I.

§  Gusti Raden Ajeng Sudarminah

§  GKR. Sasi, menikah dengan Danureja III, patih Yogyakarta.

 

4.       GKR. Sultan, tidak memiliki anak.

 

b.      Di samping permaisuri, Hamengkubuwana II juga memiliki 27 selir (Jawa: garwa ampeyan):

1.       Bandara Raden Ayu Sepuh, dan memiliki anak:

§  Bendara Raden Ayu Gusti Wiryonegoro.

§  Bendara Raden Ayu Pringgodiningrat

§  Bendoro Pangeran Haryo Martosono/Murdoningrat (1774-1826), kakek canggah Margono Djojohadikoesoemo, pendiri Bank Negara Indonesia.

§  BRAy. Prawirodiningrat II

 

2.       Bandara Mas Ayu Supenoningsih, dan memiliki anak:

§  BRAy. Sindurejo

§  BRAy. Jayengrono

§  BRAy. Cokrodiwiryo

 

3.       BRAy. Herowati, dan memiliki anak:

§  BRAy. Joyoningrat

§  BPH. Dipowiyono (1771-1815)

§  BPH. Wiromenggolo

§  BRAy. Prawirodiningrat I

 

4.       BRAy. Supenowati, dan memiliki anak:

§  BRAy. Wiryowinoto

§  BRAy. Kartodipuro

§  BRAy. Yudhoprawiro

 

5.       BMAy. Sukarso, dan memiliki anak:

§  BPH. Pamot (lahir 1775)

§  BRAy. Prawirokusumo (lahir 1800), menikah dengan Raden Panji Prawirokusumo, cucu Hamengkubuwana I dari puteranya BPH. Hadikusumo II.

 

6.       BRAy. Wetan, dan memiliki anak:

§  BPH. Singosari

§  BRAy. Prawirodiningrat II

 

7.       BMAy. Yati, dan memiliki anak:

§  BRAy. Bayusentono

§  BRAy. Prawiroyudho

§  BRAy. Ronggo Prawirosentiko

 

8.       BMAy. Pujoningsih, dan memiliki anak:

§  BRAy. Sosrowijoyo

§  BPH. Silarong (lahir 1785)

§  BRAy. Martodiningrat

§  BPH. Senokusumo/Notopuro

 

9.       BMAy. Doyorogo, dan memiliki anak:

§  BPH. Hadiwinoto I (gugur tahun 1826)

§  BPH. Sutowijoyo, wali raja untuk Hamengkubuwana V

§  BRAy. Sosronegoro

§  BPH. Sosronegoro II

§  BRAy. Mangkuyudho

§  Bendara Raden Mas Muryani/BPH. Notoboyo (lahir 1795)

§  BPH. Notodipuro/Purbowinoto (lahir 1801)

 

10.   BMAy. Sumarsonowati, dan memiliki anak:

§  BPH. Joyokusumo I (1787-1829)

§  BRAy. Notoyudho

 

11.   BMAy. Mirmosari, dan memiliki anak:

§  BRAy. Ngabdani

§  BRAy. Nitinegoro

§  BRAy. Sosrowijoyo II

§  BPH. Abdul Arifin/Hadiwijoyo (lahir 1794), menikah dengan puteri BPH. Hadikusumo II (putera Hamengkubuwana I).

§  BPH. Djuminah/BPH. Teposono/BRM. Kasim (lahir 1797)

§  BRAy. Secodirjo

§  BPH. Martosono/Puger, mertua Paku Alam III.

§  BRAy. Puspodiningrat

 

12.   BRAy. Mindoko, dan memiliki anak:

§  BRAy. Sosrowinoto

§  BRAy. Prawirowinoto

 

13.   BRAy. Gondowati, dan memiliki anak:

§  BRM. Yakub/BPH. Dipowijoyo (lahir 1793), menantu Raden Tumenggung Sosrokusumo, Bupati Grobogan.

14.   BMAy. Citrowati, dan memiliki anak:

§  BRAy. Tomoprawiro

§  BRAy. Notorejo

 

15.   BRAy. Pinongkowati, dan memiliki anak:

§  BRAy. Yudhowijoyo

 

16.   BRAy. Wardoyo, dan memiliki anak:

§  BRM. Japar/BPH. Singosekar/Riyokusumo (lahir 1798)

 

17.   Bendara Mas Ajeng Citrosari, dan memiliki anak:

§  BRAy. Samparwadi

 

18.   BMAj. Sasmitowati, dan memiliki anak:

§  BPH. Purwokusumo/Bintoro

§  BrAy. Reksokusumo

 

19.   BMAj. Surtikanthi, dan memiliki anak:

§  BRAy. Jayengsastro

§  BRAy. Sosrodipuro

§  BRAy. Sosrodipuro II

 

20.   BMAj. Doto, dan memiliki anak:

§  BRAy. Prawiroloyo

 

21.   BRAy. Pandansari, dan memiliki anak:

§  BRAy. Projodiningrat

 

22.   BMAj. Puspitoresmi, dan memiliki anak:

§  BRAy. Notonegoro I

§  BRAy. Notonegoro II

 

23.   BMAj. Niloresmi, dan memiliki anak:

§  BRAy. Joyodirjo

 

24.   BRAy. Manyonosari, dan memiliki anak:

§  BPH. Mangkudipuro/Purwokusumo/Joyokusumo, ayah mertua Hamengkubuwana VII.

§  BRAy. Martokusumo

 

25.   BMAj. Cepoko, dan memiliki anak:

§  BPH. Wijil/Hadiwijoyo II

 

26.   BMAj. Rantamsari, dan memiliki anak:

§  BPH. Tejokusumo/Hadinegoro

 

27.   BRAy. Kulon, dan memiliki anak:

§  BPH. Timur/Pujokusumo

§  BRAy. Dewi, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Martonegoro, cucu Hamengkubuwana I dari puteranya BPH. Demang Tanpo Nangkil.

§  BPH. Timur

 

·        PENINGGALAN SRI SULTAN HB II

Sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan Hamengku Buwono II juga meninggalkan karya-karya monumental. Mulai dari membentuk korps/satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik, hingga membangun benteng baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar. 

Di bidang sastra beliau mewariskan karya-karya heroik yang berbau pertahanan dan militer, seperti: Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. Dua karya babad ini menceritakan perjuangan berdirinya Keraton Yogyakarta. Juga karya sastra yang bersifat fiksi, lahir berkat beliau, di antaranya Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang terakhir merupakan karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta.

Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon Jayapusaka. Tokoh utama dalam lakon tersebut adalah Bima yang begitu tepat menggambarkan watak jujur, keras dan juga tegas dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.

·        GALERI

 

3.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO III

Hamengkubuwana III

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧓꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana III

Sultan Yogyakarta ke-3

Bertakhta : 1810-1811,12 Juni 1812 - 3 November 1814

Pendahulu : Sultan Hamengkubuwana II

Penerus : Sultan Hamengkubuwana IV

Informasi Pribadi

Nama Kecil : Gusti Raden Mas Surojo

Kelahiran : 20 Februari 1769 (Malam Rabu Kliwon, 18 Syawal Dal 1694), Kraton Yogyakarta

Kematian : 3 November 1814 (umur 45). Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Pemakaman : Astana Kasuwargan, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Tiga ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana II

Ibu: Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton

Permaisuri: Gusti Kanjeng Ratu Kencana, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Gusti Kanjeng Ratu Wandhan

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana III (20 Februari 1769 – 3 November 1814) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.

Ia juga merupakan ayah dari Pangeran Diponegoro, tokoh yang berpengaruh dalam Perang Jawa pada tahun 1825-1830.

·        LATAR BELAKANG

Beliau memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Surojo, lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton. Dalam biografi Tan Jin Sing disebutkan bahwa beliau adalah orang yang pendiam dan cenderung mengalah.

Pada usianya yang ke 41, tepatnya Bulan Desember 1810, terjadi manuver pasukan Belanda ke Keraton Yogyakarta sebagai buntut perseteruan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Akibat dari perseteruan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan dari jabatannya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Saat itulah kemudian RM. Surojo diangkat sebagai Hamengku Buwono III dengan pangkat regent atau wakil Raja. Sementara itu, Sri Sultan Hemengku Buwono II masih tetap diijinkan untuk tinggal di dalam keraton dengan sebutan Sultan Sepuh.

Nyaris setahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1811, ketika tentara Inggris berhasil mengalahkan bala tentara Belanda dan merebut tanah Jawa, beliau dilengserkan dari statusnya dan kembali menjadi putra mahkota. Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali naik tahta.

Bertindak sebagai mediator antara Sri Sultan HB II dengan Inggris adalah Pangeran Notokusomo, adik Sultan Hamengku Buwono II lain Ibu. Di kemudian hari Pangeran Notokusumo menjadi sahabat bagi Letnan Gubernur Jenderal Inggris karena pemahamannya yang tinggi atas sastra dan kebudayaan Jawa.

Pada awalnya Letnan Gubernur Jenderal Inggris mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Yogyakarta, dan mengangkat RM. Surojo sebagai Adipati Anom. Namun hal ini hanya berselang kurang dari setahun karena sikap keras Sri Sultan Hamengku Buwono II menjadikan Raffles mencabut dukungannya. Pada tanggal 21 Juni 1812, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan, dan Adipati Anom disahkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III untuk yang kedua kali.

Pada saat bersamaan dengan pengangkatan Adipati Anom sebagai Hamengku Buwono III, putra sulungnya dari garwa selir RM. Antawirya diberi gelar Bendara Pangeran Ario Diponegoro. Alih-alih turut campur dalam urusan istana, Pangeran Diponegoro memilih untuk tinggal bersama neneknya di desa Tegalrejo (barat laut Keraton Yogyakarta) untuk mendalami ilmu agama. Sama-sama memiliki sifat yang keras dan tidak mau tunduk kepada bangsa asing seperti kakeknya -Sri Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Diponegoro sendiri nantinya mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda yang dicatat dalam sejarah pemerintah kolonial sebagai perang yang paling menguras energi dan biaya.

Sejak kedatangan Inggris, peta geopolitik Kasultanan Yogyakarta berubah drastis. Yogyakarta harus melepaskan Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan untuk dikuasai Inggris dengan ganti rugi sebesar 100.000 real per tahun. Pada masa ini pula, Sultan harus menyerahkan 4000 cacah wilayah Adikarto (Kulonprogro) kepada Pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi pangeran merdika (otonom) di dalam Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I (1813-1829). Selain itu, Sultan juga harus menyerahkan 1000 cacah lagi wilayahnya kepada Kapiten Cina Tan Jin Sing atas bantuan yang diberikan selama Sri Sultan Hamengku Buwono III masih berkedudukan sebagai putera mahkota. Kelak Sri Sultan Hamengku Buwono III mengangkat Tan Jin Sing menjadi Bupati Yogyakarta dan memberinya gelar KRT Secadiningrat.

Perubahan penting lainnya yang terjadi akibat campur tangan Inggris pada kurun waktu ini adalah terkait prajurit keraton. Inggris melarang para raja memiliki kekuatan militer apapun selain yang diijinkan oleh pemerintah kolonial. Sebagai gantinya, pasukan Inggris dan Sepoy menjadi resimen utama pengamanan istana. Akibatnya sebanyak lebih dari 9000 prajurit keraton, termasuk yang dari Bugis dan Bali, hidup menderita. Banyak diantara mereka yang kemudian dimobilisasi oleh Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik kolonial di luar Jawa.

Pada tanggal 3 November 1814 (19 Dulkangidah 1741), Sri Sultan Hamengku Buwono III wafat pada usia 45 tahun. Beliau dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri. Masa pemerintahannya tercatat hanya berlangsung selama 865 hari. Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, anak bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono III dari GKR Kencono (Ratu Ibu, pasca 1816; Ratu Hageng, pasca 1820), yang telah diangkat sebagai putra mahkota menjadi penerus ayahnya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada usia 10 tahun.

