Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Surakarta (bahasa Jawa: ꧋ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦣꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀; Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pegon: ناڮاري كسنانن سوراكارتا هادنڠرت) adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745. Selanjutnya, sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan pihak- pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, menyepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Istana resmi Kesunanan Surakarta Hadiningrat yang terletak di Kota Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun 1743. Keraton ini mempunyai perpecahan yakni Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang merupakan istana dari Kesultanan Yogyakarta, sehingga secara tradisional Dinasti Mataram diteruskan oleh dua kerajaan , yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Total luas wilayah seluruh keraton surakarta mencapai 147 hektar, yakni meliputi seluruh areal di dalam benteng Baluwarti, Alun-Alun Lor, Alun-Alun Kidul, Gapura Gladag, dan kompleks Masjid Agung Surakarta. Sementara luas dari kedhaton (inti keraton) mencapai 15 hektar. Walaupun Kesunanan Surakarta secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal susuhunan/sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesunanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesunanan, termasuk berbagai persembahan atau hadiah dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Surakarta juga menjadi salah satu elemen penting
dalam penasehat pembangunan Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, dan
Kabupaten Klaten. Sebagai contoh yang paling besar adalah sebagai penasehat
pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Surakarta dan KRL Jogja-Solo.
A. SEJARAH
Kesultanan Mataram yang pecah akibat pemberontakan Trunajaya
pada tahun 1677 ibu kotanya oleh Sri Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di
Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk
pemerintahan, Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa
yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742, dan Mataram
yang berada di Kartasura saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura
berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa
Madura Barat (Bangkalan) yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah
rusak parah. Sri Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian
memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram
yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sri Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tidak jauh dari Bengawan Solo. Untuk pembangunan keraton ini, Sri Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah untuk selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di kawasan keraton.
Setelah istana kerajaan selesai dibangun dan ditempati, nama
Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam Bahasa
Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur";
dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat dimana penghuninya adalah
orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara
dan bangsa. Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan kebalikan dari
kata Kartasura. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan penyerahan
Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749.
Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan
istana resmi bagi Kesunanan Surakarta.
1. LATAR BELAKANG
Kesultanan Mataram yang beribu
kota di Plered, porak-poranda akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibu
kotanya oleh Susuhunan Amangkurat II lalu dipindahkan ke Kartasura. Pada
masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Keraton Kartasura
mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan
dari orang-orang Jawa anti VOC pada tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan
bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai Geger Pacinan.
Kesultanan Mataram yang menetap di Kartasura itu akhirnya mengalami keruntuhan.
Kota Kartasura kemudian berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati
Cakraningrat IV, seorang penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun
keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo,
akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota
Kerajaan Mataram yang baru.
2. ALASAN PEMINDAHAN
Bangunan Keraton Kartasura yang
sudah hancur kemudian dianggap "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II
lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau
Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama
Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff,
untuk mencari lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah
keraton baru di lokasi yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari
Kartasura, tepatnya di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi Bengawan
Solo (bahasa Jawa: Bengawan Sala). Untuk pembangunan keraton ini, Pakubuwana II
membeli tanah untuk selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah)
Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki
Ghe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.
Pemindahan keraton dari Kartasura
ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli
nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu menjadi baik, ramai, makmur.
Meskipun kekuasaan raja tidak seberapa luas, kekuasaan itu dapat berlangsung
lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat bertemunya
dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa, tempuran
mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekat dianggap keramat. Ketiga,
tempatkan Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sebuah sungai terbesar di Jawa
yang sejak dahulu kala mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa
Tengah dengan Jawa Timur. Fungsi sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai
abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur
darat.
Selanjutnya, yang keempat, karena
Sala telah menjadi desa, sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan
tenaga untuk pembabatan hutan yang didatangkan dari tempat lain. Selain
Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah ada sejak
zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya ditempati oleh abdi dalem
pembuat babud (permadani). Kelima, agar kebijakan VOC yang telah ditetapkan
dapat dilaksanakan dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang baru itu mudah
dicapai dari Semarang dan harus dijaga agar pemerintah mudah mengirimkan bala
bantuannya karena Semarang dikenal sebagai jalan masuk menuju Mataram. Keenam,
orang Jawa percaya bahwa keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah
kediaman yang didirikan di atas tanah itu. Tanah di Desa Sala dianggap layak
sehingga dibangun keraton di wilayah ini.
3. PROSES PEMINDAHAN
Atas kehendak Susuhunan Pakubuwana
II, Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha disarankan supaya
merencanakan serta memutuskan urut-urutan perjalanan pengamanan keraton dari
Kartasura ke Surakarta. Setelah upacara tradisional selesai, pada hari Rabu
Pahing tanggal 17 Sura/Muharam tahun Je 1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20
Februari 1745, Susuhunan pindah dari Kartasura ke keraton yang baru. Dalam Babad Giyanti I, prosesi penguncian Keraton Kartasura ke Keraton
Surakarta dituliskan bertepatan pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura dengan
candra sengkala Kumbuling Budaya Kapyarsi ing Nala, Susuhunan berangkat dari
Kartasura pindah ke Sala.
Selanjutnya oleh Pakubuwana II
nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam
bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur"
(versi lain mengartikannya sebagai "penuh" atau
"sempurna"); dengan harapan bahwa Surakarta yang menjadi tempat
di mana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk
kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa.
4. PERKEMBANGAN
Kerajaan Mataram yang berdiri di
Surakarta sebagai ibu kota pemerintahan kemudian menghadapi pemberontakan yang
besar karena Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwana II, pada tahun 1746
meninggalkan keraton dan bergabung dengan Raden Mas Said alias Pangeran
Sambernyawa. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena
sakit pada tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kekuasaan negerinya kepada
VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC yang dianggap
berhak melantik raja-raja Dinasti Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta;
setelah bubar VOC pada tahun 1799, kewenangan tersebut dilanjutkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dan berakhir pada masa Pendudukan Jepang pada tahun
1942.
B. ERA INDONESIA
Terdapat pendapat yang menilai bahwa pada awal
pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan
situasi politik Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang
berdaya dalam menghadapi kelompok anti daerah istimewa yang gencar bermanuver
dalam perpolitikan dan menyebarkan desas-desus bahwa para bangsawan Surakarta
merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak
percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kesunanan. Dalam buku seri Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution menulis bahwa
raja-raja Surakarta membelot dan menyerang Indonesia saat terjadi Agresi
Militer Belanda II tahun 1948–1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel
Jatikusuma (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan
yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangkunegara yang
baru. Namun sebagian rakyat dan tentara semakin ingin menghapus monarki sama
sekali. Akhirnya Walikota Achmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya
diberi mandat untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki
Surakarta. Kedua raja diminta secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja
tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.
1. SETELAH PEMBEKUAN DAERAH ISTIMEWA
SURAKARTA
Kenyataannya, selama masa Revolusi
Nasional, Pakubuwana XII tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan
memperoleh gelar pangkat militer letnan jenderal tituler, dan pada tahun
1945–1948 beberapa kali ikut mendampingi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, baik
dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran.
Sebelum dan hingga peristiwa Serangan Umum Surakarta pada 7–10 Agustus 1948,
Pakubuwana XII juga melakukan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. Slamet
Riyadi untuk menggunakan Pesanggrahan Pracimaharja di Boyolali sebagai markas,
sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan Pakubuwana VI dibakar untuk
membendung manuver tentara Belanda yang hendak menduduki wilayah Surakarta.
Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi
kedudukan setingkat menteri negara dalam rombongan delegasi pimpinan Republik
Indonesia Mohammad Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari tanggal
23 Agustus hingga 2 November 1949. Pada 17 Desember 1949, staf urusan sipil
Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta, mewakili pemerintah Republik
Indonesia, bahkan memberikan surat tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan
Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana XII
dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena telah ikut serta
dalam mempertahankan negara Republik Indonesia selama Agresi Militer Belanda
II. Meski demikian, kedudukan Daerah Istimewa Surakarta saat itu tetap belum
dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di
Surakarta yang berlangsung larut-larut sejak tahun 1945 sampai 1949.
Meskipun gagal secara politik,
namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung lukisan Jawa. Pada zaman
reformasi, para tokoh nasional, misalnya Presiden Abdurrahman Wahid, tetap
menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada
tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang paling lama di
antara para raja-raja Kesunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945 hingga 2004.
C. WILAYAH KEKUASAAN
1. PADA AWAL BERDIRINYA
Seperti di masa Kesultanan
Mataram, pada awal berdirinya (semasa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II dan
Susuhunan Pakubuwana III) wilayah Kesunanan Surakarta terbagi menjadi daerah
Kuthagara atau Kuthanagara, Nagara Agung, Mancanagara, dan Pasisiran. Daerah
Kuthagara adalah ibu kota dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi
tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai
pemerintahan. Daerah Kuthagara juga sering disebut sebagai Siti Narawita, yang
secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah Nagara Agung
adalah wilayah yang berada di sekitar Kuthagara, yang merupakan daerah apanase
atau tanah lungguh dari para keluarga raja dan abdidalem, termasuk pula daerah
Siti Narawita milik raja. Sedangkan daerah Mancanagara dan Pasisiran merupakan
wilayah di luar kawasan Nagara Agung; di daerah ini tidak terdapat tanah
lungguh, namun pada saat perayaan grebeg dan tiap-tiap waktu tertentu harus
menyerahkan pajak ke keraton. Secara keseluruhan, wilayah Kesunanan Surakarta
ketika itu memiliki luas 352.382 karya.
·
Kuthagara Surakarta, meliputi:
-
Keraton Surakarta
-
Daerah sekitar keraton, yaitu area bagian dalam
tembok benteng Baluwarti serta kawasan sekitar Tugu Pamandengan dan Gapura
Gladag di sebelah utara hingga Gapura Gading di sebelah selatan (termasuk dua
alun-alun dan Masjid Agung Surakarta)
·
Nagara Agung, meliputi:
-
Daerah Panumping (daerah Sukowati)
-
Daerah Panekar (daerah Pajang)
-
Daerah Siti Ageng Tengen (daerah di sisi kanan
Jalan Besar Pajang-Demak)
-
Daerah Siti Ageng Kiwa (daerah di sisi kiri
Jalan Besar Pajang-Demak)
-
Daerah Bumi (daerah Kedu di bagian barat Sungai
Progo)
-
Daerah Bumija (daerah Kedu di bagian timur
Sungai Progo)
-
Daerah Sewu (daerah Bagelen dan Cilacap)
-
Daerah Numbak Anyar (daerah di antara Sungai
Bogowonto dan Sungai Progo)
·
Managara, meliputi:
-
Daerah Mancanagara Kulon, terdiri dari daerah
Banyumas, Bantar (Brebes), Lebaksiu dan Balapulang (Tegal), Kalibeber
(Wonosobo), Karanganyar dan Karangbolong (Kebumen), Merden (Banjarnegara),
Bobotsari dan Kertanegara (Purbalingga)
-
Daerah Mancanagara Wetan, terdiri dari daerah
Magetan, Jogorogo (Ngawi), Madiun, Caruban, Ponorogo, Kaduwang (Wonogiri), Pacitan,
Tulungagung, Kediri, Pace dan Berbek (Nganjuk), Wirasaba (Jombang), serta
Jepang (Mojokerto)
·
Pasisir, meliputi:
-
Daerah Pasisir Kulon, terdiri dari daerah
pesisir Brebes dan Tegal, serta daerah Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal,
dan Kaliwungu
-
Daerah Pasisiran Wetan, terdiri dari daerah
Demak, Jepara, Kudus, Pati (termasuk daerah Cengkal dan Juwana), Rembang,
Lasem, Tuban, Lamongan, Sidayu, Gresik, Surabaya, Bangil, Pasuruan, Blambangan
(Banyuwangi), dan Pulau Madura
2. PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
Wilayah kekuasaan Kesunanan
Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja
berikutnya, termasuk setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan
Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus
menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada Kesultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Mangkunegaran, serta menyerahkan wilayah Pasisiran kepada VOC . Usai
Perang Jawa pada tahun 1830, seluruh wilayah Mancanagara dirampas oleh
pemerintah Hindia Belanda, menyisakan wilayah Nagara Agung dan Kuthagara.
Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kabupaten
dan kawedanan.
Pada masa pemerintahan Susuhunan
Pakubuwana X, wilayah Kesunanan Surakarta meliputi kota Surakarta, Kabupaten
Sukoharjo (Kabupaten Kutha Surakarta), Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Sragen, serta beberapa enklave (daerah kantong) yang tersebar di
berbagai wilayah, termasuk di dalam wilayah Yogyakarta ( Kotagede dan Imogiri).
Untuk daerah bagian utara kota Surakarta serta Kabupaten Karanganyar (Kabupaten
Kutha Mangkunegaran) dan Kabupaten Wonogiri (termasuk enklave Ngawen dan Semin)
diperintah oleh Kadipaten Mangkunegaran. Administrasi wilayah dan pembagian
tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa pendudukan Jepang dan era
pemerintahan Republik Indonesia. Setelahnya, di masa pemerintahan Susuhunan
Pakubuwana XII wilayah Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah
daerah istimewa dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta, yang bertahan selama
beberapa bulan pada tahun 1945–1946. Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta
dan sejak dibentuknya Karesidenan Surakarta hingga penggabungan karesidenan
tersebut ke dalam Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950, saat ini wilayah
Kesunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa
Tengah.
D. ARSITEKTUR
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis pada zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah KGPH. Mangkubumi (kelak bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak yang memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun bersamaan pada tahun 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan semula. Pembangunan dan pemulihan secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana X yang bertakhta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Sebelah kiri Gapura Gladag dan sebelah
kanan Alun-Alun Lor (Utara).
Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-Alun
Lor/Utara, Kompleks Pagelaran Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara,
Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks
Kedhaton, Kompleks Kamagangan dan Sri Manganti Kidul/Selatan , Kompleks
Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan
Alun-Alun Kidul/Selatan. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan
baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima
meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi
sebuah area dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar
lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang
berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan
Kidul/Selatan.
1. KOMPLEKS ALUN-ALUN LOR/UTARA
Kompleks ini meliputi Gapura
Gladag, Pangurakan, Alun-Alun Lor, dan Masjid Agung Surakarta. Gladag yang
sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta.
Dahulu kala, space area di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai sebagai
tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan
disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini
mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk
mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula-Gusti (Bersatunya Rakyat dengan
Raja). Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan
yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri
Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di
tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina;
Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin
Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan
Jayadaru.
Sebelah kiri Pagelaran Sasana Sumewa
dan sebelah kanan Bagian dalam Pagelaran Sasana Sumewa
Di sebelah barat alun-alun utara
berdiri Masjid Agung Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan
dan didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III pada tahun 1750 (Kesunanan
Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas
serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil
yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu
digunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih.
Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk
karyawan-karyawan keraton tempat kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak
dapat ditemui lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun
sekarang digunakan sebagai kios penjual cenderamata. Di sebelah barat daya
Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar
Beteng) terdapat dua gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari
Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Klewer dan Gapura Batangan.
2. KOMPLEKS SASANA SUMEWA DAN KOMPLEKS
SITI HINGGIL LOR/UTARA
Sasana Sumewa merupakan bangunan
terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai
tempat untuk menghadapi para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara
resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya diberi
nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa
pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Di sebelah selatan Sasana
Sumewa terdapat komplek Siti Hinggil.
Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berukuran 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester. Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat = rumah; sumewa = menghadap), fungsi Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun), ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik tahta, dan sebagainya.
Sebelah kri Tratag Bangsal Siti
Hinggil Lor yang disebut Sasana Sewayana dan sebelah kanan Bangsal Witana
dengan Krobongan Bale Manguneng di tengahnya.
Siti Hinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada salah satu anak tangga Siti Hinggil sisi utara terdapat sebuah batu yang dahulu digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima hukuman mati, disebut dengan Sela Pamecat.
Bangunan utama di kompleks Siti
Hinggil ini adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam
penyelenggaraan upacara kerajaan. Selain itu terdapat pula Bangsal Manguntur
Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana peninggalan Sri Sunan
saat menerima para pimpinan. Kemudian di sebelah selatan terdapat Bangsal
Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya
upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki sebuah bangunan kecil di
tengah-tengahnya yang disebut Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman
pusaka keraton Kangjeng Nyai Sentomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh
tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Di sebelah timur Sasana
Sewayana dan Witana, terdapat dua bangunan bangsal, yaitu Bangsal Gandekan
Tengen di bagian utara, dan Bangsal Angun-Angun di bagian selatan. Sisi luar
komplek timur-selatan-barat Siti Hinggil merupakan jalan umum yang dapat
dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (capit udang).
3. KOMPLEKS KAMANDUNGAN LOR/UTARA
Kori Brajanala atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III dengan gaya Limasan Semar Tinandu. Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.
sebelah kiri Kori Brajanala Lor
dilihat dari Kori Kamandungan Lor dan sebelah kanan Kawasan Kori Kamandungan
Lor dan Balerata, serta Panggung Sangga Buwana di sisi selatannya.
Pada sisi kanan dan kiri (barat
dan timur) dari Kori Brajanala di sebelah dalamnya terdapat dua Bangsal
Wisamarta sebagai tempat jaga penjaga istana. Selain itu di timur gerbang ini
terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman
kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman.
Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan
Panggung Sangga Buwana yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri
Manganti.
Di atas Kori Kamandungan Lor/Utara
terdapat gambar bendera merah putih (gendera gula klapa) dan bermacam senjata
perang, di mana di tengah terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat
gambar mahkota; gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja,
yang merupakan simbol dari Keraton Mataram sebagai pendahulu. Di sebelah kiri
dan kanannya terdapat Balerata, yaitu los-los sebagai tempat parkir
kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan yang akan digunakan oleh Sri Sunan.
Tempat ini juga berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton.
4. KOMPLEKS SRI MANGANTI LOR/UTARA
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan Lor. Di sisi depan kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Gendera Gula Klapa.
Nama Kori Sri Manganti berasal
dari kata sri yang berarti raja dan manganti yang berarti menunggu, jadi
kawasan ini berfungsi sebagai tempat para tamu menunggu giliran untuk bisa
bertemu atau menghadap raja. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan
utama yaitu Bangsal Marakata di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di
sebelah timur.
Pada zamannya Bangsal Marakata digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini juga menjadi tempat penampungan pangkat pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Kata marakata atau asmarakata sendiri memiliki arti sebagai dhawuh kang nengsemake, atau kata yang menyenangkan.
sebelah kiri Kori Sri Manganti dan
Panggung Sangga Buwana dan sebelah kanan Bangsal Markukundha.
Bangsal Marcukundha pada zamannya
digunakan untuk menghadapi para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai
dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat
Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirengga, sebuah
tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di sebelah
timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang
digunakan sebagai Kantor Wedana.
Di sisi barat daya Bangsal
Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung
Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini
sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman
Kedhaton. Namun pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton. Bangunan ini
berfungsi sebagai tempat untuk mengawasi tentara Belanda yang ada di Benteng
Vastenburg. Selain itu, bangunan ini memiliki fungsi spiritual yaitu sebagai
tempat raja bermeditasi serta untuk tempat bertemunya raja dengan Kangjeng Ratu
Kencana Hadisari alias Ratu Laut Selatan. Bangunan ini sempat terbakar pada 19
November 1954, lalu dibangun kembali dan selesai pada 30 September 1959.
5. KOMPLEKS KEDHATON
Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV pada tahun 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Limasan Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, di antaranya adalah Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Bangsal Maligi tampak dari arah timur
Pendhapa Ageng Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana XII tepatnya pada tahun 1985 tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan, seperti saat garebeg, ulang tahun raja dan peringatan hari kenaikan tahta raja. Di sebelah barat pendhapa ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga kepergian Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertakhta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak di Siti Hinggil Lor.
Bagian dalam bangunan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, dilihat dari arah
Bangsal Maligi.
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner. Pada sisi tenggara Sasana Handrawina terdapat bangunan Sasana Pustaka yang menjadi tempat penyimpanan arsip dan naskah keraton. Di depan Sasana Handrawina (dari arah selatan) terdapat tiga bangunan kecil yaitu Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga Kidul/Bangsal Musik (untuk musik atau orkes) dan Bangsal Pradangga Lor (tempat memainkan gamelan). Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana atau Reksa Tengara.[4] Menara ini digunakan sebagai tempat hidup Sri Sunan sekaligus untuk mengawasi Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Panggung Sangga Buwana didirikan tahun 1777 saat pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III . Pembagun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat penunjuk arah angin berbentuk seseorang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai sengkala Naga Muluk Tinitihan Janma. Arti sengkala tersebut adalah tahun 1708 Jawa, tahun pembangunan menara.
Bagian dalam bangunan Sasana Handrawina
Bagian timur kompleks Kedhaton merupakan sebuah bangunan yang memanjang ke utara-selatan dengan halaman luas di tengah-tengahnya. Di masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana XII pada tahun 1963, bangunan tersebut difungsikan sebagai Museum Keraton Surakarta. Di sisi halaman museum terdapat sebuah sumur bernama Sumur Sanga. Sebelum dijadikan museum, kawasan ini pernah berfungsi sebagai tempat tinggal putra mahkota dan kantor-kantor administrasi kerajaan. Di sebelah selatan-tenggara museum terdapat kompleks Gandarasan yang merupakan dapur istana.
sebelah
kiri Kawasan Museum Keraton Surakarta dan sebelah kanan Kawasan Taman Sari Bandengan
Di sebelah barat kawasan Kedhaton
terdapat beberapa kompleks bangunan antara lain Sasana Putra, Sasana Narendra
(kediaman resmi Sri Susuhunan Pakubuwana XIII), Keputren, serta Keraton Kilen
(istana barat) atau secara lengkap bernama Keraton Kilen ing Prabasana yang
dibangun pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana X .Area di bagian barat kawasan
Kedhaton tersebut merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang
terpublikasi sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya.
Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang
masih digunakan hingga sekarang. Di belakang tempat tinggal keluarga Sri Sunan,
terdapat Taman Sari Bandengan. Di kawasan tersebut, terdapat kolam buatan dan
di tengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat
rehabilitasi. Di pangkal kolam, terdapat sebuah tempat yang berisi batu meteor
keramat serta tangga dari batu untuk menuju ke bangunan tempat tumbuh-tumbuhan.
Di antara taman air dan bangunan tempat tinggal keluarga Sri Sunan, terdapat
bukit yang dipenuhi rerumputan yang di atasnya berdiri bangunan paviliun kecil
dengan terasnya. Tempat ini disebut Gunungan dan dipakai sebagai tempat
istirahat Sri Sunan.
6. KOMPLEKS KAMAGANGAN, SRI MANGANTI
KIDUL/SELATAB, KAMANDUNGAN KIDUL/SELATAN. SERTA SITI HINGGIL KIDUL/SELATAN
Dari Kompleks Kedhaton ke arah
selatan, terdapat Kori Sri Manganti Kidul yang merupakan akses utama menuju
Kompleks Magangan atau Kamagangan. Di tempat ini terdapat sebuah pendhapa di
tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang digunakan sebagai
tempat pelatihan para calon pegawai kerajaan. Di sekeliling halaman ini
terdapat kantor-kantor dan bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan
prajurit, seperti keris, pedang, bedil, pistol, dan pakaian seragam prajurit
untuk hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan
dan Kamandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat
upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar Kori Kamandungan
Kidul terdapat pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.
Kompleks terakhir, Siti Hinggil Kidul/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan Kyai Slamet. Kori Brajanala Kidul/Selatan memberikan akses ke kompleks Siti Hinggil Kidul. Siti Hinggil Kidul sendiri merupakan sebuah kompleks bangunan pendhapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dulu di sekitarnya terdapat empat meriam, dua di antaranya kemudian diambil pemerintah untuk Diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan kompleks Siti Hinggil Lor yang megah, kompleks Siti Hinggil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.
sebelah
kiri Bangsal Magangan dan sebelah kanan Kori
Brajanala Kidul.
Di sebelah selatan Siti Hinggil
Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul/Selatan, alun-alun ini bersifat lebih
pribadi dibandingkan Alun-Alun Lor/Utara. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh
tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan
dan juga wong cilik yang mencari nafkah di daerah tersebut. Pada bagian ini
terdapat dua buah bangunan yang salah satunya sebagai tempat disemayamkannya
sebuah gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Sri Susuhunan
Pakubuwana X menuju ke pemakaman Astana Imogiri.
Tembok yang mengelilingi alun-alun
mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama Gapura Gading.
Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladag. Pada
tahun 1932, Sri Susuhunan Pakubuwana X, menambahkan pintu gerbang di sebelah
selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun
Kidul dari arah barat dan timur. Gerbang ketiga di Alun-Alun Kidul ini dikenal
dengan sebutan Tri Gapurendra.
E. WARISAN BUDAYA
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga
memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Di antaranya adalah
upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang
terkenal adalah upacara Grebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malem Siji Sura (1
Sura). Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini, hingga sekarang terus
dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.
1. GREBEG
Upacara Garebeg atau Grebeg
menyelenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu
pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal
(bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada
hari tersebut Sri Sunan mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur
kepada Allah atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad
Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan
estri (lelaki dan perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti
kerucut terpancung dengan sebelah ujung atas agak membulat. Sebagian besar
gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang
dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan
kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia
dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh
dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat
dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan
ini juga menghiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
2. SEKATEN
Sekaten merupakan sebuah upacara
kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari untuk memperingati kelahahiran
Nabi Muhammad. Konon asal usul upacara ini sudah ada sejak Kesultanan Demak.
Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad.
Menurut cerita rakyat kata sekaten berasal dari istilah credo dalam agama
Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan
Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di
depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai
kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (Bahasa Jawa: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya
pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini
selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang
dimulai sebulan sebelum pelaksanaan upacara sekaten yang sesungguhnya.
3. KIRAB MUBENG BETENG ATAU MALAM SATU
SURA
Malam 1 Sura (1 Muharram) dalam
masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam 1
Sura jatuh mulai terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir
kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan
pertama tahun berikutnya. Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan
Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini
dimulai dari kompleks Kamandungan Lor melalui Kori Brajanala Lor kemudian
mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum
jam dan berakhir di halaman Kamandungan Lor. Dalam proses ini pusaka keraton
menjadi bagian utama dan posisinya di barisan depan kemudian baru diikuti para
pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah
di barisan depan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino
keturunan kerbau pusaka kesayangan Sri Susuhunan Pakubuwana II, Kyai Slamet,
yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
4. PUSAKA (HEIRLOOM) DAN TARIAN-TARIAN
SAKRAL
Keraton Surakarta memiliki
sejumlah koleksi pusaka kerajaan di antaranya berupa singgasana Sri Sunan,
perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah
Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat
upacara sekaten. Selain memiliki pusaka Keraton Surakarta juga memiliki
tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai
contoh sakral tarekat adalah Tari Bedhaya Ketawang yang hanya dipentaskan pada
saat pemamahkotaan dan hari peringatan kenaikan tahta Sri Sunan.
F. PEMANGKU ADAT JAWA SURAKARTA
Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana yang
mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan
Kesunanan Surakarta. Setelah tahun 1946 peran Keraton Surakarta tidak lebih
hanya sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula
Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja
dalam artian politik melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Takhta
Adat, simbol dan pemimpin kebudayaan informal. Fungsi keraton pun berubah
menjadi pelindung dan pelindung identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton
Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa
khususnya di bekas wilayah Kesunanan Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten
Sragen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Sukoharjo). Selain
itu Keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan
(honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa
khususnya budaya Jawa gaya Surakarta maupun perhatian dan sumbangsih mereka
terhadap eksistensi Keraton Surakarta, di samping mereka yang berhak karena
hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai ( abdi dalem)
keraton.
G. GELAR KERAJAAN/KERATON KASUNANAN
SURAKARTA
Gelar kebangsawanan Jawa adalah gelar di depan nama satu
orang karena orang tersebut adalah keturunan raja atau panembahan atau pangeran
atau bupati atau sunan atau wali di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, atau
yang diberikan di depan nama satu orang karena orang tersebut menduduki suatu
jabatan dalam pemerintahan Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta atau
Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial
Hindia Belanda, atau yang diberikan di depan nama satu orang karena orang
tersebut dipandang berjasa kepada Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta
atau Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial
Hindia Belanda.
Gelar kebangsawanan Jawa ini beririsan dengan gelar gelar
kebangsawanan Cirebon, gelar kebangsawanan Sunda, dan gelar kebangsawanan
Madura, sehingga sepintas lalu terlihat sama walaupun ada perbedaan. Contoh
perjanjian di antara ketiganya adalah pemakaian gelar dasar Raden yang di Jawa
Tengah dan Jawa Timur disingkat R. sedangkan di Jawa Barat disingkat Rd..
Contoh perbedaannya adalah pewarisan gelar kebangsawanan di daerah Mataram bisa
melalui garis keturunan laki-laki atau garis keturunan perempuan atau disebut
juga sistem bilateral, sedangkan di daerah Priangan walaupun secara tradisional
kekerabatannya menganut sistem bilateral tetapi pewarisan gelar
kebangsawanannya lebih condong ke garis keturunan laki-laki atau disebut juga
sistem patrilineal.
Dalam kerangka gelar kebangsawanan Jawa maka yang dimaksud
raja di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Raja Mataram Hindu, Raja Majapahit,
Raja Demak, Raja Pajang, Raja Mataram Islam, Raja Surakarta, Raja Yogyakarta,
Raja Bangkalan, dan Raja Sumenep. Dalam kerangka yang sama pula maka yang
dimaksud pangeran di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Pangeran Adipati
Mangkunegara, Pangeran Adipati Pakualam, Panembahan Bangkalan, dan Panembahan
Sumenep.
Seiring perjalanan sejarah, Kerajaan Mataram Islam yang satu
terpecah menjadi empat negara yaitu Kerajaan Surakarta, Kerajaan Yogyakarta,
Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. Surakarta dan Yogyakarta
disebut kerajaan karena dipimpin oleh seorang raja. Dalam Bahasa Inggris,
adalah kerajaan kerajaan dan raja adalah raja. Sedangkan Mangkunegaran dan
Pakualaman disebut kadipaten karena dipimpin oleh seorang adipati. Dalam Bahasa
Inggris, kadipaten adalah pangkat seorang duke atau duchy dan adipati adalah
duke. Ada pula yang berpendapat bahwa Mangkunegaran dan Pakualaman disebut
kepangeranan karena dipimpin oleh seorang pangeran. Dalam Bahasa Inggris,
kepangeranan adalah princedom atau kepangeranan dan pangeran adalah pangeran.
Karena Mangkunegara dan Pakualam adalah nama orang, maka bentukan kata sifat
utamanya adalah dengan menambah akhiran -an sehingga menjadi Mangkunegaran dan
Pakualaman.
Wilayah empat pecahan negara Kerajaan Mataram Islam itu
disebut vorstenlanden, dari Bahasa Belanda yang berarti tanah pangeran.
Sedangkan wilayah Pulau Jawa di luar vorstenlanden disebut gouvernement, dari
Bahasa Belanda yang berarti pemerintah.
Pada dasarnya ada dua jenis bangsawan dalam tradisi Jawa,
yaitu bangsawan keluarga raja dan bangsawan pejabat pemerintah. Konsep bahwa
bangsawan adalah keluarga raja mencerminkan dari istilah dalam Bahasa Jawa
untuk menyebut bangsawan yaitu priyayi yang berasal dari kata ‘para yayi’ yang
berarti ‘para adik’ dimana adik yang dimaksud adalah adik raja, sehingga kata
priyayi berarti para adik raja. Konsep ini meliputi pula kata Kyai yang berasal
dari kata ‘kaki yayi’ yang berarti ‘adik laki-laki’ yaitu adik perempuan
laki-laki raja dan kata Nyai yang berasal dari kata ‘nini yayi’ yang berarti
‘adik perempuan’ yaitu adik perempuan raja. Sementara itu para pejabat
pemerintah yang bekerja untuk kepentingan raja dan kerajaan juga diberi status
sama dengan keluarga raja, dengan konsep bahwa melayani raja sebuah kerajaan
adalah melayani kepala keluarga sebuah keluarga besar. Di kemudian hari ada
juga orang yang bukan keluarga raja dan bukan pejabat pemerintah tetapi karena
dianggap berjasa besar kepada raja atau negara atau masyarakat, maka diberi
status bangsawan yang juga disamakan dengan keluarga raja.
Maka secara umum ada tiga jenis gelar kebangsawanan Jawa
berdasarkan latar belakang yang diperolehnya :
Gelar keturunan, gelar ini diwariskan dari
orangtua kepada anaknya secara otomatis karena hak kelahiran.
Gelar jabatan, gelar ini diberikan oleh Raja
Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunegara atau Adipati Pakualam
atau pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada satu orang karena jabatan yang
dipangku dalam pemerintahan.
Gelar kehormatan, gelar ini diberikan oleh Raja
Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunegara atau Adipati Pakualam
atau pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada satu orang karena jasa kepada
negara atau masyarakat.
Walaupun demikian banyak terdapat gelar yang merupakan
irisan antara jenis gelar yang satu dengan jenis gelar yang lain. Contoh :
Kanjeng Gusti Pangeran Harya (K.G.P.H.) merupakan irisan antara gelar
keturunan, gelar jabatan, dan gelar kehormatan. Sebagai gelar keturunan, gelar
tersebut hanya bisa diberikan kepada seorang putra raja; sebagai gelar jabatan,
gelar tersebut adalah gelar jabatan untuk lurah pangeran yaitu kepala para
pangeran; dan sebagai gelar kehormatan, gelar tersebut hanya diberikan setelah
penerima gelar mencapai usia yang dianggap dewasa.
1. ISTILAH YANG DIGUNAKAN
-
PENGUASA
Para penguasa Kerajaan Mataram
Islam beberapa kali berganti gelar sebelum pecahnya perpecahan kerajaan. Raja
pertama (Senapati) memakai gelar panembahan, raja kedua (Hanyakrawati) memakai
gelar susuhunan, raja keempat (Hanyakrakusuma) awalnya memakai gelar susuhunan
tetapi kemudian berganti menjadi sultan, raja kelima (Amangkurat I) sampai
perpecahan terjadi (Pakubuwana III) memakai gelar susuhunan. Pembagian Kerajaan
Mataram Islam menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta mewariskan
pula pembagian gelar raja-rajanya. Raja Surakarta memakai gelar susuhunan atau
disingkat menjadi sunan sedangkan Raja Yogyakarta memakai gelar sultan. Oleh
karena itu maka Kerajaan Surakarta disebut juga Kasunanan Surakarta dan
Kerajaan Yogyakarta disebut juga Kasultanan Yogyakarta. Kata ganti orang ketiga
tunggal untuk menyebut Sunan Surakarta adalah “Sahandap Dalem” yang dalam
Bahasa Melayu berarti “ke bawah duli”, sedangkan kata ganti orang ketiga untuk
menyebut Sultan Yogyakarta adalah “Ngarsa Dalem” yang dalam Bahasa Melayu
berarti “ke hadapan duli” .
Penguasa Mangkunagaran dan
penguasa Pakualaman adalah pangeran adipati yang secara teknis dua tingkat di
bawah raja atau satu tingkat di bawah putra mahkota kerajaan. Karena dua
penguasa tersebut adalah pangeran adipati, maka secara singkat masing-masing
bisa disebut dengan gelar pangeran atau adipati. Kata ganti orang ketiga
tunggal untuk menyebut Adipati Mangkunegaran atau Adipati Pakualaman adalah
“Sri Paduka”.
Gelar dan nama lengkap para
penguasa tersebut tanpa menyebut urutan adalah :
·
Kerajaan Surakarta
§
Selain Sunan Pakubuwana X : Sahandap Dalem
Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Ngalaga
Ngabdurrakhman Sayiddin Panatagama Khalifatullah.
§
Sunan Pakubuwana X : Sahandap Dalem Sampeyan
Dalem ingkang Minulya saha ingkang Wicaksana Kangjeng Sunan Paku Buwana
Senapati ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayiddin Panatagama Khalifatullah.
·
Kerajaan Yogyakarta
§
Tahun 1755 – 2015 : Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem
ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga
Ngabdurrakhman Sayiddin Panatagama Khalifatullah.
§
Sejak tahun 2015 : Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawana Suryaning Mataram Senapati ing
Ngalaga Langgeng ing Bawana Langgeng Langgeng ing Tata Panatagama.
·
Kadipaten Mangkunegaragaran
§
Sebelum berusia 40 tahun menurut Kalender Jawa :
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwadana.
§
Sesudah itu berumur 40 tahun menurut Kalender
Jawa : Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangku Nagara Senapati ing Hayuda.
·
Kadipaten Pakualaman
§
Sebelum berusia 40 tahun menurut Kalender Jawa :
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Suryadilaga.
§
Sesudah itu berumur 40 tahun menurut Kalender
Jawa : Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam.
-
ISTRI PENGUASA
Raja perempuan atau rani
terakhir di Pulau Jawa adalah Suhita, Maharani Majapahit (1429 - 1447) yang
pensiun dari ayahnya yaitu Wikramawarddhana dan dia pun memerintah bersama
dengan suaminya yaitu Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Sejak kematian
Suhita tidak ada lagi perempuan di Pulau Jawa yang telah meninggalkan kerajaan
dari orangtuanya.
Tradisi Jawa mengakui legalitas
poligini dimana satu laki-laki bisa memiliki lebih dari satu istri pada waktu
yang sama dengan jumlah istri tidak dibatasi berapa orang. Pada zaman dahulu
praktik poligini ini umum dilakukan oleh para penguasa daerah (raja atau
pangeran), penguasa lokal (bupati atau wadana), ataupun keturunannya. Di antara
banyak istri para penguasa tersebut, ada satu sampai empat orang yang mendapat
kedudukan istimewa sebagai istri utama yang berhak untuk mendampingi suami pada
upacara kenegaraan dan anak laki-laki yang lahir lebih berhak menjadi pewaris
jabatan suami. Istri atau istri-istri utama ini disebut garwa prameswari atau
garwa padmi, atau dalam bahasa Indonesia disebut istri permaisuri. Seorang istri
permaisuri umumnya harus berasal dari keluarga bangsawan tinggi atau keturunan
penguasa pada masa-masa sebelumnya, walaupun bisa juga berasal dari keluarga
bangsawan rendah atau bahkan keturunan rakyat biasa. Sedangkan istri atau
istri-istri lain lebih bertanggung jawab dalam hal internal kehidupan pribadi
suami. Istri atau istri-istri lain ini disebut garwa ampeyan atau garwa ampil,
atau dalam bahasa Indonesia disebut istri selir. Seorang istri selir umumnya
berasal dari keluarga bangsawan rendah atau keturunan rakyat biasa. Karena
kebiasaan poligini semakin hilang di antara keluarga raja, keluarga adipati,
dan masyarakat Jawa secara umum maka di masa depan gelar-gelar yang berhubungan
dengan istri selir atau keturunannya akan punah.
-
KETURUNAN
Tradisi Jawa mengenal
istilah-istilah untuk menyebut keturunan hingga beberapa generasi ke bawah.
Dalam praktiknya istilah ini juga diterapkan untuk menyebut nenek moyang hingga
beberapa generasi ke atas dengan hitungan yang sama. Dalam dokumen resmi maupun
tidak resmi, kata “grad” yang adalah serapan dari Bahasa Belanda juga digunakan
dalam Bahasa Jawa untuk menyebut keturunan. Konsep keturunan ini perlu dipahami
dalam kaitan dengan gelar keturunan.
Istilah untuk keturunan dalam
tradisi Jawa yaitu :
·
Keturunan pertama disebut anak (bahasa Jawa
Krama : putra), dalam bahasa Indonesia disebut anak.
·
Keturunan kedua disebut putu (bahasa Jawa Krama
: wayah), dalam bahasa Indonesia disebut cucu.
·
Keturunan ketiga disebut buyut, dalam bahasa
Indonesia disebut cicit.
·
Keturunan keempat disebut canggah, dalam bahasa
Indonesia disebut piut.
·
Keturunan kelima disebut warèng, dalam bahasa
Indonesia disebut anggas.
·
Keturunan keenam disebut udeg-udeg.
·
Keturunan ketujuh disebut gantung siwur.
·
Keturunan kedelapan disebut gropak sénthé.
·
Keturunan kesembilan disebut debog bosok.
·
Keturunan kesepuluh disebut galih asem.
Catatan : Kata putra dalam
Bahasa Jawa Krama bisa bermakna ganda tergantung konteks kalimat, arti pertama
adalah anak dan arti kedua adalah anak laki-laki. Jika kata putra digunakan
dalam arti anak, maka anak laki-laki disebut putra kakung dan anak perempuan
disebut putra pawestri. Jika kata putra digunakan dalam arti anak laki-laki
maka anak perempuan disebut putri. Makna kedua ini yang kemudian diserap ke
dalam bahasa Indonesia.
-
GELAR LAMA
·
Gelar lama untuk raja: Prabu.
·
Gelar lama untuk laki-laki: Bagus, Harya, Jaka,
Kenthol, Panji, dan Raden.
·
Gelar lama untuk perempuan: Dewi, Rara, dan
Ratna.
-
GELAR BARU
·
Gelar baru untuk raja: Panembahan, Sultan, dan
Sunan.
·
Gelar baru untuk laki-laki: Ki, Kyai, Mas, dan
Pangeran.
·
Gelar baru untuk perempuan: Ajeng, Ayu, Bok,
Nyi, Nyai, Nganten, Putri, dan Ratu.
-
GELAR LAIN
·
Gelar untuk bangsawan tinggi: Bendara, Gusti,
dan Kangjeng.
·
Gelar untuk pejabat: Adipati, Demang, Ngabehi,
Riya, Rongga, Tumenggung, dan Wadana.
-
EJAAN GELAR
Perbedaan cara menulis dan cara
membaca antara Bahasa Jawa dalam Aksara Jawa dengan Bahasa Jawa dalam Aksara
Latin mengakibatkan variasi cara penulisan gelar atau jabatan :
·
Ajeng ditulis sebagai Hajeng.
·
Ayu ditulis sebagai Hayu.
·
Bok dibaca sebagai mBok.
·
Bandara dibaca sebagai Bendara atau Bendoro.
·
Harya dibaca sebagai Haryo atau Arya atau Aryo.
·
Kaliwon dibaca sebagai Keliwon atau Kliwon.
·
Kangjeng dibaca sebagai Kanjeng.
·
Kyai ditulis sebagai Kyahi.
·
Nyai ditulis sebagai Nyahi.
·
Rara dibaca sebagai Roro.
·
Riya dibaca sebagai Riyo.
·
Rongga dibaca sebagai Rangga atau Ronggo.
·
Wadana dibaca sebagai Wedana atau Wedono.
-
SINGKATAN GELAR
Akibat semakin panjangnya gelar
maka dalam Aksara Jawa dan Aksara Latin muncul singkatan untuk setiap kata
gelar, namun tidak semua gelar memiliki singkatan. Karena pendeknya maka kata
gelar Ki dan Nyi tidak pernah disingkat. Artikel ini menggunakan singkatan
gelar yang umum digunakan (e.g. B. singkatan dari kata Bandara) kecuali jika
menimbulkan lebih dari satu makna (e.g. P. singkatan dari kata Panji atau
Pangeran atau Panembahan atau Putri). Penulisan singkatan dalam artikel ini
mengikuti tradisi Ejaan van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi yang memperlakukan
gelar sama dengan nama dimana singkatan adalah huruf besar huruf pertama
diikuti tanda baca titik atau huruf besar huruf pertama diikuti huruf kecil
sebagai pembeda diikuti tanda baca titik.
Kata gelar dan singkatannya
yaitu :
·
Adipati disingkat Ad.
·
Ajeng disingkat A.
·
Ayu disingkat Ay.
·
Bandara disingkat B.
·
Bok disingkat Bk.
·
Demang disingkat D.
·
Gusti disingkat G.
·
Harya disingkat H.
·
Kangjeng disingkat K.
·
Kyai disingkat Ky.
·
Mas disingkat M.
·
Ngabehi disingkat Ng.
·
Nganten disingkat Ngt.
·
Nyai disingkat Ny.
·
Panji disingkat Pj.
·
Pangeran disingkat P.
·
Panembahan disingkat Pn.
·
Putri disingkat Pt.
·
Raden disingkat R.
·
Rara disingkat Rr.
·
Ratu disingkat Rt.
·
Riya disingkat Ry.
·
Rongga disingkat Rg.
·
Tumenggung disingkat T.
·
Wadana disingkat W.
2. SEJARAH
Tradisi Jawa biasa menyebut nama
seseorang dengan didahului awalan atau sebutan yang disesuaikan dengan status
sosial (misalnya pada zaman dahulu Kyai Anu, Nyai Anu, Ki Anu, Nyi Anu) atau
hubungan kekerabatan dalam keluarga (misalnya pada zaman sekarang Pakdhe Anu,
Budhe Anu, Mas Anu, Bak Anu). Bersamaan dengan kebiasaan ini berkembang pula
gelar kebangsawanan yang selalu diletakkan di depan nama, dari yang sederhana
hanya satu kata (e.g. Harya / Haryo / Arya / Aryo) hingga akhirnya menjadi
rumit mencapai maksimal enam kata (i.e. Kangjeng Raden Mas Riya Harya Panji).
Karena kebiasaan ini pula, maka ada juga padanan gelar bagi rakyat biasa (mis.
Mas adalah sebutan dasar untuk keturunan rakyat biasa, sedangkan Raden adalah
gelar dasar untuk keturunan bangsawan).
Setelah dianggap sudah mencapai
usia dewasa yaitu setelah disunat atau sekira usia 15 tahun atau sewaktu-waktu
sebelum menikah biasanya para putra raja dilantik menjadi pangeran untuk
memegang jabatan tertentu di kerajaan. Namun di kemudian hari bukan hanya putra
raja saja yang dilantik menjadi pangeran. Atas kehendak pribadi raja, maka
keturunan dekat raja, keturunan jauh raja, bahkan rakyat biasa dapat diberi
gelar pangeran.
Ada empat jenis pangeran
berdasarkan variasi dekat jauhnya hubungan keluarga dengan raja, yaitu :
Ø
Pangeran putra, yaitu status pangeran untuk para
putra raja.
Ø
Pangeran wayah, yaitu status pangeran untuk para
cucu raja.
Ø
Pangeran santana, yaitu status pangeran untuk
para cicit raja, piut raja, anggas raja, dan menantu raja.
Ø
Pangeran sengkan, yaitu status pangeran untuk
para keturunan jauh raja atau rakyat biasa.
Perpecahan dalam Kerajaan Mataram
Islam menghasilkan dua jenis status untuk pangeran berdaulat, yaitu :
Ø
Pangeran miji, yaitu status pangeran berdaulat
yang dalam banyak hal penting masih tunduk kepada kerajaan induknya (misalnya
tidak bisa menjatuhkan hukuman mati dan tidak bisa melantik pangeran berdaulat
tanpa sepengetahuan kerajaan induk). Pangeran Adipati Mangkunegara adalah
pangeran miji dalam Kerajaan Surakarta sejak disepakatinya perdamaian antara
Nicolaas Hartingh sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, K.R.Ad. Danureja I
sebagai perdana menteri Kerajaan Yogyakarta, dan Mangkunegara I sebagai
pemimpin pemberontakan pada tanggal 17 Maret 1757 sampai penandatanganan
kontrak politik antara Mangkunegara VI sebagai Adipati Mangkunegaran dan Louis
Thomas Hora Siccama sebagai Residen Surakarta pada tanggal 4 November 1896.
Ø
Pangeran mardika, yaitu status pangeran
berdaulat yang dalam banyak hal penting sudah bebas dari kerajaan induknya
(misalnya bisa menjatuhkan hukuman mati dan bisa melantik pangeran berdaulat
tanpa sepengetahuan kerajaan induk). Pangeran Adipati Mangkunagara adalah
pangeran mardika dari Kerajaan Surakarta sejak penandatanganan kontrak politik
antara Mangkunagara VI sebagai Adipati Mangkunagaran dan Louis Thomas Hora
Siccama sebagai Residen Surakarta pada tanggal 4 November 1896 yang kemudian
diteguhkan oleh Carel Herman Aart van der Wijck sebagai Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada tanggal 13 Nopember 1896.