·        PENOBATAN SEBAGAI RAJA

Di tengah-tengah penjarahan Keraton Yogyakarta, sebuah upacara disiapkan untuk merayakan penobatan Hamengkubuawana III. Upacara yang dimulai dengan parade militer yang terdiri dari infanteri, pasukan berkuda, dan artileri medan berkuda dari Madras disusun menjadi lima belas barisan diperintahkan untuk memenuhi lapangan selebar hampir seratus meter yang membentang antara Benteng Vredeburg dan kediaman residen. Tepat sebelum parade militer dimulai, tembakan senapan menggelegar sembilan belas kali untuk memberikan salut dari arah benteng dan band militer pasukan berkuda penjaga sultan yang beranggotakan orang Indo dan Ambon semakin menegaskan aura militer untuk penobatan sultan yang baru.

Kapten Wlliam Colebrooke RA, yang menyaksikan upacara itu menggambarkan upacara ini sebagai "upacara yang sangat mengesankan" yang ia tulis dalam sepucuk surat untuk ayahnya, Kolonel Paulet Colebrooke RA, di Kent, Inggris.

·        RIWAYAT PEMERITAHAN

Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.

Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta setelah peristiwa pemberontakan Raden Ronggo. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.

Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.

Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.

Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:

Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.

Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.

Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.

Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Karena Hamengkubuwana masih berusia 10 tahun, maka Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.

·        PENINGGALAN SRI SULTAN HB III

Kampung Ketandan, di dekat Jalan Malioboro, yang kini ramai sebagai pusat niaga serta budaya Tionghoa di Yogyakarta dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III. Awalnya kampung tersebut merupakan tempat para pekerja pemungut pajak yang digeluti oleh pendatang dari Cina. Di sini terdapat sebuah bangunan berloteng yang diperuntukkan bagi penasehat pribadi Sultan, Tan Jin Sing, seorang kapitan Cina dari Kedu yang mahir berbagai bahasa.

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono III juga mendatangkan sebuah kereta kuda dari Inggris yang dikabarkan konstruksinya tahan peluru. Kereta itu diberi nama Kyai Mondro Juwolo. Meskipun singkat, masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III pada saat itu merupakan kurun dimana rakyat Yogyakarta menikmati suasana yang lebih aman dan makmur.

·        GALERI

4.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IV

Hamengkubuwana IV

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧔꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana IV

Sultan Yogyakarta ke-4

Bertakhta : 10 November 1814 - 6 Desember 1823

Penobatan : 9 November 1814

(Usia 10 tahun)

Pendahulu : Sultan Hamengkubuwana III

Penerus : Sultan Hamengkubuwana V

Pemahkotaan : 21 Juni 1812

Wali raja : Paku Alam I

Informasi Pribadi

Nama Lengkap : Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot

Kelahiran : 3 April 1804 (Selasa Kliwon, 22 Besar Jimakir 1730), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Kematian : 6 Desember 1823 (umur 19), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Pemakaman : Astana Besiyaran, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sekawan ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Nama Anumerta: Sinuhun Jarot Seda Besiyar

Ayah : Sultan Hamengkubuwana III

Ibu : Gusti Kanjeng Ratu Kencana (GKR Hageng)

Permaisuri :Gusti Kanjeng Ratu Kencana

Agama : Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana IV (Bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦺꦴꦤꦺꦴ꧇꧔꧇), (3 April 1804 – 6 Desember 1823) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1814 - 1822.

·        RIWAYAT PEMERINTAHAN

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, putra kedelapan belas Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono tanggal 3 April 1804. Ia naik tahta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.

Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.

Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1823 saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sinuhun Jarot, Seda Besiyar.

Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai raja, bergelar Hamengkubuwono V.

·        KEHIDUPAN PRIBADI

1.      Pemaisuri (Garwah Padmi)

§  Gusti Kanjeng Ratu Kencana

Putri Dhanureja II, Patih Yogyakarta dan Gusti Kanjeng Ratu Hangger. Kakek dari pihak ibu adalah Hamengkubuwana II.

2.      Selir (Garwah Ampeyan)

§  Bendara Raden Ayu Dewaningrum

§  Bendara Raden Ayu Murcitaningrum

§  Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum

§  Bendara Raden Ayu Turunsih

§  Bendara Raden Ayu Daya Asmara

§  Bendara Raden Ayu Murtiningrum

§  janda Hamengkubuwana III

§  Bendara Raden Ayu Ratnaningrum

§  Bendara Raden Ayu Widyawati

§  putri Ki Dhalang Jiwatenaya

 

3.      Anak

§  Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram

lahir dari GKR. Kencana, meninggal pada usia 108 hari

§  Gusti Raden Mas Gathot Menol

lahir dari GKR. Kencana. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana V

§  Bendara Pangeran Harya Hangabehi

lahir dari BRAy. Daya Asmara. Ia adalah pegawai KNIL, juga dikenal sebagai Bendara Pangeran Harya Suryadiningrat atau Bendara Pangeran Harya Panengah.

§  Gusti Raden Mas Mustaya

lahir dari GKR. Kencana. Kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, naik takhta sebagai Hamengkubuwana VI

§  Bendara Pangeran Harya Surya Negara

lahir dari BRAy. Widyawati. Ia adalah pegawai KNIL, sastrawan Jawa ternama, serta penulis utama Babad Ngayogyakarta.

§  Bendara Raden Mas Tritustha

lahir dari BRAy. Dewaningrum, meninggal muda

§  Gusti Bendara Raden Ayu Maduratna

lahir dari BRAy. Murcitaningrum. Menikah dengan Kanjeng Pangeran Harya Yudhanegara I atau Kanjeng Raden Tumenggung Prawiradirja.

§  Bendara Raden Mas Sunadi

lahir dari BRAy. Dewaningrum

§  Bendara Raden Ayu Dhanureja

lahir dari BRAy. Ratna Adiningrum. Menikah dengan Dhanureja IV, Patih Yogyakarta.

§  Bendara Raden Ayu Niti Negara

lahir dari BRAy. Turunsih. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Niti Negara II, cucu Hamengkubuwana II dari pihak ibu.

§  Bendara Raden Ayu Jayaningrat

lahir dari BRAy. Murtiningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Jayaningrat.

§  Bendara Raden Ayu Suryatmaja

lahir dari BRAy. Ratnaningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryatmaja.

§  Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton

lahir dari GKR. Kencana, meninggal muda

§  Bendara Raden Ajeng Mutoinah

lahir dari BRAy. Murtiningrum

§  Bendara Raden Mas Pirngadi

lahir dari BRAy. Widyawati

§  Bendara Raden Mas Samadikun

lahir dari BRAy. Ratnaningrum

·        GALERI

5.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO V

Hamengkubuwana V

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧕꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana V

Sultan Yogyakarta ke-5

Bertakhta: 19 Desember 1823 - 5 Juni 1855

Penobatan: 1823 (Umur 3 tahun)

Pendahulu: Sultan Hamengkubuwana IV

Penerus: Sultan Hamengkubuwana VI

Wali raja: Ratu Ageng (Nenek), GKR Ratu Kencono (Ibu), Pangeran Mangkubumi (Saudara kakek), Pangeran Diponegoro (Saudara ayah)

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Gusti Raden Mas Gathot Menol

Kelahiran: 24 Januari 1820 (Senin Kliwon, 7 Rabiul Akir Alip 1747), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Kematian: 5 Juni 1855 (umur 34), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Pemakaman: Astana Besiyaran, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Gangsal ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana IV

Ibu: GKR Kencono

Permaisuri: Gusti Kanjeng Ratu Kencana dan Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana V (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦺꦴꦤꦺꦴ꧇꧕꧇, 24 Januari 1820 – 5 Juni 1855) adalah sultan kelima Kesultanan Yogyakarta, yang berkuasa tanggal 19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826, dan kemudian dari 17 Januari 1828 - 5 Juni 1855 yang diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwana II karena ketidakstabilan politik dalam Kesultanan Yogyakarta saat itu.

·        RIWAYAT PEMERINTAHAN

Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwana V adalah Gusti Raden Mas Gathot Menol, putra keenam Hamengkubuwana IV yang lahir pada tanggal 24 Januari 1820 dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Kencono. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1820 maka Sultan Hamengku Buwono V waktu permulaan bertakhta baru berumur 3 (tiga) tahun.

Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.

Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditanggapi dengan tentangan oleh beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Mustojo (nantinya naik takhta bergelar Hamengkubuwana VI). Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan sultan dengan GRM Mustojo. Keadaan semakin menguntungkan GRM Mustojo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. Kekuasaan Sultan Hamengkubuwana V semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 sultan sendiri, Kangjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwana V hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tenteram selama masa pemerintahannya.

Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan peristiwa wereng saketi tresno (bahasa Indonesia: wafat oleh yang dicinta), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kangjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sultan, suaminya.

Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. 13 hari pasca sultan tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.

Seperti yang telah diperkirakan, Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VI kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra mahkota sudah siap memimpin sebagai sultan. Namun, yang terjadi kemudian bukan sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo atau yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).

Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur Muhammad yang seharusnya naik tahta. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.

·        KEHIDUPAN PRIBADI

1.     PEMAISURI (GARWA PADMI)

§  Gusti Kanjeng Ratu Kencana

lahir sebagai Raden Ajeng Suradinah, putri Kanjeng Pangeran Harya Purwanegara dan Gusti Kanjeng Ratu Anom. Kakek dari pihak ibu adalah Hamengkubuwana II. Ia dikenal sebagai Kanjeng Ratu Sasi setelah bercerai

§  Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton

lahir sebagai Raden Ajeng Andaliyah, putri Bendara Pangeran Harya Hadinegara atau Bendara Pangeran Harya Suryaning-Ngalaga. Kakek dari pihak ayah adalah Hamengkubuwana III. Dibuang ke Manado setelah suaminya meninggal

2.     SELIR (GARWA AMPEYAN)

§  Bendara Raden Ayu Dewaningsih

§  Bendara Raden Ayu Panukmawati

§  Bendara Raden Ayu Ratna Sri Wulan

 

3.     ANAK

§  Bendara Raden Mas Sepuh

lahir dari BRAy. Dewaningsih, meninggal muda

§  Gusti Raden Mas Timur Muhammad

lahir dari GKR. Kedhaton. Bergelar Kanjeng Bendara Pangeran Harya Suryaning-Ngalaga

§  Gusti Bendara Raden Ayu Hangabehi

lahir dari BRAy. Dewaningsih. Menikah dengan Hamengkubuwana VI kemudian bercerai lalu menikah lagi dengan Kanjeng Raden Tumenggung Ganda Kusuma

§  Bendara Raden Ajeng Timur

lahir dari BRAy. Dewaningsih, meninggal muda

§  Bendara Raden Ajeng Suwarti

lahir dari BRAy. Panukmawati, meninggal muda

§  Bendara Raden Ajeng Rabingu

lahir dari BRAy. Panukmawati, meninggal muda

§  Bendara Raden Ajeng Humissalamah

lahir dari BRAy. Ratna Sri Wulan, meninggal muda

§  Bendara Raden Ayu Hadiwinata

lahir dari BRAy. Panukmawati. Menikah dengan Bendara Pangeran Harya Hadiwinata, putra keenam Hamengkubuwana VI

§  Bendara Raden Ajeng Sukinah

lahir dari BRAy. Ratna Sri Wulan. Menikah dengan Gusti Pangeran Harya Mangkubumi/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, putra kelima Hamengkubuwana VI

·        GALERI

6.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VI

Hamengkubuwana VI

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧖꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana VI

Sultan Yogyakarta ke-6

Bertakhta: 5 Juli 1855 - 20 Juli 1877

Penobatan: 5 Juli 1855

Pendahulu: Sultan Hamengkubuwana V

Penerus: Sultan Hamengkubuwana VII

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Gusti Raden Mas Mustojo

Kelahiran: 10 Agustus 1821 (Ahad Pon, 21 Dulkaidah Ehe 1748), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Kematian: 20 Juli 1877 (umur 55), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Pemakaman: Astana Besiyaran, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Enem ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana IV

Ibu: Gusti Kanjeng Ratu Kencono

Permaisuri: Gusti Kanjeng Ratu Kencana & Gusti Kanjeng Ratu Sultan

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana VI (Bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦺꦴꦤꦺꦴ꧇꧖꧇, 10 Agustus 1821 – 20 Juli 1877) adalah sultan keenam Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1855 – 1877, berjuluk Sinuhun Mangkubumi. Dia menggantikan kakaknya, Hamengkubuwana V yang meninggal di tengah ketidakstabilan politik dalam tubuh Keraton Yogyakarta.