Sejak tanggal 4 November 1896
itulah Pangeran Adipati Mangkunegara menjadi pangeran mardika dari Kerajaan
Surakarta sekaligus menjadi pangeran miji dalam pemerintahan kolonial Hindia
Belanda. Berbeda dengan Pangeran Adipati Pakualam yang sejak berdaulat pada
tanggal 17 Maret 1813 menjadi pangeran mardika dari Kerajaan Yogyakarta
sekaligus menjadi pangeran miji dalam pemerintahan kolonial Hindia Inggris yang
kemudian menjadi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Perubahan gelar akibat usia atau
status pernikahan juga berlaku untuk keturunan jauh raja. Gelar Raden Bagus
(R.Bg.) seorang laki-laki akan berubah menjadi Raden (R.) jika dia dianggap
sudah mencapai usia dewasa yaitu sekira usia 15 tahun atau sudah menikah. Gelar
Raden Rara (R.Rr.) seorang perempuan akan berubah menjadi Raden Nganten
(R.Ngt.) jika dia sudah menikah. Di beberapa daerah gelar Raden Nganten
(R.Ngt.) hanya diperuntukkan bagi seorang Raden Rara (R.R.) yang baru menikah,
sedangkan jika pernikahannya sudah lama berlalu atau sudah melahirkan anak maka
gelarnya berubah menjadi Raden (R.). Tetapi hal seperti ini hanya menonjolkan
lokal karena secara umum tradisi Jawa membedakan gelar atau sebutan antara
laki-laki dengan perempuan.
Umumnya nama diri seorang
perempuan dipakai hanya selama perempuan tersebut belum menikah. Jika seorang
perempuan sudah menikah maka nama yang dipakai adalah nama suaminya dengan
gelar perempuan sebagai pembeda. Contoh : Seorang perempuan bernama Tina menikah
dengan seorang laki-laki bernama Budi, maka Tina disebut Ibu Budi atau Bu Budi
sedangkan Budi disebut Bapak Budi atau Pak Budi. Tradisi ini juga berlaku dalam
konteks gelar kebangsawanan Jawa. Seorang perempuan yang sudah menikah bukan
hanya memakai nama suaminya tetapi juga gelar suaminya, dengan catatan bahwa
perempuan tersebut berstatus sebagai istri permaisuri yang dipandang setara
atau pantas untuk memakai nama suaminya dan gelar jabatan suaminya atau gelar
kehormatan suaminya. Gelar jabatan atau gelar kehormatan pihak suami boleh
dipakai pihak istri hanya jika nama suami juga dipakai. Contoh : Raden Ajeng
Kartini (R.A. Kartini) menikah dengan Raden Mas Adipati Harya Singgih
Jayaadiningrat (R.M.Ad.H. Singgih Jayaadiningrat), maka gelarnya dan atau namanya
berubah menjadi Raden Ayu Jayaadiningrat atau Raden Ayu Adipati Harya
Jayaadiningrat atau Raden Ayu Kartini atau Raden Ayu Kartini Jayaadiningrat
atau Raden Ayu Adipati Harya Kartini Jayaadiningrat.
Usaha standarisasi gelar pertama
kali dilakukan oleh Panembahan Senapati yang menentukan bahwa gelar Raden (R.)
hanya diperuntukkan bagi keturunan raja. Sunan Amangkurat IV sebagimana dikutip
dalam Angger Awisan dari Sunan Pakubuwana IV menentukan bahwa piut raja yang
bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) hanya piut raja
yang adalah cucu atau cicit pangeran, sedangkan piut raja yang bukan cucu atau
cicit pangeran hanya memakai gelar Raden Bagus (R.Bg.) atau Raden Rara (R.Rr.).
Peraturan ini diubah pada tahun 1852 oleh Sunan Pakubuwana VII sehingga semua
piut raja dan semua cicit Adipati Mangkunegara bisa memakai gelar Raden Mas
(R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.).
Kerajaan Yogyakarta mengeluarkan
peraturan yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 18 tahun 1927 yang
menentukan bahwa semua piut raja bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden
Ajeng (R.A.). Peraturan ini sempat dibahas dalam surat kabar Kajawen tanggal 27
September 1930 yang membandingkan bahwa gelar Raden (R.) di Kerajaan Surakarta
berhenti sampai di anggas raja sesuai peraturan tradisional dalam Serat Raja
Kapa-kapa sedangkan gelar Raden (R.) di Kerajaan Yogyakarta bisa diwariskan
tanpa henti asalkan masih keturunan raja.
Kadipaten Mangkunegaran
mengeluarkan peraturan nomor 5 tanggal 15 Oktober 1935 yang menentukan bahwa semua
piut adipati bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.).
Peraturan ini diperkuat oleh Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 31
tanggal 30 September 1936 dalam Lembaran Negara nomor 13711 yang menentukan
bahwa gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) dibatasi sampai piut Raja
Surakarta, Raja Yogyakarta, Adipati Mangkunagara, dan Adipati Pakualam . Dekrit
ini membatalkan Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 1840/AI tanggal 9
Agustus 1929 yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 12082 mengenai pewarisan
gelar Raden (R.) di Pulau Jawa dan Pulau Madura, dan Surat Sekretaris Negara
Hindia Belanda nomor 1856/AI tanggal 18 Agustus 1930 yang dimuat dalam Lembaran
Negara nomor 12375 mengenai gelar Harya (H.) dan Panji (Pj.) untuk bangsawan
Madura.
Di kemudian hari peraturan yang
berbeda-beda dari instansi yang berbeda-beda pula ini menimbulkan legalitas
bahkan pertikaian karena Kerajaan Surakarta berpandangan bahwa Raja Surakarta
satu tingkat lebih tinggi daripada Adipati Mangkunegara dan Adipati Pakualam.
Oleh karena itu jika piut Adipati Mangkunegara dan Adipati Pakualam bisa
memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) maka seharusnya anggas
Raja Surakarta bisa memakai gelar yang sama. Maka pada tanggal 25 Januari 1938
Sunan Pakubuwana X melalui Patih Jayanagara dalam peraturan nomor 1C/4/I yang
dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 3 tanggal 1 Februari 1938 membangun bahwa
semua anggas raja dapat memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.)
.
Secara teknis perubahan gelar ini
terjadi dengan sendirinya pada saat peraturan terbaru ditetapkan. Tetapi secara
administrasi perubahan gelar harus dimohonkan kepada pejabat yang pemerintahan.
Maka kepatihan Kerajaan Surakarta menetapkan peraturan nomor 3 C/3/II tanggal
19 Februari 1938 yang menentukan bahwa proses permohonan gelar Raden Mas (R.M.)
atau Raden Ajeng (R.A.) mengikuti peraturan nomor 35C/1/I tanggal 12 Agustus
1931 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 16 tanggal 15 Agustus 1931 yang
berlaku untuk proses permohonan gelar Raden (R.) atau Raden Rara (R.Rr.).
Sebelum sekitar tahun 1940
seorang bangsawan Kerajaan Surakarta wajib melepas sebagian gelar keturunan
jika ditunjuk untuk jabatan sebagai petugas kerajaan dengan gelar jabatan.
Contoh : gelar seorang Raden Mas Harya (R.M.H.) yang diberi jabatan panewu
berubah menjadi Raden Ngabehi (R.Ng.) dan gelar seorang Raden Mas Harya
(R.M.H.) yang diberi jabatan bupati anom berubah menjadi Raden Tumenggung
(R.T.). Peraturan ini diubah sekitar tahun 1940 oleh Sunan Pakubuwono XI yang
membolehkan bangsawan Surakarta menangkap sebagian besar atau seluruh gelar
keturunan dengan gelar jabatan. Contoh : gelar seorang Raden Mas Harya (R.M.H.)
yang diberi jabatan panewu berubah menjadi Raden Mas Ngabehi (R.M.Ng.) dan
gelar seorang Raden Mas Harya (R.M.H.) yang diberi jabatan bupati anom berubah
menjadi Raden Mas Tumenggung Harya (R.M.T.H.).
Secara umum pangkat bangsawan
ditentukan dari kata kunci gelar, bukan berdasarkan panjang atau pendeknya
gelar. Kata kunci urutan keturunan dari yang paling tinggi sampai yang paling
rendah adalah Gusti (G.), Bandara (B.), Raden (R.), dan Mas (M.). Selain
berdasarkan urutan keturunan, pangkat dalam jabatan pemerintah juga menentukan
pangkat bangsawan. Contoh : pangkat seorang Harya Tumenggung (H.T.) lebih
tinggi dari seorang Tumenggung (T.) dan pangkat seorang Tumenggung (T.) lebih
tinggi daripada seorang Ngabehi (Ng.).
3. GELAR KETURUNAN
Peraturan mengenai gelar
keturunan mengalami beberapa kali perubahan sejak sebelum pecahnya Kerajaan
Mataram Islam sampai awal abad keduapuluh. Setelah perpecahan pun masing-masing
kerajaan dan kadipaten menetapkan peraturan yang berbeda perincian mengenai
gelar keturunan, sehingga untuk menilai status seseorang berdasarkan gelar
keturunannya perlu dilihat latar belakang orang tersebut apakah dari keluarga
Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunegaran atau Adipati
Pakualaman atau daerah luar vorstenlanden . Peraturan mengenai gelar keturunan
Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta berlaku gelombang, sehingga berlaku
juga untuk keturunan Raja Mataram Islam di Kota Gede, Plered, dan Kartasura,
keturunan Raja Pajang, keturunan Raja Demak, dan keturunan Raja Majapahit.
I.
GELAR LAMA
-
GELAR LAMA KETURUNAN DI KERATON SURAKARTA
Sunan Amangkurat IV sebagimana
dikutip dalam Angger Awisan dari Sunan Pakubuwana IV menentukan peraturan
mengenai gelar bagi keturunan raja, perdana menteri, bupati, kaliwon, panewu,
dan mantri. Gelar keturunan raja dipengaruhi oleh jarak keturunan dari raja dan
jarak keturunan dari pangeran. Sedangkan gelar keturunan perdana menteri,
bupati, kaliwon, panewu, dan mantri yang berasal dari keturunan rakyat biasa
dipengaruhi oleh status kebangsawanan ibunya yaitu istri para pejabat tersebut.
-
GELAR LAMA KETURUNAN RAJA UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA
·
Raden
Mas Gusti (R.M.G.) adalah gelar untuk putra raja dari istri permaisuri.
·
Bandara
Raden Mas (B.R.M.) adalah gelar untuk putra raja dari istri selir dan putra
pangeran putra dari istri permaisuri.
·
Bandara
Raden Mas Panji (B.R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra bukan sulung pangeran
putra dari istri permaisuri setelah dewasa dan putra bukan sulung pangeran
wayah dari istri permaisuri setelah dewasa.
·
Bandara
Raden Mas Harya (B.R.M.H.) adalah gelar untuk putra sulung pangeran wayah dari
istri permaisuri setelah dewasa.
·
Raden
Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra pangeran putra dari istri selir, cicit
raja, dan piut raja yang adalah cucu pangeran.
·
Raden
Mas Harya (R.M.H.) adalah gelar untuk putra sulung pangeran putra dari istri
selir setelah dewasa.
·
Raden
Mas Panji (R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra bukan sulung pangeran putra dari
istri selir setelah dewasa, putra pangeran wayah dari istri selir setelah
dewasa, dan cicit raja yang bukan putra pangeran setelah dewasa.
·
Raden
Panji (R.Pj.) adalah gelar untuk piut raja yang adalah cucu pangeran setelah
dewasa.
·
Raden
Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran dan anggas
raja yang adalah piut pangeran.
·
Raden
(R.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran setelah dewasa,
anggas raja setelah dewasa, dan gelar naik untuk udeg-udeg raja.
·
Mas
Bagus (M.Bg.) adalah gelar untuk anggas raja yang bukan piut pangeran.
·
Mas
(M.) adalah gelar untuk udeg-udeg dan gantung siwur raja setelah dewasa.
·
Bagus
(Bg.) adalah gelar untuk gantung siwur dan gropak sentthe raja.
·
Apakah
itu sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya.
·
Ki
adalah sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya setelah dewasa.
·
Kyai
(Ky.) adalah varian sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan setelah
dewasa.
·
Ki
Mas adalah sebutan naik untuk Ki.
·
Kyai
Mas (Ky.M.) adalah sebutan naik untuk Kyai (Ky.).
-
GELAR LAMA KETURUNAN RAJA UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA
·
Gusti
Raden Ayu (G.R.Ay.) adalah gelar untuk putri raja dari istri permaisuri yang
belum menikah dan putri bukan sulung raja dari istri selir yang sudah menikah.
·
Bandara
Raden Ajeng (B.R.A.) adalah gelar untuk putri raja dari istri selir yang belum
menikah dan putri pangeran putra dari istri permaisuri yang belum menikah.
·
Bandara
Raden Ayu (B.R.Ay.) adalah gelar untuk putri pangeran putra dari istri
permaisuri yang sudah menikah dan putri pangeran putra dari istri selir yang
menikah dengan pangeran.
·
Raden
Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk pangeran putri putra dari istri selir yang
belum menikah, cicit raja yang belum menikah, dan piut raja yang adalah cucu
pangeran yang belum menikah.
·
Raden
Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk pangeran putri putra dari istri selir yang sudah
menikah, cicit raja yang sudah menikah, dan piut raja yang adalah cucu pangeran
yang sudah menikah.
·
Raden
Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran yang belum
menikah.
·
Raden
Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran yang
sudah menikah, anggas raja yang sudah menikah, dan gelar naik untuk udeg-udeg
raja.
·
Mas
Rara (M.Rr.) adalah gelar untuk anggas raja yang bukan piut pangeran yang belum
menikah dan udeg-udeg raja yang belum menikah.
·
Mas
Nganten (M.Ngt.) adalah gelar untuk udeg-udeg dan gropak sentthe raja yang
sudah menikah.
·
Bok
Rara (Bk.Rr.) adalah gelar untuk gantung siwur dan gropak sentthe raja yang
belum menikah.
·
Bok
Mas (Bk.M.) adalah gelar untuk gantung siwur raja yang sudah menikah dan gelar
naik untuk Mas Nganten (M.Ngt.) gropak sentthe raja.
·
Mas
Ajeng (M.A.) adalah gelar naik untuk Bok Rara (Bk.Rr.).
·
Mas
Ayu (M.Ay.) adalah gelar naik untuk Bok Mas (Bk.M.).
·
Si
adalah sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya yang belum
menikah.
·
Nyi
adalah sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya yang sudah
menikah.
·
Nyai
(Ny.) adalah varian sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya
yang telah menikah.
·
Nyi
Ajeng adalah sebutan naik untuk Nyi.
·
Nyai
Mas (Ny.M.) adalah sebutan naik untuk Nyai (Ny.).
-
GELAR LAMA KETURUNAN PERDANA MENTERI UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA
·
Raden
Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri yang adalah
putri, cucu, atau cicit raja; dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah
istri permaisuri.
·
Bandara
Raden Mas Harya (B.R.M.H.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri
yang adalah putri raja setelah dewasa.
·
Raden
Mas Panji (R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri yang
adalah cucu atau cicit raja setelah dewasa.
·
Raden
Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri keturunan
rakyat biasa dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri selir.
·
Raden
(R.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri keturunan rakyat biasa
setelah dewasa dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri selir
setelah dewasa.
·
Raden
Panji (R.Pj.) adalah gelar untuk cucu perdana menteri dari menantu yang
merupakan istri permaisuri setelah dewasa.
-
GELAR LAMA KETURUNAN PERDANA MENTERI UNTUK PEREMPUAN DI KERAJAAN
SURAKARTA
·
Raden
Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri yang adalah
putri, cucu, atau raja kota yang belum menikah; dan cucu perdana menteri dari
menantu yang adalah istri permaisuri yang belum menikah.
·
Bandara
Raden Ayu (B.R.Ay.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri yang
adalah putri raja yang sudah menikah.
·
Raden
Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri yang adalah
cucu atau cicit raja yang sudah menikah, putri perdana menteri dari istri
keturunan rakyat biasa yang menikah dengan pangeran atau bupati, dan cucu
perdana menteri dari menantu yang adalah istri permaisuri yang sudah menikah.
·
Raden
Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri keturunan
rakyat biasa yang belum menikah dan cucu perdana menteri dari menantu yang
adalah istri selir yang belum menikah.
·
Raden
Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri keturunan
rakyat biasa yang sudah menikah dan cucu perdana menteri dari menantu yang
adalah istri selir yang sudah menikah.
-
GELAR LAMA KETURUNAN BUPATI UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA
·
Raden
Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra bupati dari istri yang adalah putri, cucu,
cicit, atau piut raja.
·
Raden
Mas Panji (R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra bupati cicit atau piut raja dari
istri yang adalah putri raja setelah dewasa.
·
Raden
Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra bupati dari istri keturunan rakyat
biasa.
·
Raden
(R.) adalah gelar untuk putra bupati dari istri keturunan rakyat biasa setelah
dewasa.
-
GELAR LAMA KETURUNAN BUPATI UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA
·
Raden
Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri yang adalah putri,
cucu, cicit, atau piut raja yang belum menikah.
·
Raden
Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri yang adalah putri, cucu,
cicit, atau piut raja yang sudah menikah.
·
Raden
Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri keturunan rakyat biasa
yang belum menikah.
·
Raden
Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri keturunan rakyat
biasa yang sudah menikah.
-
GELAR LAMA KETURUNAN KALIWON UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA
·
Raden
Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra kaliwon cucu atau cicit raja dari istri
yang juga cucu atau cicit raja dan putra kaliwon biasa dari istri yang adalah
putri pangeran rakyat.
·
Raden
Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra kaliwon dari istri keturunan rakyat
biasa.
·
Raden
(R.) adalah gelar untuk putra kaliwon dari istri keturunan rakyat biasa setelah
dewasa.
-
GELAR LAMA KETURUNAN KALIWON UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA
·
Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri
kaliwon cucu atau cicit raja dari istri yang juga cucu atau cicit raja yang
belum menikah dan putri kaliwon rakyat biasa dari istri yang adalah putri
pangeran yang belum menikah.
·
Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri
kaliwon cucu atau cicit raja dari istri yang juga cucu atau cicit raja yang
sudah menikah, putri kaliwon rakyat biasa dari istri yang adalah putri pangeran
yang sudah menikah, dan gelar naik untuk putri kaliwon rakyat biasa dari istri
yang adalah putri riya atau panji yang sudah menikah.
·
Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri
kaliwon dari istri keturunan rakyat biasa yang belum menikah.
·
Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri
kaliwon dari istri keturunan rakyat biasa yang sudah menikah.
-
GELAR LAMA KETURUNAN PANEWU UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA
·
Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra panewu
dan mantri dari istri yang adalah putri pangeran.
·
Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra
panewu dan mantri dari istri yang adalah putri riya atau panji.
·
Raden (R.) adalah gelar untuk putra panewu dan
mantri dari istri yang adalah putri pangeran atau riya atau panji setelah
dewasa.
·
Mas Bagus (M.Bg.) adalah gelar untuk putra
panewu dan mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat
biasa.
·
Mas (M.) adalah gelar untuk putra panewu dan
mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat biasa
setelah dewasa.
-
GELAR LAMA KETURUNAN PANEWU UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA
·
Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri
panewu dan mantri dari istri yang adalah putri pangeran yang belum menikah.
·
Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri
panewu dan mantri dari istri yang adalah putri pangeran yang sudah menikah.
·
Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri
panewu dan mantri dari istri yang adalah putri riya atau panji yang belum
menikah.
·
Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri
panewu dan mantri dari istri yang adalah putri riya atau panji yang sudah
menikah.
·
Mas Rara (M.Rr.) adalah gelar untuk putri panewu
dan mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat biasa
yang belum menikah.
·
Mas Nganten (M.Ngt.) adalah gelar untuk putri
panewu dan mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat
biasa yang sudah menikah.
-
GELAR LAMA KETURUNAN TERKAIT JABATAN DI KERATON SURAKARTA
·
Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk cucu raja
yang ditujukan sebagai wadana, kaliwon, panewu, mantri, atau lurah; dan cicit
raja yang pergi sebagai wadana atau kaliwon.
·
Raden (R.) adalah gelar untuk cicit, piut, dan
anggas raja yang diusulkan sebagai panewu atau mantri; cicit dan piut raja atau
putra, cucu, dan cicit perdana menteri atau putra bupati yang menjabat sebagai
lurah; dan cicit dan piut raja yang menjadi jajar.
·
Ki Raden adalah gelar untuk anggas raja yang
diusulkan sebagai lurah atau jajar.
·
Mas (M.) adalah gelar untuk rakyat biasa yang
diperluas sebagai panewu atau mantri; dan udeg-udeg raja, piut perdana menteri,
cucu bupati, dan putra kaliwon yang bertugas sebagai lurah.
·
Ki Mas adalah gelar untuk anggas perdana
menteri, cicit bupati, cucu kaliwon, dan putra panewu atau mantri yang menjabat
sebagai lurah; dan putra panewu atau mantri yang melahirkan sebagai jajar.
·
Ki adalah gelar untuk rakyat biasa yang berperan
sebagai lurah; dan putra lurah, putra bekel, dan putra jajar yang membelah
sebagai jajar.
II.
GELAR BARU KETURUNAN DI KERATON SURAKARTA
Ketetapan Kerajaan nomor 1C/4/I
tanggal 25 Januari 1938 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 3 tanggal 1
Februari 1938 menentukan bahwa gelar Raden Bagus (R.Bg.) atau Raden (R.) dan
Raden Rara (R.Rr) atau Raden Nganten (R.Ngt.) dimulai dari udeg-udeg raja
sampai keturunan berikutnya tanpa batas melalui garis keturunan laki-laki atau
garis keturunan perempuan.
-
GELAR BARU KETURUNAN RAJA UNTUK LAKI-LAKI DI
KERATON SURAKARTA
·
Gusti Raden Mas (G.R.M.) adalah gelar untuk
putra raja dari istri permaisuri.
·
Bandara Raden Mas (B.R.M.) adalah gelar untuk
putra raja dari istri selir dan cucu raja dari putra mahkota.
·
Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk cucu, cicit,
piut, dan anggas raja.
·
Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk udeg-udeg
raja dan keturunan berikutnya yang belum menikah.
·
Raden (R.) adalah gelar untuk udeg-udeg raja dan
keturunan berikutnya yang telah menikah.
-
GELAR BARU KETURUNAN RAJA UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA
·
Gusti Raden Ajeng (G.R.A.) adalah gelar untuk
putri raja dari istri permaisuri yang belum menikah.
·
Gusti Raden Ayu (G.R.Ay.) adalah gelar untuk
putri raja dari istri permaisuri yang sudah menikah.
·
Bandara Raden Ajeng (B.R.A.) adalah gelar untuk
putri raja dari istri selir yang belum menikah.
·
Bandara Raden Ayu (B.R.Ay.) adalah gelar untuk
putri raja dari istri selir yang sudah menikah.
·
Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk cucu,
cicit, piut, dan anggas raja yang belum menikah.
·
Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk cucu,
cicit, piut, dan anggas raja yang sudah menikah.
·
Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk udeg-udeg
raja dan keturunan berikutnya yang belum menikah.
·
Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk
udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya yang telah menikah.
III.
GELAR JABATAN DI KERATON SURAKARTA
Secara umum pejabat tinggi
istana atau pejabat negara di Kerajaan Mataram Islam berurutan dari yang
terendah sampai yang tertinggi yaitu : jajar, bekel, lurah, mantri, panewu,
kaliwon, wadana, bupati, bupati nayaka, dan perdana menteri atau patih
kerajaan. Jabatan jajar, bekel, lurah, dan demang tidak mempunyai gelar khusus
sehingga seorang jabatan pada jabatan tersebut disapa dengan gelar keturunan
diikuti nama jabatan (e.g. Mas Jajar, Raden Jajar, Mas Bekel, Raden Bekel, Mas
Lurah, Raden Lurah, Mas Demang, Raden Demang). Sedangkan jabatan yang lebih
tinggi seperti mantri, panewu, kaliwon, atau wadana mempunyai gelar khusus
sehingga jabatan pada jabatan tersebut disapa dengan gelar keturunan diikuti
gelar jabatan (mis. Mas Ngabehi, Raden Ngabehi). Sebagaimana gelar keturunan,
istilah jabatan dan posisi jabatan juga mengalami beberapa kali perubahan.