·        RIWAYAT PEMERINTAHAN

Nama asli Sultan Hamengkubuwana VI adalah Gusti Raden Mas Mustojo, merupakan putra kedua belas Sultan Hamengkubuwana IV yang lahir pada tahun 1821 dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono.

Hamengkubuwana VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuwana V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwana V tewas dibunuh oleh selirnya sendiri (istri ke-5) Kanjeng Mas Ayu Hemawati ditengah ketidakstabilan politik di kesultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahannya terjadi gempa bumi yang besar yang meruntuhkan sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gedhe (masjid keraton), Loji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya di Kesultanan Yogyakarta.

Pada masa Hamengkubuwana V, Gusti Raden Mas Mustojo adalah seorang penentang keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang menjalankan hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia Belanda yang ada di bawah Kerajaan Belanda. Namun setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi raja, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya dia tentang keras.

Semasa pemerintahan Hamengkubuwana VI kemudian mulai timbul pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI, tetapi pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat diredam dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan Danurejo V, patih Keraton Yogyakarta saat itu. Hubungan dengan berbagai kerajaan pun terjalin kuat pada masa pemerintahan HB VI, apalagi setelah beliau menikah dengan putri Kesultanan Brunai.

Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan kerajaan-kerajaan lain, tercatat bahwa Sultan Hamengkubuwono VI dapat mengatasinya dengan arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan pemerintahan Hindia Belanda agak mulai menuai konflik terutama karena keraton Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda.

Pemerintahan Hamengkubuwana VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putra tertuanya, Gusti Raden Mas Murtejo, sebagai sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwana VII.

Naiknya Hamengkubuwana VII menggantikan ayahnya Hamengkubuwana VI sebagai raja Yogyakarta yang baru mendapat tentangan dari permaisuri Almarhum Sultan Hamengkubuwana V, Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, karena seharusnya yang naik takhta adalah Gusti Raden Mas Timur Muhammad putra Hamengkubuwana V. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan Hamengkubuwana V dan demi melanggengkan kekuasaan Sultan Hamengkubuwana VII beserta keturunannya nanti. Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton dan Gusti Raden Mas Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.

·        KEHIDUPAN RIBADI

1.      PEMAISURI (GARWA PADMI)

§  Gusti Kanjeng Ratu Kencana

putri Pakubuwana VIII dari Surakarta. Ia kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu Hamengkubuwana.

§  Gusti Kanjeng Ratu Sultan

putri Ki Ageng Prawirarejasa. Ia kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu Hageng.

2.      SELIR (GARWA AMPEYAN)

§  Bendara Raden Ayu Tejaningrum

§  Bendara Raden Ayu Pujaratna

§  Bendara Raden Ayu Ratnaningdia

§  Bendara Raden Ayu Sasmitaningrum

§  Bendara Raden Ayu Puspitaningrum

§  Bendara Raden Ayu Murtiningrum

§  Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum

§  Bendara Raden Ayu Dewaningrum

 

3.      ANAK

§  Gusti Raden Mas Murteja

lahir dari GKR. Sultan. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana VII

§  Bendara Raden Mas Sulaiman

lahir dari BRAy. Pujaratna, meninggal muda

§  Bendara Pangeran Harya Purbaya

lahir dari BRAy. Ratnaningdia

§  Gusti Pangeran Harya Surya Mataram

lahir dari GKR. Sultan

§  Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi

lahir dari GKR. Sultan. Ia adalah kakek Hamengkubuwana IX dari pihak ibu.

§  Bendara Pangeran Harya Hadiwinata

lahir dari BRAy. Puspitaningrum.

§  Bendara Pangeran Harya Hadiwijaya

lahir dari BRAy. Ratna Adiningrum

§  Gusti Pangeran Harya Bumi Nata

lahir dari GKR. Sultan

§  Gusti Pangeran Harya Puger

lahir dari GKR. Sultan

§  Gusti Pangeran Harya Suryaputra

lahir dari GKR. Sultan

§  Gusti Pangeran Harya Anom

lahir dari GKR. Sultan

§  Bendara Raden Ajeng Samilah

lahir dari BRAy. Tejaningrum, meninggal muda

§  Gusti Kanjeng Ratu Hangger

lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden Adipati Danureja VI, Patih Yogyakarta.

§  Gusti Kanjeng Ratu Pembayun

lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden Adipati Danureja V, Patih Yogyakarta[3]

§  Gusti Kanjeng Ratu Anom

lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Dhanuningrat

§  Bendara Raden Ayu Purwadiningrat

lahir dari BRAy. Sasmitaningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purwadiningrat

§  Gusti Kanjeng Ratu Hayu

lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Paku Alam IV lalu bercerai kemudian menikah lagi dengan Raden Mas Adipati Harya Hadiningrat atau Kanjeng Pangeran Harya Chandranegara IV, Bupati Demak. Ia adalah nenek Raden Ajeng Kartini dari pihak ayah.

§  Gusti Kanjeng Ratu Bendara

lahir dari GKR. Sultan. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Wijil

§  Gusti Raden Ajeng Kusdilah

lahir dari GKR. Kencana, meninggal muda

§  Gusti Kanjeng Ratu Sasi

lahir dari GKR. Kencana. Menikah dengan Kanjeng Bendara Pangeran Harya Suryaning-Ngalaga putra Hamengkubuwana V, kemudian dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryadirja atau Kanjeng Raden Tumenggung Jayawinata

§  Bendara Raden Ayu Natayudha

lahir dari BRAy. Murtiningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumemggung Natayudha

§  Bendara Raden Ayu Mangkuyudha

lahir dari BRAy. Ratna Adiningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuyudha

§  Bendara Raden Ayu Suryamurcita

lahir dari BRAy. Dewaningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryamurcita

·        GALERI

7.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VII

Hamengkubuwana VII

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧗꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana VII

Sultan Yogyakarta ke-7



Bertakhta: 13 Agustus 1877 - 30 Januari 1921

Penobatan: 13 Agustus 1877

Pendahulu: Sultan Hamengkubuwana VI

Penerus: Sultan Hamengkubuwana VIII

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Gusti Raden Mas Murtejo

Kelahiran: 4 Februari 1839 (Senin Legi, 20 Dulkaidah Je 1766) Kraton Yogyakarta

Kematian: 30 Desember 1931 (umur 92) Pesanggrahan Ambarukmo, Yogyakarta

Pemakaman: Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Pitu ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana VI

Ibu: Gusti Kanjeng Ratu Sultan (Permaisuri kedua)

Permaisuri: Gusti Kanjeng Ratu Kencana/Gusti Kanjeng Ratu Wandhan, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Gusti Kanjeng Ratu Kencana II

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇, 4 Februari 1839 – 30 Desember 1931) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877-1921. Dia juga dikenal dengan sebutan Sinuwun Behi dan Sultan Ngabehi (Sultan Sugih).

·        RIWAYAT PEMERINTAHAN

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo, putra tertua Sultan Sri Sultan Hamengkubuwana VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Dia naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 13 Agustus 1877.

Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar F200.000,00. Hal ini membuat Sultan sangat kaya sehingga sering memperoleh julukan Sultan Sugih.

Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.

Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkotanya yang keempat (Gusti Raden Mas Sujadi, bergelar Gusti Pangeran Harya Purbaya) sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang pertama (Gusti Raden Mas Akhaddiyat, bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara I), yang seharusnya menggantikan ayahnya, tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. Penggantinya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara II (kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Juminah, kakek dari seniman Indonesia, Bagong Kussudiardja), diberhentikan karena alasan kesehatan. Putra mahkota yang ketiga, Gusti Raden Mas Putro (bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara III), meninggal dunia tanggal 21 Februari 1913 akibat sakit keras setelah kembali dari Kulon Progo.

Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.

Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada cerita bahwa sang ayah diasingkan oleh putera mahkota yang keempat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar keraton Yogyakarta)

Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah Hamengkubuwono VII yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII (meninggal dunia setelah menjemput putra mahkota, Gusti Raden Mas Dorojatun, dari Batavia) dan Hamengkubuwono IX (meninggal dunia di Amerika Serikat). Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Pemakaman Imogiri.

Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandita (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarrukmo.

·        KEHIDUPAN PRIBADI

Anak tertua dari Sultan Hamengkubuwana VI dan istri pertamanya Kanjeng Ratu Sepuh/Gusti Kanjeng Ratu Sultan/Gusti Kanjeng Ratu Hageng dan diangkat anak oleh Gusti Kanjeng Ratu Kencana.

1.      PEMAISURI (GARWA PADMI)

§  Bendara Raden Ayu Sukina/Bendara Raden Ayu Mangkubumi (b. 1836), putri termuda Hamengkubuwana V dengan istri keduanya, Bendara Raden Ayu Dewaningsih.

§  Gusti Kanjeng Ratu Hemas, putri dari Kanjeng Raden Tumengung Jayadipura atau dari Pangeran Suryadiningrat.

§  Gusti Kanjeng Ratu Kencana, kemudian diasingkan lalu bergelar Gusti Kanjeng Ratu Wandhan, putri dari Raden 'Ali Basa 'Abdu'l-Mustafa Senthot Prawiradirja.

§  Gusti Kanjeng Ratu Kencana II/Bendara Raden Ayu Ratna Sri Wulan, putri dari Bendara Pangeran Harya Hadinegara.

 

2.      SELIR (GARWA AMPEYAN)

§  Bendara Raden Ayu Ratnaningsih.

§  Bendara Raden Ayu Ratnaningdia.

§  Bendara Raden Ayu Ratna Adi.

§  Bendara Raden Ayu Ratnasangdia.

§  Bendara Raden Ayu Ratnajiwata.

§  Bendara Raden Ayu Puryaningdia.

§  Bendara Raden Ayu Devaratna.

§  Bensara Raden Ayu Puspitaningdiya.

§  Bendara Raden Ayu Srengkara Adinindia.

§  Bendara Raden Ayu Rukmidiningdia.

§  Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum.

§  Bendara Raden Ayu Ratna Puspita.

§  Bendara Raden Ayu Tejaningrum.

§  Bendara Raden Ayu Ratna Mandaya, putri dari Patih Dhanuraja VI.

 

3.      ANAK

§  Memiliki 31 putra

§  Memiliki 38 putri


·        GALERI

8.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII

Hamengkubuwana VIII

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧘꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana VIII

Sultan Yogyakarta ke-8

Bertakhta: 8 Februari 1921 - 22 Oktober 1939

Penobatan: 8 Februari 1921 (Selasa Kliwon, 29 Jumadil Awal Alip 1851)

Pendahulu: Sultan Hamengkubuwana VII

Penerus: Sultan Hamengkubuwana IX

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Gusti Raden Mas Sujadi

Kelahiran: 3 Maret 1880, Kraton Yogyakarta

Kematian: 22 Oktober 1939 (umur 59), RS Panti Rapih, Yogyakarta

Pemakaman: Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Wolu ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana VII

Ibu: Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Permaisuri kedua)

Permaisuri: Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana VIII (atau Gusti Raden Mas Sujadi, lahir di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, 3 Maret 1880 – meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, 22 Oktober 1939 pada umur 59 tahun) Hanacaraka: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧘꧇ adalah salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939. Beliau dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada 8 Februari 1921. Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertakhta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden.