Contoh : Sunan Pakubuwana X mengganti istilah kaliwon menjadi bupati anom
dengan gelar yang dinaikkan dari Ngabehi (Ng.) menjadi Tumenggung (T.). Pada
Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta kedudukan perdana menteri atau patih
kerajaan membawahi semua jenis bupati, karena itu dia bergelar Adipati (Ad.).
Sedangkan pada Kadipaten Mangkunagaran dan Kadipaten Pakualaman penguasanya
adalah seorang adipati dan karena itu hanya penguasa seorang yang bisa bergelar
Adipati (Ad.), maka jabatan perdana menteri atau patih kadipaten hanya bergelar
Tumenggung (T.) dan disebut sebagai bupati patih. Gelar patih pada Kerajaan
Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta adalah Kangjeng Raden Adipati (K.R.Ad.) tanpa
melihat apakah dia masih cucu, cicit, piut, dan anggas raja yang berhak memakai
gelar Raden Mas (R.M.) atau keturunan rakyat biasa yang hanya berhak memakai
gelar Mas (M.).
-
GELAR JABATAN LAMA UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON
SURAKARTA
·
Mas Rongga (Rg.) adalah gelar mantri anom untuk
keturunan rakyat biasa.
·
Raden Rongga (R.Rg.) adalah gelar mantri anom
untuk anggas raja dan keturunan berikutnya.
·
Raden Mas Rongga (R.M.Rg.) adalah gelar mantri
anom untuk cucu, cicit, dan piut raja.
·
Mas Ngabehi (M.Ng.) adalah gelar kaliwon, panewu,
dan mantri untuk keturunan rakyat biasa.
·
Raden Ngabehi (R.Ng.) adalah gelar kaliwon,
panewu, dan mantri untuk anggas raja dan keturunan berikutnya.
·
Raden Mas Ngabehi (R.M.Ng.) adalah gelar
kaliwon, panewu, dan mantri untuk cucu, cicit, dan piut raja.
·
Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) adalah gelar
wadana untuk cicit raja.
·
Raden Mas Harya (R.M.H.) adalah gelar wadana
untuk cucu raja.
·
Kangjeng Raden Adipati (K.R.Ad.) adalah gelar
untuk perdana menteri alias patih kerajaan.
-
GELAR JABATAN BARU UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA
·
Mas Rongga (M.Rg.) adalah gelar mantri anom
untuk keturunan rakyat biasa.
·
Raden Rongga (R.Rg.) adalah gelar mantri anom
untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Raden Mas Rongga (R.M.Rg.) adalah gelar mantri
anom untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Mas Ngabehi (M.Ng.) adalah gelar panewu dan
mantri untuk keturunan rakyat biasa.
·
Raden Ngabehi (R.Ng.) adalah gelar panewu dan
mantri untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Raden Mas Ngabehi (R.M.Ng.) adalah gelar panewu
dan mantri untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Mas Tumenggung (M.T.) adalah gelar bupati anom
untuk keturunan rakyat biasa.
·
Raden Tumenggung (R.T.) adalah gelar bupati anom
untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) adalah gelar
bupati anom untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Raden Tumenggung Panji (R.T.Pj.) adalah gelar
bupati anom tentara untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) adalah gelar
bupati sepuh untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan
berikutnya.
·
Kangjeng Raden Mas Tumenggung (K.R.M.T.) adalah
gelar bupati sepuh untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Kangjeng Raden Tumenggung Panji (K.R.T.Pj.)
adalah gelar bupati sepuh tentara untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg
raja dan keturunan berikutnya.
·
Kangjeng Raden Harya Tumenggung (K.R.H.T.)
adalah gelar bupati sepuh riya hinggil untuk keturunan rakyat biasa atau
udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Kangjeng Raden Mas Harya Tumenggung (K.R.M.H.T.)
adalah gelar bupati sepuh riya hinggil untuk cucu, cicit, piut, dan anggas
raja.
·
Kangjeng Raden Adipati (K.R.Ad.) adalah gelar
untuk perdana menteri alias patih kerajaan.
-
GELAR JABATAN BARU UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA
·
Nyai Mas Tumenggung (Ny.M.T.) bergelar bupati anom
untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Mas Ayu Tumenggung (M.Ay.T.) adalah gelar bupati
anom untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Kangjeng Mas Ayu Tumenggung (K.M.Ay.T.) adalah gelar
bupati sepuh untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan
berikutnya.
·
Raden Ayu Tumenggung (R.Ay.T.) adalah gelar
bupati anom untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Kangjeng Raden Ayu Tumenggung (K.R.Ay.T.) adalah
gelar bupati sepuh untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
IV.
GELAR PANGERAN DAN RATU
Gelar Pangeran (P.) yang hanya
untuk laki-laki tidak dapat dirangkap dengan gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden
(R.) atau Mas (M.) karena gelar Pangeran (P.) menggantikan gelar keturunan.
Contoh : gelar seorang Kangjeng Raden Mas Harya (K.R.M.H.) yang diberi gelar
Pangeran (P.) berubah menjadi Kangjeng Pangeran Harya (K.P.H.). Contoh lain :
gelar seorang Bandara Raden Mas (B.R.M.) yang diberi gelar Pangeran (P.)
berubah menjadi Bandara Pangeran Harya (B.P.H.). Pemberian gelar Pangeran (P.)
kepada putra raja biasanya dilakukan pada saat putra raja tersebut dianggap
sudah mencapai usia dewasa yaitu setelah disunat atau sekira usia 15 tahun atau
sewaktu sebelum menikah.
Gelar Ratu (Rt.) yang hanya
untuk perempuan tidak bisa dirangkap dengan gelar Raden Ajeng (R.A.) atau Raden
Ayu (R.Ay.) atau Raden Rara (R.Rr.) atau Raden Nganten (R.Ngt.) atau Mas Ajeng
(M.A.) atau Mas Ayu (M.Ay.) atau Mas Rara (M.Rr.) atau Mas Nganten (M.Ngt.)
karena gelar Ratu (Rt.) menggantikan gelar keturunan. Contoh : gelar seorang
Kangjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) yang diberi gelar Ratu (Rt.) berubah menjadi
Kangjeng Ratu (K.Rt.) atau Gusti Kangjeng Ratu (G.K.Rt.). Pemberian gelar Ratu
(Rt.) kepada putri raja biasanya dilakukan pada saat dia akan menikah dengan
seorang raja atau pangeran. Meskipun demikian, jika raja berkenan maka seorang
perempuan dari keturunan jauh raja atau keturunan rakyat biasa dapat diberi
gelar Ratu (Rt.) asalkan dia menikah dengan raja atau pangeran. Karena hanya
Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta yang berkuasa memberi gelar Ratu (Rt.), maka
Adipati Mangkunagaran membuat gelar Putri (Pt.) sebagai varian gelar Ratu (Rt.)
untuk istri permaisuri adipati.
-
GELAR PANGERAN
·
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
(K.G.P.Ad.An.) adalah gelar pangeran untuk putra mahkota.
·
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati (K.G.P.Ad.)
adalah gelar pangeran untuk putra raja yang berkuasa atas suatu daerah.
·
Kangjeng Gusti Pangeran Harya (K.G.P.H.) adalah
gelar pangeran untuk putra raja yang berperan sebagai lurah pangeran yaitu
kepala para pangeran.
·
Kangjeng Gusti Pangeran (K.G.P.) adalah gelar
pangeran untuk putra raja dari istri permaisuri.
·
Gusti Pangeran Harya (G.P.H.) adalah gelar
pangeran untuk putra raja dari istri permaisuri.
·
Gusti Pangeran Panji (G.P.Pj.) adalah gelar
pangeran untuk putra raja dari istri permaisuri
·
Gusti Pangeran (G.P.) adalah gelar pangeran
untuk putra sulung raja dari istri selir.
·
Gusti Bandara Kangjeng Pangeran Harya
(G.B.K.P.H.) adalah gelar yang naik untuk putra raja dari istri selir yang
bergelar Bandara Kangjeng Pangeran Harya (B.K.P.H.).
·
Bandara Kangjeng Pangeran Harya (B.K.P.H.)
adalah gelar pangeran untuk putra raja dari istri selir atau gelar naik untuk
cucu raja yang bergelar Kangjeng Pangeran Harya (K.P.H.).
·
Bandara Pangeran Harya (B.P.H.) adalah gelar
pangeran untuk putra bukan sulung raja dari istri selir.
·
Kangjeng Pangeran Adipati (K.P.Ad.) adalah gelar
pangeran untuk orang yang dipandang berjasa sangat besar.
·
Kangjeng Pangeran Harya (K.P.H.) adalah gelar
pangeran untuk cucu raja atau orang yang dipandang berjasa.
·
Kangjeng Pangeran Harya Adipati (K.P.H.Ad.)
adalah gelar pangeran untuk cicit raja atau orang yang dipandang berjasa.
·
Kangjeng Pangeran Panji (K.P.Pj.) adalah gelar
pangeran untuk cicit raja atau orang yang dipandang berjasa.
·
Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) adalah
gelar pangeran untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang
berjasa.
·
Kangjeng Pangeran Rongga (K.P.Rg.) adalah gelar
pangeran untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang berjasa.
·
Kangjeng Pangeran Demang (K.P.D.) adalah gelar
pangeran untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang berjasa.
·
Kangjeng Pangeran (K.P.) adalah gelar pangeran
untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang berjasa.
-
GELAR RATU
·
Gusti Kangjeng Ratu (G.K.Rt.) adalah gelar ratu
untuk istri permaisuri raja dan putri raja dari istri permaisuri.
·
Gusti Kangjeng Ratu Alit (G.K.Rt. Alit) adalah
gelar ratu untuk putri sulung raja dari istri selir.
V.
GELAR KEHORMATAN DI KERATON SURAKARTA
Diuraikan dalam pendahuluan,
gelar kehormatan bisa jadi beririsan dengan gelar keturunan dan gelar jabatan.
Karena itu maka ada gelar kehormatan yang bisa diberikan raja atau adipati
kepada orang yang dipandang berjasa tanpa memperhatikan latar belakang orang
itu dari keturunan bangsawan atau keturunan rakyat biasa dan ada pula gelar
kehormatan yang hanya bisa diberikan raja atau adipati kepada orang yang berjasa
dengan memperhatikan latar belakang orang itu dari keturunan bangsawan atau
keturunan rakyat biasa.
-
GELAR KEHORMATAN UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA
·
Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung
(K.G.P.H.Pn.Ag.) adalah gelar untuk putra raja yang dipandang berjasa luar
biasa sangat besar dan berkelamin sebagai patih kerajaan.
·
Kangjeng Gusti Panembahan (K.G.Pn.) adalah gelar
untuk putra raja yang dipandang berjasa luar biasa sangat besar.
·
Kangjeng Panembahan (K.Pn.) adalah gelar untuk
orang yang dipandang berjasa luar biasa sangat besar.
·
Kangjeng Raden Mas Harya (K.R.M.H.) adalah gelar
riya hinggil untuk menantu raja atau cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Kangjeng Raden Mas Riya Harya Panji
(K.R.M.Ry.H.Pj.) adalah gelar riya handap untuk cicit, piut, dan anggas raja.
·
Kangjeng Raden Mas Panji (K.R.M.Pj.) adalah satu
gelar untuk cicit, piut, dan anggas raja.
·
Raden Mas Riya Panji (R.M.Ry.Pj.) adalah satu
gelar untuk cicit, piut, dan anggas raja.
·
Raden Mas Panji (R.M.Pj.) adalah satu gelar
untuk cicit, piut, dan anggas raja.
·
Raden Mas Riya (R.M.Ry.) adalah gelar riya
handap untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Kangjeng Raden Harya (K.R.H.) adalah gelar riya
hinggil untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan
berikutnya.
·
Kangjeng Raden Riya Harya Panji (K.R.Ry.H.P.)
adalah gelar riya handap untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan
keturunan berikutnya.
·
Kangjeng Raden Harya Panji (K.R.H.P.) adalah
gelar riya handap untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan
keturunan berikutnya.
·
Kangjeng Raden Panji (K.R.P.) adalah satu gelar
untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Raden Riya (R.Ry.) adalah gelar riya handap
untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.
·
Kyai (Ky.) adalah gelar untuk petugas kerajaan
dalam bidang keagamaan.
·
Ki adalah gelar untuk petugas kerajaan di luar
bidang keagamaan.
-
GELAR KEHORMATAN UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA
·
Kangjeng Bandara Raden Ayu Adipati
(K.B.R.Ay.Ad.) adalah gelar untuk istri selir raja yang berperan sebagai kepala
para istri selir raja sekaligus kepala rumah tangga pribadi raja.
·
Kangjeng Bandara Raden Ayu (K.B.R.Ay.) adalah
gelar untuk istri selir raja keturunan bangsawan yang menjabat sebagai kepala
untuk istri selir raja.
·
Kangjeng Bandara Mas Ayu (K.B.M.Ay.) adalah
gelar untuk istri selir raja keturunan rakyat biasa yang melamar sebagai kepala
para istri selir raja.
·
Kangjeng Raden Ayu Adipati (K.R.Ay.Ad.) adalah
gelar untuk kepala rumah tangga pribadi raja.
·
Kangjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) adalah gelar untuk
istri permaisuri putra mahkota atau orang yang dipandang berjasa.
·
Raden Ayu Panji (R.Ay.Pj.) adalah satu gelar
untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.
·
Kangjeng Mas Ayu (K.M.Ay.) adalah gelar untuk
santana riya hinggil untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan
keturunan berikutnya.
·
Mas Ajeng (M.A.) adalah gelar untuk istri selir
raja atau pangeran dari keturunan rakyat biasa.
·
Mas Ayu (M.Ay.) adalah gelar untuk istri selir
raja atau pangeran dari keturunan rakyat biasa.
·
Nyai Mas (Ny.M.) adalah gelar petugas kerajaan
untuk keturunan rakyat biasa.
·
Nyai (Ny.) adalah gelar petugas kerajaan untuk
keturunan rakyat biasa.
·
Nyi adalah varian gelar Nyai (Ny.).
H. FILOSOFI DAN MITOLOGI SEPUTAR KERATON
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, demikian pula prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Tarian sakral Bedhaya Ketawang yang
hanya ditampilkan sekali dalam satu tahun
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kamadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama Marcukundha berasal dari kata marcu yang berarti api dan kundha yang berarti wadah/tempat, sehingga kata Marcukundha berarti membentangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai salah satu contohnya adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungkankan saat garebeg. Mereka percaya bagian gunung itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta
Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun, muncul sebuah ramalan bahwa
Kesunanan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua
ratus tahun maka kekuatan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung
(kari sak megare payung). Legenda ini pun seakan mendapat pengesahan dengan
kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana
secara resmi pada tahun 1745, maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun
1945 negara Indonesia merdeka dan kekuasaan Kesunanan benar-benar menyenangkan.
Setahun kemudian, pada tahun 1946, Daerah Istimewa Surakarta (yang di dalamnya
terdapat pemerintahan dan wilayah administratif Kesunanan Surakarta) dibekukan
oleh pemerintah Indonesia karena saat itu terjadi kekacauan politik, dan pada
akhirnya kekuasaan Sri Sunan hanya tinggal di atas tanah adat serta masyarakat
adat kerabat dekat saja.
I. DAFTAR RAJA-SUSUHUNAN (SUNAN) SURAKARTA
A. DAFTAR RAJA-SUSUHUNAN (SUNAN)
SURAKARTA
PAKU BUWANA II
Pakubuwana II ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana II |
Susuhunan Mataram ke-9 |
Bertakhta :
1726 – 1742 Pendahulu :
Amangkurat IV Digantikan :
Amangkurat V |
Susuhunan Surakarta
ke-1 |
Bertakhta :
1745 – 1749 Penerus :
Pakubuwana III |
Nama Lengkap
: Raden Mas Prabasuyasa Kelahiran : 8
Desember 1711 (Selasa Paing 26 Sawal Alip 1635 AJ), Kartasura, Mataram Kematian 20
Desember 1749 (umur 38) , Surakarta Hadiningrat Pemakaman : Astana
Pakubuwanan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng
Kaping II |
Nama
anumerta : Sunan Kumbul Ayah : Amangkurat
IV Ibu : Ratu
Amangkurat (GKR. Kencana) Pasangan
:G.RAy. Sukiya (GKR.Mas) Bahasa
Jawa : ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana II
(bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ ꧇, translit. pakubuwana kapindo,
har. 'pakubuwana dua', dikenal juga sebagai Sunan Kumbul; 08 Desember 1711 – 20
Desember 1749) adalah raja Mataram kedua yang menguasai tahun 1726–1742 dan
menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745–1749, setelah
pemberontakan Amangkurat V. Ia juga merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi
(kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa
(kemudian bergelar Mangkunagara I).
·
SILSILAH
Sunan Pakubuwana II atau Sunan
Kumbul memiliki nama asli Raden Mas Prabasuyasa, ia merupakan putra
Amangkurat IV dan Ratu Amangkurat (GKR. Kencana) atau Ratu Mas Kadipaten,
seorang permaisuri keturunan Sunan Kudus. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember
1711 atau Hari Selasa Pon, 18 Sawal tahun jimakir 1634 J atau 1711 Masehi.
Raden Mas Prabasuyasa
naik tahta sebagai Pakubuwana II pada tanggal 15 Agustus 1726 pada usia 15
tahun, setelah Keraton Kartasura hancur dalam peristiwa Geger Pacinan. Karena
masih sangat muda, beberapa tokoh istana bersaing untuk mempengaruhinya. Para
pejabat keraton pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu golongan yang bersahabat
dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu suri) dan golongan anti VOC
dipelopori Patih Cakrajaya.
·
PEMERINTAHAN
Pada awal tahun 1755, pihak VOC
yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi
berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau
berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Jatisari (15 Februari
1755) yang ditandatangani oleh Susuhunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi
mengakibatkan terbentuknya dua kerajaan baru yaitu Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di sebagian wilayah
Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kesunanan
Surakarta mempertahankan gelar Susuhunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya
waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal
dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh
Pakubuwana terkenal dengan nama Kesunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kesunanan
Surakarta semakin berkurang karena Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757,
menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran miji alias pangeran
merdeka dengan wilayah kekuasaan berada di Kadipaten yang secara tradisional
masih berada di bawah Kesunanan, yang disebut dengan nama Kadipaten
Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara
I. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya Perang
Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah Mancanagara diberikan kepada
Belanda sebagai ganti kerugian atas biaya peperangan.
-
TERUSIR DARI KARTASURA
Cakraningrat IV, bupati Madura
Barat, adalah ipar Pakubuwana II, tetapi membenci pemerintahannya yang
dianggapnya bobrok. Ia menawarkan diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari
Mataram. VOC terpaksa menerima tawaran itu.
Keadaan pun berbalik. Para pemberontak
Tionghoa pimpinan Sunan Kuning dipukul mundur. Pakubuwana II menyesal telah
memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura. Perdamaian pun dijalin.
Kapten Baron von Hohendorff tiba di Kartasura bulan Maret 1742 sebagai wakil
VOC mengatur perjanjian damai dengan Pakubuwana II.
Perdamaian ini membuat para
pemberontak sakit hati. Mereka mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi
sebagai Amangkurat V (juga disebut Sunan Kuning karena memimpin kaum berkulit
kuning), Amangkurat V adalah seorang cucu dari Amangkurat III yang masih
berusia muda. mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Tionghoa, melainkan
juga pribumi Jawa yang anti VOC, semakin banyak yang bergabung.
Pada tanggal 18 Juni 1742 Patih
Natakusuma ditangkap oleh VOC atas keinginan Pakubuwana II. Patih Natakusuma
ditangkap karena diduga diam-diam bersekongkol dengan pasukan pemberontak
pimpinan Sunan Kuning. Kemudian oleh VOC ia diasingkan ke Sri Lanka. Hal ini
memancing kemarahan para pemberontak yang akhirnya melakukan penyerangan ke
Kartasura.
-
MENGUNGSI KE PONOROGO
Pada tanggal 30 Juni 1742,
tentara Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi telah mengalahkan pasukan
Pakubuwono II secara total dan langsung menuju ke Kartasura. Sang raja berhasil
melarikan diri dan hanya dikawal oleh segelintir orang yang setia dan petugas
VOC. Ia kemudian pergi ke Madiun untuk mengumpulkan para pendukungnya dan dari
sana melakukan upaya sia-sia untuk mendapatkan kembali mahkotanya yang hilang.
Putus asa karena bertumpuk-tumpuk kesengsaraan, ia tetap tinggal di sana untuk
sementara waktu. Ia kemudian pergi ke Ponorogo untuk bertemu Kiai Ageng
Muhammad Besari di Tegalsari atas saran kawan-kawannya.
Di Tegalsari, Pakubuwono II
memohon kepada Kiai Ageng untuk menjadi perantara antara dirinya dan Allah
serta berdoa agar ia mendapatkan kembali ayahnya. Raja juga berjanji bahwa
seumpamanya ia memudarkan martabatnya sebagai raja, ia akan menjadikan
Tegalsari sebagai tempat rujukan belajar Islam di kerajaannya dan
menganugerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya, serta
mengangkat desa itu sebagai desa perdikan, yaitu desa yang dibebaskan dari
pajak, pengiriman upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan.
Pada November 1742, Cakraningrat
IV dari Bangkalan bersama pasukannya berhasil mengusir Mas Garendi dari
Kartasura. Kompeni kemudian mengangkat kembali Pakubuwono II sebagai raja. Ia
pun menepati janjinya pada Kiai Ageng, dengan syarat sang kiai tetap mengajar
ajaran Nabi Muhammad.
-
MENDIRIKAN SURAKARTA
Berawal dari peristiwa Geger
Pacinan yang melibatkan orang Tionghoa membentuk perlawanan untuk
mempertahankan diri, semakin lama pasukan mereka menjadi kuat karena mendapat
dukungan dari para bupati pesisir serta mengangkat Sunan Kuning sebagai raja
Mataram dan berhasil menguasai Keraton Kartasura dengan gelar Amangkurat V.
Pakubuwana II beserta
keluarganya melarikan diri ke Ponorogo dan meminta bantuan VOC untuk mengusir
Amangkurat V dan para pengikutnya dari Keraton Kartasura dan VOC membantu
permintaan dari Pakubuwana II untuk mengusir Amangkurat V, usaha ini pun
berhasil Pakubuwana II kembali terbang ke Mataram.
Menurut kepercayaan Jawa jika
sebuah istana kerajaan telah rusak akibat peperangan dianggap sudah tidak
memiliki wahyu keprabon lagi. Hal tersebut mengakibatkan Pakubuwana II ingin
mendirikan istana baru ke tempat lain yang layak untuk dihuni. Setelah
dilakukan pencarian pengganti wilayah Keraton Kartasura akhirnya terpilih desa
Sala sebagai lokasi keraton baru. Pada tanggal 17 Februari 1745 keraton baru di
desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti keraton lama, kemudian
diberi nama Surakarta.
Pada periode selanjutnya di
tahun 1755 pasca Perjanjian Giyanti yang disepakati oleh putra dan adiknya,
yaitu Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi, mengakibatkan terbelahnya Mataram
menjadi dua kubu antara Pakubuwana III di Surakarta dan Pangeran Mangkubumi di
Yogyakarta. Setelah kesepakatan itu disepakati, Mataram yang semula memiliki
pemerintahan tunggal di bawah Pakubuwana III, terbagi menjadi dua poros
kerajaan. Peristiwa tersebut ditandai dengan istilah Palih Nagari dan menandai
berakhirnya kekalahan Mataram.
·
SAYEMBARA
Posisi Cakraningrat IV semakin
kuat. Ia banyak merebut daerah-daerah di timur Jawa dalam penumpasan Geger
Pacinan. Daerah-daerah tersebut ingin diambil alih olehnya, tetapi ditolak VOC.
Cakraningrat IV pun akhirnya
memberontak. VOC secara resmi memerangi bekas sekutunya itu pada Februari 1745.
Beberapa bulan kemudian Cakraningrat IV terdesak dan melarikan diri ke
Banjarmasin. Namun, sultan negeri itu justru menangkap dan menyerahkannya
kepada VOC. Cakraningrat IV akhirnya dibuang ke Tanjung Harapan.
Sisa-sisa pendukung
pemberontakan Tionghoa yang masih bertahan adalah Pangeran Sambernyawa putra
Pangeran Mangkunegara. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah
Sukawati (sekarang Sragen), bagi siapa saja yang berhasil merebut daerah itu
dari tangan Pangeran Sambernyawa.
Pangeran Mangkubumi adik dari
Pakubuwana II memenangkan sayembara itu pada tahun 1746. Sebelumnya, ia juga
pernah ikut terlibat mendukung pemberontakan Tionghoa, tetapi kembali ke
Surakarta dan menerima Pakubuwana II. Namun, Patih Pringgalaya membujuk
Pakubuwana II agar tidak menyerahkan tanah Sukawati kepada Pangeran Mangkubumi.
VOC kembali muncul dengan
melakukan itu, Baron van Imhoff memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta
mendesak Pakubuwana II agar menyewakan tempat pesisir kepada VOC dengan harga
20.000 real Spanyol setiap tahun. Pangeran Mangkubumi melawan hal itu.
Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi
di depan umum.
Pangeran Mangkubumi sakit hati
dan kabur dari Surakarta dan memilih bergabung dengan pasukan Pangeran
Sambernyawa sejak Mei 1746.
·
AKHIR PEMERINTAHAN
Pakubuwana II jatuh sakit pada
akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, yang kini menjabat gubernur pesisir
Jawa bagian timur, tiba menjenguknya di Surakarta sebagai saksi VOC atas
pergantian pergantian raja (suksesi). Pakubuwana II bahkan terpaksa menyerahkan
kekuasaan Mataram kepada von Hohendorff, akibat api pemberontakan yang tak
kunjung padam. Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai
titik awal hilangnya kerugian Mataram ke tangan Belanda.
Pakubuwana II akhirnya meninggal
dunia pada tanggal 20 Desember 1749, dan berdoa oleh Raden Mas Suryadi,
anak-anaknya yang bergelar Pakubuwana III. Pakubuwana III dalam pemerintahannya
harus berhadapan dengan kaum pemberontak yang dipelopori Pangeran Mangkubumi
dan Pangeran Sambernyawa. Di kemudian hari pada tahun 1755, kedua belah pihak antara
Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi menyepakati isi Perjanjian Giyanti.
Disusul Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 yang disepakati oleh pihak ketiga
yakni Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.
PAKU BUWANA III
Pakubuwana III ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧓꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana III |
Susuhunan Surakarta
ke-2 |
Bertakhta :
1749 – 1788 Pendahulu :
Pakubuwana II Penerus :
Pakubuwana IV Patih : 1.
Mangkupraja I (1755‒1769) 2.
Sasradiningrat I (1769‒1782) 3. Sindureja
(1782‒1784) 4. Jayadiningrat
(1784‒1796) |
Nama Lengkap : Raden Mas Suryadi Kelahiran : 24 Februari 1732, Kartasura,
Mataram Kematian : 26 September 1788 (umur 56), Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat Pemakaman : Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin
Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping III |
Ayah : Pakubuwana II Ibu : GKR. Hemas Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana III
(bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧓꧇, translit. pakubuwana katelu,
har. 'pakubuwana tiga'; 24 Februari 1732 – 26 September 1788) adalah susuhunan
kedua Surakarta yang menguasai tahun 1749 – 1788.
·
BIOGRAFI
Sunan Pakubuwana III memiliki
nama asli Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri
GKR. Hemas, putri Pangeran Purbaya dari Lamongan (putra Pakubuwana I).
Pakubuwana III naik tahta pada
tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras. Ia ditunjuk
sebagai raja oleh Baron von Hohendorff sesuai wasiat Pakubuwana II kepadanya,
untuk menobatkan Raden Mas Suryadi sebagai raja selanjutnya.
·
PEMBERONTAKAN
-
PERLAWANAN PANGERAN MANGKUBUMI
Pakubuwana III ketika menjadi
raja berhadapan dengan pemberontakan di masa pemerintahan ayahnya.
Pemberontakan tersebut dipelopori oleh pamannya sendiri, Pangeran Mangkubumi
sejak tahun 1746. Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Pangeran
Mangkubumi sebagai Pakubuwana III dan Pangeran Sambernyawa sebagai patihnya
pada tanggal 12 Desember 1749 di basis pertahanan mereka.
Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. VOC segera menawarkan perdamaian dengan Pangeran Mangkubumi.
Perundingan dilakukan dan diakhiri dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan biaya Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi pernah mengangkat diri sebagai susuhunan dan bergelar Pakubuwana III di daerah Kabanaran, bersamaan dengan pelantikan Raden Mas Suryadi menjadi Pakubuwana III.Berdasarkan kesepakatan yang
telah disepakati, Pangeran Mangkubumi tidak diperkenankan menggunakan gelar
susuhunan. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman
bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sebagai sultan yang bergelar
Hamengkubuwana I dan membangun kerajaan baru bernama Kesultanan Yogyakarta.
sebelah atas Keraton Kasunanan
Surakarta Hadinigrat yang dipimpin Sinuwun Sri Sunan Paku Buwono III dan
sebelah bawah Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadinigrat yang di pimpin oleh
Sinuhun Sri Sultan Hamengku Buwono I
Pada perkembangan selanjutnya,
kerajaan yang dipimpin Hamengkubuwana I disebut dengan nama Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III
disebut dengan nama Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
-
PERLAWANAN PANGERAN SAMBERNYAWA
Seusai Perjanjian Giyanti,
Pangeran Sambernyawa merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi. Akhirnya ia
pun menjadi musuh Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Perlawanan Pangeran
S
ambernyawa mulai melemah akhirnya ia terdesak dan bersedia berunding dengan
VOC sejak 1756.
Puncaknya, pada bulan Maret 1757
Pangeran Sambernyawa menyatakan kesetiaannya terhadap VOC, Surakarta dan
Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga. Sejak itu, Pangeran Sambernyawa alias
Raden Mas Said bergelar Mangkunagara I. Daerah yang dipimpinnya bernama
Kadipaten Mangkunagaran, sebidang tanah mempersembahkan Pakubuwana III hasil
pembagian wilayah Mataram.
·
AKHIR PEMERINTAHAN
Kelemahan politik Pakubuwana III
menyebabkan keadaan pulau Jawa menjadi tegang. Muncul komplotan pemberontak
yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung
sampai kematiannya tanggal 26 September 1788.
Pakubuwana III mengikuti
anak-anak yang bergelar Pakubuwana IV, seorang raja yang lebih cakap dan
pembuat keputusan dalam mengambil sikap politiknya.
PAKU BUWANA IV
Pakubuwana IV ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧔꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana IV |
Susuhunan Surakarta
ke-3 |
Berkuasa :
1788 – 1820 Pendahulu :
Pakubuwana III Penerus :
Pakubuwana V Gubernur
Jenderal : 1. Willem
Arnold Alting 2. Pieter van
Overstraten 3. Johannes
Siberg 4. Albertus
Wiese 5. Herman
Willem Daendels 6. Jan Willem
Janssens 7. G.A.G.Ph.
van der Capellen Gubernur
Letnan Inggris Lord Minto: 1. Thomas
Stamford Raffles 2. John
Fendal |
Kelahiran : 2 September 1768, Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat Kematian : 2 Oktober 1820 (umur 52), Hindia
Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman : Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul,
Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin
Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sakawan ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap : Raden Mas Subadya Ayah : Pakubuwana III Ibu : GKR. Kencana Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana IV
(sering disingkat sebagai PB IV; 2 September 1768 – 2 Oktober 1820) adalah
susuhunan ketiga Surakarta yang memerintah tahun 1788–1820. Ia dijuluki sebagai
Sunan Bagus, karena naik tahta dalam usia muda dan berwajah tampan.
Nama aslinya adalah Raden Mas
Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari permaisuri GKR. Kencana,
keturunan Sultan Demak. Ia dilahirkan tanggal 2 September 1768 dan naik tahta
tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun.
·
PEMERINTAHAN
Pakubuwana IV adalah susuhunan
Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang
kurang cakap. Ia adalah pemeluk Islam yang taat dan mengangkat para ulama dalam
pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat berkecenderungan mistik
yang sudah mapan di istana.
Pakubuwana IV dalam babad-babad
sejarah politik lebih dikenal dengan perubahan besaran besaran untuk
mempersatukan kembali Surakarta dengan Yogyakarta, yang berujung pada dua
peristiwa besar, yakni Pakepung (pengepungan Kasunanan oleh tentara Madura,
Yogyakarta dan Mangkunegaran pada tahun 1790) serta Sepehi.
Berbeda dengan Pakubuwana III
yang agak patuh kepada VOC, penerus penerus Kesunanan Surakarta berikutnya,
yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820) adalah sosok raja yang membenci
penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi
Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh aliansi
VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena
Pakubuwana IV yang paham politik Islam dan dekat dengan kaum santri menyingkirkan
para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang
merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana
IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk
menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 aliansi tersebut mengepung
Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih
ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat politik dan
rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal 26 November
1790 dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk
membuang VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV inilah terjadinya kekacauan
bersama yang isinya menerangkan bahwa Kesunanan Surakarta, Kesultanan
Yogyakarta, serta Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan keunggulan
yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.
-
PERISTIWA PAKEPUNG
Keadaan Surakarta semakin
tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi raja.
Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap residen Surakarta
bernama W.A. Palm yang korup.
Residen Surakarta pengganti Palm
yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan
Pakubuwana IV. VOC mulai curiga dan menduga Hartsinck memanfaatkan Pakubuwana
IV sebagai alat perusak dari dalam.
VOC akhirnya bersekutu dengan
Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada
November 1790 VOC bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Mereka menyerang
dari tiga arah. Dari selatan oleh Hamengkubuana I, arah utara oleh Mankunegara
I dan arah barat oleh pasukan VOC. Dari dalam istana sendiri, para pejabat
senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar jauhkan para penasihat
rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.
Pakubuwana IV akhirnya mengaku
kalah pada 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang terdiri
dari para haji untuk dibuang VOC.
-
HUBUNGAN DENGAN PASUKAN SIPAHI
Melalui Mangkubumi dan Baurekso,
pasukan sipahi berhasil sesi dengan Sunan. Kontak pertama dilakukan oleh
Dhaukul Singh yang mengunjungi Sunan di keraton dengan gambar Rama di
tangannya. Ia kemudian menyanjung Sunan dengan berkata, "Jika Anda adalah
keturunan dari seorang pemuja Rama yang agung, maka Anda adalah tuanku".
Sunan yang terkesan dengan keputusan ini kemudian memberikan 300 dolar Spanyol
(jika dinilai dengan kurs sekarang kira-kira senilai 135 juta rupiah).
Kunjungan awal ini juga diikuti oleh Ripaul Singh, ia memberikan pertunjukkan
tari dan senam di kamar pribadi Sunan di keraton. Ia juga diberi hadiah oleh
Sunan berupa kalung emas, gelang, anting-anting, dan berbagai jenis kain.
Ripaul juga memperkenalkan seorang prajurit sipahi lainnya, yang bernama Mata
Deen, kepada Sunan yang dapat berbicara bahasa Melayu dengan baik.
Sunan juga sering menghadiri
berbagai upacara Hindu yang diadakan di Benteng Vastenburg. Ia biasa datang
sendirian sambil menyamar sebagai rakyat biasa, tetapi kadang-kadang juga
menemani anggota keluarganya ketika datang dengan naik kereta. Dalam kesempatan
seperti ini, Sunan akan diterima oleh Mata Deen dan Dhaukul Singh.
-
AMBISI POLITIK DAN SIKAP TERHADAP YOGYAKARTA
Pakubuwana IV dikenal sebagai
penguasa yang licik, tak terduga, dan menemui kesulitan. Salah satu ambisinya
adalah menghancurkan Yogyakarta sekaligus mengembalikan supremasi politik
Surakarta di Jawa Tengah bagian selatan.
Pada saat yang sama, munculnya
desas-desus tentang pengembalian kekuasaan Belanda di Jawa dan kekhawatiran
musuh Sipahi di Jawa tentang nasib buruk mereka karena desas-desus mereka akan
dijual ke pemerintah Belanda untuk menjamin keselamatan pemerintah Belanda
ketika kembali berkuasa. Sejak saat itulah—berdasarkan bukti dari Patih
Sosroadiningrat II—muncul hubungan antara garnisun sipahi di Surakarta dengan
Pakubuwana IV. Ia berhasil dibujuk untuk menggunakan pasukan sipahi yang tidak
puas untuk memenuhi ambisi politiknya sendiri di Jawa Tengah bagian selatan.
Kelicikan Pakubuwana IV terlihat
ketika ia berusaha untuk membujuk Hamengkubuwana II—melalui sebuah
korespondensi rahasia sejak 1811 hingga 1812—untuk melawan Inggris menggunakan
kekerasan dengan harapan tindakan gegabah ini akan menghancurkan Yogykarta.
Untuk meyakinkan Hamengkubuwana II, Pakubuwana IV menawarkan dukungan militer
jika terjadi peperangan dengan Inggris. Kesepakatan tersebut diratifikasi dalam
sebuah perjanjian rahasia pada Maret 1812. Namun, ketika Raffles menyerang
Yogyakarta pada bulan Juni di tahun yang sama, Sunan tidak mengirimkan bantuan
sama sekali dan justru menunggu hasil dari pertempuran tersebut. Selain itu,
konflik korespondensi rahasia antara Sunan dengan Hamengkubuwana II jatuh ke
tangan Inggris ketika penjarahan keraton. Bukti korespondensi rahasia dan
kenyataan bahwa pasukan Surakarta ditempatkan di seberang jalur komunikasi
Inggris selama penyerangan ke Yogyakarta hampir membuat Raffles menyerang
Surakarta dan menggulingkan Sunan. Namun, ia mengampuni Sunan dengan menyetujui
pemberhentian Patih Surakarta, Raden Adipati Cokronegoro, yang memegang peran
kunci dalam persekongkolan dengan Yogyakarta.
-
MENDIRIKAN PESANTREN JAMSAREN
Pakubuwana IV memberi izin
kepada Kyai Jamsari untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang kemudian
diberi nama Pesantren Jamsaren. Setiap tahun, Pakubuwana IV memberikan donasi
ke pesantren sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan pendidikan islam di
Surakarta. Pesantren Jamsaren sempat dibubarkan oleh pemerintah kolonial karena
keterlibatannya dalam Perang Diponegoro sehingga mengakibatkan perkembangan
pendidikan islam di Surakarta mengalami stagnansi. Setelah ditutup selama
kurang lebih 40 tahun, Pesantren Jamsaren kembali beroperasi pada masa
Pakubuwana X.
·
AKHIR PEMERINTAHAN
Pakubuwana IV masih menjadi raja
Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia mengalami pergantian pemerintah
penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda pada tahun 1816. Pakubuwana IV
meninggal dunia pada 2 Oktober 1820. Ia melengkapi anak-anak yang bergelar
Pakubuwana V. Selain Pakubuwana V, ada dua lagi putra Pakubuwana IV yang
menjadi raja Surakarta, yaitu Pakubuwana V VII dan Pakubuwana VIII.
·
GALERI
|
|
|
|
|
|
PAKU BUWANA V
Pakubuwana V ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧕꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana V |
Susuhunan Surakarta ke-4 |
Berkuasa :
1820 – 1823 Pendahulu :
Pakubuwana IV Penerus :
Pakubuwana VI Patih : KRA.
Sasradiningrat II |
Kelahiran :
13 Desember 1784, Karaton Surakarta, Surakarta
Hadiningrat Kematian : 5
September 1823 (umur 38), Hindia
Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman :
Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Gangsal ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Raden Mas Sugandi Ayah :
Pakubuwana IV Ibu : GKR.
Pakubuwana Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana V (sering
disingkat sebagai PB V; 13 Desember 1784 – 5 September 1823) adalah susuhunan
keempat Surakarta yang memerintah tahun 1820 – 1823.
Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri
Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan
Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian.
·
BIOGRAFI
Sunan Pakubuwana V memiliki nama
asli Raden Mas Sugandi, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri KRAy.
Handaya (setelah wafat bergelar GKR. Pakubuwana), putri Panembahan
Tjakradiningrat II GUNG SEPPO dari Pamekasan. GUNG SEPPO adalah Adipati
Pamekasan, putra dari Ario Adikoro III. Istri GUNG SEPPO adalah Putri dari
TJAKRANINGRAT V yang menikah dengan Putri Pakubuwono II. Sehingga GUNG SEPPO
menantu Tjakraningrat V Bangkalan. GUNG SEPPO adalah Putra kandung Ario Adikoro
III. Sehingga Pakubuwono V dari pihak Ibunya adalah cucu dari Tjakradiningrat
II Gung Seppo. Pakubuwono V buyut dari TJAKRANINGRAT V, buyut ADIKORO III.
Cicit dari Pakubuwono II, Tjokronegoro II Pangeran Rama di Sumenep dan Ario
Adikoro III di Pamekasan. Karena Ario Adikoro III putra dari Tumenggung
Wiromenggolo, Adipati Sumenep 1709-1727 M. Ario Adikoro III menantu dari Tjokronegoro
II, Pangeran Rama, Adipati Sumenep 1678-1709 M. Sehingga Pakubuwono V berdarah
Pamekasan dan Sumenep dari pihak Ibundanya. Ia naik tahta pada tanggal 10
Februari 1820, selang delapan hari setelah kepergian ayahnya.
Pakubuwana V juga dikenal dengan
sebutan Sinuhun Ngabehi atau Sunan Sugih, yang artinya baginda yang kaya harta
dan kesaktian. Ia pernah membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri, bernama
Kyai Kaget yang berasal dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni saat
terjadinya Geger Pacinan atau pemberontakan orang-orang Tionghoa pada tahun
1740.
Pakubuwana V juga memerintahkan
menulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjadi
Adipati Anom, dan yang menjadi juru tulis serat tersebut ialah Raden Ngabehi
Ranggasutrasna.
Pakubuwana V hanya memerintah
selama tiga tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 September 1823. Pengganti
selanjutnya adalah anak-anaknya, yaitu Pakubuwana VI, Namun ia bernasib tragis
dibuang dan meninggal di Ambon karena bersekutu dengan Pangeran Diponegoro dan
memberikan perlawanan terhadap Belanda.
·
GALERI
|
|
|
|
PAKU BUWANA VI
Pakubuwana VI ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧖꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana VI |
Susuhunan Surakarta
ke-5 |
Berkuasa : 1823 – 1830 Pendahulu : Pakubuwana V Penerus : Pakubuwana VII Gubernur : 1. Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen 2. Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies 3. Johannes van den Bosch |
Kelahiran : 26 April 1807, Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 2 Juni 1849 (umur 42), Ambon,
HindiaBelanda Pemakaman : Astana
Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin
Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Enem ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap : Raden Mas Sapardan Ayah : Pakubuwana V Ibu : KRA. Sasrakusuma Pasangan : 1. GKR. Kedaton 2. GKR. Ageng 3. GKR. Anom 4. KRAy. Asmaraningrum 5. KRAy. Himbaningrum 6. KRAy. Retnaasmara 7. KRAy. Tejaningrum Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana VI (sering disingkat PB VI; 26 April
1807 – 2 Juni 1849) adalah susuhunan Surakarta kelima yang memerintah tahun
1823 – 1830. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa karena
kegemarannya melakukan tapa brata.
Sunan Pakubuwana VI telah menetapkan pemerintah Republik
Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun
1964, tanggal 17 November 1964.
·
RIWAYAT HIDUP
Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, putra Pakubuwana V,
anak laki-laki ke-11 yang lahir dari istri KRAy. Sasrakusuma, keturunan Ki Juru
Martani, patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram, dari garis darah
ibunya. Raden Mas Sapardan lahir pada 26 April 1807. Pakubuwana VI naik tahta
tanggal 15 September 1823, sepuluh hari setelah kematian ayahnya, pada usia
menginjak 16 tahun.
·
HUBUNGAN DENGAN DIPONEGORO
Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran
Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah
Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang mengikat
perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya.
Agar pertemuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran
Diponegoro tidak diketahui oleh Belanda maka dibuatlah siasat-siasat yang hanya
diketahui oleh mereka. Beberapa siasat-siasat yang pernah digunakan seperti
siasat mimis kencana, sebuah siasat dimana mereka berpura-pura saling menjual
agar pihak Belanda mengira mereka saling bermusuhan. Selain itu ada siasat
candradimuka, sebuah siasat yang penaamaanya bersumber dari cerita wayang
gatotkaca. Siasat ini digunakan untuk membicarakan tentang perburuan perang
melawan Belanda.
Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton
Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan
Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang
yang diakiri dengan Diponegoro yang melarikan diri dari istana.
Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI
menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga
mengirimkan pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar
Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan
sandiwara tersebut.
·
PENANGKAPAN OLEH BELANDA
Belanda akhirnya berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya
ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatar belakangi oleh perlawanan
Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Belanda berusaha mencari bukti
untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara
(ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota
keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan
rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya meninggal setelah
disiksa secara kejam. Oleh Belanda, mayatnya dibuang ke tengah laut.[1] Pada
tanggal 8 Juni 1830 Pakubuwana VI ditangkap di Mancingan oleh Residen
Yogyakarka Van Nes dan Letnan Kolonel B. Sollewijn. Belanda memutuskan untuk
mengasingkan Pakubuwana VI ke luar Jawa karena ditakutkan akan melakukan
pemberontakan. Pakubuwana VI dibuang ke Ambon pada 8 Juli 1830.
Fitnah yang dilancarkan pihak
Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI,
yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.
Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI
berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI,
yang bergelar Pakubuwana VII.
·
MISTERI KEMATIAN
Pakubuwana VI meninggal dunia di
Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal
karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana
VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga
raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa
tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal
GPH. Jatikusumo (salah satu putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran
peluru senapan baker.
Ditinjau dari letak lubang,
Pakubuwana VI jelas tidak meninggal karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat
berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan meninggal
dengan cara ditembak di bagian dahi.
·
GALERI
|
|
PAKU BUWANA VII
Pakubuwana VII ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana VII |
Susuhunan Surakarta ke-6 |
Berkuasa :
1830 – 1858 Pendahulu :
Pakubuwana VI Penerus :
Pakubuwana VIII Gubernur
Jenderal : 1. Johannes
van den Bosch 2. JC Baud 3. Dominique
Jacques de Eerens 4. C.S.W. van
Hogendorp 5. P.Merkus 6. Jan
Cornelis Reijnst 7. Jan Jacob
Rochussen 8. A.J.
Duymaer van Twist 9. Charles
Ferdinand Pahud |
Kelahiran : 8
Juli 1796, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 10
Mei 1858 (umur 61) Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman :
Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Pitu ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Raden Mas Malikis Solikin Ayah :
Pakubuwana IV Ibu : GKR.
Kencanawungu Pasangan : 1. GKR. Pakubuwana 2. KRAy.
Retnadiluwih Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana VII
(sering disingkat sebagai PB VII; 28 Juli 1796 – 10 Mei 1858), adalah susuhunan
keenam Surakarta yang memerintah tahun 1830 – 1858.
·
PEMERINTAHAN
Nama aslinya ialah Raden Mas
Malikis Solikin, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu
Sukaptinah alias Ratu Kencanawungu. Setelah dewasa ia bergelar KGPH. Purubaya.
Pakubuwana VII naik takhta
tanggal 14 Juni 1830 menggantikan keponakannya, yaitu Pakubuwana VI yang
dibuang ke Ambon oleh Belanda. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir.
Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa
raja-raja sebelumnya. Tidak ada lagi bangsawan yang memberontak besar-besaran
secara fisik setelah Pangeran Diponegoro. Jikapun ada hanyalah pemberontakan
kecil yang tidak mengganggu stabilitas keraton.
Suasana yang damai itu mendorong
tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa
pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di
Kesunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya.
Hampir sebagian besar karya Ranggawarsita lahir pada masa ini. Hubungan antara
raja dan pujangga tersebut juga dikisahkan sangat harmonis.