·        PEMERINTAHAN

Pada masa pemerintahannya, ia banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah Bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang direhabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Ia juga merupakan salah satu orang pertama dari kalangan politikus papan atas Kota Yogyakarta yang mendukung perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam pembentukan Muhammadiyah sebagai bentuk loyalitasnya pada Islam.

·        PENGHARGAAN

 

§  Grand Cross of the Order of Orange-Nassau (1937)

§  Commander of the Order of the Netherlands Lion (1925)

§  Grand Cross of the Order of the Wendish Crown of Mecklenburg

§  Grand Cross of the Royal Order of Cambodia

§  Grand Cross of the Order of the Black Star of Benin of France

§  Knight Commander of the Most Noble Order of Thailand (1929)

§  Grand Officer of the Order of Leopold II of Belgium

§  Commander 1st Class of the Order of Vasa of Sweden

§  Grand Officer of the Order of the Million Elephants and White Parasol of Luang Prabang (Laos)

 

·        MENINGGAL DUNIA

Ia meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di daerah Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput Gusti Raden Mas Dorojatun dari Belanda. Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia di rumah sakit Onder de Bogen (kini Rumah Sakit Panti Rapih) setelah jatuh sakit di dalam kereta api di wilayah Kroya. Gusti Raden Mas Dorojatun yang belum sempat menyelesaikan sekolahnya, mendadak dipanggil pulang. Di Batavia, Sultan menyerahkan keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada Gusti Raden Mas Dorojatun sebagai tanda suksesi kerajaan, sekaligus sebagai isyarat bahwa Gusti Raden Mas Dorojatun-lah yang kelak akan menggantikan sebagai Sultan.

·        KEHIDUPAN PRIBADI

1.      ISTRI

§  Raden Ayu Siti Katina, putri Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, tahun 1907.

§  Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya

§  Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya

§  Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya

§  Raden Ayu Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamangkunegara/Kanjeng Ratu Alit, putri Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi (putra Hamengkubuwana VI).

§  Bendara Raden Ayu Rukmi Aningdiya

§  Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum

§  Bendara Raden Ayu Ratna Puspita

 

2.      ANAK     

a)      PUTRA

§  Bendara Raden Mas ... dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya, meninggal sebelum sempat diberi nama.

§  Bendara Raden Mas Mustari dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya

§  Mayor Bendara Raden Mas Jartabitu/Kanjeng Gusti Pangeran Hangabehi dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan Bendara Raden Ayu Siti Mustakirun.

§  Kapten Bendara Raden Mas Sungangusamsi/Gusti Bendara Pangeran Harya Purbaya dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya, menikah dengan Bendara Raden Ayu Madusari/Raden Ayu Purbaya.

§  Bendara Raden Mas Sumeru/Gusti Bendara Pangeran Harya Dhanupaya dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya

§  Bendara Raden Mas Sudiarsa dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya

§  Bendara Raden Mas Kartala/Gusti Bendara Pangeran Harya Mangkudiningrat dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya, menikah dengan Raden Ajeng Sumani dan menikah dengan Raden Ajeng Amiratna/Bendara Raden Ayu Mangkudiningrat, putri kedua dari Paku Alam VI dan Kanjeng Gusti Timur (putri Paku Alam III).

§  Bendara Raden Mas Tinggartala/Gusti Pangeran Harya Prabuningrat dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya

§  Gusti Raden Mas Dorojatun/Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara/Kanjeng Ratu Alit.

§  Bendara Raden Mas Duryatnanu dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdia

§  Bendara Raden Mas Mahikyaun/Gusti Bendara Pengeran Harya Suryawijaya dari Bendara Raden Ayu Rukmi Aningdiya

§  Bendara Raden Mas Rais ul-Ngah Askari/Gusti Bendara Pangeran Harya Bintara dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya

§  Bendara Raden Mas Alpasuatlamin/Gusti Bendara Pangeran Harya Suryabrangta dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya

§  Bendara Raden Mas Mupasalukatini dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya

§  Bendara Raden Mas Ila ul-Kirami/Gusti Bendara Pangeran Harya Murdaningrat dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya

§  Bendara Raden Mas Makan ul-Munayati/Gusti Bendara Pangeran Harya Pujakusuma dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya

§  Bendara Raden Mas Pel ul-Kuluki/Gusti Bendara Pangeran Harya Suryaputra dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum

§  Bemdara Raden Mas Sunwata/Gusti Bendara Pangeran Harya Hadiwijaya dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita

§  Bendara Raden Mas Sahadatsatir dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita

§  Bendara Raden Mas Hening/Gusti Bendara Pangeran Harya Yudhanegara dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum

§  Bendara Raden Mas Dr. Banakamsi/Gusti Bendara Pangeran Harya Dr. Dipayana dari Bendara Raden Ayu Tejaningrum

§  Bendara Raden Ayu Satriya/Gusti Bendara Pangeran Benawa dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum

§  Bendara Raden Mas Danangjaya dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum

§  Bendara Raden Mas Rabinharyani/Gusti Bendara Pangeran Harya Puger dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita

 

b)     PUTRI

§  Bendara Raden Ajeng Gusti Siti Sundarumiya/Gusti Kanjeng Ratu Pembayun dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya, menikah dengan Bendara Pangeran Harya Pakuningrat (putra tertua Kanjeng Gusti Raden Mas Putra/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamengkunegara)

§  Bendara Raden Ajeng Siti Sayadi/Gusti Bendara Raden Ayu Sinduraja dari Bendara Raden Ayu Purya Aningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Sinduraja.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Sadari/Gusti Bendara Raden Ayu Purbawinata dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purbawinata/Kanjeng Pangeran Harya Purbawinata.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Kadarmi/Gusti Bendara Raden Ayu Jayaningrat dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Jayaningrat.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Kajananywa/Gusti Bendara Raden Ayu Jayawinata dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Jayawinata.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Mutasangilun dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya

§  Bendara Raden Ajeng Siti Nuriwadina/Gusti Bendara Raden Ayu Chandradiningrat dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Chandradiningrat.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Kuswanayi/Gusti Bendara Raden Ayu Cakradiningrat dari Bendara Raden Ayu Rukmi Aningdiya, menikah dengan Gusti Bendara Pangeran Harya Cakradiningrat (putra dari Kanjeng Gusti Raden Mas Putra/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamengkunegara).

§  Bendara Raden Ajeng Siti Sriwayati/Gusti Bendara Raden Ayu Purbasaputra dari Bendara Raden Ayu Srengkara Aningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purbaseputra.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Swandari/Gusti Bendara Raden Ayu Purwadiningrat dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purwadiningrat.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Hilal ul-Ngasarati/Gusti Bendara Raden Ayu Kusumadiningrat dari Bendara Raden Ayu Puspitaningdiya, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Kusumadiningrat.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Sutyanti/Gusti Bendara Raden Ayu Jayaningrat dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum, menikah dengan Ir. Raden Puspaharsana Jayaningrat.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Padmasari/Gusti Bendara Raden Ayu Sumarman dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum, menikah dengan Raden Sumarman, S.H.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Wayarini dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita

§  Bendara Raden Ajeng Siti Prayuti dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita

§  Bendara Raden Ajeng Siti Widyastuti/Gusti Bendara Raden Ayu Andayaningrat dari Kanjeng Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum, menikah dengan Raden Suwarna Andayaningrat.

§  Bendara Raden Ajeng Siti Sutarnin dari Bendara Raden Ayu Ratna Puspita

 

·        GALERI

9.     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

Hamengkubuwana IX

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana IX

Sultan Yogyakarta ke-9

Bertakhta

18 Maret 1940 – 2 Oktober 1988

Penobatan: 18 Maret 1940

Pendahulu: Sultan Hamengkubuwana VIII

Pengganti: Sultan Hamengkubuwana X

Wakil Presiden Indonesia ke-2

Masa jabatan

23 Maret 1973 – 23 Maret 1978

Presiden: Soeharto

Pendahulu: Mohammad Hatta

Pengganti: Adam Malik

Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1

Masa jabatan

6 September 1950 – 27 April 1951

Presiden: Soeharto

Pendahulu: Tidak ada, jabatan baru

Pengganti: Widjojo Nitisastro

Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5

Masa jabatan

6 September 1950 – 27 April 1951

Presiden: Soekarno

Perdana Menteri: Mohammad Natsir

Pendahulu: Abdul Hakim

Pengganti: Suwiryo

Menteri Negara Indonesia

1948-1949: Menteri Negara

1948–1950: Menteri Pertahanan

1952–1953: Menteri Pertahanan              

1964–1966: Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan

1966: Menteri Pariwisata

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1

Masa jabatan

4 Maret 1950 – 2 Oktober 1988

Wakil: Paku Alam VIII

Pengganti: Paku Alam VIII

Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka ke-1

Masa jabatan

14 Agustus 1961 – 27 November 1974

Pendahulu: Tidak ada, jabatan baru

Pengganti: M. Sarbini

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Gusti Raden Mas Dorodjatun

Lahir: 12 April 1912, Ngasem, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Keresidenan Yogyakarta, Hindia Belanda

Meninggal: 2 Oktober 1988 (umur 76) Washington, D.C., Amerika Serikat

Pemakaman: Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa: Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana VIII

Ibu: Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah)

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana IX (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇; 12 April 1912 – 2 Oktober 1988, lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX juga merupakan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.

·        KEHIDUPAN AWAL DAN PENDIDIKAN

1.      MASA KECIL

Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan Gusti Pangeran Puruboyo dari istri utamanya, Raden Ajeng Kustilah. Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta. Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915. Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918–1919. Monfries serta Roem dkk. menuliskan bahwa penyebab pemulangan ini adalah retaknya hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya; sementara Romo Tirun mengatakan bahwa penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk melindungi KRA Adipati Anom.

Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal terpisah dari keraton. Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan. Ia tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman. Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda. Nama panggilan ini terus ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.

Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School kemudian Eerste Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian, ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada bulan Juli 1925. Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III sekolah tersebut, yaitu pada bulan Februari 1921. Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.

Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal bersama keluarga Voskuil, seorang sipir penjara di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup panas, Dorodjatun merasa tidak cocok dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HBS Bandoeng pada tahun 1928. Di sana, ia bersama kakaknya, BRM Tinggarto, tinggal bersama dengan seorang tentara militer Belanda, Letnan Kolonel De Boer.

2.      PENDIDIKAN DI BELANDA

Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung, ayah Dorodjatun dan Tinggarto memerintahkan mereka untuk belajar ke Belanda. Mereka berangkat melalui jalur laut bulan Maret 1930 dengan ditemani oleh keluarga Hofland, seorang direktur pabrik gula di Gesikan. Mereka berdua bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem yang merupakan gabungan dari dua lembaga berbeda, yaitu Hoogere Burgerschool B (HBS-B) dan Stedelijk Gymnasium. Di Haarlem, mereka tinggal di kediaman kepala sekolah mereka, Mourik Broekman.[20] Dorodjatun kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di sekolah tersebut. Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda, ia harus turun dua kelas di Haarlem. Ia bukanlah siswa yang istimewa maupun cemerlang di sana. Meskipun beberapa nilainya tergolong baik, Dorodjatun harus mengulang di beberapa mata pelajaran, terutama hingga dua kali di pelajaran geometri dan trigonometri. Kakaknya, Tinggarto, juga mengalami hal yang sama di Haarlem. Keduanya berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun 1934.

Dorodjatun dan kakaknya kemudian pindah ke Leiden. Mereka masuk ke perguruan tinggi Rijksuniversiteit Leiden, kini Universitas Leiden. Dorodjatun mengambil studi Indologi, studi yang mempelajari administrasi kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda; sementara Tinggarto memilih studi yang lebih populer, yakni bidang hukum. Belum sempat menyelesaikan tesis untuk gelar doktorandusnya, Dorodjatun bersama saudara-saudaranya yang berada di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja untuk kembali ke Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke Polandia tahun 1939. Tesis yang hampir selesai tersebut dibawa ke Jawa bersamanya dalam bentuk manuskrip dan belum pernah dikumpulkan. Naskah itu hilang dan hanya diketahui judulnya saja, yaitu "Kontrak Politik antara Sunan Solo dan Pemerintah Belanda". Hingga akhir hayatnya, Hamengkubuwana IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat mengikuti wisuda kelulusannya.