Pakubuwana VII juga menetapkan
undang-undang yang berlaku sampai ke pelosok negeri, bernama Anggèr-Anggèr
Nagari. Selain itu, pada masanya dirilis pula pranata mangsa versi Kasunanan
yang akan menjadi pedoman kerja bagi petani dan pihak-pihak terkait dengan
produksi pertanian. Pranata mangsa versi Kasunanan ini banyak dianut petani di
wilayah Mataraman hingga diperkenalkannya program intensifikasi pertanian di
awal tahun 1970-an.
Pemerintahannya berakhir saat
wafatnya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII
diperlakukan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Pakubuwana VIII yang naik tahta
pada usia 69 tahun.
·
GALERI
|
|
|
|
|
|
PAKU BUWANA VIII
Pakubuwana VIII ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧘꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana VIII |
Susuhunan Surakarta ke-7 |
Berkuasa : 1858 – 1861 Pendahulu : Pakubuwana VII Penerus : Pakubuwana IX Gubernur Jenderal : Charles Ferdinand Pahud & Ary Prins |
Kelahiran : 20 April 1789, Hindia Belanda Surakarta, Koloni VOC Belanda Kematian : 28 Desember 1861 (umur 72), Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman : Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang
Jumeneng kaping Wolu ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap : Gusti Raden Mas Kuseini Ayah : Pakubuwana IV Ibu : KRA. Rantansari Pasangan : GKR. Pakubuwana Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana VIII
(sering disingkat sebagai PB VIII; 20 April 1789 – 28 Desember 1861) adalah
susuhunan Surakarta yang memerintah tahun 1858 – 1861. Nama aslinya adalah
Gusti Raden Mas Kuseini, putra Pakubuwana IV yang lahir dari selir bernama
KRAy. Rantansari putri R.Ng. Jayakartika, seorang menteri Surakarta.
·
PEMERINTAHAN
Pakubuwana VIII naik tahta pada
tanggal 17 Agustus 1858 menggantikan adiknya (lain ibu) yaitu Pakubuwana VII
yang meninggal dunia sebulan sebelumnya. Pakubuwana VIII naik tahta pada usia
lanjut, yaitu pada usia 69 tahun karena Pakubuwana VII tidak memiliki mahkota
putra. Ia sendiri adalah raja dari wangsa mataram pertama yang tidak melakukan
poligami. Pemerintahannya berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya,
sehingga menjadikannya penguasa Surakarta yang paling singkat masa jabatannya.
Pakubuwana VIII menyambut putra Pakubuwana VI sebagai susuhunan Surakarta
selanjutnya, yang bergelar Pakubuwana IX.
·
GALERI
|
|
|
|
PAKU BUWANA IX
Pakubuwana IX ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧙꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana IX |
Susuhunan Surakarta
ke-8 |
Berkuasa :
1861 – 1893 Pendahulu :
Pakubuwana VIII Penerus :
Pakubuwana X Gubernur
Jenderal : 1. Ludolph
Anne Jan Wilt Sloet van de Beele 2. Ary Prins 3. Pieter
Mijer 4. James
Loudon 5. J.W. van
Lansberge 6. Frederik
s'Jacob 7. Otto van
Rees 8. Cornelis
Pijnacker Hordijk |
Kelahiran :
22 Desember 1830, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 16
Maret 1893 (umur 62), Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman :
Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sanga ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Duksina Ayah : Pakubuwana
VI Ibu : GKR.
Ageng Pasangan :
GKR. Pakubuwana & GKR. Madura (dan 53 istri selir) Agama : Islam |
·
PEMERINTAHAN
Nama aslinya adalah Gusti Raden
Mas Duksina, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan saat
ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran
Diponegoro. Ia sendiri kemudian lahir pada tanggal 22 Desember 1830. Setelah
menginjak dewasa, Raden Mas Duksina bergelar KGPH. Prabuwijaya.
Pakubuwana IX naik tahta
menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861.
Pemerintahannya ini banyak dilukiskan oleh Ranggawarsita dalam karya-karya
sastranya, misalnya dalam Serat Kalatida.
Hubungan antara Pakubuwana IX
dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa
Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang melahirkan sebagai juru tulis keraton)
telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran
Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat
Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut
ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda.
Ranggawarsita sendiri berusaha
memperbaiki kesalahannya dengan raja melalui penyerahan naskah Serat Cemporet.
Saat itu karir Ranggawarsita sendiri sudah memasuki senja. Ia mengungkapkan
rasa lega hatinya melalui Serat Kalatida, karyanya yang sangat populer.
Dalam Serat Kalatida,
Ranggawarsita memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi
para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu
disebutnya sebagai Zaman Edan.
Pakubuwana IX memiliki dua
permaisuri yakni GKR. Pakubuwana serta GKR. Maduretna, serta dikaruniai 57
putra-putri. Semasa kepemimpinan Pakubuwana IX, keadaan Kasunanan Surakarta mengalami
kemajuan yang pesat. Bangunan fisik Keraton Surakarta banyak yang dipugar,
seperti Siti Hinggil, Panggung Sangga Buwana, dan lain-lain, sehingga ia juga
terkenal dengan sebutan Sinuhun Bangun Kedhaton. Sebagai seorang raja,
Pakubuwana IX juga aktif menulis karya sastra, di antaranya Serat Wulang Putri,
Serat Jayeng Sastra, Serat Menak Cina, Serat Wirayatna, dan beberapa karya
sastra lainnya.
Pemerintahan Pakubuwana IX
berlangsung selama 32 tahun dan berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret
1893. Ia menjadi anak-anak sebagai raja Kasunanan Surakarta selanjutnya,
bergelar Pakubuwana X.
·
GALERI
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PAKU BUWANA X
Pakubuwana X ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧑꧐꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana X |
Susuhunan Surakarta
ke-9 |
Bertakhta :
30 Maret 1893 – 20 Februari 1939 (46 tahun berkuasa) Penobatan :
30 Maret 1893 Pendahulu :
Pakubuwana IX Penerus :
Pakubuwana XI Patih : KRA.
Sasradiningrat IV & KPAA. Jayanagara |
Kelahiran :
29 November 1866, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 20
Februari 1939 (umur 72), Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman :
Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Luitenant-jenderal
Zijne Vorstelijke Hoogheid Sri Maharaja Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang
Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: 1. Sri
Susuhunan Pakubuwana X 2. Gusti
Raden Mas Sayyidin Malikul
Kusna 3.
Hanacaraka : ꦯꦿꦷꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧐꧇ |
Ayah :
Pakubuwana IX Ibu : KRA.
Kustiyah (GKR.Pakubuwana) Pasangan :
GKR. Pakubuwana & GKR. Hemas (dan 39 istri selir) Anak : 1. Susuhunan
Pakubuwana XI 2. KGPH.
Kusumayudha 3. KGPH.
Hadiwijaya 4. Jenderal
GPH. Jatikusuma 5. Mayjen.
GPH. Purbanegara 6. GKR.
Pembayun 7. Brigjen.
GPH. Hariya Mataram 8. GPH.
Suryahamijaya (dan 56
putra-putri lainnya) Agama : Islam |
Pahlawan Nasional Indonesia S.K. Presiden No. 113/TK/2011 tanggal 7 November 2011. |
Letnan Jenderal (Tit.) Sri
Susuhunan Pakubuwana X (sering disingkat sebagai PB X; 29 November 1866 – 20
Februari 1939) adalah susuhunan kesembilan dari Kesunanan Surakarta. Ia memerintah
dari tahun 1893 – 1939, menjadikannya sebagai susuhunan yang paling lama
memerintah dalam sejarah Surakarta.
Pakubuwana X menggantikan ayahnya,
Pakubuwana IX sebagai susuhunan Surakarta ketika Pakubuwana IX meninggal pada
16 Maret 1893. Dua minggu setelahnya Pakubuwana X resmi dilantik sebagai
Susuhunan pada 30 Maret 1893.
Pakubuwana X ditetapkan sebagai
pahlawan nasional Indonesia, atas jasa dan peran aktif dalam perjuangan
pergerakan nasional, pelopor pembangunan sosial-ekonomi, pendidikan rakyat,
pembentukan jati diri bangsa dan integrasi.
Dalam pergerakan nasional,
Pakubuwana X mendukung para pelopor perjuangan nasional melalui pemberian
fasilitas, materi, keuangan dan moral. Selain itu, ia berperan serta membantu
pergerakan Boedi Oetomo dan kerangka Sarekat Dagang Islam.
·
AWAL KEHIDUPAN
Pakubuwana X memiliki nama lahir
(asma timur) sebagai Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna, putra Pakubuwana
IX yang lahir pada tanggal 29 November 1866, dari permaisuri Kanjeng Raden Ayu
(KRAy.) Kustiyah, kemudian bergelar GKR. Pakubuwana.[6] Pada usia 3 tahun ia
telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati
Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.
Kisah kelahirannya menjadi
cermin kurang harmonisnya hubungan antara Pakubuwana IX dengan R.Ng.
Ranggawarsita, pujangga kenamaan keraton. Pada saat KRAy. Kustiyah baru
mengandung, Pakubuwana IX bertanya kepada Ranggawarsita kelak anaknya akan
lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu.
Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal
dia berharap bisa mendapat putra mahkota dari KRAy. Kustiyah.
Selama sebulan-bulan Pakubuwana
IX menjalani puasa atau bertirakat, berharap anaknya tidak lahir perempuan.
Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan seorang bayi laki-laki. Pakubuwana IX
dengan bangga menuding ramalan Ranggawarsita meleset.
Ranggawarsita menjelaskan bahwa
istilah hayu bukan berarti ayu atau “cantik”, tetapi singkatan dari rahayu yang
berarti “selamat”. Mendengar jawaban Ranggawarsita, Pakubuwana IX merasa
dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.
Kurang harmonisnya hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya
dipicu oleh fitnah dari Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana
VI dengan keluarga Yasadipura.
·
KEHIDUPAN PRIBADI
Pakubuwana X dikenal memiliki
banyak selir, tetapi ia memiliki dua permaisuri (garwa padmi) adalah GKR.
Pakubuwana putri Mangkunegara IV dan GKR. Hemas putri Hamengkubuwana VII. Dari
kedua permaisurinya Pakubuwana X tidak memiliki putra laki-laki, pernikahannya
dengan GKR. Hemas ia hanya dikaruniai seorang putri yang bernama GRAj. Sekar
Kedhaton Koestijah yang kelak bergelar GKR. Pambayun.
Pakubuwana X juga memiliki 39
istri selir, dengan seluruh istrinya baik selir maupun permaisuri, Pakubuwana X
memiliki 63 orang putra dan putri. Banyak dari putra-putri Pakubuwana X
nantinya akan berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain:
-
KGPH. Hangabehi (kemudian bergelar Susuhunan
Pakubuwana XI), yang pernah menjalaninya sebagai pelindung Sarekat Islam
-
KGPH. Hadiwijaya, politisi (mantan anggota
Volksraad), budayawan, serta pencetus kerisologi (ilmu tentang keris)
-
Mayjen. GPH TNI. Purbanegara, penasehat militer
pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Renville
-
Jenderal TNI (Purn.) GPH. Jatikusuma, Kepala
Staf TNI Angkatan Darat pertama
-
Brigjen. TNI (Purn.) Prof. GPH. Harya Mataram,
S.H., rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta pertama
-
GPH. Suryahamijaya, yang menjadi anggota BPUPKI
dan PPKI serta ketua Pekan Olahraga Nasional (1948)
Masa pemerintahan Pakubuwana X
ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil.
Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami
transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern.
·
MASA PEMERINTAHAN
Pada masa pemerintahannya,
Pakubuwana X melakukan pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan,
dan keterampilan. Pada bidang ekonomi Pakubuwana X membangun Pasar Gede
Harjonagoro dan mendirikan Bank Bandhalumaksa yang berperan memberikan pinjaman
kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika wabah pes melanda Surakarta.
Di bidang pendidikan, Pakubuwana
X mendirikan Sekolah Pamardi Putri dan HIS Ksatriyan untuk kepentingan kerabat
keraton serta mendirikan sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten. Selain
mengembangkan pendidikan umum, Pakubuwana X juga mengembangkan pendidikan
islam. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk mengembangkan pendidikan islam
seperti mendirikan madrasah Mambaul Ulum dan menghidupkan kembali Pesantren
Jamsaren.
Di bidang kesehatan Pakubuwana X
membangun klinik kesehatan Panti Raga (kelak berkembang menjadi Rumah Sakit
Kadipala) dan apotek Panti Husada yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kridha
Nirmala. Infrastruktur modern banyak dibangun pada masa pemerintahannya,
seperti bangunan Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Taman
Sriwedari, Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang
menghadap Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta,
Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan ternak di
Jagalan, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.
Pada tanggal 21 Januari 1932,
Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina
dari Belanda berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw dengan
sebutan raja dalam bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.
Meskipun berada dalam tekanan
politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan
berorganisasi dan menerbitkan media massa. Ia mendukung organisasi Sarekat
Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa
pemerintahannya.
Di bidang kesenian, Pakubuwana X
menciptakan Gendhing Panembrama, sebuah gending yang sering dipertunjukkan
dalam acara pemberian penghargaan tanda jasa dari negara-negara sahabat. Selain
itu, gending ini juga sebagai wujud legitimasi kekuasaan Pakuwana X sebagai
penguasa Kesunanan Surakarta di tengah penyelesaian kekuasaan raja oleh
pemerintah Hindia Belanda dan juga sebagai wujud perlawanan melalui seni
karawitan.
·
GELAR
Penobatan Pakubuwana X sebagai
susuhunan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 30 Maret 1893 (tahun Jawa: Kemis
Wage 12 Pasa 1882). Ia memiliki berbagai gelar kebangsawanan, diantaranya:
-
Nama lahir: Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul
Kusna
-
Sebagai putra mahkota: Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI
-
Sebagai Susuhunan: Sahandhap Dalem Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng
kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat
Pakubuwana X menyandang nama dan
gelar yang berbeda dalam setiap fase hidupnya, seperti kebiasaan di kalangan
bangsawan Jawa yang tinggi. Ketika statusnya meningkat, gelar disesuaikan
dengan perubahan status. Berikut adalah gelar yang pernah disandang oleh PB X
diantaranya: Luitenant-kolonel (1884-1890), Kolonel (1890-1893),
Generaal-majoor Zijne Hoogheid (1893-1923), Luitenant-generaal Zijne Hoogheid
(1923-1932), Luitenant -jenderal Zijne Prinselijke Hoogheid dan Zijne Vorstelijke
Hoogheid (1932-1939).
Pakubuwana X menjadi raja
Kesunanan yang paling banyak menerima penghargaan dari pemerintah Hindia
Belanda. Pemberian gelar ini tidak lepas dari jasa-jasa Pakubuwana untuk
pemerintah kolonial, seperti membantu residen dan gubernur dalam melaksanakan
tugas di wilayah koloninya. Bantuan yang diberikan tentu saja dengan
mempertimbangkan manfaat yang didapat bagi Kesunanan Surakarta. Intensitas
pemberian gelar kepada Pakubuwana X yang lebih banyak dibandingkan elit lainnya
di Jawa menyebabkan Pakubuwana X sering mengadakan tedhak loji dengan megah.
Prosesi khusus dari keraton ke rumah residen yang sangat mewah tersebut menjadi
sorotan masyarakat. Pakubuwana X tampil dengan megah melakukan tedhak loji
disertai medali-medali, keluarga kerajaan, dan beberapa abdi dalem Kesunanan.
Hubungan khusus antara Pakubuwana X dengan pemerintah kolonial menyebabkan
pemerintah kolonial memberikan perlakuan khusus terhadap Pakubuwana sesuai
dengan kontribusi yang diberikan.
J.F.W. van Nes, seorang dewan
perwakilan kerajaan Belanda untuk wilayah Hindia Belada mengkritisi pemberian
gelar ini. Ia khawatir bahwa memberikan tanda kehormatan kepada Susuhunan akan
membenturkan nada tinggi yang telah terbangun. Di sisi lain, pemberian gelar
ini mendapat pujian dari sesama bangsawan dari India, Jagatjit Singh. Selain
itu, ia juga mengkritik pemerintah Inggris yang tidak memperkenankan bangsawan
India yang menerima dan memakai medali kehormatan yang berasal dari Inggris
atau negara lain.
·
POLITIK
Selama pemerintahannya yang panjang, Pakubuwana X mampu menjauhi pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah-olah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Hal ini tak lepas dari cara berpolitik Pakubuwana X yang oportunistik. Pakubuwana X cenderung berhati-hati dalam bertindak dan menjauhi hal-hal buruk yang dapat mengancam kekuatannya. Dengan strategi politik ini, Pakubuwana X dapat melaksanakan kewajibannya sebagai raja Surakarta sekaligus taat kepada pemerintah Hindia Belanda sedangkan pada saat yang sama ia juga membantu organisasi pergerakan nasional dengan memberikan berbagai bentuk dukungan terhadap Budi Utomo dan SI tanpa mendapat halangan dari pemerintah Hindia Belanda.
Petunjuk bahwa Pakubuwana X
cenderung terlibat dalam aktivitas politik yang dilaporkan oleh Residen
Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati
Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief,
surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita
mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman
sebagaimana banyak orang pribumi saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam.
Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga
sangat diperhitungkan Belanda.
Sementara itu, Residen L.Th.
Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut
diperhitungkan. Schneider merupakan salah satu yang pertama kali dicurigai
sebagai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan
dan kunjungan itu secara teoretis bersifat penyamaran, kunjungannya ke
Semarang, Surabaya, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat
disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai
pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya
sebagai raja Jawa. Di luar Jawa, ia juga melawat ke Bali, Lombok, serta
Lampung.
Pada bulan Desember 1921,
Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan dengan diiringi oleh 52
bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon,
Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan
orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi
Hindia Belanda. Pada bulan 1922, Pakubuwana Februari X mengadakan perjalanan
lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu
resminya sekali lagi disebut penyamaran, tetapi justru benar-benar membuat
citra Pakubuwana semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata
dengan lambang monogram PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan
permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai gelang emas.
Demi mendukung dan membangkitkan
semangat nasionalisme rakyat Jawa, Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke
daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya
Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Perjalanannya bersifat
penyamaran, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai
Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada
tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo,
Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun
berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan
perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh
Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya,
persyaratan incognito telah dilanggar.
Setelah Nieuwenhuys pindah dari
Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44
orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya,
dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai
tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.
·
MOBIL
Pada tahun 1894, Pakubuwana X,
menjadi orang sekaligus raja Jawa pertama yang memiliki mobil. Mobil yang
dibeli adalah Benz Victoria Phaeton karya Karl Benz, Jerman.
Mobil itu dipesan melalui
perusahaan Prottle & Co yang berkantor di Passer Besar, Surabaya. Harganya
pada saat itu 10.000 Gulden yang kalau sekarang dirupiahkan sekitar Rp. 83
juta. Mobil ini baru diterima oleh Pakubuwana X setahun setelah pemesanan.
Mobil tiba di pelabuhan laut Semarang.
Pada era 1800-an, sebagian besar
transportasi darat di dunia, terutama di Jawa masih berbentuk gerobak yang
ditarik kuda. Bahkan ada yang ditarik oleh sapi atau pun kerbau. Umumnya
mendapat sebutan kereta. Masuknya Benz Victoria Phaeton ke tanah Jawa dianggap
sebagai sesuatu yang unik, makanya disebut Kereta Setan karena ada 'kereta'
yang berjalan tanpa ditarik kuda.
Kendaraan milik Pakubuwana X
(1866–1939) ini pernah diikut sertakan dalam pameran RAI Amsterdam Motor Show
tahun 1924. Jadi setelah di tangan PB X, mobil tersebut dibawa ke Belanda dari
pulau Jawa dan kini menghuni di sebuah museum di Amsterdam.
Sebelum masuk jadi koleksi
museum, pernah dimiliki oleh Royal Dutch Automobile Club (KNAC) selama
bertahun-tahun. Mobil juga selalu hadir regular di acara London to Brighton
Veteran Car.
Setelah memesan Benz Victoria
Phaeton, selang 13 tahun kemudian, Pakubuwana X kembali memesan mobil baru asal
Jerman. Pada tahun 1907, mobil bernama Britz Daimler tiba di tanah Jawa
sekaligus menjadi mobil Daimler pertama yang hadir di Jawa. Pada saat itu,
mobil merek ini termasuk dalam kategori mobil mahal dan hanya dimiliki oleh
orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi.
·
KEHORMATAN
-
PAHLAWAN NASIONAL
Pada tahun 2009, karena
kontribusinya terhadap kesejahteraan dan kepentingan penduduk pribumi di dalam
kesunanan selama pemerintahannya, serta telah menjadi pelindung besar bagi
banyak proyek ekonomi dan budaya lokal, Pakubuwana X ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia.
- PENGHARGAAN
Semasa menjadi Susuhunan Surakarta, Pakubuwana X banyak menerima penghargaan berupa tanda jasa dari sejumlah negara, diantaranya :
|
·
GALERI
|
||
|
|
|
o |
|
|
PAKU BUWANA XI
Pakubuwana XI ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧑꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana XI |
Susuhunan Surakarta
ke-10 |
Berkuasa :
1939 – 1945 Pendahulu :
Pakubuwana X Penerus :
Pakubuwana XII Gubernur
Jenderal : A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer Gubernur
Militer Jepang : 1. Hitoshi
Imamura 2. Kumakichi
Harada 3. Yuichiro
Nagano |
Kelahiran : 1
Februari 1886, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 1
Juni 1945 (umur 59), Jepang Surakarta, Penduduk Jepang di Hindia
Belanda Pemakaman :
Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sewelas ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Antasena Ibu : KRA.
Mandayaretna Pasangan : 1. GKR.
Kencana 2. GKR.
Pakubuwana 3. KRAy.
Dayaresmi 4. KRAy.
Dayaningsih 5. KRAy.
Dayasuma 6. KRAy.
Dayaasmara 7. KRAy.
Dayaningrat |
Sri Susuhunan Pakubuwana XI
(sering disingkat sebagai PB XI; 1 Februari 1886 – 1 Juni 1945) adalah
susuhunan Surakarta yang memerintah pada tahun 1939 – 1945.
·
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Nama aslinya adalah Raden Mas
Ontoseno, merupakan putra sulung Pakubuwana X dari istri selir KRAy.
Mandayaretna. la dilahirkan pada Senin Kliwon, 1 Februari 1886, dan setelah
dewasa bergelar KGPH. Hangabehi. Ia naik tahta sebagai Pakubuwana XI pada
tanggal 26 April 1939.
Pengangkatan KGPH. Hangabehi
menjadi Pakubuwana XI bukanlah tanpa konflik. Pasalnya, Pakubuwana X cenderung
lebih memilih KGPH. Kusumayuda (GRM. Abimanyu), adik Hangabehi, untuk
menggantikannya. Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap
sebagai bangsawan Jawa yang berkepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada
persoalan keuangan dan administrasi keraton. Di sisi lain, posisi Hangabehi
juga sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda.
Pakubuwana X sendiri memiliki putra dan putri lebih dari 60 orang. Masalah yang
mengganjal adalah bahwa Pakubuwana X tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya.
Dua putra Pakubuwana X yang tertua, Hangabehi dan Kusumayuda, lahir dari selir.
Sebenarnya pada tahun 1898 Pakubuwana X sudah berniat mengangkat Kusumayuda
sebagai putra mahkota meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi. Sampai
akhirnya keinginan Pakubuwana X itu diurungkan, dan ia lebih memilih Hangabehi
untuk menjadi pewaris tahta.
Hangabehi kemudian diberikan
sejumlah posisi penting, di antaranya pemilihan sebagai Wedana Tengen (jabatan
setingkat Pangageng Putra Sentana), serta mendapatkan kepercayaan sesoeratman,
sebagai Wakil Ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan. Hangabehi
juga diutus Pakubuwana X untuk menghadiri undangan peringatan 40 tahun kenaikan
tahta Ratu Wilhelmina di Belanda.
Pada akhir bulan November 1938,
Pakubuwana X sakit parah dan akhirnya wafat pada Februari 1939. Atas nasihat
Den Haag, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih
KGPH. Hangabehi untuk menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwana XI. Pengangkatan
Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan susuhunan.
Dalam kontrak politik disebutkan bahwa Hangabehi dapat diturunkan dari
kedudukannya jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana
ditentukan dalam kontrak politik ditambah pemotongan anggaran belanja keraton
secara drastis.