·        MENJADI SULTAN YOGYAKARTA

1.      PULANG KE HINDIA BELANDA

Setelah tiba di Batavia pada bulan Oktober 1939, GRM Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok. Paman-paman yang menjemputnya bersikap hormat serta menggunakan krama inggil untuk menegurnya, bukan ngoko seperti biasanya. Dorodjatun beserta rombongan penjemputnya kemudian pergi menuju Hotel des Indes, tempat ayah dan anggota keluarga lainnya menginap di Batavia.

Ketika seorang penguasa swapraja sedang berada di Batavia, umumnya ada banyak agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang dihadiri keluarga kerajaan bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan santapan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada saat bersiap untuk menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun disematkan keris Kyai Jaka Piturun oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada putra penguasa yang dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini menandakan bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.

Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia, keluarga kerajaan beserta Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta api Eendaagsche Express. Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Sesampainya di Yogyakarta, ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga wafat pada tanggal 22 Oktober 1939.

2.      KONTRA POLITIK

Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan menandatangani kontrak politik baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika Dorodjatun akan naik takhta. Sebelum pejabat Belanda dapat melakukan negosiasi dengan calon Sultan baru, proses suksesi di internal keluarga kerajaan harus diselesaikan terlebih dahulu. Dengan ini, Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para saudara dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya. Kesemua kerabatnya tidak keberatan jika Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya. Banyak penulis dan sejarawan yang mengatakan bahwa secara de facto dari sini Dorodjatun sebenarnya sudah menjadi Sultan Yogyakarta ke-9, tepatnya sekitar tanggal 26 Oktober 1939, dua hari setelah pemakaman ayahnya.

 

Untuk membuat kontrak baru, Dorodjatun harus bernegosiasi dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam sebagai perwakilan Pemerintah Hindia Belanda. Lucien Adam merupakan seorang pejabat senior Hindia Belanda dan seorang Javanicus (ahli adat istiadat Jawa). Monfries mencatat bahwa Gubernur Adam ingin segera membentuk hubungan yang baik dengan Dorodjatun dalam laporan-laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia. Mereka berdua pun memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengambil studi di Universitas Leiden, meskipun terpaut umur yang cukup jauh. Adam, yang umurnya sudah mendekati 50 tahun, merasa harus menjadi seperti figur ayah yang bertanggung jawab bagi Dorodjatun. Keduanya sebenarnya termasuk cukup akrab bahkan sering saling meminjam buku bacaan satu sama lain.

Hampir setiap hari Dorodjatun harus bertemu dengan Gubernur Adam sejak awal November 1939 untuk merundingkan kontrak politiknya. Perjanjian ini digunakan untuk memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa Hamengkubuwana VIII berkuasa dan memiliki isi yang lebih detail. Perundingan tersebut berlangsung alot. Menurut buku Takhta untuk Rakyat, pembicaraan mengenai jabatan Patih Danurejo yang selain bertanggung jawab kepada Sultan juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat dari Pemerintah Hindia Belanda, serta prajurit keraton yang diminta agar berada di bawah KNIL menjadi penyebabnya. Sementara itu, Monfries, mengutip laporan-laporan Gubernur Adam, menuliskan bahwa Adam mengalami kesulitan dalam perundingan di bidang anggaran sipil, kepolisian, hutan, dan jangkauan otoritas hukum Sultan atas rakyat-rakyatnya. Monfries berpendapat bahwa sangat sulit menemukan penjelasan dari bukti-bukti yang ada atas perbedaan yang sangat besar dari versi Hamengkubuwana dengan laporan-laporan Gubernur Adam.

Di lain hal, Gubernur Adam, dalam laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia, mengatakan bahwa Dorodjatun memiliki perilaku yang baik. Ia menambahkan bahwa Dorodjatun telah mengubah sistem perbelanjaan di keraton dengan cepat. Rencana kebijakan lain yang disorot oleh Adam adalah reformasi besar-besaran di keraton oleh Dorodjatun, yaitu dalam hal tingkat kekuasaan kepada rakyatnya, pembagian antara kekayaan keraton dan kesultanan yang lebih jelas, dan pengaturan pembayaran gaji kepada anggota keluarganya. Selain itu, Dorodjatun ingin mengurangi jumlah pegawai negeri sembari menaikkan gaji mereka, juga mengubah peran tentara dengan menambahkan tugas jaga kepada mereka.

Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun tiba-tiba menyetujui kontrak politik tersebut secara langsung tanpa adanya penolakan atas isi-isinya sebagaimana yang telah ia sampaikan dalam perundingan-perundingan sebelumnya. Ia mengaku melakukannya setelah mendapatkan wisik (bisikan) dari almarhum ayahnya yang mendatanginya dalam mimpi.

 

Wis, Tholé, tekena waé. Landa bakal lunga saka bumi kéné.

(Sudahlah, Nak, tanda tangani saja. Belanda akan pergi dari bumi sini.)

Wisik yang diterima Dorodjatun.

 

Kegiatan perundingan selesai lebih cepat daripada laporan Gubernur Adam tanggal 18 Februari 1940 yang menyatakan bahwa perundingan mungkin selesai pada bulan April sebelum Grebeg diadakan. Dengan demikian, prosesi upacara penobatan dilaksanakan sebulan lebih cepat daripada pelaksanaan Grebeg. Kontrak politik yang terdiri atas 17 bab dan 59 pasal tersebut kemudian ditandatangani oleh kedua pihak pada tanggal 12 Maret 1940 meskipun dalam surat tertanggal 18 Maret 1940.

3.      PENOBATAN

GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret 1940, sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.

Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara, serta dua pangeran dari Solo. Beberapa pejabat senior Belanda seperti H.J. van Mook, Gubernur Semarang, dan Gubernur Solo juga hadir. Dalam upacara ini, Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato yang bernada progresif dan teguh pendirian serta menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa.

·        PERANG DUNIA II

1.      PENDUDUKAN BELANDA

Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda rencananya akan menghadiri perayaan naik takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1940. Belum sempat sampai di Yogyakarta, Panglima dipanggil kembali ke Belanda. Dua hari setelah perayaan dilangsungkan, Jerman menduduki Belanda. Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengumpulkan dana perang; Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite Dukungan dengan sumbangan sebesar 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden dari Kesultanan Yogyakarta, dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian, otoritas Belanda agak kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit berbicara untuk hal ini, berbeda dengan Paku Alam yang menyatakan dukungannya kepada Gubernur Adam.

Pada bulan April–Mei 1941, Menteri Koloni Charles Walter sempat berkunjung ke Hindia Belanda, tetapi tidak mengunjungi Vorstenlanden meskipun telah didesak oleh pers lokal. Tanggal 6 Desember 1941, Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang setelah terjadinya Pengeboman Pearl Harbor. Gubernur Adam dalam pertemuannya dengan Gubernur Jenderal di Batavia menyusun rencana apabila Jepang menyerang Hindia Belanda. Monfries mengungkapkan bahwa empat penguasa Vorstenlanden rencananya akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Jakarta atau Bandung; sementara Sultan mengatakan bahwa keempat penguasa akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Australia. Hamengkubuwana menolak ajakan tersebut dan menyatakan akan tetap berada di Yogyakarta. Dalam beberapa catatan dan wawancara, ia juga mengatakan bahwa Belanda memiliki rencana untuk menculiknya dan menjadikannya tawanan, tetapi pergerakan tentara Jepang yang sangat cepat menyebabkan rencana ini gagal.

"Apa pun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat".

2.      PENDUDUKAN JEPANG

Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang. Tentara Jepang yang datang kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada Gubernur Adam untuk sementara. Gubernur Adam dan Hamengkubuwana IX selalu aktif memberikan pesan publik agar tidak terjadi kepanikan di masyarakat. Setelah keadaan Yogyakarta lebih tenang, Sultan Hamengkubuwana bersama Patih Danurejo mengunjungi beberapa daerah kekuasaannya. Sultan menyimpulkan bahwa rakyat tetap tenang dan tidak terlalu terganggu dengan keadaan perang. Hamengkubuwana yang mudah mengadaptasikan pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang sangat aktif dalam mengumumkan dan mengimplementasikan sebagian besar isi dekret pemerintahan militer Jepang, membuat atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai. Terlepas dari itu, Adam diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret dan diasingkan secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.

Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya di bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih Dalem yang sebelumnya harus bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah Kolonial Belanda kini hanya bertanggung jawab kepada Sultan saja. Pada tanggal 1 Agustus 1942, Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta menjadikan Yogyakarta sebuah Kooti atau Kochi, sementara Hamengkubuwana IX menjadi Koo (penguasa) wilayah tersebut. Jepang menganggap Sunan Pakubuwana sebagai primus inter pares di antara keempat penguasa Vorstenlanden; ketika ada undangan pertemuan dengan petinggi tentara Jepang, Sunan sering mewakili tiga penguasa lainnya. Jika Sunan dan Sultan bersama-sama hadir, Sunan mewakili Surakarta dan Mangkunegaran, sementara Sultan mewakili Yogyakarta dan Pakualaman. Bulan September 1944, Pakubuwana XI jatuh sakit, Hamengkubuwana IX menggantikannya menjadi perwakilan di antara para penguasa Vorstenlanden. Peran ini kemudian diambil kembali oleh Pakubuwana XII ketika naik takhta menggantikan ayahnya yang mangkat.

Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa, banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi data statistik produktivitas pertanian dan peternakan.  Sultan mengajukan pembangunan sebuah kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak agar pengairan sawah dapat dilakukan sepanjang tahun dari yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan. Usulan ini diterima oleh pihak Jepang. Monfries mencatat bahwa pemerintah kolonial bahkan membantu pendanaan pembangunannya sebanyak satu juta gulden. Pembangunan saluran irigasi ini kemudian dijadikan alasan agar tidak banyak romusa yang diambil dari Yogyakarta, sehingga masyarakat lebih difokuskan di sini. Saluran irigasi ini kemudian disebut Selokan Mataram, sementara dalam bahasa Jepang dinamakan Gunsei Hasuiro atau Gunsei Yosuiro (Kanal Yosuiro). Saluran ini dinilai berhasil, ditandai dengan meningkatnya produktivitas pertanian sehingga sumbangan bahan pangan kepada tentara Jepang juga meningkat. Meskipun telah berhasil mengurangi jumlah romusa yang diambil kolonial, Romo Tirun mengungkapkan bahwa tetap ada penduduk yang diambil menjadi romusa, tetapi jika dibandingkan dengan daerah lain maka jumlah di Yogyakarta lebih sedikit. Klaim ini dibantah oleh Monfries yang menuliskan bahwa walaupun memang jumlahnya lebih kecil daripada keseluruhan Jawa, laporan tahun 1944 mengatakan bahwa jumlah romusa yang dikirim malah melebihi jumlah yang diminta Jepang.

Selama masa pendudukan Jepang ini, Hamengkubuwana IX melakukan beberapa reformasi di Kesultanan. Pada akhir bulan Juli 1942, ia mengganti nama-nama lembaga pemerintahan daerah yang sebelumnya berbahasa Belanda menjadi berbahasa Jawa. Pada tahun 1944, ia membuat layanan publik dapat diakses dari kelas dan kelompok masyarakat mana pun sehingga banyak pegawai negeri yang diterima dari kalangan biasa, membentuk komite daerah untuk membantu para panewu (camat), juga mengeluarkan instruksi agar pelatihan pegawai negeri dilakukan lebih intensif. Selain itu, ia menghapus distrik dan menjadikan kapanewon (kecamatan) sebagai lembaga administratif terbawah, juga menghapus pengadilan khusus bagi bangsawan. Selo Soemardjan mengungkapkan bahwa sebagian besar reformasi itu adalah uji coba, sehingga tidak semuanya berjalan dengan sukses.

Akhir tahun 1944, kesehatan Patih Danurejo yang merupakan sepupu ayah Sultan mulai menurun. Pada tanggal 17 Juli 1945, Patih Danurejo mengundurkan diri dengan alasan umur yang sudah lanjut dan telah mengabdi selama 12 tahun di jabatan tersebut. Hamengkubuwana IX mengambil alih tugas-tugasnya sejak 1 Agustus 1945 dan berkantor di Kepatihan, tempat para patih bekerja. Meskipun dalam dekret pembentukan Kooti dijelaskan bahwa Pemerintahan Tentara Jepang harus menunjuk seorang Somutyokan (Patih), pemerintah saat itu tidak mempermasalahkan hal ini. Sejak saat itu, jabatan Patih Danurejo dihapuskan.

·        MASA REVOLUSI NASIONAL

1.      BERGABUNG DENGAN INDONESIA

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 20 Agustus 1945, dikirimkan lagi telegram oleh Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta, menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan"; diikuti oleh Paku Alam VIII. Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai kerajaan di Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia. Pada tanggal 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Paku Alam VIII juga menyatakan amanat setelahnya atas Kadipaten Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta. Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat, ditandai dengan tibanya Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini ditandatangani Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta tiba, menandakan bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian Indonesia.

2.      AWAL MASA REVOLUSI NASIONAL

Karena banyaknya jumlah laskar pemuda setelah kemerdekaan, termasuk di Yogyakarta, Hamengkubuwana IX meminta para pemuda melapor kepadanya di kantornya (Kepatihan) agar lebih mudah mengorganisasikan mereka. Ia kemudian membentuk Laskar Rakyat Mataram, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tentara Rakyat Mataram, gabungan dari laskar-laskar yang telah ada. Sri Sultan menjadi panglimanya, sementara Selo Soemardjan menjadi kepala stafnya. Setelahnya, Hamengkubuwana diterima menjadi perwira kehormatan senior Tentara Keamanan Rakyat, menjadi anggota dewan tertinggi tentara bersama tiga penguasa Catur Sagotra yang lain, serta menerima pangkat jenderal kehormatan pada bulan November 1945.

Bulan November 1945, saat Pertempuran Surabaya terjadi, Sri Sultan melawat ke Surabaya. Ia bertemu dengan Gubernur Soerjo di Mojokerto sebelum tiba di pinggiran Kota Surabaya. Sultan mengatakan kepada wartawan bahwa pertempuran ini menunjukkan kekejaman Inggris serta kebijakan diplomasi bukanlah hal yang tepat untuk kasus ini. Terdapat cerita terkenal dari kunjungan ini, yaitu ketika Sultan mencapai daerah sekitar Madiun, ia dicegat sekelompok warok yang menanyakan, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab, "Saya Suyono," dan lolos.

3.      YOGYAKARTA MENJADI IBU KOTA NEGARA

Pada tanggal 3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pemindahan ini pada awalnya merupakan tawaran Sri Sultan dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui kurir ke Jakarta. Sore tanggal 4 Januari 1946, Soekarno, Mohammad Hatta, dan para pejabat negara kala itu berangkat dengan perjalanan kereta luar biasa ke Yogyakarta. Kedatangan mereka di Stasiun Tugu disambut oleh Sri Sultan.

Untuk kebutuhan pemerintahan RI, banyak gedung di Yogyakarta dijadikan kantor-kantor pemerintah. Salah satunya adalah Gedung Agung menjadi kantor presiden yang hingga saat ini masih menjadi Istana Presiden Indonesia. Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Sultan Hamengkubuwana membantu pendanaan operasional pemerintahan RI.

Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Hamengkubuwana memulai beberapa reformasi. Ia menetapkan seluruh bisnis resmi dilakukan dengan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa. Ia memberikan sebagian keraton untuk digunakan Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghibahkan lahan di Bulaksumur yang menjadi kampus UGM saat ini. Ia dinilai berhasil mengantisipasi adanya revolusi—seperti yang terjadi di Surakarta dan sebagian besar Sumatra—di Yogyakarta yang dikhawatirkan akan melengserkan dirinya.

4.      AWAL KARIER DI KABINET

Hamengkubuwana IX ditunjuk menjadi Menteri Negara di Kabinet Sjahrir III, pertama kalinya ia masuk ke dalam jajaran kabinet. Kala itu, ia ditugasi dalam urusan mengenai daerah istimewa di Indonesia. Semasa menjabat jabatan tersebut, ia memberi saran dan mencoba memecahkan masalah yang terjadi di daerah-daerah istimewa yang lain. Ia mengunjungi Surakarta setelah terjadinya pergolakan antarpihak pemerintahan di sana pada bulan Oktober 1946. Ia juga mengunjungi beberapa kota di Sumatra pada bulan Maret 1946 untuk melihat keadaan pemimpin adat dan keluarga mereka yang ditahan oleh revolusionis di sana. Bulan April 1947, ia kembali lagi ke Sumatra mengunjung Pematang Siantar, Bukittinggi, dan Medan. Ia mencoba menyelesaikan masalah revolusi sosial Sumatra, yang disebutkan Monfries sebagai "usaha yang hampir mustahil". Dalam kunjungannya ke Pematang Siantar, Hamengkubuwana sempat menegaskan bahwa Perundingan Linggarjati tidak menjamin kemerdekaan sepenuhnya, menekankan bahwa perlu adanya kesatuan antara tentara, pemerintah, dan masyarakat.

Pada tahun 1948, Hamengkubuwana IX ditunjuk menjadi Menteri Negara Koordinator Keamanan dalam Kabinet Hatta I. Hatta pada awalnya menginginkannya menjadi Menteri Pertahanan, tetapi ia menolak sehingga Hatta yang mengisi jabatan itu. Bulan September 1948, terjadi Pemberontakan PKI di Madiun. Sri Sultan kemudian berdiskusi dengan Soekarno dan mengutus Abdul Haris Nasution ke Madiun. Nasution menganggap pemberontakan tersebut harus cepat ditumpaskan, ia khawatir komandan-komandan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan bergabung dengan pemberontak. Pada pertemuan kabinet setelahnya, Soedirman diberikan kuasa "untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi menjaga negara". Soedirman menempatkan Nasution dalam komando strategis operasi itu. Hamengkubuwana IX membuat siaran agar rakyat mendukung Soekarno dan pemerintahan Hatta, menegaskan bahwa pemerintahan ini dibentuk untuk membangun negara dan pihak komunis hanya ingin menghancurkannya. Hamengkubuwana, Gubernur Soerjo, dan Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur lantas pergi ke Madiun. Hamengkubuwana IX jauh di depan meninggalkan mobil Gubernur Soerjo dan Kepala Kepolisian yang kemudian diketahui terbunuh di Walikukun. Hamengkubuwana IX mengatakan bahwa ia dilaporkan hal tersebut oleh seorang kurir setengah jam setelah melewati daerah tersebut, kontras dengan klaim Nasution yang menyebutkan bahwa pembunuhan tersebut baru diketahui olehnya dua hari setelah jasad mereka ditemukan.

Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, Hamengkubuwana IX mengusulkan bentuk pemerintahan baru di Surakarta. Ia secara terbuka menyamakan Surakarta sebagai 'Barat yang Liar' (The Wild West). Ia melapor kepada Hatta bahwa pendekatan terbaik untuk menyelesaikan masalah di sana adalah dengan menggunakan organ administratif yang masih layak dengan tetap memasukkan para pangeran agar kalangan monarki tidak menjadi "kekuatan antirevolusioner". Ia mengusulkan Daerah Istimewa Surakarta dengan identitasnya sendiri tetapi dipandu undang-undang yang diberlakukan di Jawa Tengah. Struktur pemerintahan yang ada adalah daerah tersebut akan dipimpin seorang gubernur yang dipilih Presiden; dibantu tujuh orang dewan pemerintahan: lima orang dipilih badan legislatif daerah, satu dipilih Sunan Surakarta, dan satu dipilih Adipati Mangkunegara; dan juga dibantu oleh Dewan Penasihat yang terdiri atas Sunan dan Adipati. Keputusan ini dianggap lumayan memuaskan Republiken yang antifeodal tanpa menghilangkan pengaruh monarki demi menarik sentimen lokal karena penggabungan Surakarta ke Jawa Tengah yang belum begitu umum bagi rakyat Surakarta.

5.      AGRESI MILITER II

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi militernya. Aksi militer ini diawali dengan penyerbuan Lapangan Terbang Maguwo. Tentara Belanda mulai menyebar ke Yogyakarta dan mengepung kota. Soekarno segera melaksanakan sidang kabinet darurat. Sebelum sidang dimulai, Soekarno memberi tahu Sultan Hamengkubuwana IX bahwa ia tetap akan keluar kota untuk menghindari penangkapan Belanda. Perdana Menteri Mohammad Hatta sedang berada di Kaliurang untuk bertemu dengan Komisi Tiga Negara; karena tak kunjung datang di Gedung Agung, Sultan diminta Soekarno untuk menjemputnya. Sultan ditemani dengan Sjahrir berangkat ke Kaliurang, singgah sebentar di Kepatihan untuk memerintahkan persiapan pengungsian sementara bagi pemimpin pemerintahan di Gunungkidul, dan di tengah perjalanan menjumpai Hatta yang telah berjalan kembali ke kota. Mereka kembali ke Yogyakarta; ketika tiba di Gedung Agung, sidang telah selesai diputuskan. Soekarno memutuskan untuk tidak jadi keluar kota, membiarkan dirinya ditangkap oleh Belanda, dan memberikan kekuasaan kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Syafruddin diberitahukan keputusan ini melalui siaran radio, tetapi ia tak mengetahuinya. Meskipun demikian, Syafruddin telah berinisiasi membentuk pemerintahan serupa di sana, sehingga keputusan ini telah dilaksanakan meskipun tanpa konsultasi dengan pemerintah pusat.

6.      PENGEPUNGAN YOGYAKARTA

Siang hari tanggal 19 Desember 1948, Tentara Belanda telah sampai di tengah kota Yogya. Sultan Hamengkubuwana IX memerintahkan untuk menutup seluruh gerbang keraton agar tidak ada mata-mata Belanda yang masuk. Ia tidak menerima tamu kecuali rakyat yang telah mengungsi di keraton sebelum perintah penutupan gerbang dikeluarkan. Sultan sempat bertemu dengan Kolonel van Langen dan Westerhof, seorang pejabat Belanda, yang menunjukkannya sebuah peta Yogyakarta yang telah diberi tanda-tanda tertentu. Peta tersebut memiliki arti bahwa Sultan bebas bergerak tetapi hanya di dalam area keraton. Satu demi satu pemimpin negara diasingkan. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diberangkatkan ke Berastagi, sebelum kemudian disatukan kembali bersama Hatta, Mohamad Roem, Ali Sastroamidjojo, dan Assaat di Bangka Beberapa pemimpin negara yang selamat dapat meloloskan diri ke luar kota maupun hidup dalam penyamaran.

Bulan Januari 1949, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengundurkan diri dari jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar urusan keamanan diserahkan kepada tentara Belanda. Selain itu, karena tidak lagi mengemban tanggung jawab pemerintah daerah, mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk bekerja sama dengan Belanda, membuktikan bahwa rumor mereka bekerja sama dengan Belanda adalah salah. Belanda yang menyadari masih kuatnya pengaruh Sultan terhadap rakyatnya berusaha untuk merangkulnya. Letnan Gubernur Jenderal van Mook kemudian digantikan oleh Komisaris Tinggi Beel. Utusan-utusan Belanda dari kalangan bangsa Indonesia seperti Hussein Jayadiningrat dan Sultan Hamid II, juga pejabat-pejabat Belanda seperti Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan Kolonel van Langen yang satu persatu datang ke keraton, semuanya ditolak. Pada masa itu, Menteri Koloni Maan Sassen merencanakan sebuah negara bagian Indonesia yang baru di Jawa Tengah yang mungkin akan dipimpin oleh Sultan.