Pemerintahan Pakubuwana XI
terjadi pada masa sulit, yaitu terlihat dengan meletusnya Perang Dunia Kedua.
Ia juga mengalami pergantian pemerintahan penjajahan dari tangan Belanda ke
Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Kasunanan Surakarta dengan nama
Solo Koo. Pada masa pendudukan Jepang terjadi inflasi yang mengakibatkan
keuangan keraton dan para bangsawan sangat menderita. Jepang juga merampas
sebagian besar kekayaan keraton dan aset-aset Kasunanan Surakarta, hingga
akhirnya Pakubuwana XI jatuh sakit. Pakubuwana XI kemudian wafat pada tanggal 1
Juni 1945, ia berevolusi oleh anak-anak yang masih berusia sangat muda sebagai
Pakubuwana XII.
·
SILSILAH
-
Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana
X dan istri selir KRAy. Mandayaretna.
-
Memiliki dua istri permaisuri:
i.
GKR. Kencana (wafat sebelum Pakubuwana XI naik
tahta)
ii.
GKR. Pakubuwana
-
Memiliki lima istri selir:
i.
KRAy. Dayaresmi
ii.
KRAy. Dayaningsih
iii.
KRAy. Dayasuma
iv.
KRAy. Dayaasmara
v.
KRAy. Dayaningrat.
-
Memiliki enam putra:
i.
KGPH. Mangkubumi
ii.
KGPH. Hangabehi
iii.
KGPH. Prabuwijaya
iv.
GPH. Bintara
v.
GPH. Natapura
vi.
KGPH. Purbaya (naik tahta sebagai Susuhunan
Pakubuwana XII)
-
Memiliki lima putri:
i.
GKR. Ayu
ii.
GKR. Bendara
iii.
GKR. Candrakirana
iv.
GRAy. Kusumadartaya
v.
GKR. Kedaton
·
FALSAFAH HIDUP
Pakubuwana XI sering
mengemukakan falsafah hidup yang disebutnya Tiji-Tibeh. Falsafah ini merupakan
kepanjangan dari terminal mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh.
Pernyataan ini berarti mati satu mati semua, kaya satu kaya semua. Falsafah ini
berkaitan dengan nilai kebersamaan yang diterapkannya di Kesunanan Surakarta
Hadiningrat.
·
GALERI
PAKU BUWANA XII
Pakubuwana XII ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧒꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana
XII |
Susuhunan Surakarta ke-11 |
Berkuasa : 12
Juli 1945 – 11 Juni 2004 Pendahulu :
Pakubuwana XI Penerus :
Pakubuwana XIII Gubernur
Militer Jepang : Yuichiro Nagano Presiden : 1. Soekarno 2. Soeharto 3. B.J
Habibie 4.
Abdurrahman Wahid 5. Megawati
Soekarnoputri |
Kepala Daerah Istimewa
Surakarta |
Berkuasa :
1945 – 1946 Presiden :
Soekarno |
Kelahiran : 14 April 1925, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 11
Juni 2004 (umur 79) Indonesia Surakarta, Indonesia Pemakaman :
Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama
Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Kalih Welas
ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Suryo Guritno Ayah : Pakubuwana
XI Ibu : GKR.
Pakubuwana Pasangan : 1. KRAy.
Mandayaningrum 2. KRAy.
Rogasmara 3. KRAy.
Pradapaningrum 4. KRAy.
Kusumaningrum 5. KRAy.
Retnadiningrum 6. KRAy.
Pujaningrum |
|
Letnan Jenderal TNI (Tit.) Sri
Susuhunan Pakubuwana XII (disingkat sebagai PB XII, bahasa Jawa: ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ
XII; 14 April 1925 – 11 Juni 2004) adalah susuhunan
Surakarta yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu
selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun 1945 hingga 2004.
· · AWAL KEHIDUPAN
Nama aslinya adalah Raden Mas
Suryo Guritno, putra Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri KRAy. Koespariyah
(bergelar GKR. Pakubuwana) pada tanggal 14 April 1925. Ia juga memiliki seorang
saudara perempuan seibu bernama GRAy. Koes Sapariyam (bergelar GKR. Kedaton).
Suryo Guritno pada masa kecilnya
pernah bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Pasar Legi, Surakarta.
Oleh teman-temannya, Suryo Guritno sering dipanggil dengan nama Bobby. Di
sekolah yang sama ini pula beberapa pamannya, putra Pakubuwana X yang sebaya
dengannya menempuh pendidikan. Suryo Guritno termasuk murid yang mudah bergaul
dan berubah-ubah dengan teman-teman yang berlangsung akrab, bahkan ketika di
sekolah pun ia bergaul tanpa melihat status sosial yang disandangnya. Waktu
kecil ia gemar mempelajari tari-tarian klasik, dan yang paling digemari adalah
Tari Handaga dan Tari Garuda. Ia juga pemuda yang gemar mengaji pada Bapak
Pradjawijata dan Bapak Tjandrawijata dari Mambaul Ulum. Kegemarannya yang lain
adalah olahraga panahan. Mulai tahun 1938 Suryo Guritno terpaksa berhenti
sekolah cukup lama, sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya yang
memperoleh mandat mewakili kakeknya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama
raja-raja di Hindia Belanda saat itu untuk menghadiri acara perayaan peringatan
peringatan 40 tahun kebangkitan Ratu Wilhelmina.
Setelah itu, ia melanjutkan
pendidikan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati
SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung) bersama beberapa pamannya. Baru
dua setengah tahun ia belajar, pecah Perang Pasifik, dan waktu itu bala tentara
Jepang menang melawan sekutu dan Hindia Belanda pun jatuh ke tangan Jepang.
Pakubuwana XI memintanya pulang
dari Bandung ke Surakarta. Kemudian, ia harus menerima kenyataan sedihnya
dikarenakan pada hari Sabtu, 1 Juni 1945, Pakubuwana XI wafat. Berdasarkan
tradisi maka KGPH. Mangkubumi, putra sulung Pakubuwana XI, sesungguhnya yang
paling berhak meneruskan perkebunan. Namun peluang itu tertutup setelah
ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI), telah meninggal dunia
pada tahun 1910 sehingga tidak ada kesempatan diangkat sebagai permaisuri
tatkala suaminya memudar ke kerajaan. Makalah membuka peluang untuk Suryo
Guritno bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur paling muda.
Teka-teki itu kian terkuak saat
jenazah Pakubuwana XI dimakamkan di Astana Imogiri, Suryo Guritno tidak
terlihat hadir di pemakaman. Sebelum naik tahta sebagai raja, Suryo Guritno
diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar KGPH. Puruboyo. Terlepas setuju
atau tidak, keluarga keraton harus mulai bisa menerima pertanda itu, karena
berdasarkan kepercayaan adat keraton, bakal raja dipanggungkan datang ke
pemakaman. Namun versi lain menyebutkan, pengangkatan Suryo Guritno itu
berkaitan erat dengan peran yang dimainkan Presiden Soekarno. Pakubuwana XII
dipilih karena masih muda dan mampu mengikuti perkembangan serta tahan terhadap
situasi. Meski raja baru telah disepakati, tetapi bukan berarti seluruh masalah
terselesaikan. Rencana penobatan Suryo Guritno sempat mendapat tentangan keras
dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Jepang menyatakan
tidak berani menjamin keselamatan calon raja.
· · RIWAYAT PEMERINTAHAN
-
MASA REVOLUSI FISIK
Raden Mas Suryo Guritno naik
tahta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Awal pemerintahan
Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Karena
masih sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia sering kali
didampingi ibunya, GKR. Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng.
Pakubuwana XII dijuluki Sinuhun Hamardika karena merupakan Susuhunan Surakarta
pertama yang memerintah pada era kemerdekaan.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan,
pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII, secara terpisah
mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan selamat
dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari sebelum maklumat
Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6 September 1945,
Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah
Istimewa dari Presiden Soekarno.
Selama revolusi fisik Pakubuwana
XII memperoleh gelar kehormatan militer (titel) Letnan Jenderal dari Presiden
Soekarno. Kedudukannya itu menjadikan ia sering diajak mendampingi Presiden
Soekarno meninjau ke beberapa medan pertempuran. Tanggal 12-13 Oktober 1945,
Pakubuwana XII sendiri bahkan ikut serta memuat markas Kenpetai di Kemlayan. Ia
juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu
melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII
juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan
selamat.
Belanda yang tidak merelakan
kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan.
Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena
Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh
Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Soekarno selaku kepala
negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul oposisi yang
tidak mendukung sistem pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir, misalnya
kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat
pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi
pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi
dengan berani menculik Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes
terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil
menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena
pembelaan Jenderal Sudirman. Apalagi Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak
pemerintah sehingga membekukan status daerah istimewa yang disandang
Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kesunanan Surakarta hanya berstatus
karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan
dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII berubah menjadi
sebagai simbol dan pemangku adat Surakarta.
-
USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Pakubuwana XII juga ikut
berjuang bersama rakyat mempertahankan Kemerdekaan Indonesia karena menyadari
kedudukannya sebagai tokoh masyarakat adat terlebih dirinya adalah seorang
Letnan Jenderal (tituler) TKR. Maka Pakubuwana XII bertekad untuk ikut
berjuang, salah satunya adalah dengan memberikan aset keraton Surakarta, untuk
mendukung kebutuhan perjuangan nasional. Pakubuwana XII juga banyak memberikan
aset-aset dan inventaris baik barang maupun keuangan dalam mensuplai kebutuhan
logistik dan dana, serta berbagai macam persenjataan. Hampir seluruh kekayaan
keraton diberikan tanpa sisa untuk kepentingan perjuangan nasional.
Ketika Agresi Militer Belanda II
pecah, ia berulang kali mendampingi Presiden Soekarno melihat pertempuran depan
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain mendampingi Presiden Soekarno dalam
melakukan inspeksi ke berbagai garis pertempuran depan, Pakubuwana XII juga
kerap bersinergi dan berkonsolidasi dengan pimpinan TKR di wilayah Surakarta
seperti Kolonel Gatot Subroto pada masa Agresi Militer Belanda II. Ia juga
salah satu tokoh penyusun strategi dan kekuatan, bersama dengan Letnan Kolonel
Slamet Riyadi, dan Mayor Achmadi Hadisoemarto dalam memimpin prajurit TKR pada
Serangan Umum 4 Hari Surakarta pada tahun 1949. Pakubuwana XII juga banyak
membantu memerdekakan sejumlah pegawai besar RI dan Tentara Pelajar (TP) ) yang
semula menjadi tawanan politik maupun tawanan perang Belanda.
Tak henti-hentinya di situ,
Pakubuwana XII juga melibatkan dirinya menjadi salah satu pendamping delegasi
Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
-
ERA KEMERDEKAAN
Pada awal pemerintahannya,
Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi
politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding
Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.
Sebenarnya Pakubuwana XII sudah
berusaha untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta. Pada tanggal 15
Januari 1952 Pakubuwana XII pernah memberi penjelasan tentang Wilayah Swapraja
Surakarta secara panjang lebar pada Dewan Menteri di Jakarta, dalam kesempatan
ini ia menjelaskan bahwa Pemerintah Swapraja tidak mampu mengatasi gejolak dan
rongrongan yang disertai ancaman bersenjata, sementara Pemerintah Swapraja
sendiri tidak memiliki alat kekuasaan. Namun usaha itu tersendat-sendat karena
tak kunjung menemui titik temu. Pada tahun 1954, akhirnya Pakubuwana XII
sendiri memutuskan untuk meninggalkan keraton guna menempuh pendidikan di
Jakarta. Ia menunjuk KGPH. Kusumayudha, pamannya, sebagai wakil sementara di
keraton.
Pada masa pemerintahannya,
terjadi dua kali musibah yang menimpa Keraton Surakarta. Pada tanggal 19
November 1954, bangunan tertinggi di kompleks keraton, yaitu Panggung Sangga
Buwana, mengalami kebakaran yang menghancurkan sebagian besar bangunan termasuk
atap dan hiasan di puncak bangunan. Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 1985,
pada malam Jumat Wage, kompleks inti keraton terbakar pada pukul 21.00 WIB.
Kebakaran terjadi di gedung Sasana Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina,
Dalem Ageng Prabasuyasa, Dayinta, dan Paningrat. Seluruh bangunan termasuk
segala isi dan perabotannya tersebut musnah dilalap api.
Akhirnya, pada tanggal 5
Februari 1985, Pakubuwana XII melapor kepada Presiden Soeharto atas musibah
yang menimpa Keraton Surakarta. Presiden Soeharto mengajukan usulan dengan
membentuk Panitia 13 guna mengemban tugas untuk melaksanakan rehabilitasi
keraton. KRT. Harjanagara, budayawan nasional sekaligus sahabat Pakubuwana XII,
termasuk dalam jajaran Panitia 13 ini. Keraton Surakarta berhasil pulih setelah
mendapat dana 4 miliar rupiah dari pemerintah pusat, dan pembangunan kembali
kompleks inti keraton dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1987.
Pada tanggal 26 September 1995,
lima puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan SK No.
70/SKEP/IX/1995, Pakubuwana XII mendapat penghargaan dan Medali Perjuangan
Angkatan '45 dari pemerintah pusat. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk
penghormatan kepada Pakubuwana XII yang pada masa awal kemerdekaan merupakan
raja pertama di Indonesia yang menyatakan setia dan berdiri di belakang
pemerintahan republik. Pakubuwana XII juga secara sukarela menyumbangkan
sebagian kekayaan pribadinya maupun kekayaan Keraton Surakarta kepada
pemerintah pusat saat itu.
Meskipun pada awal
pemerintahannya Pakubuwana XII dapat dikatakan kurang berhasil secara politik,
namun Pakubuwana XII tetap menjadi sosok figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada
zaman reformasi, para tokoh nasional, seperti Presiden Abdurrahman Wahid, tetap
menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.
-
AKHIR PEMERINTAHAN
Pada pertengahan tahun 2004,
Pakubuwana XII mengalami koma dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit
Panti Kosala Dr. Oen Surakarta. Akhirnya pada tanggal 11 Juni 2004, Pakubuwana
XII dinyatakan meninggal.[7] Wafatnya Pakubuwana XII bersamaan dengan keramaian
kampanye Pemilihan Umum Presiden di Surakarta. Sepeninggalnya sempat terjadi
perebutan kematian antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejowulan, yang
masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
· · SILSILAH
-
Putra pertama Susuhunan Pakubuwana XI dan
permaisuri GKR. Pakubuwana, atau anak terakhir dari sebelas putra dan putri
Susuhunan Pakubuwana XI.
-
Memiliki enam istri:
i.
KRAy. Mandayaningrum
ii.
KRAy. Rogasmara
iii.
KRAy. Pradapaningrum
iv.
KRAy. Kusumaningrum
v.
KRAy. Retnadiningrum
vi.
KRAy. Pujaningrum
-
Memiliki lima belas putra dan dua puluh putri:
i.
GRAy. Koes Handawiyah/GKR. Alit
ii.
GRM. Surya Partana/KGPH. Hangabehi (naik takhta
sebagai Susuhunan Pakubuwana XIII)
iii.
GRM. Surya Suprapta/KGPH. Hadi Prabawa
iv.
GRAy. Koes Supiyah/GKR. Galuh Kencana
v.
GRM. Suryana/KGPH. Puspa Hadikusuma
vi.
GRAy. Koes Rahmaniyah
vii.
GRAy. Koes Saparniyah
viii.
GRAy. Koes Handariyah/GKR. Sekar Kencana
ix.
GRAy. Koes Kristiyah
x.
GRAy. Koes Sapardiyah
xi.
GRAy. Koes Raspiyah
xii.
GRM. Surya Susena/KGPH. Kusumayudha
xiii.
GRAy. Koes Sutriyah
xiv.
GRAy. Koes Isbandiyah/GKR. Retna Dumilah
xv.
GRM. Surya Suteja/KGPH. Panembahan Agung
Tejawulan
xvi.
GRM. Surya Bandana/KGPH. Puger
xvii.
GRAy. Koes Partinah
xviii.
GRM. Surya Suparta/KGPH. Dipakusuma
xix.
GRM. Surya Sarasa
xx.
GRM. Surya Bandriya/KGPH. Benawa
xxi.
GRAy. Koes Niyah
xxii.
GRM. Surya Sudhira/GPH. Natakusuma
xxiii.
GRM. Surya Suharsa/GPH. Madukusuma
xxiv.
GRM. Surya Sudarsana/GPH. Wijaya Sudarsana
xxv.
GRAy. Koes Murtiyah/GKR. Wandansari
xxvi.
GRAy. Koes Sabandiyah
xxvii.
GRAy. Koes Triniyah
xxviii.
GRAy. Koes Indriyah/GKR. Ayu
xxix.
GRM. Surya Sutrisna/GPH. Surya Wicaksana
xxx.
GRM. Nur Muhammad/GPH. Cahyaningrat
xxxi.
GRAy. Koes Suwiyah
xxxii.
GRAy. Koes Ismaniyah
xxxiii.
GRAy. Koes Samsiyah
xxxiv.
GRAy. Koes Saparsiyah
xxxv.
GRM. Surya Wahana/GPH. Surya Mataram
· · PENGHARGAAN MILITER
-
Titular Lieutenant General rank on November 1,
1945
-
Satyalancana War of Independence I on August 17,
1958
-
Satyalancana War of Independence II on August
17, 1958
-
Award for the Darma Bakti for the Development of
the Indonesian Armed Forces issued by President Soekarno on October 5, 1958
-
Hero's Service Medal in the Guerrilla Struggle
to Defend Independence issued by President Soekarno on 10 November 1958
-
Received the Indonesian Struggle Veterans Card
on June 8, 1968
· · GALERI
|
|
|
PAKU BUWANA XIII
Pakubuwana XIII ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧑꧓꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana XIII |
Susuhunan Surakarta
ke-12 |
Bertakhta : 10
September 2004 – sekarang Pendahulu : Pakubuwana
XII Presiden : 1. Megawati
Soekarnoputri 2. Susilo
Bambang Yudhoyono 3. Joko
Widodo |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Suryo Partono Kelahiran : 28
Juni 1948 (umur 74) Surakarta, Indonesia Wangsa : Mataram |
Nama
Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Tiga Welas
ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Ayah : Pakubuwana
XII Ibu : KRA.
Pradapaningrum Pasangan : 1. KRAy. Endang
Kusumaningdyah (bercerai) 2. KRAy.
Winarti (bercerai) 3. GKR.
Pakubuwana Anak : 1. GRM. Suryo
Suharto/KGPH. Mangkubumi 2. GRM. Suryo
Aryo Mustiko/KGPH. Purbaya 3. GRAy.
Rumbai Kusuma Dewayani/GKR. Timur 4. GRAy. Devi
Lelyana 5. GRAy.
Ratih Widyasari 6. BRAy.
Sugih Oceani (wafat sebelum PB XIII naik takhta) 7. GRAy.
Putri Purnaningrum Agama Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana XIII
(disingkat sebagai PB XIII, bahasa Jawa: ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤꦏꦥꦶꦁꦠꦶꦒꦮꦺꦭꦱ꧀; lahir 28 Juni 1948) adalah Susuhunan
Surakarta kedua belas yang bertakhta sejak tahun 2004. Gelar Pakubuwana XIII
awalnya diklaim oleh dua pihak, setelah wafatnya Susuhunan Pakubuwana XII tanpa
putra mahkota yang jelas karena ia tidak memiliki permaisuri, maka dua putra
Pakubuwana XII dari ibu yang berbeda saling mengakui takhta ayahnya.
Putra yang tertua, KGPH.
Hangabehi, oleh keluarga didaulat sebagai penguasa keraton dan KGPH. Tejowulan
menyatakan keluar dari keraton; dua-duanya mengklaim pemangku takhta yang sah,
dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah.
Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi
gelar Pakubuwana XIII.
Konflik Raja Kembar tersebut
berlangsung selama sekitar delapan tahun, hingga pada tahun 2012 dualisme
kepemimpinan di Kasunanan Surakarta akhirnya usai setelah KGPH. Tejowulan
mengakui gelar Pakubuwana XIII menjadi milik KGPH. Hangabehi dalam sebuah
rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama
DPR-RI, dan KGPH. Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (kemudian mahamenteri)
dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung.
· · KEHIDUPAN
Dalam buku Mas Behi:
Angger-Angger dan Perubahan Zaman yang diterbitkan Yayasan Pawiyatan Kaidulan
Keraton Surakarta tahun 2004 disebutkan, dari seorang garwa ampil Susuhunan
Pakubuwana XII bernama KRAy. Pradapaningrum, telah lahir seorang anak lelaki tertua
pada Senin, 28 Juni 1948, dengan nama GRM. Suryadi. Karena sakit-sakitan,
neneknya yang permaisuri Susuhunan Pakubuwana XI bernama GKR. Pakubuwana,
mengganti nama sang cucu menjadi GRM. Suryo Partono (bahasa Jawa: Gusti Raden
Mas Surya Partana) seperti lazimnya masyarakat kebanyakan mengikuti petuah
spiritual dalam adat Suku Jawa. Ketika sudah dewasa dan Pakubuwana XII bersama
seluruh komunitas keraton berada di alam republik, pada tahun 1979 paugeran
atau pranata adat lalu menetapkan GRM. Suryo Partono yang merupakan putra
laki-laki tertua berhak menyandang nama Hangabehi dengan gelar Kangjeng Gusti
Pangeran Harya. Artinya, dia adalah seorang pangeran tertua yang disiapkan
menjadi calon penerus tahta.
Dalam pemerintahan Kasunanan
Surakarta, KGPH. Hangabehi pernah meninggal sebagai Pangageng Museum Keraton
Surakarta dan berbagai jabatan penting lainnya. Ia juga mendapat anugerah
Bintang Sri Kabadya I oleh Pakubuwana XII atas jasa-jasanya dalam mengatasi
musibah kebakaran yang melanda Keraton Surakarta tahun 1985. Dari seluruh
putra-putri Pakubuwana XII, hanya Hangabehi yang pernah memperoleh bintang
kehormatan tersebut.[3] Untuk berkarier di luar keraton, Hangabehi pernah
bekerja di Caltex Pacific Indonesia, Riau, sebelum akhirnya pindah ke
Jakarta.[3][4] Selain menerima beberapa anugerah tertinggi dari beberapa
lembaga institusi dalam negeri maupun negara asing, Hangabehi juga mendapat
gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Global (GULL, Amerika Serikat).
Kegemaran kesehariannya pun berbeda dengan kebanyakan orang di luar keraton.
Hangabehi, selain hobi bermain keyboard dan berbagai alat musik lainnya, juga
pernah aktif di Organisasi Amatir Radio Indonesia.
· · · NAIK TAHTA SEBAGAI RAJA
Setelah wafatnya Susuhunan
Pakubuwana XII pada 11 Juni 2004, terjadi ketidaksepakatan di antara
putra-putri Pakubuwana XII mengenai siapa yang akan menggantikan kedudukan
raja. Pada tanggal 31 Agustus 2004, salah satu putra Pakubuwana XII, KGPH.
Tejowulan, dinobatkan sebagai raja oleh beberapa putra-putri Pakubuwana XII di Sasana
Purnama, Badran, Kottabarat, Surakarta, yang merupakan salah satu rumah milik
pengusaha BRAy. Mooryati Sudibya.
Padahal, sebelumnya dalam rapat
Forum Komunikasi Putra-Putri (FKPP) Pakubuwana XII yang berlangsung 10 Juli
2004, menetapkan bahwa putra tertua Pakubuwana XII, KGPH. Hangabehi, yang
berhak menjadi raja selanjutnya, dan memilih tanggal penobatan Hangabehi
sebagai raja pada 10 September 2004. Namun pada awal September 2004, secara
tiba-tiba KGPH. Tejowulan bersama para pendukungnya kewalahan dan mendobrak
pintu Keraton Surakarta. Keributan ini bahkan sempat menimbulkan beberapa orang
luka-luka, termasuk para bangsawan dan abdidalem yang saat itu berada di dalam
keraton. Atas kejadian tersebut, KP. Edy Wirabumi (suami GKR. Wandansari)
selaku ketua Lembaga Hukum Keraton Surakarta mendampingi beberapa orang kuasa
hukum bahkan melaporkan para pendukung Tejowulan ke Polresta Surakarta atas
dasar perusakan cagar budaya di lingkungan keraton.