Sultan dibujuk dengan tawaran daerah kekuasaan di Kedu dan Banyumas, tambahan wilayah di Jawa Timur, kemudian seluruh Jawa dan Madura sebagai "Super Wali Negara", dan bahkan sebagai Deputi (Wakil) Gubernur Jenderal Hindia Timur. Tak hanya itu, Sultan juga ditawari saham perusahaan kereta api hingga sejumlah besar uang. Meskipun demikian, utusan-utusan tersebut hanya dapat bertemu saudara Sultan seperti Prabuningrat, Mudaningrat, dan Bintoro dengan alasan bahwa ia sedang sakit. Mereka menerima utusan-utusan tersebut tetapi tidak memberikan jawaban atau balasan atas tawaran yang ada. Tak peduli dengan itu, Kabinet Belanda masih tetap berharap Hamengkubuwana akan memihak kepada mereka.

7.      SERANGAN UMUM 1 MARET 1949

Karena kondisi perang yang berkepanjangan, Sultan Hamengkubuwana IX memandang rakyatnya makin menderita dan melihat semangat para pejuang makin memudar. Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi atas Indonesia pada tanggal 28 Januari 1949. Sultan mengetahui bahwa pada awal bulan Maret, sebuah rapat Dewan Keamanan PBB mengenai Indonesia akan diadakan kembali. Ia mengambil kesempatan ini dengan mengusulkan kepada Soedirman sebuah serangan agar dunia tahu bahwa Republik Indonesia masih ada. Soedirman menyetujuinya dan menyarankan Sultan berbicara dengan komandan setempat, Letkol Soeharto. Pada tanggal 14 Februari 1949, Letkol Soeharto bertemu dengan Sultan. Ia menyamar sebagai seorang abdi dalem. Pertemuan yang membahas rencana Serangan Umum 1 Maret ini, diadakan di tempat tinggal Prabuningrat, kakak Sultan.

Pada tanggal 22 Februari 1949, kompleks Kepatihan, kantor Sultan, dijarah oleh tentara Belanda. Mereka membawa beberapa dokumen, termasuk naskah tesis Sultan yang belum sempat dikumpulkan, dan menemukan beberapa instruksi rahasia. Oleh karenanya, para pejabat Belanda mulai tidak sabar. Mereka mulai berencana menggulingkan Sultan. Menteri Luar Negeri Belanda van Maarseveen setuju bahwa Komisaris Tinggi Beel dapat "menduduki keraton dan mengganti Sultan" jika situasinya memburuk. Beberapa sumber mencatat bahwa beberapa anggota keluarga Sultan sempat terbujuk, tetapi tidak berlangsung lama.

Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul enam pagi, ditandai dengan bunyi sirene berakhirnya jam malam yang ditetapkan Belanda, pasukan Indonesia menyerang Yogyakarta secara serentak. Setelah serangan berlangsung selama enam jam, pasukan berhasil menduduki tempat-tempat yang telah direncanakan, kemudian dikomando untuk menarik diri dan kembali ke pangkalan masing-masing. Ketika bala bantuan Belanda datang dari Magelang, para pejuang sudah menarik diri. Sore harinya, Kolonel van Langen dan Residen Stok datang, menuduh bahwa ada tembakan dari dalam keraton selama Serangan Umum. Mereka juga memberi tahu bahwa Jenderal Meijer, Komandan Umum Jawa Tengah, akan datang menemui Sultan.

Keesokan harinya, 2 Maret 1949, Jenderal Meijer datang. Sultan ditemani Prabuningrat menerima mereka dengan pakaian sederhana, untuk menunjukkan keterpaksaannya, hingga taraf sesuatu yang tidak sopan untuk menerima tamu dalam adat Jawa. Di sini Sultan sempat berkata, "Saya tidak meminta Tuan-Tuan datang ke Yogya," yang dimaksudkan kepada seluruh tamu yang datang. Selain itu, Sultan bahkan telah menyiapkan satu tas penuh pakaian, karena menduga akan ditangkap, dan akan turun takhta apabila berbagai provokasi Belanda makin menjadi-jadi. Namun, Sultan meminta agar ia "ditinggalkan dalam kedamaian" dan bila Belanda akan mengacak-acak keraton, "Lebih baik saya mati dulu!" Rombongan tersebut akhirnya meninggalkan keraton dengan tenang dan sopan.

8.      PENYERAHAN KEDAULATAN INDONESIA

Pada tanggal 3 Maret 1949, Majelis Permusyawaratan Federal (BFO) mengeluarkan resolusi yang menyerukan pemulangan pemimpin-pemimpin Republik dari pengasingan. Pada tanggal 23 Maret, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Kanada, yang dinilai berkekuatan lemah, tetapi memperkuat resolusi bulan Januari. Perundingan Roem-Roijen dimulai pada pertengahan April 1949; mencapai kesepakatan Persetujuan Roem-Roijen yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Hamengkubuwana IX membuka kembali kantor-kantor Kesultanan pada pertengahan bulan Mei. Tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta dimulai dari Bantul tanggal 24 Juni, dari Kota Yogyakarta tanggal 29 Juni, hingga dari DIY sepenuhnya pada tanggal 30 Juni 1949; kekuasaan atas Yogyakarta dikembalikan kepada Hamengkubuwana IX. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiba di Yogyakarta dari Bangka. Syafruddin Prawiranegara mengembalikan kekuasaan dari PDRI kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada tanggal 24 Juli 1949, dibentuk susunan delegasi Konferensi Meja Bundar. Persetujuan mengenai penyerahan kedaulatan Indonesia ditandatangani di Den Haag pada tanggal 2 November 1949. Di Amsterdam, dilakukan upacara penyerahan kedaulatan di Istana Dam oleh Ratu Juliana dengan Moh. Hatta. Di Jakarta, upacara serupa dilakukan di Istana Koningsplein oleh A.H.J. Lovink dengan Hamengkubuwana IX. Upacara dilanjutkan dengan penurunan Bendera Belanda dan penaikan Bendera Indonesia di Istana Koningsplein. Karena teriakan "merdeka" yang bersahutan di sana, Istana Koningsplein atau Istana Gambir kemudian mulai disebut sebagai Istana Merdeka.

·        PASCA REVOLUSI NASIONAL

Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai Wakil Presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.

·        KEPRAMUKAAN

Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.

Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961.

Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).

Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).

Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan. Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.

·        MANGKAT

Sultan Hamengkubuwana IX bersama KRA Nindyakirana berkunjung ke Washington, D.C. pada tanggal 27 September 1988. Di sana, Sultan bersama KRA Nindyakirana menginap di Hotel Embassy Row, tepat di depan KBRI Washington. Pada tanggal 28 September, Sultan menjalankan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Walter Reed. Ia juga menjadwalkan pemeriksaan kesehatan mata di Boston pada tanggal 3 Oktober. Sore hari Minggu, 2 Oktober 1988 waktu setempat, Sri Sultan diketahui muntah-muntah di hotel tempatnya menginap. 15 menit kemudian ambulans datang; Sultan dilarikan ke unit gawat darurat George Washington University Hospital. Tidak ada pengantar yang dapat masuk ke tempat perawatan gawat darurat Sultan. Pada pukul 20.05 waktu setempat, tim dokter menyatakan Hamengkubuwana IX telah meninggal dunia.

Kabar meninggalnya Hamengkubuwana IX disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada Presiden Soeharto pukul 07.00 WIB di kediaman Presiden di Jalan Cendana. Presiden Soeharto memutuskan untuk melakukan upacara pemakaman kenegaraan dan menetapkan masa berkabung selama seminggu. Beberapa saat kemudian, datang Duta Besar Amerika Serikat Paul Wolfowitz menyampaikan surat belasungkawa Presiden Ronald Reagan. Ia juga menyampaikan bahwa AS telah menyiapkan pesawat Air Force Two untuk menerbangkan jenazah Sultan hingga ke Jakarta. Soeharto berterima kasih atas bantuan AS, tetapi ia ingin pesawat Indonesia yang menjemput jenazah Sultan. Pada akhirnya disepakati Air Force Two akan terbang dari Pangkalan Udara Bersama Andrew, Maryland ke Pangkalan Udara Hickam, Honolulu. Pesawat Garuda Indonesia DC-10 kemudian membawa jenazah dari Honolulu ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Kamis, 6 Oktober 1988, jenazah telah sampai di Jakarta. Dilakukan upacara penerimaan dengan inspektur upacara Jenderal Benny Moerdani. Setelah disemayamkan sebentar di Kantor Perwakilan DIY di Jakarta, jenazah dilepas oleh Wakil Presiden Soedharmono dan diterbangkan ke Bandara Adisutjipto dengan pesawat Hercules milik TNI AU.

1.      PEMAKAMAN

Jumat, 7 Oktober 1988, jenazah Sultan telah sampai di Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada pukul 10.30 WIB, dilaksanakan pernikahan massal empat putra Sultan yang sebenarnya akan dilaksanakan tanggal 5 November. Pangeran Pakuningrat, Cakraningrat, Candraningrat, dan Yudhaningrat dinikahkan oleh Penghulu Keraton di depan peti jenazah Sultan. Keraton dibuka sejak pukul 14.00 hingga pukul 06.00 keesokan harinya dan langsung diramaikan oleh masyarakat yang berkumpul untuk menyaksikan.

Prosesi pemakaman Hamengkubuwana IX dimulai pada Sabtu, 8 Oktober 1988. Jenazah dilepas dari gerbang Magangan oleh Presiden Soeharto, Pangeran Purubojo (kakak Sultan), dan Pangeran Mangkubumi (putra sulung Sultan). Iring-iringan pembawa jenazah dipimpin oleh Pangeran Yudhaningrat. Di belakang kereta pembawa jenazah, kuda kesayangan Sultan dibiarkan berjalan tanpa penunggang mengikuti iring-iringan. Sesuai dengan tradisi, kereta Kyai Rata Pralaya yang membawa jenazah Sultan Hamengkubuwana dilewatkan di antara dua beringin kembar di Alun-Alun Selatan lalu di bawah Gerbang Nirbaya keluar dari kompleks keraton.

Pada pukul 15.00, iring-iringan tiba di Astana Imogiri, pemakaman kerajaan Wangsa Mataram. Jenazah disalatkan di Masjid Pajimatan sebelum dibawa dan dimakamkan di Astana Saptorenggo, tempat makam Sultan yang telah disiapkan sebelumnya. Pemakaman Sultan dihadiri oleh Ketua BPK Jenderal M. Jusuf; Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut; Kapolri; serta Duta Besar AS Paul Wolfowitz dan Duta Besar Australia Bill Morrisson.

·        PENINGGALAN

1.      SENI DAN BUDAYA

Meskipun sibuk di bidang pemerintahan, Hamengkubuwana IX juga peduli akan seni dan budaya di Yogyakarta. Ia mewariskan Tari Golek Menak yang terinspirasi dari cerita wayang golek dan Serat Menak yang bersumber kepada Hikayat Amir Hamzah. Ia juga mewariskan Tari Bedhaya Sapta yang dimainkan oleh tujuh orang, tidak seperti Tari Bedhaya pada umumnya yang dimainkan sembilan orang. Selain itu, ada pula Tari Bedhaya Sangaskara[m] atau Bedhaya Manten yang dimainkan enam orang pada saat pernikahan putra-putrinya.[169] Tari Bedhaya Arya Penangsang dan Bedhaya Damarwulan juga diciptakan olehnya.

 

Selain menekuni bidang tari, Sultan juga menekuni bidang fotografi. Ada dua kamera yang senantiasa dipakainya yang kini disimpan di Museum Hamengkubuwana IX, Keraton Yogyakarta. Beberapa hasil potret Hamengkubuwana IX adalah ketika Mohammad Hatta bersalaman dengan pemain sepak bola asal Mozambik pada tahun 1955. Pada tahun yang sama, ia juga sempat memotret atlet kejuaraan atletik Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di Stadion Ikada, Jakarta. Pada tahun 1972, ia juga sempat memotret Candi Borobudur sebelum dipugar.

·        KEHIDUPAN PRIBADI

1.      SILSILAH

Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri Raden Ajeng Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara/Kanjeng Ratu Alit.

2.      ISTRI, ANAK, MANTU

No

Istri

Anak

Mantu

 

 

 

1.

 

 

 

BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940)

BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH Hadikusuma

Dr. Sri Hardani

BRM Kaswara/GBPH Hadisurya       

Andinidevi

BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom           

Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata

BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma

KRT Murdakusuma

BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmakusuma

KRT Ir Suyono Darmakusuma

 

 

2.

 

  

RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943)           

BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X

Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas

BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo    

Hj. Nuraida

BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto     

Aryuni Utari

BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma    

KRT Riyakusuma

 


 

3.       

 


KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948)   

BRM Harumanta/GBPH Prabukusuma, S.Psi    

Roswarini Sri Yuniarsih

BRM Kuslardiyanta    

Jeng Yeni

BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM.   

Raden Roro Endang Hermaningrum

BRM Abirama/GBPH Candradiningrat         

Hery Iswanti

BRA Kushandanari      

 

BRA Sri Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo

KRT Padmokusumo Sastronegoro

 

 

4.       

 

 

KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII           

BRM Anindita/GBPH Pakuningrat    

Nurita Afridiana

BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat  

Lakhsmi Indra Suharjana

BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat

Farida Indah

BRM Sarsana/GBPH Suryomataram           

 

BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro    

Iceu Cahyani

BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro   

Rr. Endang Retno Werid Soelasmi Lim

5.       

Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Handaru Widharna (1977)

 

 

 

·        PENGHARGAAN

Atas jasa-jasanya kepada Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwana IX dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 1990 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53/TK/Tahun 1990.[2]

1.      TANDA KEHORMATAN

Hamengkubuwana IX juga dianugerahi berbagai tanda kehormatan dari dalam maupun luar negeri. Tanda kehormatan tersebut di antaranya:

v  INDONESIA

Bintang Republik Indonesia Adipradana: 20 Mei 1967

Bintang Mahaputera Adipurna: 20 Mei 1967

Bintang Mahaputera Adipradana: 15 Februari 1961

Bintang Gerilya: 1959

Bintang Bhayangkara Pratama: 30 Juni 1962

Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia

Satyalancana Peringatan Kemerdekaa

Satyalancana Kesetiaan

Satyalancana Perang Kemerdekaan II

Satyalancana Perang Kemerdekaan II

 

v  LUAR NEGERI

Malaysia

Seri Setia Mahkota (S.S.M. (K)) – Tun (1972)

Jerman

Salib Agung Orde Jasa Republik Federal Jerman

Belanda

Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda

Panglima Orde Oranye-Nassau

Thailand

Kesatria Salib Agung (Kelas Pertama) Orde Gajah Putih

Jepang

Kordon Agung Orde Matahari Terbit (1982)

Britania Raya

Honorary Knight Grand Cross of The Most Distinguished Order of St Michael and St George (GCMG; 1974)

 

·        GALERI

10 .     SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X

Hamengkubuwana X

ꦯꦿꦶꦯꦸꦭ꧀ꦡꦟ꧀ꦲꦩꦼꦁꦑꦸꦨꦮꦟ꧇꧑꧐꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana X

Sultan Yogyakarta ke-10

Mulai menjabat

7 Maret 1989

Penobatan: 1989, 34 tahun lalu

Pendahulu: Hamengkubuwana IX

Pewaris jelas: GKR Mangkubumi (Putri Mahkota)

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-3

Presiden: B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo

Wakil: Paku Alam IX (2003–2015) dan Paku Alam X (2016–sekarang)

Pendahulu: Paku Alam VIII

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Bendara Raden Mas Herjuno Darpito

Lahir: 2 April 1946 (umur 76), Indonesia Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Kebangsaan: Indonesia

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sedasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Hamengkubuwana IX

Ibu: KRAy. Windyaningrum

Permaisuri: Gusti Kanjeng Ratu Hemas

Anak:

GRA Nurmalita Sari/GKR Pembayun/GKR Mangkubumi

GRA Nurmagupita/GKR Condrokirono

GRA Nurkamnari Dewi/GKR Maduretno

GRA Nurabra Juwita/GKR Hayu

GRA Nurastuti Wijareni/GKR Bendara

Agama: Islam

Pekerjaan: Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Pendidikan: Universitas Gadjah Mada

Tanda Tangan:

Tanda tangan Hamengkubuwana X

 

 

 

Sri Sultan Hamengkubawana X, (sering disingkat HB X; (Hanacaraka): ꦯꦿꦶꦯꦸꦭ꧀ꦡꦟ꧀ꦲꦩꦼꦁꦑꦸꦨꦮꦟ꧇꧑꧐꧇; lahir 2 April 1946) yang lahir dengan nama Bendara Raden Mas Herjuno Darpito adalah raja Kasultanan Yogyakarta yang bertakhta sejak tahun 1989. Saat ini, ia juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ketiga yang menjabat sejak 3 Oktober 1998.

·        SILSILAH

1.       Anak laki-laki tertua dari Sultan Hamengkubuwana IX dari istri keduanya:

RA Siti Kustina (BRA Widyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anum)

2.       Menikah dengan :

Tatiek Drajad Suprihastuti (BRA Mangkubumi/GKR Hemas; putri dari Kolonel Raden Subanadigda Sastrapranata, pada tahun 1968).

3.       Memiliki saudara antara lain :

§  GBPH Joyokusumo

§  GBPH Hadiwinoto

§  GBPH Prabukusuma

§  GBPH Yudhaningrat

 

4.       Memiliki lima orang putri :

§  GRA Nurmalita Sari (GKR Pembayun/GKR Mangkubumi)

(menikah dengan KPH Wironegoro)

§  GRA Nurmagupita (GKR Condrokirono)

(menikah dan bercerai dengan [KRT] Suryokusumo)

§  GRA Nurkamnari Dewi (GKR Maduretno)

(menikah dengan KPH Purbodiningrat)

§  GRA Nurabra Juwita (GKR Hayu)

(menikah dengan KPH Notonegoro)

§  GRA Nurastuti Wijareni (GKR Bendoro)

(menikah dengan KPH Yudanegara)

 

·        MASA KECIL

Hamengkubuwana X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram.

Hamengkubuwana X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum Jurusan Ketatanegaraan di Universitas Gajah Mada pada 1983. Hamengkubuwana X juga sempat memimpin Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (KAGAMA).

1.      RIWAYAT PENDIDIKAN

§  SD Keputran I Yogyakarta (1959–1960)

§  SMP Negeri 3 Yogyakarta (1962–1963)

§  SMA Negeri 6 Yogyakarta (1965–1966)

§  Universitas Gadjah Mada (Fakultas Hukum, Jurusan Ketatanegaraan; 1982)

 

·        PENOBATAN

Penobatan Hamengkubuwana X sebagai raja Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat”.

Papan pengumuman mengumumkan penobatan Hamengkubuwana X tanggal 7 Maret 1989 sebagai raja Kasultanan Yogyakarta yang baru.

Setelah Sabdaraja pertama yang diucapkan pada tanggal 30 April 2015, gelarnya Sultan kemudian berubah menjadi “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama”.

Penobatan Bendara Raden Mas (BRM) Herjuna Darpita sebagai Raja Kesultanan Yogyakarta dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta merupakan yang pertama kali di dalam sejarah Republik Indonesia, setelah semua pendahulunya dinobatkan dibawah pemerintahan VOC maupun Hindia Belanda.

·        KEGIATAN ORGANISASI

Hamengkubuwana X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 2010, bersama dengan Surya Paloh, Hamengkubuwana X mencetuskan pendirian Nasional Demokrat.

·        MENJADI GUBENUR YOGYAKARTA

Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998 ia ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwana X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 ia ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini ia didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.

Sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, ia tidak menguber penghargaan dan piagam pengakuan. Menurutnya, peradaban kota memerlukan sentuhan kasih dan hati nurani.

"Kota kita tidak memerlukan kata pujian yang berlebihan. Dia hanya perlu sentuhan kasih dari hati nurani kita." (Kutipan dari Monumen Tapak Prestasi, Yogyakarta)

·        MENJADI JOGJA MENJADI INDONESIA

"Sudah semestinya keistimewaan Jogja adalah untuk Indonesia. Bahwa menjadi Jogja, adalah menjadi Indonesia."

Kalimat tersebut disampaikan dengan penuh penekanan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwana X dalam pembukaan Festival Kesenian Yogyakarta ke-29 di depan Gerbang Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Kepatihan, Yogyakarta.

"Menjadi Jogja, menjadi Indonesia."

Kalimat tersebut dimaknai bahwa karakter Jogja akan selalu menguatkan Indonesia. Mahasiswa, seniman, akademisi, wisatawan, dan terutama masyarakat Jogja diharapkan terus membawa nilai-nilai ke-Jogja-an ke berbagai titik di Indonesia. Nilai-nilai tersebut antara lain:

1.       'Hamemayu Hayuning Bawono', yang menciptakan kenyamanan.

2.       'Manunggaling kawula Gusti', yang mengajarkan ketauladanan.

3.       'Golong gilig', yang mencerminkan gotong royong.

4.       'Watak Satriya: Sawiji, Greget, Sengguh Ora Mingkuh', yang dimaknai sebagai jati diri yang kuat, tetapi tetap terbuka.

 

·        GEMPA YOGYAKARTA

Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 skala richter atau 6,3 magnitudo yang menewaskan lebih dari 6.000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya.

·        KIPRAH NASIONAL

Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton pada 7 April 2007, Hamengkubuwana X menegaskan tekadnya untuk mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

·        GELAR DAN TANDA KEHORMATAN

Pada 27 Desember 2011, ia menerima gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Gelar tersebut karena kiprahnya dalam seni dan budaya, terutama seni pertunjukan tradisi dan kontemporer sejak 1989.

1.      TANDA KEHORMATAN DALAM NEGERI

Indonesia

Bintang Mahaputera Utama - 2007

 

2.      TANDA KEHORMATAN LUAR NEGERI

Jepang

Order of the Rising Sun, Gold and 

 Silver Star 28 Juni 2022

 

·        PENERUS

Sultan Hamengkubuwana X menghadapi persoalan terkait penerusnya karena tidak memiliki putra dan hanya memiliki putri bernama. Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan Hamengkubuwana X secara mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama pada 6 Maret 2015. Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah "menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;" yang dianggap hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat Sultan selanjutnya.

1.     SABDA RAJA DAN DHAWUH RAJA

Pada akhirnya, Hamengkubuwana X memutuskan mengeluarkan Sabdaraja yang diucapkan pada tanggal 30 April 2015 dan Dhawuhraja pada tanggal 5 Mei 2015. Sabdaraja tersebut menghasilkan keputusan mengenai pengubahan nama gelarnya menjadi Hamengkubawana, sedangkan Dhawuhraja menghasilkan keputusan mengangkat GKR Pembayun sebagai GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng ing Mataram. Namun kemudian, pada tanggal 3 Juli 2015 Sultan menarik kembali Sabdaraja tersebut dan mencabut permohonan penggantian gelarnya di Pengadilan Negeri Yogyakarta, sehingga kini nama gelarnya kembali menjadi seperti semula.

·        GALERI






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AR (Augmented Reality)

  A.     APA ITU AUGMENTED REALITY AR (Augmented Reality) adalah teknologi yang memperluas dunia fisik dengan cara menambahkan lapisan infor...

HALAMAN