Akhirnya pada 10 September 2004,
KGPH. Hangabehi tetap dinobatkan sebagai raja oleh para pendukungnya di Keraton
Surakarta. Kehadiran tiga sesepuh keraton, yaitu Brigjen. Prof.GPH. Harya
Mataram, S.H., BKPH. Prabuwinata, dan GRAy. Panembahan Bratadiningrat, yang
merestui KGPH. Hangabehi menjadi Pangeran Adipati Anom di Dalem Ageng
Prabasuyasa, merupakan salah satu legitimasi bertakhtanya Hangabehi sebagai
raja baru Kasunanan Surakarta. Ketiga sesepuh keraton tersebut juga berkenan
mengawal Hangabehi ketika berjalan menuju ke Bangsal Manguntur Tangkil di
Kompleks Sitihinggil Lor untuk menyaksikan dan merestui jumenengan nata sebagai
Susuhunan Pakubuwana XIII, berikut kesaksian oleh sejumlah putra-putridalem,
para cucu Susuhunan Pakubuwana XII (wayahdalem), para bangsawan dan pejabat
keraton (sentaladalem), para abdidalem, para duta besar negara asing,
utusan-utusan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia, serta masyarakat.
· · REKONSILIASI DENGAN K.G.P.H. TEJOWULAN
Rekonsiliasi damai antara KGPH.
Hangabehi dan KGPH. Tejowulan berlangsung pada tahun 2012, atas prakarsa wali
kota Surakarta saat itu, Joko Widodo. Penandatanganan rekonsiliasi dilakukan di
Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, 4 Juni 2012. Rekonsiliasi itu disaksikan
berbagai pihak seperti Ketua DPR-RI Marzuki Alie, Pimpinan Komisi II, IV, dan
IX DPR-RI, perwakilan Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Wali Kota
Surakarta Joko Widodo, dan lainnya.[10] Rekonsiliasi menyepakati bahwa KGPH.
Tejowulan bersedia melepas gelar Pakubuwana XIII. Selanjutnya, Tejowulan
mendapat gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung,[1] dan gelar
Susuhunan Pakubuwana XIII secara tunggal menjadi milik KGPH. Hangabehi.
Pada awalnya, rekonsiliasi damai
tersebut sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang
dipimpin oleh GKR. Wandansari (Gusti Moeng). Saat pelaksanaan upacara
Tingalandalem Jumenengan (peringatan kenaikan pengeringan) Susuhunan Pakubuwana
XIII yang ke-8 pada 15 Juni 2012, kubu LDA yang terdiri dari beberapa orang putra-putri
Pakubuwana XII dan Pakubuwana XIII bahkan sempat menghalangi rombongan kubu
Tejowulan yang hendak memasuki Sasana Sewaka, hingga menyebabkan terjadinya
menonjol dan adu mulut antara GKR. Timur (putri tertua Pakubuwana XIII) bersama
salah seorang bibinya yang tergabung dalam kubu LDA, dengan salah satu pangeran
dari kubu pendukung rekonsiliasi. Meski demikian, upacara dapat langsungkan
dengan kondusif dan KGPH. Tejowulan yang secara resmi diundang untuk menghadiri
upacara tersebut dipersilakan duduk bersila di sebelah singgasana Pakubuwana
XIII, yang selanjutnya ia melakukan sungkem di hadapan Pakubuwana XIII sebagai
permohonan maaf.
Konflik kembali terjadi pada 26
Agustus 2013. GKR. Wandansari dan beberapa kerabat keraton yang tergabung di
LDA memaksa masuk ke dalam Sasana Putra di kawasan Keraton Surakarta dan
membuat kekacauan dengan membubarkan secara paksa acara halal bihalal sekaligus
pengukuhan Tejowulan sebagai mahamenteri yang diadakan oleh Pakubuwana XIII.
Bahkan, pada malam harinya terjadi skenario susulan yang mengakibatkan
pendobrakan pintu gerbang Sasana Putra oleh pendukung massa Pakubuwana XIII dan
sebagian warga Baluwarti. Usai mendobrak pintu Sasana Putra, massa berusaha
menyelamatkan Pakubuwana XIII dan keluarganya yang telah dimandikan oleh pihak
LDA. Setelah peristiwa tersebut, Pakubuwana XIII tidak dapat memasuki kawasan
inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya
beberapa akses dari kediamannya di Sasana Narendra menuju kawasan inti keraton.
Setelah TNI dan Polri turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana
XIII dan Lembaga Dewan Adat, pada bulan April 2017 akhirnya Pakubuwana XIII dan
Tejowulan dapat kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara
tingalandalem jumenengan yang dihadiri oleh keluarga, abdi dalem, perwakilan
masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.
· · RIWAYAT PEMERINTAHAN
-
PERAN SEBAGAI RAJA SURAKARTA
Sejak dinobatkan menjadi raja
Kasunanan Surakarta pada 10 September 2004, Susuhunan Pakubuwana XIII telah berperan
dan terlibat dalam berbagai peristiwa penting, khususnya mengenai kedudukan
sebagai kepala keluarga keraton dan yang dipertuan pemangku adat, yang
merupakan simbol dan pemimpin informal kebudayaan Jawa khususnya budaya Jawa
gagrak ( gaya) Surakarta. Selain menyelenggarakan berbagai upacara adat dan
acara besar keraton seperti labuhan, grebeg, sekaten, kirab malam 1 Sura, dan
lainnya, Pakubuwana XIII juga melanjutkan tradisi pemberian gelar kebangsawanan
atau kepangkatan (selain yang diberikan untuk keluarga keraton dan abdidalem)
setara honoris causa kepada pejabat pemerintahan, anggota TNI dan Polri,
politisi, pengusaha, ulama, tenaga kependidikan, seniman dan budayawan, maupun
masyarakat umum dari berbagai kalangan yang dianggap berprestasi, memiliki
perhatian terhadap pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, atau memiliki jasa
terhadap Keraton Surakarta dan Republik Indonesia.
Sebagai raja Kasunanan Surakarta
yang secara tradisional dianggap sebagai figur pelindung kebudayaan Jawa, pada
tahun 2014 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X dari
Kesultanan Yogyakarta dan perwakilan dari Kesultanan Kasepuhan Cirebon ikut
menyaksikan kirab dan sarasehan kebudayaan dalam rangka hari jadi Kabupaten
Batang.[21] Dalam bidang pelestarian kebudayaan, Pakubuwana XIII beberapa kali
menghadiri dan berpartisipasi dalam berbagai pameran keris dan tosan aji serta
mengadakan pergelaran wayang kulit. Pada peringatan Hari Wayang Nasional dan
Dunia di Institut Seni Indonesia Surakarta tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana
XIII bersama KPA. Begug Purnomosidi (mantan bupati Wonogiri) turut menerima
penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai pemrakarsa pergelaran wayang
kulit dengan kelir terpanjang di dunia. Di tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana
XIII selaku pemimpin tertinggi keluarga besar Keraton Surakarta memberikan
kekancingan dan surat silsilah kepada keluarga keturunan Bapak RAA. M.Sis
Cakraningrat dan GKR. Pembayun (putri tunggal Susuhunan Pakubuwana X dengan
permaisurinya, GKR. Hemas) yang menjadi bukti pengesahan bahwa mereka adalah
pemilik sah dari tanah seluas beberapa hektar di Temon, Kulon Progo yang akan
digunakan untuk bangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta, yang
kepemilikannya sempat diambil oleh orang lain .
Susuhunan Pakubuwana XIII aktif
memimpin langsung pelaksanaan upacara-upacara adat dan menghadiri peresmian
perkumpulan abdidalem di berbagai daerah. Selain itu, Pakubuwana XIII bersama
para wali Keraton Surakarta juga terus menjaga hubungan baik dengan pemerintah,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah, Kota
Surakarta, serta daerah-daerah lain. Seperti yang pernah dilakukan kepada
beberapa wali kota Surakarta sebelumnya, pada 20 September 2021 Pakubuwana XIII
secara langsung memberikan gelar kebangsawanan kepada Wali Kota Gibran
Rakabuming Raka. Pada bulan Oktober-November 2021, Pakubuwana XIII dan Keraton
Surakarta ikut membantu program pencegahan Covid-19 di Kabupaten Ponorogo dan
Kabupaten Pacitan dengan memberikan 20.000 dosis vaksin gratis untuk warga.
Dalam hubungannya dengan pemimpin dan kerabat Kadipaten Mangkunegaran, pada
tanggal 12 Maret 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X
dan Adipati Pakualam X secara resmi mengadakan upacara pengukuhan Adipati
Mangkunegara X di Pura Mangkunegaran Surakarta.
-
MELANTIK PUTRA MAHKOTA
Dalam upacara Tingalandalem
Jumenengan yang ke-18 pada 27 Februari 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII
mengangkat KGPH. Purbaya, yang merupakan putra laki-lakinya yang lahir dari
permaisuri, sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta dengan gelar KGPAA.
(Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamangkunagara Sudibya Rajaputra
Narendra ing Mataram. Pengukuhan Purbaya sebagai putra mahkota tersebut
disaksikan oleh kakak dan beberapa adik perempuan Pakubuwana XIII, kakak
perempuan Purbaya, keluarga besar Keraton Surakarta yang hadir, para abdidalem,
dan para tamu undangan yang terdiri dari beberapa pejabat tinggi pemerintahan
serta perwakilan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia dan masyarakat umumnya,
termasuk Ketua DPD-RI La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden
Wiranto dan Addatuang Sidenreng XXV Andi Faisal.
· · SILSILAH
-
Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana
XII dan KRAy. Pradapaningrum.
-
Menikah tiga kali:
i.
Nuk Kusumaningdyah/KRAy. Endang Kusumaningdyah
(bercerai)
ii.
Winari Sri Haryani/KRAy. Winarti (bercerai)
iii.
Asih Winarni/KRAy. Pradapaningsih/GKR.
Pakubuwana (sebagai permaisuri)
-
Memiliki dua putra:
i.
GRM. Suryo Suharto/KGPH. Mangkubumi
ii.
GRM. Suryo Aryo Mustiko/KGPH. Purbaya
(Purubaya)/KGPAA. Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram
(sebagai putra mahkota).
-
Memiliki lima putri:
i.
GRAy. Rumbai Kusuma Dewayani/GKR. Timur
ii.
GRAy. Devi Lelyana Dewi
iii.
GRAy. Ratih Widyasari
iv.
BRAy. Sugih Oceani
v.
GRAy. Putri Purnaningrum
· · GALERI
|
|
J. GALERI KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADINIGRAT
K. SRI RADYA LAKSANA, IDENTITAS KASUNANAN SURAKARTA HADINIGRAT?
Kraton Surakarta Hadiningrat, salah satu kerajaan Jawa yang
masih terjaga eksistensinya hingga kini, menyimpan berbagai peninggalan yang
dijadikan pusaka, salah satunya adalah Radya Laksana. Banyak referensi
mengartikan “radya” sebagai “kerajaan” atau “negara”, sedangkan “laksana”
berarti “karakter”, “identitas”, atau “lambang”, yang jika digabungkan bermakna
“lambang kerajaan”.
Wujud fisik lambang kerajaan itu berbentuk dasar garis oval
warna emas yang mengitari gambar matahari, bintang, bulan, serta bumi berpaku
yang menggelayut di angkasa biru. Wujud oval itu dilengkapi mahkota berwarna
merah dengan garis-garis keemasan, dan berlandaskan kapas dan padi yang
berbulir keemasan pula. Pita merah-putih berjuntai indah menguntai pangkal
kapas dan padi itu.
Lambang Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sri Radya Laksana.
Sri Radya Laksana itu terpampang sebagai relief sejumlah
aset Kasunanan Hadiningrat yang tersebar di Kota Solo. Radya Laksana dalam
bentuk Iencana kerap dikenakan para kerabat Kasunanan Surakarta di sisi kiri
baju, menjadi motif batik, atau dipasang sebagai vandel di rumah. Radya Laksana
sejak mulanya merupakan penanda kerabat Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang
terdiri atas:
1.
Sampeyan-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Paku Buwana, raja Kraton Solo,
2.
putra-putri dalem atau putra dan putri raja,
3.
wayah dalem atau cucu raja,
4.
sentana dalem atau kerabat raja,
5.
tedak turun dalem atau keturunan keluarga
kerajaan,
6.
abdi dalem atau pegawai kerajaan, dan
7.
kawula hangedhep atau masyarakat yang berkiblat
ke Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sri Hartatiningtyas dalam buku Gelar dan Ageman Pisowan
Surakarta Hadiningrat, tak hanya memaknai lambang kerajaan, karena “laksana”
menurut dia bermakna “perjalanan yang tulus lahir dan batin”. Dengan demikian,
makna dari lambang kraton tersebut menurutnya lebih merupakan tuntunan hidup
dengan tatanan budaya Jawa.
Lebih terperinci, Eko Adhy Setiawan dalam tesis Program
Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro berjudul Konsep
Simbolisme Tata Ruang Keraton Surakarta Hadiningrat memaparkan istilah Radya
Laksana terdiri atas dua kata bahasa bahasa Sansekerta atau Kawi. “Radya”
berasal dari kata “radian” yang bermakna “krajan” atau “kerajaan. Sedangkan,
“laksana” bisa dimaknai:
1.
Ifiri, pratanda, ngalamat, atau ciri, tanda,
pertanda,
2.
Kabegjan atau keberuntungan,
3.
Laku atau jalan, perilaku.
Untuk itu, sambung Eko Adhy Setiawan dalam tesis yang
dibikin tahun 2000 itu, Radya Laksana bisa diurai dalam makna simbolis dan
filosofis. Makna simbolis terkait dengan nilai historis asal-usul raja, mulai
dari Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I. Menurut dia, sejarah
raja merupakan silsilah yang tercermin dalam lingkaran bulat telur. Gambar paku
dan bumi menunjukkan nama Paku Buwana, yaitu Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Pakubuwono yang selanjutnya terus dipakai sebagai nama raja-raja yang
memerintah di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Gambar surya atau matahari, menurut Eko Adhy Setiawan,
mengisyaratkan nama R.M.G. Surya atau Sunan Hamengkurat Jawa. Gambar candra
atau sasangka atau bulan mengisyaratkan nama R.M.G. Sasangka yang bernama
Panembahan Purbaya. Gambar kartika atau sudama atau bintang mengisyaratkan nama
R.M.G. Sudama yang juga bernama Pangeran Blitar.
A.M. Hadisiswaya dalam bukunya, Pergolakan Raja Mataram,
lebih gamblang menguraikan hubungan ketiga tokoh yang perlambangnya termuat
dalam Radya Laksana tersebut dengan Sunan Pakubuwono X sebagai penciptanya.
Menurutnya, ketiga putra Pakubuwono I selaku pendiri Kraton Kartasura adalah
leluhur yang sama bagi Pakubuwono X dan permaisurinya. Menurut catatan sejarah, ia berpermaisurikan
putri K.G.P.A.A. Mangkunagara IV bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana dan
putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII bergelar Gusti Kanjeng Ratu Emas.
Sedangkan makna filosofis yang merupakan tuntunan hidup
bernegara dan berperikehidupan (tuntunaning ngagesang) didasarkan Eko Adhy
Setiawan pada setiap bentuk benda yang tergambar pada lambang tersebut. Format
penjelasan yang sama disampaikan sejarawan Purwadi dan arkeolog Djoko Dwiyanto
dalam buku mereka, Kraton Surakarta, yang diterbitkan delapan tahun setelah
tesis Eko Adhy Setiawan. Nama ada Eko
Adhy Setiawan dalam daftar pustaka buku 903 halaman yang disebut penerbit Panji
Pustaka sebagai karya Purwadi dan Djoko Dwiyanto itu.
1. Makutha atau mahkota merupakan simbol raja dan sebagai
simbol kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, siapa saja yang memakai atau menerima
gambar mahkota selayaknya berjiwa budaya Jawa. Dalam arti jiwa budaya Jawa
mestinya memberi tuntunan, budaya sebagai uwoh pangolahing budi secara lahir
dan batin berdasarkan budi luhur dan keutamaan. Pakarti lahir harus seiring
dengan pakarti batin, hal yang demikian mencerminkan adanya sifat keharmonisan
dalam budaya Jawa,
2. Warna merah dan kuning pada mahkota dalam budaya Jawa
merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini terlihat
dalam bentuk lahir dan batin yang mencerminkan sabar, tidak terburu nafsu dan
sejenisnya. Hal ini memiliki makna filosofis bahwa seseorang raja harus
memiliki jiwa kasepuhan,
3. Warna biru muda yang menjadi warna dasar bentuk oval pada
lambang itu adalah perpaduan antara warna biru dan putih. Warna biru dan putih
membawa watak menolak perbuatan yang tidak baik. Wama biru muda merupakan
simbol angkasa atau langit yang mencerminkan watak orang berwawasan luas dan
pemberi maaf,
4. Surya atau matahari merupakan sumber kekuatan dan sumber
penerang dan hidup yang akan menjadikan dunia tegak penuh dengan sinar penerang
dan hidup. Hal ini merupakan simbol bahwa orang yang berjiwa budaya Jawa harus
dapat menanamkan kekuatan dan dapat memancarkan sinar kehidupan dengan tidak
mengharapkan imbalan. Surya menjadi sarana bagi kehidupan di bumi.
5. Candrasasangka atau bulan menjadi sumber penerang pada
malam hari tanpa menimbulkan panas, tetapi teduh memberi cahaya kepada siapapun
dan apapun tanpa kecuali. Hal yang demikian makna bahwa jiwa budaya Jawa harus
didasari watak pemberi dan memancarkan penerang yang tidak menyebabkan silau
tetapi memancarkan kelembutan dan kedamaian. Candra menjadi sarana daya rasa
(batin) bagi kehidupan di planet Bumi.
6. Kartika atau bintang memiliki sifat memancarkan sinar,
hanya kelihatan gemerlap di sela-sela kegelapan malam. Hal ini memiliki ajaran
bahwa raja atau seseorang agar dapat memberikan penerang kepada siapapun yang
sedang dalam kegelapan. Makna itu juga mengingatkan kepada manusia bahwa
masalah gelap dan terang dalam kehidupan ini silih berganti. Kartika menjadi
sarana dan daya menambah teduhnya kehidupan di planet Bumi.
7. Bumi secara lahiriah merupakan tempat kehidupan dan juga
tempat berakhirnya kehidupan. Bumi atau jagat juga mengingatkan manusia sebagai
mikrokosmos juga memiliki jagad besar atau malcrokosmos. Lambang Bumi ini
sekaligus menjadi pasemon atau kiasan adanya kesatuan jagad kecil dan jagad
besar. Bumi atau jagat manusia berada dalam hati. Oleh karena itu manusia agar
dapat menguasai keadaan harus dapat menyatukan diri dengan dunia besar. Dalam
Kejawen, sikap semacam itu disebut Manunggaling Kawula lan Gusti. Sifat bumi
adalah momot dan kamet atau dapat menampung dan menerima yang gumelar (ada).
Bumi sebagai lambang welas asih, dapat anyrambahi sakabehe.
8. Paku sebagai kiasan atau pasemon agar selalu kuat. Hal
ini mengandung ajaran bahwa agar kehidupan di Bumi bisa kuat dan sentosa maka
harus didasari jiwa yang kuat. Tidak mudah goyah atas dasar satu kekuatan yang
maha besar dari Tuhan YME yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup di
Bumi.
9. Kapas dan padi melambangkan sandang pangan, yakni
kebutuhan lahir dalam kehidupan manusia. Sandang dinomorsatukan atau
didahulukan, sedangkan pangan dinomorduakan atau dikemudiankan. Hal yang
demikian mengandung ajaran bahwa sandang berhubungan dengan kesusilaan dan
diutamakan, sedangkan pangan berhubungan dengan lahiriah dinomorduakan. Oleh
karena itu, manusia hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada masalah pangan.
Kehidupan manusia dibumi tidak lepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi.
10. Pita merah putih sebagai kiasan bahwa manusia terjadi
dengan perantara ibu-bapak (ibu bumi bapa kuasa). Merah melambangkan ibu,
sedangkan putih melambangkan bapak. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalu
ingat kepada ibu-bapak, yang tercermin dalam ungkapan Mikul Dhuwur Mendhern
Jero yang maksudnya sebagai anak harus dapat mengharumkan nama orang tua dan
dapat menghapuskan kejelekan nama orang tua. Pita merah putih juga dapat
diartikan laki-laki dan perempuan sebagai lambang persatuan. Untuk mencapai
tujuan harus dilandasi semangat persatuan (antara gusti dan kawula).
Maka, jelaslah Radya laksana merupakan tuntunan hidup, bagi
yang memakai lambang tersebut, dimana pun mereka berada akan menjalankan
watak-watak yang terlukis dalam lambang (tindakna, watak wantun kang tinemu ing
lambang).
Lalu dari mana Pakubuwono X beroleh gagasan membuat Radya
Laksana yang kaya perlambang bermakna simbolis dan filosofis itu? Purwadi
selaku dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta dalam
Jurnal Seni dan Budaya Tradisi terbitan Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI)
Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa Pakubuwono X membuat Radya Laksana
berdasarkan, “relief gambar kuno yang yang merupakan lambang kerajaan Jawa kuno
yang terdapat di atas Regol atau Kori Sri Manganti.”
Jika dugaan Purwadi bahwa lambang yang ada regol atau kori
Sri Manganti itu benar lambang kerajaan,
sejatinya tidak tepat benar lambang di bagian atas kosen regol atau Kori Sri
Manganti itu disebut lambang “kerajaan Jawa kuno”. Berdasarkan data yang
dihimpun Eko Adhy Setiawan, regol atau Kori Sri Manganti—baik lor maupun
kidul—dibangun Pakubuwono III ( 1749-1788) pada tahun 1772. Sedangkan, tim penulis
Pustaka Sri Radyalaksana terbitan 1939, mencatat Kori Sri Manganti Wetan
diperbaiki 1814, pada masa berkuasanya Pakubuwono IV (1788 -1820). Maka lambang
di bagian atas kosen regol atau Kori Sri Manganti itu lebih mungkin lambang
Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebelum diperkenalkannya Sri Radya Laksana
ciptaan Pakubuwono X.
Sarjana Sastra pendidik Kesenian yang bekerja di Universitas
Negeri Yogyakarta dan sejumlah perguruan tinggi lainnya itu mestinya mengerti
benar bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Pakubuwono III
ataupun Pakubuwono IV bukan tergolong “kerajaan Jawa kuno”. Bahkan meskipun
karya kedua raja itu lebih usang ketimbang karya-karya Pakubuwono X. Pada
dasarnya sejak Pakubuwono II hingga Pakubuwono XIII, kerajaan itu mestinya
dipandang dalam satu kesatuan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Kalaupun Sri Radya Laksana lebih kondang sebagai lambang
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, maka tak semestinya lambang mirip lambang
Kesultanan Otoman—dengan banyak wujud senjata semburat dari wujud dasar
lambangnya—yang hingga kini masih bisa ditemui di bagian atas kosen regol atau
Kori Sri Manganti itu disebut lambang “kerajaan Jawa kuno”.
Ketenaran Sri Radya Laksana itu tidak bisa dipisahkan dari
masa keemasan selama Sampeyan-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayiddin Panotogomo Ingkang
kaping X sebagai pembuat lambang baru Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu
berkuasa, 1893-1939. Lambang Kasunana Surakarta Hadiningrat bikinan Pakubuwono
X itu tersebar ke seantero Pulau Jawa, bahkan luar negeri.
Setiap kali melakukan kunjungan kenegaraan ataupun menerima
tamu negara, ia gemar membagikan buah tangan yang mencantumkan lambang
tersebut. Itupun tak selalu dalam wujud Sri Radya Laksana karena pada
kenyataannya Pakubuwono X bukan hanya memperkenalkan dan menggunakan satu jenis
lambang. Hingga kini, berbagai varian lambang Pakubuwono X itu masih bisa
dilihat di kereta-kereta kencana atau bagian atas bangunan-bangunan yasan-dalem
atau hasil karyanya di seputaran Kraton Solo maupun Kota Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar