Mengenai Saya

Foto saya
Hi, Nama Saya Sandra Bagus Nugroho saya pemilik Blog History Of World Empire

Jumat, 23 Desember 2022

KERAJAAN - KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADINIGRAT (꧋ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦣꦶꦤꦶꦒꦿꦠ꧀)


Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Surakarta (bahasa Jawa: ꧋ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦣꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀; Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pegon: ناڮاري كسنانن سوراكارتا هادنڠرت) adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745. Selanjutnya, sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan pihak- pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, menyepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

 Istana resmi Kesunanan Surakarta Hadiningrat yang terletak di Kota Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun 1743. Keraton ini mempunyai perpecahan yakni Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang merupakan istana dari Kesultanan Yogyakarta, sehingga secara tradisional Dinasti Mataram diteruskan oleh dua kerajaan , yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Total luas wilayah seluruh keraton surakarta mencapai 147 hektar, yakni meliputi seluruh areal di dalam benteng Baluwarti, Alun-Alun Lor, Alun-Alun Kidul, Gapura Gladag, dan kompleks Masjid Agung Surakarta. Sementara luas dari kedhaton (inti keraton) mencapai 15 hektar. Walaupun Kesunanan Surakarta secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal susuhunan/sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesunanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesunanan, termasuk berbagai persembahan atau hadiah dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.

Keraton Surakarta juga menjadi salah satu elemen penting dalam penasehat pembangunan Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, dan Kabupaten Klaten. Sebagai contoh yang paling besar adalah sebagai penasehat pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Surakarta dan KRL Jogja-Solo.

A.    SEJARAH

Kesultanan Mataram yang pecah akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 ibu kotanya oleh Sri Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742, dan Mataram yang berada di Kartasura saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat (Bangkalan) yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Sri Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sri Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tidak jauh dari Bengawan Solo. Untuk pembangunan keraton ini, Sri Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah untuk selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di kawasan keraton.

Setelah istana kerajaan selesai dibangun dan ditempati, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam Bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur"; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa. Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan kebalikan dari kata Kartasura. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan penyerahan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kesunanan Surakarta.

1.      LATAR BELAKANG

Kesultanan Mataram yang beribu kota di Plered, porak-poranda akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibu kotanya oleh Susuhunan Amangkurat II lalu dipindahkan ke Kartasura. Pada masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Keraton Kartasura mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC pada tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai Geger Pacinan. Kesultanan Mataram yang menetap di Kartasura itu akhirnya mengalami keruntuhan. Kota Kartasura kemudian berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, seorang penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Kerajaan Mataram yang baru.

2.      ALASAN PEMINDAHAN

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur kemudian dianggap "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru di lokasi yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi Bengawan Solo (bahasa Jawa: Bengawan Sala). Untuk pembangunan keraton ini, Pakubuwana II membeli tanah untuk selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki Ghe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.

Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu menjadi baik, ramai, makmur. Meskipun kekuasaan raja tidak seberapa luas, kekuasaan itu dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa, tempuran mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekat dianggap keramat. Ketiga, tempatkan Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sebuah sungai terbesar di Jawa yang sejak dahulu kala mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Fungsi sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur darat.

Selanjutnya, yang keempat, karena Sala telah menjadi desa, sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga untuk pembabatan hutan yang didatangkan dari tempat lain. Selain Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya ditempati oleh abdi dalem pembuat babud (permadani). Kelima, agar kebijakan VOC yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang baru itu mudah dicapai dari Semarang dan harus dijaga agar pemerintah mudah mengirimkan bala bantuannya karena Semarang dikenal sebagai jalan masuk menuju Mataram. Keenam, orang Jawa percaya bahwa keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah itu. Tanah di Desa Sala dianggap layak sehingga dibangun keraton di wilayah ini.

3.      PROSES PEMINDAHAN

Atas kehendak Susuhunan Pakubuwana II, Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha disarankan supaya merencanakan serta memutuskan urut-urutan perjalanan pengamanan keraton dari Kartasura ke Surakarta. Setelah upacara tradisional selesai, pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura/Muharam tahun Je 1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20 Februari 1745, Susuhunan pindah dari Kartasura ke keraton yang baru. Dalam Babad Giyanti I, prosesi penguncian Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta dituliskan bertepatan pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura dengan candra sengkala Kumbuling Budaya Kapyarsi ing Nala, Susuhunan berangkat dari Kartasura pindah ke Sala.

Selanjutnya oleh Pakubuwana II nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur" (versi lain mengartikannya sebagai "penuh" atau "sempurna"); dengan harapan bahwa Surakarta yang menjadi tempat di mana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa.

4.      PERKEMBANGAN

Kerajaan Mataram yang berdiri di Surakarta sebagai ibu kota pemerintahan kemudian menghadapi pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwana II, pada tahun 1746 meninggalkan keraton dan bergabung dengan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit pada tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kekuasaan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC yang dianggap berhak melantik raja-raja Dinasti Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta; setelah bubar VOC pada tahun 1799, kewenangan tersebut dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berakhir pada masa Pendudukan Jepang pada tahun 1942.

B.     ERA INDONESIA

Terdapat pendapat yang menilai bahwa pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang berdaya dalam menghadapi kelompok anti daerah istimewa yang gencar bermanuver dalam perpolitikan dan menyebarkan desas-desus bahwa para bangsawan Surakarta merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kesunanan. Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution menulis bahwa raja-raja Surakarta membelot dan menyerang Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948–1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel Jatikusuma (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun sebagian rakyat dan tentara semakin ingin menghapus monarki sama sekali. Akhirnya Walikota Achmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi mandat untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.

1.      SETELAH PEMBEKUAN DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA

Kenyataannya, selama masa Revolusi Nasional, Pakubuwana XII tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan memperoleh gelar pangkat militer letnan jenderal tituler, dan pada tahun 1945–1948 beberapa kali ikut mendampingi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, baik dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran. Sebelum dan hingga peristiwa Serangan Umum Surakarta pada 7–10 Agustus 1948, Pakubuwana XII juga melakukan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. Slamet Riyadi untuk menggunakan Pesanggrahan Pracimaharja di Boyolali sebagai markas, sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan Pakubuwana VI dibakar untuk membendung manuver tentara Belanda yang hendak menduduki wilayah Surakarta. Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi kedudukan setingkat menteri negara dalam rombongan delegasi pimpinan Republik Indonesia Mohammad Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Pada 17 Desember 1949, staf urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta, mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena telah ikut serta dalam mempertahankan negara Republik Indonesia selama Agresi Militer Belanda II. Meski demikian, kedudukan Daerah Istimewa Surakarta saat itu tetap belum dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di Surakarta yang berlangsung larut-larut sejak tahun 1945 sampai 1949.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung lukisan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Presiden Abdurrahman Wahid, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang paling lama di antara para raja-raja Kesunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945 hingga 2004.

C.     WILAYAH KEKUASAAN

1.      PADA AWAL BERDIRINYA

Seperti di masa Kesultanan Mataram, pada awal berdirinya (semasa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II dan Susuhunan Pakubuwana III) wilayah Kesunanan Surakarta terbagi menjadi daerah Kuthagara atau Kuthanagara, Nagara Agung, Mancanagara, dan Pasisiran. Daerah Kuthagara adalah ibu kota dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai pemerintahan. Daerah Kuthagara juga sering disebut sebagai Siti Narawita, yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah Nagara Agung adalah wilayah yang berada di sekitar Kuthagara, yang merupakan daerah apanase atau tanah lungguh dari para keluarga raja dan abdidalem, termasuk pula daerah Siti Narawita milik raja. Sedangkan daerah Mancanagara dan Pasisiran merupakan wilayah di luar kawasan Nagara Agung; di daerah ini tidak terdapat tanah lungguh, namun pada saat perayaan grebeg dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan pajak ke keraton. Secara keseluruhan, wilayah Kesunanan Surakarta ketika itu memiliki luas 352.382 karya.

·         Kuthagara Surakarta, meliputi:

-          Keraton Surakarta

-          Daerah sekitar keraton, yaitu area bagian dalam tembok benteng Baluwarti serta kawasan sekitar Tugu Pamandengan dan Gapura Gladag di sebelah utara hingga Gapura Gading di sebelah selatan (termasuk dua alun-alun dan Masjid Agung Surakarta)

 

·         Nagara Agung, meliputi:

-          Daerah Panumping (daerah Sukowati)

-          Daerah Panekar (daerah Pajang)

-          Daerah Siti Ageng Tengen (daerah di sisi kanan Jalan Besar Pajang-Demak)

-          Daerah Siti Ageng Kiwa (daerah di sisi kiri Jalan Besar Pajang-Demak)

-          Daerah Bumi (daerah Kedu di bagian barat Sungai Progo)

-          Daerah Bumija (daerah Kedu di bagian timur Sungai Progo)

-          Daerah Sewu (daerah Bagelen dan Cilacap)

-          Daerah Numbak Anyar (daerah di antara Sungai Bogowonto dan Sungai Progo)

·         Managara, meliputi:

-          Daerah Mancanagara Kulon, terdiri dari daerah Banyumas, Bantar (Brebes), Lebaksiu dan Balapulang (Tegal), Kalibeber (Wonosobo), Karanganyar dan Karangbolong (Kebumen), Merden (Banjarnegara), Bobotsari dan Kertanegara (Purbalingga)

-          Daerah Mancanagara Wetan, terdiri dari daerah Magetan, Jogorogo (Ngawi), Madiun, Caruban, Ponorogo, Kaduwang (Wonogiri), Pacitan, Tulungagung, Kediri, Pace dan Berbek (Nganjuk), Wirasaba (Jombang), serta Jepang (Mojokerto)

·         Pasisir, meliputi:

-          Daerah Pasisir Kulon, terdiri dari daerah pesisir Brebes dan Tegal, serta daerah Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, dan Kaliwungu

-          Daerah Pasisiran Wetan, terdiri dari daerah Demak, Jepara, Kudus, Pati (termasuk daerah Cengkal dan Juwana), Rembang, Lasem, Tuban, Lamongan, Sidayu, Gresik, Surabaya, Bangil, Pasuruan, Blambangan (Banyuwangi), dan Pulau Madura

 

2.     PERKEMBANGAN SELANJUTNYA

Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, serta menyerahkan wilayah Pasisiran kepada VOC . Usai Perang Jawa pada tahun 1830, seluruh wilayah Mancanagara dirampas oleh pemerintah Hindia Belanda, menyisakan wilayah Nagara Agung dan Kuthagara. Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kabupaten dan kawedanan.

Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X, wilayah Kesunanan Surakarta meliputi kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo (Kabupaten Kutha Surakarta), Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, serta beberapa enklave (daerah kantong) yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk di dalam wilayah Yogyakarta ( Kotagede dan Imogiri). Untuk daerah bagian utara kota Surakarta serta Kabupaten Karanganyar (Kabupaten Kutha Mangkunegaran) dan Kabupaten Wonogiri (termasuk enklave Ngawen dan Semin) diperintah oleh Kadipaten Mangkunegaran. Administrasi wilayah dan pembagian tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa pendudukan Jepang dan era pemerintahan Republik Indonesia. Setelahnya, di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII wilayah Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah daerah istimewa dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta, yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun 1945–1946. Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta dan sejak dibentuknya Karesidenan Surakarta hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950, saat ini wilayah Kesunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa Tengah.

D.    ARSITEKTUR

Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis pada zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah KGPH. Mangkubumi (kelak bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak yang memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun bersamaan pada tahun 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan semula. Pembangunan dan pemulihan secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana X yang bertakhta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Sebelah kiri Gapura Gladag dan sebelah kanan Alun-Alun Lor (Utara).

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-Alun Lor/Utara, Kompleks Pagelaran Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan dan Sri Manganti Kidul/Selatan , Kompleks Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-Alun Kidul/Selatan. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah area dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan.

1.      KOMPLEKS ALUN-ALUN LOR/UTARA

Kompleks ini meliputi Gapura Gladag, Pangurakan, Alun-Alun Lor, dan Masjid Agung Surakarta. Gladag yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta. Dahulu kala, space area di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula-Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja). Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru.

Sebelah kiri Pagelaran Sasana Sumewa dan sebelah kanan Bagian dalam Pagelaran Sasana Sumewa

Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Masjid Agung Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III pada tahun 1750 (Kesunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu digunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton tempat kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat ditemui lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun sekarang digunakan sebagai kios penjual cenderamata. Di sebelah barat daya Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat dua gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Klewer dan Gapura Batangan.

2.      KOMPLEKS SASANA SUMEWA DAN KOMPLEKS SITI HINGGIL LOR/UTARA

Sasana Sumewa merupakan bangunan terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadapi para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya diberi nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat komplek Siti Hinggil.

Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berukuran 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester. Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat = rumah; sumewa = menghadap), fungsi Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun), ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik tahta, dan sebagainya.

Sebelah kri Tratag Bangsal Siti Hinggil Lor yang disebut Sasana Sewayana dan sebelah kanan Bangsal Witana dengan Krobongan Bale Manguneng di tengahnya.

Siti Hinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada salah satu anak tangga Siti Hinggil sisi utara terdapat sebuah batu yang dahulu digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima hukuman mati, disebut dengan Sela Pamecat.

Bangunan utama di kompleks Siti Hinggil ini adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam penyelenggaraan upacara kerajaan. Selain itu terdapat pula Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana peninggalan Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Kemudian di sebelah selatan terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki sebuah bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Sentomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Di sebelah timur Sasana Sewayana dan Witana, terdapat dua bangunan bangsal, yaitu Bangsal Gandekan Tengen di bagian utara, dan Bangsal Angun-Angun di bagian selatan. Sisi luar komplek timur-selatan-barat Siti Hinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (capit udang).

3.      KOMPLEKS KAMANDUNGAN LOR/UTARA

Kori Brajanala atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III dengan gaya Limasan Semar Tinandu. Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.

sebelah kiri Kori Brajanala Lor dilihat dari Kori Kamandungan Lor dan sebelah kanan Kawasan Kori Kamandungan Lor dan Balerata, serta Panggung Sangga Buwana di sisi selatannya.

Pada sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala di sebelah dalamnya terdapat dua Bangsal Wisamarta sebagai tempat jaga penjaga istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti.

Di atas Kori Kamandungan Lor/Utara terdapat gambar bendera merah putih (gendera gula klapa) dan bermacam senjata perang, di mana di tengah terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat gambar mahkota; gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja, yang merupakan simbol dari Keraton Mataram sebagai pendahulu. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat Balerata, yaitu los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan yang akan digunakan oleh Sri Sunan. Tempat ini juga berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton.

4.      KOMPLEKS SRI MANGANTI LOR/UTARA

Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan Lor. Di sisi depan kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Gendera Gula Klapa.

Nama Kori Sri Manganti berasal dari kata sri yang berarti raja dan manganti yang berarti menunggu, jadi kawasan ini berfungsi sebagai tempat para tamu menunggu giliran untuk bisa bertemu atau menghadap raja. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Marakata di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.

Pada zamannya Bangsal Marakata digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini juga menjadi tempat penampungan pangkat pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Kata marakata atau asmarakata sendiri memiliki arti sebagai dhawuh kang nengsemake, atau kata yang menyenangkan.


sebelah kiri Kori Sri Manganti dan Panggung Sangga Buwana dan sebelah kanan Bangsal Markukundha.

Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadapi para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirengga, sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai Kantor Wedana.

Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk mengawasi tentara Belanda yang ada di Benteng Vastenburg. Selain itu, bangunan ini memiliki fungsi spiritual yaitu sebagai tempat raja bermeditasi serta untuk tempat bertemunya raja dengan Kangjeng Ratu Kencana Hadisari alias Ratu Laut Selatan. Bangunan ini sempat terbakar pada 19 November 1954, lalu dibangun kembali dan selesai pada 30 September 1959.

5.      KOMPLEKS KEDHATON

Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV pada tahun 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Limasan Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, di antaranya adalah Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.

Bangsal Maligi tampak dari arah timur

Pendhapa Ageng Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana XII tepatnya pada tahun 1985 tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan, seperti saat garebeg, ulang tahun raja dan peringatan hari kenaikan tahta raja. Di sebelah barat pendhapa ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga kepergian Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertakhta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak di Siti Hinggil Lor.

Bagian dalam bangunan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, dilihat dari arah Bangsal Maligi.

Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner. Pada sisi tenggara Sasana Handrawina terdapat bangunan Sasana Pustaka yang menjadi tempat penyimpanan arsip dan naskah keraton. Di depan Sasana Handrawina (dari arah selatan) terdapat tiga bangunan kecil yaitu Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga Kidul/Bangsal Musik (untuk musik atau orkes) dan Bangsal Pradangga Lor (tempat memainkan gamelan). Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana atau Reksa Tengara.[4] Menara ini digunakan sebagai tempat hidup Sri Sunan sekaligus untuk mengawasi Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Panggung Sangga Buwana didirikan tahun 1777 saat pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III . Pembagun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat penunjuk arah angin berbentuk seseorang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai sengkala Naga Muluk Tinitihan Janma. Arti sengkala tersebut adalah tahun 1708 Jawa, tahun pembangunan menara.

Bagian dalam bangunan Sasana Handrawina

Bagian timur kompleks Kedhaton merupakan sebuah bangunan yang memanjang ke utara-selatan dengan halaman luas di tengah-tengahnya. Di masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana XII pada tahun 1963, bangunan tersebut difungsikan sebagai Museum Keraton Surakarta. Di sisi halaman museum terdapat sebuah sumur bernama Sumur Sanga. Sebelum dijadikan museum, kawasan ini pernah berfungsi sebagai tempat tinggal putra mahkota dan kantor-kantor administrasi kerajaan. Di sebelah selatan-tenggara museum terdapat kompleks Gandarasan yang merupakan dapur istana.


sebelah kiri Kawasan Museum Keraton Surakarta dan sebelah kanan Kawasan Taman Sari Bandengan

Di sebelah barat kawasan Kedhaton terdapat beberapa kompleks bangunan antara lain Sasana Putra, Sasana Narendra (kediaman resmi Sri Susuhunan Pakubuwana XIII), Keputren, serta Keraton Kilen (istana barat) atau secara lengkap bernama Keraton Kilen ing Prabasana yang dibangun pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana X .Area di bagian barat kawasan Kedhaton tersebut merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang terpublikasi sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Di belakang tempat tinggal keluarga Sri Sunan, terdapat Taman Sari Bandengan. Di kawasan tersebut, terdapat kolam buatan dan di tengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat rehabilitasi. Di pangkal kolam, terdapat sebuah tempat yang berisi batu meteor keramat serta tangga dari batu untuk menuju ke bangunan tempat tumbuh-tumbuhan. Di antara taman air dan bangunan tempat tinggal keluarga Sri Sunan, terdapat bukit yang dipenuhi rerumputan yang di atasnya berdiri bangunan paviliun kecil dengan terasnya. Tempat ini disebut Gunungan dan dipakai sebagai tempat istirahat Sri Sunan.

6.      KOMPLEKS KAMAGANGAN, SRI MANGANTI KIDUL/SELATAB, KAMANDUNGAN KIDUL/SELATAN. SERTA SITI HINGGIL KIDUL/SELATAN

Dari Kompleks Kedhaton ke arah selatan, terdapat Kori Sri Manganti Kidul yang merupakan akses utama menuju Kompleks Magangan atau Kamagangan. Di tempat ini terdapat sebuah pendhapa di tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang digunakan sebagai tempat pelatihan para calon pegawai kerajaan. Di sekeliling halaman ini terdapat kantor-kantor dan bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit, seperti keris, pedang, bedil, pistol, dan pakaian seragam prajurit untuk hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar Kori Kamandungan Kidul terdapat pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.

Kompleks terakhir, Siti Hinggil Kidul/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan Kyai Slamet. Kori Brajanala Kidul/Selatan memberikan akses ke kompleks Siti Hinggil Kidul. Siti Hinggil Kidul sendiri merupakan sebuah kompleks bangunan pendhapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dulu di sekitarnya terdapat empat meriam, dua di antaranya kemudian diambil pemerintah untuk Diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan kompleks Siti Hinggil Lor yang megah, kompleks Siti Hinggil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.


sebelah kiri Bangsal Magangan dan sebelah kanan Kori Brajanala Kidul.

Di sebelah selatan Siti Hinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul/Selatan, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-Alun Lor/Utara. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di daerah tersebut. Pada bagian ini terdapat dua buah bangunan yang salah satunya sebagai tempat disemayamkannya sebuah gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Sri Susuhunan Pakubuwana X menuju ke pemakaman Astana Imogiri.

Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama Gapura Gading. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladag. Pada tahun 1932, Sri Susuhunan Pakubuwana X, menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun Kidul dari arah barat dan timur. Gerbang ketiga di Alun-Alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendra.

E.     WARISAN BUDAYA

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Di antaranya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara Grebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malem Siji Sura (1 Sura). Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini, hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.

1.      GREBEG

Upacara Garebeg atau Grebeg menyelenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari tersebut Sri Sunan mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).

Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan sebelah ujung atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga menghiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.

2.      SEKATEN

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari untuk memperingati kelahahiran Nabi Muhammad. Konon asal usul upacara ini sudah ada sejak Kesultanan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Bahasa Jawa: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum pelaksanaan upacara sekaten yang sesungguhnya.

3.      KIRAB MUBENG BETENG ATAU MALAM SATU SURA

Malam 1 Sura (1 Muharram) dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam 1 Sura jatuh mulai terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kamandungan Lor melalui Kori Brajanala Lor kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kamandungan Lor. Dalam proses ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan posisinya di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan depan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino keturunan kerbau pusaka kesayangan Sri Susuhunan Pakubuwana II, Kyai Slamet, yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.

4.      PUSAKA (HEIRLOOM) DAN TARIAN-TARIAN SAKRAL

Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan di antaranya berupa singgasana Sri Sunan, perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara sekaten. Selain memiliki pusaka Keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh sakral tarekat adalah Tari Bedhaya Ketawang yang hanya dipentaskan pada saat pemamahkotaan dan hari peringatan kenaikan tahta Sri Sunan.

F.     PEMANGKU ADAT JAWA SURAKARTA

Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah tahun 1946 peran Keraton Surakarta tidak lebih hanya sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Takhta Adat, simbol dan pemimpin kebudayaan informal. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan pelindung identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas wilayah Kesunanan Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Sukoharjo). Selain itu Keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya budaya Jawa gaya Surakarta maupun perhatian dan sumbangsih mereka terhadap eksistensi Keraton Surakarta, di samping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai ( abdi dalem) keraton.

G.    GELAR KERAJAAN/KERATON KASUNANAN SURAKARTA

Gelar kebangsawanan Jawa adalah gelar di depan nama satu orang karena orang tersebut adalah keturunan raja atau panembahan atau pangeran atau bupati atau sunan atau wali di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, atau yang diberikan di depan nama satu orang karena orang tersebut menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta atau Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial Hindia Belanda, atau yang diberikan di depan nama satu orang karena orang tersebut dipandang berjasa kepada Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta atau Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Gelar kebangsawanan Jawa ini beririsan dengan gelar gelar kebangsawanan Cirebon, gelar kebangsawanan Sunda, dan gelar kebangsawanan Madura, sehingga sepintas lalu terlihat sama walaupun ada perbedaan. Contoh perjanjian di antara ketiganya adalah pemakaian gelar dasar Raden yang di Jawa Tengah dan Jawa Timur disingkat R. sedangkan di Jawa Barat disingkat Rd.. Contoh perbedaannya adalah pewarisan gelar kebangsawanan di daerah Mataram bisa melalui garis keturunan laki-laki atau garis keturunan perempuan atau disebut juga sistem bilateral, sedangkan di daerah Priangan walaupun secara tradisional kekerabatannya menganut sistem bilateral tetapi pewarisan gelar kebangsawanannya lebih condong ke garis keturunan laki-laki atau disebut juga sistem patrilineal.

Dalam kerangka gelar kebangsawanan Jawa maka yang dimaksud raja di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Raja Mataram Hindu, Raja Majapahit, Raja Demak, Raja Pajang, Raja Mataram Islam, Raja Surakarta, Raja Yogyakarta, Raja Bangkalan, dan Raja Sumenep. Dalam kerangka yang sama pula maka yang dimaksud pangeran di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Pangeran Adipati Mangkunegara, Pangeran Adipati Pakualam, Panembahan Bangkalan, dan Panembahan Sumenep.

Seiring perjalanan sejarah, Kerajaan Mataram Islam yang satu terpecah menjadi empat negara yaitu Kerajaan Surakarta, Kerajaan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. Surakarta dan Yogyakarta disebut kerajaan karena dipimpin oleh seorang raja. Dalam Bahasa Inggris, adalah kerajaan kerajaan dan raja adalah raja. Sedangkan Mangkunegaran dan Pakualaman disebut kadipaten karena dipimpin oleh seorang adipati. Dalam Bahasa Inggris, kadipaten adalah pangkat seorang duke atau duchy dan adipati adalah duke. Ada pula yang berpendapat bahwa Mangkunegaran dan Pakualaman disebut kepangeranan karena dipimpin oleh seorang pangeran. Dalam Bahasa Inggris, kepangeranan adalah princedom atau kepangeranan dan pangeran adalah pangeran. Karena Mangkunegara dan Pakualam adalah nama orang, maka bentukan kata sifat utamanya adalah dengan menambah akhiran -an sehingga menjadi Mangkunegaran dan Pakualaman.

Wilayah empat pecahan negara Kerajaan Mataram Islam itu disebut vorstenlanden, dari Bahasa Belanda yang berarti tanah pangeran. Sedangkan wilayah Pulau Jawa di luar vorstenlanden disebut gouvernement, dari Bahasa Belanda yang berarti pemerintah.

Pada dasarnya ada dua jenis bangsawan dalam tradisi Jawa, yaitu bangsawan keluarga raja dan bangsawan pejabat pemerintah. Konsep bahwa bangsawan adalah keluarga raja mencerminkan dari istilah dalam Bahasa Jawa untuk menyebut bangsawan yaitu priyayi yang berasal dari kata ‘para yayi’ yang berarti ‘para adik’ dimana adik yang dimaksud adalah adik raja, sehingga kata priyayi berarti para adik raja. Konsep ini meliputi pula kata Kyai yang berasal dari kata ‘kaki yayi’ yang berarti ‘adik laki-laki’ yaitu adik perempuan laki-laki raja dan kata Nyai yang berasal dari kata ‘nini yayi’ yang berarti ‘adik perempuan’ yaitu adik perempuan raja. Sementara itu para pejabat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan raja dan kerajaan juga diberi status sama dengan keluarga raja, dengan konsep bahwa melayani raja sebuah kerajaan adalah melayani kepala keluarga sebuah keluarga besar. Di kemudian hari ada juga orang yang bukan keluarga raja dan bukan pejabat pemerintah tetapi karena dianggap berjasa besar kepada raja atau negara atau masyarakat, maka diberi status bangsawan yang juga disamakan dengan keluarga raja.

Maka secara umum ada tiga jenis gelar kebangsawanan Jawa berdasarkan latar belakang yang diperolehnya :

*      Gelar keturunan, gelar ini diwariskan dari orangtua kepada anaknya secara otomatis karena hak kelahiran.

*      Gelar jabatan, gelar ini diberikan oleh Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunegara atau Adipati Pakualam atau pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada satu orang karena jabatan yang dipangku dalam pemerintahan.

*      Gelar kehormatan, gelar ini diberikan oleh Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunegara atau Adipati Pakualam atau pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada satu orang karena jasa kepada negara atau masyarakat.

Walaupun demikian banyak terdapat gelar yang merupakan irisan antara jenis gelar yang satu dengan jenis gelar yang lain. Contoh : Kanjeng Gusti Pangeran Harya (K.G.P.H.) merupakan irisan antara gelar keturunan, gelar jabatan, dan gelar kehormatan. Sebagai gelar keturunan, gelar tersebut hanya bisa diberikan kepada seorang putra raja; sebagai gelar jabatan, gelar tersebut adalah gelar jabatan untuk lurah pangeran yaitu kepala para pangeran; dan sebagai gelar kehormatan, gelar tersebut hanya diberikan setelah penerima gelar mencapai usia yang dianggap dewasa.

1.      ISTILAH YANG DIGUNAKAN

-          PENGUASA

Para penguasa Kerajaan Mataram Islam beberapa kali berganti gelar sebelum pecahnya perpecahan kerajaan. Raja pertama (Senapati) memakai gelar panembahan, raja kedua (Hanyakrawati) memakai gelar susuhunan, raja keempat (Hanyakrakusuma) awalnya memakai gelar susuhunan tetapi kemudian berganti menjadi sultan, raja kelima (Amangkurat I) sampai perpecahan terjadi (Pakubuwana III) memakai gelar susuhunan. Pembagian Kerajaan Mataram Islam menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta mewariskan pula pembagian gelar raja-rajanya. Raja Surakarta memakai gelar susuhunan atau disingkat menjadi sunan sedangkan Raja Yogyakarta memakai gelar sultan. Oleh karena itu maka Kerajaan Surakarta disebut juga Kasunanan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta disebut juga Kasultanan Yogyakarta. Kata ganti orang ketiga tunggal untuk menyebut Sunan Surakarta adalah “Sahandap Dalem” yang dalam Bahasa Melayu berarti “ke bawah duli”, sedangkan kata ganti orang ketiga untuk menyebut Sultan Yogyakarta adalah “Ngarsa Dalem” yang dalam Bahasa Melayu berarti “ke hadapan duli” .

Penguasa Mangkunagaran dan penguasa Pakualaman adalah pangeran adipati yang secara teknis dua tingkat di bawah raja atau satu tingkat di bawah putra mahkota kerajaan. Karena dua penguasa tersebut adalah pangeran adipati, maka secara singkat masing-masing bisa disebut dengan gelar pangeran atau adipati. Kata ganti orang ketiga tunggal untuk menyebut Adipati Mangkunegaran atau Adipati Pakualaman adalah “Sri Paduka”.

 

Gelar dan nama lengkap para penguasa tersebut tanpa menyebut urutan adalah :

·         Kerajaan Surakarta

§  Selain Sunan Pakubuwana X : Sahandap Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayiddin Panatagama Khalifatullah.

§  Sunan Pakubuwana X : Sahandap Dalem Sampeyan Dalem ingkang Minulya saha ingkang Wicaksana Kangjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayiddin Panatagama Khalifatullah.

 

·         Kerajaan Yogyakarta

§  Tahun 1755 – 2015 : Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayiddin Panatagama Khalifatullah.

§  Sejak tahun 2015 : Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawana Suryaning Mataram Senapati ing Ngalaga Langgeng ing Bawana Langgeng Langgeng ing Tata Panatagama.

 

·         Kadipaten Mangkunegaragaran

§  Sebelum berusia 40 tahun menurut Kalender Jawa : Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwadana.

§  Sesudah itu berumur 40 tahun menurut Kalender Jawa : Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangku Nagara Senapati ing Hayuda.

 

·         Kadipaten Pakualaman

§  Sebelum berusia 40 tahun menurut Kalender Jawa : Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Suryadilaga.

§  Sesudah itu berumur 40 tahun menurut Kalender Jawa : Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam.

-          ISTRI PENGUASA

Raja perempuan atau rani terakhir di Pulau Jawa adalah Suhita, Maharani Majapahit (1429 - 1447) yang pensiun dari ayahnya yaitu Wikramawarddhana dan dia pun memerintah bersama dengan suaminya yaitu Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Sejak kematian Suhita tidak ada lagi perempuan di Pulau Jawa yang telah meninggalkan kerajaan dari orangtuanya.

Tradisi Jawa mengakui legalitas poligini dimana satu laki-laki bisa memiliki lebih dari satu istri pada waktu yang sama dengan jumlah istri tidak dibatasi berapa orang. Pada zaman dahulu praktik poligini ini umum dilakukan oleh para penguasa daerah (raja atau pangeran), penguasa lokal (bupati atau wadana), ataupun keturunannya. Di antara banyak istri para penguasa tersebut, ada satu sampai empat orang yang mendapat kedudukan istimewa sebagai istri utama yang berhak untuk mendampingi suami pada upacara kenegaraan dan anak laki-laki yang lahir lebih berhak menjadi pewaris jabatan suami. Istri atau istri-istri utama ini disebut garwa prameswari atau garwa padmi, atau dalam bahasa Indonesia disebut istri permaisuri. Seorang istri permaisuri umumnya harus berasal dari keluarga bangsawan tinggi atau keturunan penguasa pada masa-masa sebelumnya, walaupun bisa juga berasal dari keluarga bangsawan rendah atau bahkan keturunan rakyat biasa. Sedangkan istri atau istri-istri lain lebih bertanggung jawab dalam hal internal kehidupan pribadi suami. Istri atau istri-istri lain ini disebut garwa ampeyan atau garwa ampil, atau dalam bahasa Indonesia disebut istri selir. Seorang istri selir umumnya berasal dari keluarga bangsawan rendah atau keturunan rakyat biasa. Karena kebiasaan poligini semakin hilang di antara keluarga raja, keluarga adipati, dan masyarakat Jawa secara umum maka di masa depan gelar-gelar yang berhubungan dengan istri selir atau keturunannya akan punah.

-          KETURUNAN

Tradisi Jawa mengenal istilah-istilah untuk menyebut keturunan hingga beberapa generasi ke bawah. Dalam praktiknya istilah ini juga diterapkan untuk menyebut nenek moyang hingga beberapa generasi ke atas dengan hitungan yang sama. Dalam dokumen resmi maupun tidak resmi, kata “grad” yang adalah serapan dari Bahasa Belanda juga digunakan dalam Bahasa Jawa untuk menyebut keturunan. Konsep keturunan ini perlu dipahami dalam kaitan dengan gelar keturunan.

Istilah untuk keturunan dalam tradisi Jawa yaitu :

·         Keturunan pertama disebut anak (bahasa Jawa Krama : putra), dalam bahasa Indonesia disebut anak.

·         Keturunan kedua disebut putu (bahasa Jawa Krama : wayah), dalam bahasa Indonesia disebut cucu.

·         Keturunan ketiga disebut buyut, dalam bahasa Indonesia disebut cicit.

·         Keturunan keempat disebut canggah, dalam bahasa Indonesia disebut piut.

·         Keturunan kelima disebut warèng, dalam bahasa Indonesia disebut anggas.

·         Keturunan keenam disebut udeg-udeg.

·         Keturunan ketujuh disebut gantung siwur.

·         Keturunan kedelapan disebut gropak sénthé.

·         Keturunan kesembilan disebut debog bosok.

·         Keturunan kesepuluh disebut galih asem.

Catatan : Kata putra dalam Bahasa Jawa Krama bisa bermakna ganda tergantung konteks kalimat, arti pertama adalah anak dan arti kedua adalah anak laki-laki. Jika kata putra digunakan dalam arti anak, maka anak laki-laki disebut putra kakung dan anak perempuan disebut putra pawestri. Jika kata putra digunakan dalam arti anak laki-laki maka anak perempuan disebut putri. Makna kedua ini yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia.

-          GELAR LAMA

·         Gelar lama untuk raja: Prabu.

·         Gelar lama untuk laki-laki: Bagus, Harya, Jaka, Kenthol, Panji, dan Raden.

·         Gelar lama untuk perempuan: Dewi, Rara, dan Ratna.

 

-          GELAR BARU

·         Gelar baru untuk raja: Panembahan, Sultan, dan Sunan.

·         Gelar baru untuk laki-laki: Ki, Kyai, Mas, dan Pangeran.

·         Gelar baru untuk perempuan: Ajeng, Ayu, Bok, Nyi, Nyai, Nganten, Putri, dan Ratu.

 

-          GELAR LAIN

·         Gelar untuk bangsawan tinggi: Bendara, Gusti, dan Kangjeng.

·         Gelar untuk pejabat: Adipati, Demang, Ngabehi, Riya, Rongga, Tumenggung, dan Wadana.

 

-          EJAAN GELAR

Perbedaan cara menulis dan cara membaca antara Bahasa Jawa dalam Aksara Jawa dengan Bahasa Jawa dalam Aksara Latin mengakibatkan variasi cara penulisan gelar atau jabatan :

·         Ajeng ditulis sebagai Hajeng.

·         Ayu ditulis sebagai Hayu.

·         Bok dibaca sebagai mBok.

·         Bandara dibaca sebagai Bendara atau Bendoro.

·         Harya dibaca sebagai Haryo atau Arya atau Aryo.

·         Kaliwon dibaca sebagai Keliwon atau Kliwon.

·         Kangjeng dibaca sebagai Kanjeng.

·         Kyai ditulis sebagai Kyahi.

·         Nyai ditulis sebagai Nyahi.

·         Rara dibaca sebagai Roro.

·         Riya dibaca sebagai Riyo.

·         Rongga dibaca sebagai Rangga atau Ronggo.

·         Wadana dibaca sebagai Wedana atau Wedono.

 

-          SINGKATAN GELAR

Akibat semakin panjangnya gelar maka dalam Aksara Jawa dan Aksara Latin muncul singkatan untuk setiap kata gelar, namun tidak semua gelar memiliki singkatan. Karena pendeknya maka kata gelar Ki dan Nyi tidak pernah disingkat. Artikel ini menggunakan singkatan gelar yang umum digunakan (e.g. B. singkatan dari kata Bandara) kecuali jika menimbulkan lebih dari satu makna (e.g. P. singkatan dari kata Panji atau Pangeran atau Panembahan atau Putri). Penulisan singkatan dalam artikel ini mengikuti tradisi Ejaan van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi yang memperlakukan gelar sama dengan nama dimana singkatan adalah huruf besar huruf pertama diikuti tanda baca titik atau huruf besar huruf pertama diikuti huruf kecil sebagai pembeda diikuti tanda baca titik.

Kata gelar dan singkatannya yaitu :

·         Adipati disingkat Ad.

·         Ajeng disingkat A.

·         Ayu disingkat Ay.

·         Bandara disingkat B.

·         Bok disingkat Bk.

·         Demang disingkat D.

·         Gusti disingkat G.

·         Harya disingkat H.

·         Kangjeng disingkat K.

·         Kyai disingkat Ky.

·         Mas disingkat M.

·         Ngabehi disingkat Ng.

·         Nganten disingkat Ngt.

·         Nyai disingkat Ny.

·         Panji disingkat Pj.

·         Pangeran disingkat P.

·         Panembahan disingkat Pn.

·         Putri disingkat Pt.

·         Raden disingkat R.

·         Rara disingkat Rr.

·         Ratu disingkat Rt.

·         Riya disingkat Ry.

·         Rongga disingkat Rg.

·         Tumenggung disingkat T.

·         Wadana disingkat W.

 

2.      SEJARAH

Tradisi Jawa biasa menyebut nama seseorang dengan didahului awalan atau sebutan yang disesuaikan dengan status sosial (misalnya pada zaman dahulu Kyai Anu, Nyai Anu, Ki Anu, Nyi Anu) atau hubungan kekerabatan dalam keluarga (misalnya pada zaman sekarang Pakdhe Anu, Budhe Anu, Mas Anu, Bak Anu). Bersamaan dengan kebiasaan ini berkembang pula gelar kebangsawanan yang selalu diletakkan di depan nama, dari yang sederhana hanya satu kata (e.g. Harya / Haryo / Arya / Aryo) hingga akhirnya menjadi rumit mencapai maksimal enam kata (i.e. Kangjeng Raden Mas Riya Harya Panji). Karena kebiasaan ini pula, maka ada juga padanan gelar bagi rakyat biasa (mis. Mas adalah sebutan dasar untuk keturunan rakyat biasa, sedangkan Raden adalah gelar dasar untuk keturunan bangsawan).

 

Setelah dianggap sudah mencapai usia dewasa yaitu setelah disunat atau sekira usia 15 tahun atau sewaktu-waktu sebelum menikah biasanya para putra raja dilantik menjadi pangeran untuk memegang jabatan tertentu di kerajaan. Namun di kemudian hari bukan hanya putra raja saja yang dilantik menjadi pangeran. Atas kehendak pribadi raja, maka keturunan dekat raja, keturunan jauh raja, bahkan rakyat biasa dapat diberi gelar pangeran.

Ada empat jenis pangeran berdasarkan variasi dekat jauhnya hubungan keluarga dengan raja, yaitu :

Ø  Pangeran putra, yaitu status pangeran untuk para putra raja.

Ø  Pangeran wayah, yaitu status pangeran untuk para cucu raja.

Ø  Pangeran santana, yaitu status pangeran untuk para cicit raja, piut raja, anggas raja, dan menantu raja.

Ø  Pangeran sengkan, yaitu status pangeran untuk para keturunan jauh raja atau rakyat biasa.

Perpecahan dalam Kerajaan Mataram Islam menghasilkan dua jenis status untuk pangeran berdaulat, yaitu :

Ø  Pangeran miji, yaitu status pangeran berdaulat yang dalam banyak hal penting masih tunduk kepada kerajaan induknya (misalnya tidak bisa menjatuhkan hukuman mati dan tidak bisa melantik pangeran berdaulat tanpa sepengetahuan kerajaan induk). Pangeran Adipati Mangkunegara adalah pangeran miji dalam Kerajaan Surakarta sejak disepakatinya perdamaian antara Nicolaas Hartingh sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, K.R.Ad. Danureja I sebagai perdana menteri Kerajaan Yogyakarta, dan Mangkunegara I sebagai pemimpin pemberontakan pada tanggal 17 Maret 1757 sampai penandatanganan kontrak politik antara Mangkunegara VI sebagai Adipati Mangkunegaran dan Louis Thomas Hora Siccama sebagai Residen Surakarta pada tanggal 4 November 1896.

Ø  Pangeran mardika, yaitu status pangeran berdaulat yang dalam banyak hal penting sudah bebas dari kerajaan induknya (misalnya bisa menjatuhkan hukuman mati dan bisa melantik pangeran berdaulat tanpa sepengetahuan kerajaan induk). Pangeran Adipati Mangkunagara adalah pangeran mardika dari Kerajaan Surakarta sejak penandatanganan kontrak politik antara Mangkunagara VI sebagai Adipati Mangkunagaran dan Louis Thomas Hora Siccama sebagai Residen Surakarta pada tanggal 4 November 1896 yang kemudian diteguhkan oleh Carel Herman Aart van der Wijck sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 13 Nopember 1896.

Sejak tanggal 4 November 1896 itulah Pangeran Adipati Mangkunegara menjadi pangeran mardika dari Kerajaan Surakarta sekaligus menjadi pangeran miji dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Berbeda dengan Pangeran Adipati Pakualam yang sejak berdaulat pada tanggal 17 Maret 1813 menjadi pangeran mardika dari Kerajaan Yogyakarta sekaligus menjadi pangeran miji dalam pemerintahan kolonial Hindia Inggris yang kemudian menjadi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Perubahan gelar akibat usia atau status pernikahan juga berlaku untuk keturunan jauh raja. Gelar Raden Bagus (R.Bg.) seorang laki-laki akan berubah menjadi Raden (R.) jika dia dianggap sudah mencapai usia dewasa yaitu sekira usia 15 tahun atau sudah menikah. Gelar Raden Rara (R.Rr.) seorang perempuan akan berubah menjadi Raden Nganten (R.Ngt.) jika dia sudah menikah. Di beberapa daerah gelar Raden Nganten (R.Ngt.) hanya diperuntukkan bagi seorang Raden Rara (R.R.) yang baru menikah, sedangkan jika pernikahannya sudah lama berlalu atau sudah melahirkan anak maka gelarnya berubah menjadi Raden (R.). Tetapi hal seperti ini hanya menonjolkan lokal karena secara umum tradisi Jawa membedakan gelar atau sebutan antara laki-laki dengan perempuan.

Umumnya nama diri seorang perempuan dipakai hanya selama perempuan tersebut belum menikah. Jika seorang perempuan sudah menikah maka nama yang dipakai adalah nama suaminya dengan gelar perempuan sebagai pembeda. Contoh : Seorang perempuan bernama Tina menikah dengan seorang laki-laki bernama Budi, maka Tina disebut Ibu Budi atau Bu Budi sedangkan Budi disebut Bapak Budi atau Pak Budi. Tradisi ini juga berlaku dalam konteks gelar kebangsawanan Jawa. Seorang perempuan yang sudah menikah bukan hanya memakai nama suaminya tetapi juga gelar suaminya, dengan catatan bahwa perempuan tersebut berstatus sebagai istri permaisuri yang dipandang setara atau pantas untuk memakai nama suaminya dan gelar jabatan suaminya atau gelar kehormatan suaminya. Gelar jabatan atau gelar kehormatan pihak suami boleh dipakai pihak istri hanya jika nama suami juga dipakai. Contoh : Raden Ajeng Kartini (R.A. Kartini) menikah dengan Raden Mas Adipati Harya Singgih Jayaadiningrat (R.M.Ad.H. Singgih Jayaadiningrat), maka gelarnya dan atau namanya berubah menjadi Raden Ayu Jayaadiningrat atau Raden Ayu Adipati Harya Jayaadiningrat atau Raden Ayu Kartini atau Raden Ayu Kartini Jayaadiningrat atau Raden Ayu Adipati Harya Kartini Jayaadiningrat.

Usaha standarisasi gelar pertama kali dilakukan oleh Panembahan Senapati yang menentukan bahwa gelar Raden (R.) hanya diperuntukkan bagi keturunan raja. Sunan Amangkurat IV sebagimana dikutip dalam Angger Awisan dari Sunan Pakubuwana IV menentukan bahwa piut raja yang bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) hanya piut raja yang adalah cucu atau cicit pangeran, sedangkan piut raja yang bukan cucu atau cicit pangeran hanya memakai gelar Raden Bagus (R.Bg.) atau Raden Rara (R.Rr.). Peraturan ini diubah pada tahun 1852 oleh Sunan Pakubuwana VII sehingga semua piut raja dan semua cicit Adipati Mangkunegara bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.).

Kerajaan Yogyakarta mengeluarkan peraturan yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 18 tahun 1927 yang menentukan bahwa semua piut raja bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.). Peraturan ini sempat dibahas dalam surat kabar Kajawen tanggal 27 September 1930 yang membandingkan bahwa gelar Raden (R.) di Kerajaan Surakarta berhenti sampai di anggas raja sesuai peraturan tradisional dalam Serat Raja Kapa-kapa sedangkan gelar Raden (R.) di Kerajaan Yogyakarta bisa diwariskan tanpa henti asalkan masih keturunan raja.

Kadipaten Mangkunegaran mengeluarkan peraturan nomor 5 tanggal 15 Oktober 1935 yang menentukan bahwa semua piut adipati bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.). Peraturan ini diperkuat oleh Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 31 tanggal 30 September 1936 dalam Lembaran Negara nomor 13711 yang menentukan bahwa gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) dibatasi sampai piut Raja Surakarta, Raja Yogyakarta, Adipati Mangkunagara, dan Adipati Pakualam . Dekrit ini membatalkan Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 1840/AI tanggal 9 Agustus 1929 yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 12082 mengenai pewarisan gelar Raden (R.) di Pulau Jawa dan Pulau Madura, dan Surat Sekretaris Negara Hindia Belanda nomor 1856/AI tanggal 18 Agustus 1930 yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 12375 mengenai gelar Harya (H.) dan Panji (Pj.) untuk bangsawan Madura.

Di kemudian hari peraturan yang berbeda-beda dari instansi yang berbeda-beda pula ini menimbulkan legalitas bahkan pertikaian karena Kerajaan Surakarta berpandangan bahwa Raja Surakarta satu tingkat lebih tinggi daripada Adipati Mangkunegara dan Adipati Pakualam. Oleh karena itu jika piut Adipati Mangkunegara dan Adipati Pakualam bisa memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) maka seharusnya anggas Raja Surakarta bisa memakai gelar yang sama. Maka pada tanggal 25 Januari 1938 Sunan Pakubuwana X melalui Patih Jayanagara dalam peraturan nomor 1C/4/I yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 3 tanggal 1 Februari 1938 membangun bahwa semua anggas raja dapat memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) .

Secara teknis perubahan gelar ini terjadi dengan sendirinya pada saat peraturan terbaru ditetapkan. Tetapi secara administrasi perubahan gelar harus dimohonkan kepada pejabat yang pemerintahan. Maka kepatihan Kerajaan Surakarta menetapkan peraturan nomor 3 C/3/II tanggal 19 Februari 1938 yang menentukan bahwa proses permohonan gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden Ajeng (R.A.) mengikuti peraturan nomor 35C/1/I tanggal 12 Agustus 1931 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 16 tanggal 15 Agustus 1931 yang berlaku untuk proses permohonan gelar Raden (R.) atau Raden Rara (R.Rr.).

Sebelum sekitar tahun 1940 seorang bangsawan Kerajaan Surakarta wajib melepas sebagian gelar keturunan jika ditunjuk untuk jabatan sebagai petugas kerajaan dengan gelar jabatan. Contoh : gelar seorang Raden Mas Harya (R.M.H.) yang diberi jabatan panewu berubah menjadi Raden Ngabehi (R.Ng.) dan gelar seorang Raden Mas Harya (R.M.H.) yang diberi jabatan bupati anom berubah menjadi Raden Tumenggung (R.T.). Peraturan ini diubah sekitar tahun 1940 oleh Sunan Pakubuwono XI yang membolehkan bangsawan Surakarta menangkap sebagian besar atau seluruh gelar keturunan dengan gelar jabatan. Contoh : gelar seorang Raden Mas Harya (R.M.H.) yang diberi jabatan panewu berubah menjadi Raden Mas Ngabehi (R.M.Ng.) dan gelar seorang Raden Mas Harya (R.M.H.) yang diberi jabatan bupati anom berubah menjadi Raden Mas Tumenggung Harya (R.M.T.H.).

Secara umum pangkat bangsawan ditentukan dari kata kunci gelar, bukan berdasarkan panjang atau pendeknya gelar. Kata kunci urutan keturunan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah Gusti (G.), Bandara (B.), Raden (R.), dan Mas (M.). Selain berdasarkan urutan keturunan, pangkat dalam jabatan pemerintah juga menentukan pangkat bangsawan. Contoh : pangkat seorang Harya Tumenggung (H.T.) lebih tinggi dari seorang Tumenggung (T.) dan pangkat seorang Tumenggung (T.) lebih tinggi daripada seorang Ngabehi (Ng.).

3.     GELAR KETURUNAN

Peraturan mengenai gelar keturunan mengalami beberapa kali perubahan sejak sebelum pecahnya Kerajaan Mataram Islam sampai awal abad keduapuluh. Setelah perpecahan pun masing-masing kerajaan dan kadipaten menetapkan peraturan yang berbeda perincian mengenai gelar keturunan, sehingga untuk menilai status seseorang berdasarkan gelar keturunannya perlu dilihat latar belakang orang tersebut apakah dari keluarga Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunegaran atau Adipati Pakualaman atau daerah luar vorstenlanden . Peraturan mengenai gelar keturunan Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta berlaku gelombang, sehingga berlaku juga untuk keturunan Raja Mataram Islam di Kota Gede, Plered, dan Kartasura, keturunan Raja Pajang, keturunan Raja Demak, dan keturunan Raja Majapahit.

          I.            GELAR LAMA

-          GELAR LAMA KETURUNAN DI KERATON SURAKARTA

Sunan Amangkurat IV sebagimana dikutip dalam Angger Awisan dari Sunan Pakubuwana IV menentukan peraturan mengenai gelar bagi keturunan raja, perdana menteri, bupati, kaliwon, panewu, dan mantri. Gelar keturunan raja dipengaruhi oleh jarak keturunan dari raja dan jarak keturunan dari pangeran. Sedangkan gelar keturunan perdana menteri, bupati, kaliwon, panewu, dan mantri yang berasal dari keturunan rakyat biasa dipengaruhi oleh status kebangsawanan ibunya yaitu istri para pejabat tersebut.

-          GELAR LAMA KETURUNAN RAJA UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Mas Gusti (R.M.G.) adalah gelar untuk putra raja dari istri permaisuri.

·         Bandara Raden Mas (B.R.M.) adalah gelar untuk putra raja dari istri selir dan putra pangeran putra dari istri permaisuri.

·         Bandara Raden Mas Panji (B.R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra bukan sulung pangeran putra dari istri permaisuri setelah dewasa dan putra bukan sulung pangeran wayah dari istri permaisuri setelah dewasa.

·         Bandara Raden Mas Harya (B.R.M.H.) adalah gelar untuk putra sulung pangeran wayah dari istri permaisuri setelah dewasa.

·         Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra pangeran putra dari istri selir, cicit raja, dan piut raja yang adalah cucu pangeran.

·         Raden Mas Harya (R.M.H.) adalah gelar untuk putra sulung pangeran putra dari istri selir setelah dewasa.

·         Raden Mas Panji (R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra bukan sulung pangeran putra dari istri selir setelah dewasa, putra pangeran wayah dari istri selir setelah dewasa, dan cicit raja yang bukan putra pangeran setelah dewasa.

·         Raden Panji (R.Pj.) adalah gelar untuk piut raja yang adalah cucu pangeran setelah dewasa.

·         Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran dan anggas raja yang adalah piut pangeran.

·         Raden (R.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran setelah dewasa, anggas raja setelah dewasa, dan gelar naik untuk udeg-udeg raja.

·         Mas Bagus (M.Bg.) adalah gelar untuk anggas raja yang bukan piut pangeran.

·         Mas (M.) adalah gelar untuk udeg-udeg dan gantung siwur raja setelah dewasa.

·         Bagus (Bg.) adalah gelar untuk gantung siwur dan gropak sentthe raja.

·         Apakah itu sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya.

·         Ki adalah sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya setelah dewasa.

·         Kyai (Ky.) adalah varian sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan setelah dewasa.

·         Ki Mas adalah sebutan naik untuk Ki.

·         Kyai Mas (Ky.M.) adalah sebutan naik untuk Kyai (Ky.).

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN RAJA UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA

·         Gusti Raden Ayu (G.R.Ay.) adalah gelar untuk putri raja dari istri permaisuri yang belum menikah dan putri bukan sulung raja dari istri selir yang sudah menikah.

·         Bandara Raden Ajeng (B.R.A.) adalah gelar untuk putri raja dari istri selir yang belum menikah dan putri pangeran putra dari istri permaisuri yang belum menikah.

·         Bandara Raden Ayu (B.R.Ay.) adalah gelar untuk putri pangeran putra dari istri permaisuri yang sudah menikah dan putri pangeran putra dari istri selir yang menikah dengan pangeran.

·         Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk pangeran putri putra dari istri selir yang belum menikah, cicit raja yang belum menikah, dan piut raja yang adalah cucu pangeran yang belum menikah.

·         Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk pangeran putri putra dari istri selir yang sudah menikah, cicit raja yang sudah menikah, dan piut raja yang adalah cucu pangeran yang sudah menikah.

·         Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran yang belum menikah.

·         Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk piut raja yang bukan cucu pangeran yang sudah menikah, anggas raja yang sudah menikah, dan gelar naik untuk udeg-udeg raja.

·         Mas Rara (M.Rr.) adalah gelar untuk anggas raja yang bukan piut pangeran yang belum menikah dan udeg-udeg raja yang belum menikah.

·         Mas Nganten (M.Ngt.) adalah gelar untuk udeg-udeg dan gropak sentthe raja yang sudah menikah.

·         Bok Rara (Bk.Rr.) adalah gelar untuk gantung siwur dan gropak sentthe raja yang belum menikah.

·         Bok Mas (Bk.M.) adalah gelar untuk gantung siwur raja yang sudah menikah dan gelar naik untuk Mas Nganten (M.Ngt.) gropak sentthe raja.

·         Mas Ajeng (M.A.) adalah gelar naik untuk Bok Rara (Bk.Rr.).

·         Mas Ayu (M.Ay.) adalah gelar naik untuk Bok Mas (Bk.M.).

·         Si adalah sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya yang belum menikah.

·         Nyi adalah sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya yang sudah menikah.

·         Nyai (Ny.) adalah varian sebutan untuk debog bosok raja dan keturunan berikutnya yang telah menikah.

·         Nyi Ajeng adalah sebutan naik untuk Nyi.

·         Nyai Mas (Ny.M.) adalah sebutan naik untuk Nyai (Ny.).

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN PERDANA MENTERI UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri yang adalah putri, cucu, atau cicit raja; dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri permaisuri.

·         Bandara Raden Mas Harya (B.R.M.H.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri yang adalah putri raja setelah dewasa.

·         Raden Mas Panji (R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri yang adalah cucu atau cicit raja setelah dewasa.

·         Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri keturunan rakyat biasa dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri selir.

·         Raden (R.) adalah gelar untuk putra perdana menteri dari istri keturunan rakyat biasa setelah dewasa dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri selir setelah dewasa.

·         Raden Panji (R.Pj.) adalah gelar untuk cucu perdana menteri dari menantu yang merupakan istri permaisuri setelah dewasa.

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN PERDANA MENTERI UNTUK PEREMPUAN DI KERAJAAN SURAKARTA

·         Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri yang adalah putri, cucu, atau raja kota yang belum menikah; dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri permaisuri yang belum menikah.

·         Bandara Raden Ayu (B.R.Ay.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri yang adalah putri raja yang sudah menikah.

·         Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri yang adalah cucu atau cicit raja yang sudah menikah, putri perdana menteri dari istri keturunan rakyat biasa yang menikah dengan pangeran atau bupati, dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri permaisuri yang sudah menikah.

·         Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri keturunan rakyat biasa yang belum menikah dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri selir yang belum menikah.

·         Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri perdana menteri dari istri keturunan rakyat biasa yang sudah menikah dan cucu perdana menteri dari menantu yang adalah istri selir yang sudah menikah.

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN BUPATI UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra bupati dari istri yang adalah putri, cucu, cicit, atau piut raja.

·         Raden Mas Panji (R.M.Pj.) adalah gelar untuk putra bupati cicit atau piut raja dari istri yang adalah putri raja setelah dewasa.

·         Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra bupati dari istri keturunan rakyat biasa.

·         Raden (R.) adalah gelar untuk putra bupati dari istri keturunan rakyat biasa setelah dewasa.

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN BUPATI UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri yang adalah putri, cucu, cicit, atau piut raja yang belum menikah.

·         Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri yang adalah putri, cucu, cicit, atau piut raja yang sudah menikah.

·         Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri keturunan rakyat biasa yang belum menikah.

·         Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri bupati dari istri keturunan rakyat biasa yang sudah menikah.

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN KALIWON UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra kaliwon cucu atau cicit raja dari istri yang juga cucu atau cicit raja dan putra kaliwon biasa dari istri yang adalah putri pangeran rakyat.

·         Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra kaliwon dari istri keturunan rakyat biasa.

·         Raden (R.) adalah gelar untuk putra kaliwon dari istri keturunan rakyat biasa setelah dewasa.

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN KALIWON UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri kaliwon cucu atau cicit raja dari istri yang juga cucu atau cicit raja yang belum menikah dan putri kaliwon rakyat biasa dari istri yang adalah putri pangeran yang belum menikah.

·         Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri kaliwon cucu atau cicit raja dari istri yang juga cucu atau cicit raja yang sudah menikah, putri kaliwon rakyat biasa dari istri yang adalah putri pangeran yang sudah menikah, dan gelar naik untuk putri kaliwon rakyat biasa dari istri yang adalah putri riya atau panji yang sudah menikah.

·         Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri kaliwon dari istri keturunan rakyat biasa yang belum menikah.

·         Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri kaliwon dari istri keturunan rakyat biasa yang sudah menikah.

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN PANEWU UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk putra panewu dan mantri dari istri yang adalah putri pangeran.

·         Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk putra panewu dan mantri dari istri yang adalah putri riya atau panji.

·         Raden (R.) adalah gelar untuk putra panewu dan mantri dari istri yang adalah putri pangeran atau riya atau panji setelah dewasa.

·         Mas Bagus (M.Bg.) adalah gelar untuk putra panewu dan mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat biasa.

·         Mas (M.) adalah gelar untuk putra panewu dan mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat biasa setelah dewasa.

 

-          GELAR LAMA KETURUNAN PANEWU UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk putri panewu dan mantri dari istri yang adalah putri pangeran yang belum menikah.

·         Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk putri panewu dan mantri dari istri yang adalah putri pangeran yang sudah menikah.

·         Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk putri panewu dan mantri dari istri yang adalah putri riya atau panji yang belum menikah.

·         Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk putri panewu dan mantri dari istri yang adalah putri riya atau panji yang sudah menikah.

·         Mas Rara (M.Rr.) adalah gelar untuk putri panewu dan mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat biasa yang belum menikah.

·         Mas Nganten (M.Ngt.) adalah gelar untuk putri panewu dan mantri keturunan rakyat biasa dari istri yang juga keturunan rakyat biasa yang sudah menikah.

-          GELAR LAMA KETURUNAN TERKAIT JABATAN DI KERATON SURAKARTA

·         Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk cucu raja yang ditujukan sebagai wadana, kaliwon, panewu, mantri, atau lurah; dan cicit raja yang pergi sebagai wadana atau kaliwon.

·         Raden (R.) adalah gelar untuk cicit, piut, dan anggas raja yang diusulkan sebagai panewu atau mantri; cicit dan piut raja atau putra, cucu, dan cicit perdana menteri atau putra bupati yang menjabat sebagai lurah; dan cicit dan piut raja yang menjadi jajar.

·         Ki Raden adalah gelar untuk anggas raja yang diusulkan sebagai lurah atau jajar.

·         Mas (M.) adalah gelar untuk rakyat biasa yang diperluas sebagai panewu atau mantri; dan udeg-udeg raja, piut perdana menteri, cucu bupati, dan putra kaliwon yang bertugas sebagai lurah.

·         Ki Mas adalah gelar untuk anggas perdana menteri, cicit bupati, cucu kaliwon, dan putra panewu atau mantri yang menjabat sebagai lurah; dan putra panewu atau mantri yang melahirkan sebagai jajar.

·         Ki adalah gelar untuk rakyat biasa yang berperan sebagai lurah; dan putra lurah, putra bekel, dan putra jajar yang membelah sebagai jajar.

 

        II.            GELAR BARU KETURUNAN DI KERATON SURAKARTA

Ketetapan Kerajaan nomor 1C/4/I tanggal 25 Januari 1938 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 3 tanggal 1 Februari 1938 menentukan bahwa gelar Raden Bagus (R.Bg.) atau Raden (R.) dan Raden Rara (R.Rr) atau Raden Nganten (R.Ngt.) dimulai dari udeg-udeg raja sampai keturunan berikutnya tanpa batas melalui garis keturunan laki-laki atau garis keturunan perempuan.

-          GELAR BARU KETURUNAN RAJA UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Gusti Raden Mas (G.R.M.) adalah gelar untuk putra raja dari istri permaisuri.

·         Bandara Raden Mas (B.R.M.) adalah gelar untuk putra raja dari istri selir dan cucu raja dari putra mahkota.

·         Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Raden Bagus (R.Bg.) adalah gelar untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya yang belum menikah.

·         Raden (R.) adalah gelar untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya yang telah menikah.

-          GELAR BARU KETURUNAN RAJA UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA

·         Gusti Raden Ajeng (G.R.A.) adalah gelar untuk putri raja dari istri permaisuri yang belum menikah.

·         Gusti Raden Ayu (G.R.Ay.) adalah gelar untuk putri raja dari istri permaisuri yang sudah menikah.

·         Bandara Raden Ajeng (B.R.A.) adalah gelar untuk putri raja dari istri selir yang belum menikah.

·         Bandara Raden Ayu (B.R.Ay.) adalah gelar untuk putri raja dari istri selir yang sudah menikah.

·         Raden Ajeng (R.A.) adalah gelar untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja yang belum menikah.

·         Raden Ayu (R.Ay.) adalah gelar untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja yang sudah menikah.

·         Raden Rara (R.Rr.) adalah gelar untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya yang belum menikah.

·         Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya yang telah menikah.

     III.            GELAR JABATAN DI KERATON SURAKARTA

Secara umum pejabat tinggi istana atau pejabat negara di Kerajaan Mataram Islam berurutan dari yang terendah sampai yang tertinggi yaitu : jajar, bekel, lurah, mantri, panewu, kaliwon, wadana, bupati, bupati nayaka, dan perdana menteri atau patih kerajaan. Jabatan jajar, bekel, lurah, dan demang tidak mempunyai gelar khusus sehingga seorang jabatan pada jabatan tersebut disapa dengan gelar keturunan diikuti nama jabatan (e.g. Mas Jajar, Raden Jajar, Mas Bekel, Raden Bekel, Mas Lurah, Raden Lurah, Mas Demang, Raden Demang). Sedangkan jabatan yang lebih tinggi seperti mantri, panewu, kaliwon, atau wadana mempunyai gelar khusus sehingga jabatan pada jabatan tersebut disapa dengan gelar keturunan diikuti gelar jabatan (mis. Mas Ngabehi, Raden Ngabehi). Sebagaimana gelar keturunan, istilah jabatan dan posisi jabatan juga mengalami beberapa kali perubahan. Contoh : Sunan Pakubuwana X mengganti istilah kaliwon menjadi bupati anom dengan gelar yang dinaikkan dari Ngabehi (Ng.) menjadi Tumenggung (T.). Pada Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta kedudukan perdana menteri atau patih kerajaan membawahi semua jenis bupati, karena itu dia bergelar Adipati (Ad.). Sedangkan pada Kadipaten Mangkunagaran dan Kadipaten Pakualaman penguasanya adalah seorang adipati dan karena itu hanya penguasa seorang yang bisa bergelar Adipati (Ad.), maka jabatan perdana menteri atau patih kadipaten hanya bergelar Tumenggung (T.) dan disebut sebagai bupati patih. Gelar patih pada Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta adalah Kangjeng Raden Adipati (K.R.Ad.) tanpa melihat apakah dia masih cucu, cicit, piut, dan anggas raja yang berhak memakai gelar Raden Mas (R.M.) atau keturunan rakyat biasa yang hanya berhak memakai gelar Mas (M.).

-          GELAR JABATAN LAMA UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Mas Rongga (Rg.) adalah gelar mantri anom untuk keturunan rakyat biasa.

·         Raden Rongga (R.Rg.) adalah gelar mantri anom untuk anggas raja dan keturunan berikutnya.

·         Raden Mas Rongga (R.M.Rg.) adalah gelar mantri anom untuk cucu, cicit, dan piut raja.

·         Mas Ngabehi (M.Ng.) adalah gelar kaliwon, panewu, dan mantri untuk keturunan rakyat biasa.

·         Raden Ngabehi (R.Ng.) adalah gelar kaliwon, panewu, dan mantri untuk anggas raja dan keturunan berikutnya.

·         Raden Mas Ngabehi (R.M.Ng.) adalah gelar kaliwon, panewu, dan mantri untuk cucu, cicit, dan piut raja.

·         Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) adalah gelar wadana untuk cicit raja.

·         Raden Mas Harya (R.M.H.) adalah gelar wadana untuk cucu raja.

·         Kangjeng Raden Adipati (K.R.Ad.) adalah gelar untuk perdana menteri alias patih kerajaan.

 

-          GELAR JABATAN BARU UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Mas Rongga (M.Rg.) adalah gelar mantri anom untuk keturunan rakyat biasa.

·         Raden Rongga (R.Rg.) adalah gelar mantri anom untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Raden Mas Rongga (R.M.Rg.) adalah gelar mantri anom untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Mas Ngabehi (M.Ng.) adalah gelar panewu dan mantri untuk keturunan rakyat biasa.

·         Raden Ngabehi (R.Ng.) adalah gelar panewu dan mantri untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Raden Mas Ngabehi (R.M.Ng.) adalah gelar panewu dan mantri untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Mas Tumenggung (M.T.) adalah gelar bupati anom untuk keturunan rakyat biasa.

·         Raden Tumenggung (R.T.) adalah gelar bupati anom untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) adalah gelar bupati anom untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Raden Tumenggung Panji (R.T.Pj.) adalah gelar bupati anom tentara untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) adalah gelar bupati sepuh untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Raden Mas Tumenggung (K.R.M.T.) adalah gelar bupati sepuh untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Kangjeng Raden Tumenggung Panji (K.R.T.Pj.) adalah gelar bupati sepuh tentara untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Raden Harya Tumenggung (K.R.H.T.) adalah gelar bupati sepuh riya hinggil untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Raden Mas Harya Tumenggung (K.R.M.H.T.) adalah gelar bupati sepuh riya hinggil untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Kangjeng Raden Adipati (K.R.Ad.) adalah gelar untuk perdana menteri alias patih kerajaan.

 

-          GELAR JABATAN BARU UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA

·         Nyai Mas Tumenggung (Ny.M.T.) bergelar bupati anom untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Mas Ayu Tumenggung (M.Ay.T.) adalah gelar bupati anom untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Mas Ayu Tumenggung (K.M.Ay.T.) adalah gelar bupati sepuh untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Raden Ayu Tumenggung (R.Ay.T.) adalah gelar bupati anom untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Kangjeng Raden Ayu Tumenggung (K.R.Ay.T.) adalah gelar bupati sepuh untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

     IV.            GELAR PANGERAN DAN RATU

Gelar Pangeran (P.) yang hanya untuk laki-laki tidak dapat dirangkap dengan gelar Raden Mas (R.M.) atau Raden (R.) atau Mas (M.) karena gelar Pangeran (P.) menggantikan gelar keturunan. Contoh : gelar seorang Kangjeng Raden Mas Harya (K.R.M.H.) yang diberi gelar Pangeran (P.) berubah menjadi Kangjeng Pangeran Harya (K.P.H.). Contoh lain : gelar seorang Bandara Raden Mas (B.R.M.) yang diberi gelar Pangeran (P.) berubah menjadi Bandara Pangeran Harya (B.P.H.). Pemberian gelar Pangeran (P.) kepada putra raja biasanya dilakukan pada saat putra raja tersebut dianggap sudah mencapai usia dewasa yaitu setelah disunat atau sekira usia 15 tahun atau sewaktu sebelum menikah.

Gelar Ratu (Rt.) yang hanya untuk perempuan tidak bisa dirangkap dengan gelar Raden Ajeng (R.A.) atau Raden Ayu (R.Ay.) atau Raden Rara (R.Rr.) atau Raden Nganten (R.Ngt.) atau Mas Ajeng (M.A.) atau Mas Ayu (M.Ay.) atau Mas Rara (M.Rr.) atau Mas Nganten (M.Ngt.) karena gelar Ratu (Rt.) menggantikan gelar keturunan. Contoh : gelar seorang Kangjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) yang diberi gelar Ratu (Rt.) berubah menjadi Kangjeng Ratu (K.Rt.) atau Gusti Kangjeng Ratu (G.K.Rt.). Pemberian gelar Ratu (Rt.) kepada putri raja biasanya dilakukan pada saat dia akan menikah dengan seorang raja atau pangeran. Meskipun demikian, jika raja berkenan maka seorang perempuan dari keturunan jauh raja atau keturunan rakyat biasa dapat diberi gelar Ratu (Rt.) asalkan dia menikah dengan raja atau pangeran. Karena hanya Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta yang berkuasa memberi gelar Ratu (Rt.), maka Adipati Mangkunagaran membuat gelar Putri (Pt.) sebagai varian gelar Ratu (Rt.) untuk istri permaisuri adipati.

-          GELAR PANGERAN

·         Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (K.G.P.Ad.An.) adalah gelar pangeran untuk putra mahkota.

·         Kangjeng Gusti Pangeran Adipati (K.G.P.Ad.) adalah gelar pangeran untuk putra raja yang berkuasa atas suatu daerah.

·         Kangjeng Gusti Pangeran Harya (K.G.P.H.) adalah gelar pangeran untuk putra raja yang berperan sebagai lurah pangeran yaitu kepala para pangeran.

·         Kangjeng Gusti Pangeran (K.G.P.) adalah gelar pangeran untuk putra raja dari istri permaisuri.

·         Gusti Pangeran Harya (G.P.H.) adalah gelar pangeran untuk putra raja dari istri permaisuri.

·         Gusti Pangeran Panji (G.P.Pj.) adalah gelar pangeran untuk putra raja dari istri permaisuri

·         Gusti Pangeran (G.P.) adalah gelar pangeran untuk putra sulung raja dari istri selir.

·         Gusti Bandara Kangjeng Pangeran Harya (G.B.K.P.H.) adalah gelar yang naik untuk putra raja dari istri selir yang bergelar Bandara Kangjeng Pangeran Harya (B.K.P.H.).

·         Bandara Kangjeng Pangeran Harya (B.K.P.H.) adalah gelar pangeran untuk putra raja dari istri selir atau gelar naik untuk cucu raja yang bergelar Kangjeng Pangeran Harya (K.P.H.).

·         Bandara Pangeran Harya (B.P.H.) adalah gelar pangeran untuk putra bukan sulung raja dari istri selir.

·         Kangjeng Pangeran Adipati (K.P.Ad.) adalah gelar pangeran untuk orang yang dipandang berjasa sangat besar.

·         Kangjeng Pangeran Harya (K.P.H.) adalah gelar pangeran untuk cucu raja atau orang yang dipandang berjasa.

·         Kangjeng Pangeran Harya Adipati (K.P.H.Ad.) adalah gelar pangeran untuk cicit raja atau orang yang dipandang berjasa.

·         Kangjeng Pangeran Panji (K.P.Pj.) adalah gelar pangeran untuk cicit raja atau orang yang dipandang berjasa.

·         Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) adalah gelar pangeran untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang berjasa.

·         Kangjeng Pangeran Rongga (K.P.Rg.) adalah gelar pangeran untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang berjasa.

·         Kangjeng Pangeran Demang (K.P.D.) adalah gelar pangeran untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang berjasa.

·         Kangjeng Pangeran (K.P.) adalah gelar pangeran untuk menantu raja, ipar raja, atau orang yang dipandang berjasa.

 

-          GELAR RATU

·         Gusti Kangjeng Ratu (G.K.Rt.) adalah gelar ratu untuk istri permaisuri raja dan putri raja dari istri permaisuri.

·         Gusti Kangjeng Ratu Alit (G.K.Rt. Alit) adalah gelar ratu untuk putri sulung raja dari istri selir.

 

       V.            GELAR KEHORMATAN DI KERATON SURAKARTA

Diuraikan dalam pendahuluan, gelar kehormatan bisa jadi beririsan dengan gelar keturunan dan gelar jabatan. Karena itu maka ada gelar kehormatan yang bisa diberikan raja atau adipati kepada orang yang dipandang berjasa tanpa memperhatikan latar belakang orang itu dari keturunan bangsawan atau keturunan rakyat biasa dan ada pula gelar kehormatan yang hanya bisa diberikan raja atau adipati kepada orang yang berjasa dengan memperhatikan latar belakang orang itu dari keturunan bangsawan atau keturunan rakyat biasa.

-          GELAR KEHORMATAN UNTUK LAKI-LAKI DI KERATON SURAKARTA

·         Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung (K.G.P.H.Pn.Ag.) adalah gelar untuk putra raja yang dipandang berjasa luar biasa sangat besar dan berkelamin sebagai patih kerajaan.

·         Kangjeng Gusti Panembahan (K.G.Pn.) adalah gelar untuk putra raja yang dipandang berjasa luar biasa sangat besar.

·         Kangjeng Panembahan (K.Pn.) adalah gelar untuk orang yang dipandang berjasa luar biasa sangat besar.

·         Kangjeng Raden Mas Harya (K.R.M.H.) adalah gelar riya hinggil untuk menantu raja atau cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Kangjeng Raden Mas Riya Harya Panji (K.R.M.Ry.H.Pj.) adalah gelar riya handap untuk cicit, piut, dan anggas raja.

·         Kangjeng Raden Mas Panji (K.R.M.Pj.) adalah satu gelar untuk cicit, piut, dan anggas raja.

·         Raden Mas Riya Panji (R.M.Ry.Pj.) adalah satu gelar untuk cicit, piut, dan anggas raja.

·         Raden Mas Panji (R.M.Pj.) adalah satu gelar untuk cicit, piut, dan anggas raja.

·         Raden Mas Riya (R.M.Ry.) adalah gelar riya handap untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Kangjeng Raden Harya (K.R.H.) adalah gelar riya hinggil untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Raden Riya Harya Panji (K.R.Ry.H.P.) adalah gelar riya handap untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Raden Harya Panji (K.R.H.P.) adalah gelar riya handap untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kangjeng Raden Panji (K.R.P.) adalah satu gelar untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Raden Riya (R.Ry.) adalah gelar riya handap untuk udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Kyai (Ky.) adalah gelar untuk petugas kerajaan dalam bidang keagamaan.

·         Ki adalah gelar untuk petugas kerajaan di luar bidang keagamaan.

 

-          GELAR KEHORMATAN UNTUK PEREMPUAN DI KERATON SURAKARTA

·         Kangjeng Bandara Raden Ayu Adipati (K.B.R.Ay.Ad.) adalah gelar untuk istri selir raja yang berperan sebagai kepala para istri selir raja sekaligus kepala rumah tangga pribadi raja.

·         Kangjeng Bandara Raden Ayu (K.B.R.Ay.) adalah gelar untuk istri selir raja keturunan bangsawan yang menjabat sebagai kepala untuk istri selir raja.

·         Kangjeng Bandara Mas Ayu (K.B.M.Ay.) adalah gelar untuk istri selir raja keturunan rakyat biasa yang melamar sebagai kepala para istri selir raja.

·         Kangjeng Raden Ayu Adipati (K.R.Ay.Ad.) adalah gelar untuk kepala rumah tangga pribadi raja.

·         Kangjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) adalah gelar untuk istri permaisuri putra mahkota atau orang yang dipandang berjasa.

·         Raden Ayu Panji (R.Ay.Pj.) adalah satu gelar untuk cucu, cicit, piut, dan anggas raja.

·         Kangjeng Mas Ayu (K.M.Ay.) adalah gelar untuk santana riya hinggil untuk keturunan rakyat biasa atau udeg-udeg raja dan keturunan berikutnya.

·         Mas Ajeng (M.A.) adalah gelar untuk istri selir raja atau pangeran dari keturunan rakyat biasa.

·         Mas Ayu (M.Ay.) adalah gelar untuk istri selir raja atau pangeran dari keturunan rakyat biasa.

·         Nyai Mas (Ny.M.) adalah gelar petugas kerajaan untuk keturunan rakyat biasa.

·         Nyai (Ny.) adalah gelar petugas kerajaan untuk keturunan rakyat biasa.

·         Nyi adalah varian gelar Nyai (Ny.).


H.    FILOSOFI DAN MITOLOGI SEPUTAR KERATON

Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, demikian pula prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.


Tarian sakral Bedhaya Ketawang yang hanya ditampilkan sekali dalam satu tahun

Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kamadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama Marcukundha berasal dari kata marcu yang berarti api dan kundha yang berarti wadah/tempat, sehingga kata Marcukundha berarti membentangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai salah satu contohnya adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungkankan saat garebeg. Mereka percaya bagian gunung itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.

Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun, muncul sebuah ramalan bahwa Kesunanan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuatan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (kari sak megare payung). Legenda ini pun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada tahun 1745, maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun 1945 negara Indonesia merdeka dan kekuasaan Kesunanan benar-benar menyenangkan. Setahun kemudian, pada tahun 1946, Daerah Istimewa Surakarta (yang di dalamnya terdapat pemerintahan dan wilayah administratif Kesunanan Surakarta) dibekukan oleh pemerintah Indonesia karena saat itu terjadi kekacauan politik, dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan hanya tinggal di atas tanah adat serta masyarakat adat kerabat dekat saja.

I.       DAFTAR RAJA-SUSUHUNAN (SUNAN) SURAKARTA

A.    DAFTAR RAJA-SUSUHUNAN (SUNAN) SURAKARTA

*     PAKU BUWANA II

Pakubuwana II

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇


Sri Susuhunan Pakubuwana II

Susuhunan Mataram ke-9

Bertakhta : 1726 – 1742

Pendahulu : Amangkurat IV

Digantikan : Amangkurat V

Susuhunan Surakarta ke-1

Bertakhta : 1745 – 1749

Penerus : Pakubuwana III

Nama Lengkap : Raden Mas Prabasuyasa

Kelahiran : 8 Desember 1711 (Selasa Paing 26 Sawal Alip 1635 AJ),  Kartasura, Mataram

Kematian 20 Desember 1749 (umur 38) , Surakarta Hadiningrat

Pemakaman : Astana Pakubuwanan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama tahta/Jumeneng Nata:

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping II

Nama anumerta : Sunan Kumbul

Ayah : Amangkurat IV

Ibu : Ratu Amangkurat (GKR. Kencana)

Pasangan :G.RAy. Sukiya (GKR.Mas)

Bahasa Jawa : ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇

Agama : Islam

 

Sri Susuhunan Pakubuwana II (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ , translit. pakubuwana kapindo, har. 'pakubuwana dua', dikenal juga sebagai Sunan Kumbul; 08 Desember 1711 – 20 Desember 1749) adalah raja Mataram kedua yang menguasai tahun 1726–1742 dan menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745–1749, setelah pemberontakan Amangkurat V. Ia juga merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa (kemudian bergelar Mangkunagara I).

·         SILSILAH

Sunan Pakubuwana II atau Sunan Kumbul memiliki nama asli Raden Mas Prabasuyasa, ia merupakan putra Amangkurat IV dan Ratu Amangkurat (GKR. Kencana) atau Ratu Mas Kadipaten, seorang permaisuri keturunan Sunan Kudus. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember 1711 atau Hari Selasa Pon, 18 Sawal tahun jimakir 1634 J atau 1711 Masehi.

Raden Mas Prabasuyasa naik tahta sebagai Pakubuwana II pada tanggal 15 Agustus 1726 pada usia 15 tahun, setelah Keraton Kartasura hancur dalam peristiwa Geger Pacinan. Karena masih sangat muda, beberapa tokoh istana bersaing untuk mempengaruhinya. Para pejabat keraton pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu suri) dan golongan anti VOC dipelopori Patih Cakrajaya.

·         PEMERINTAHAN

Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Jatisari (15 Februari 1755) yang ditandatangani oleh Susuhunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi mengakibatkan terbentuknya dua kerajaan baru yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di sebagian wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kesunanan Surakarta mempertahankan gelar Susuhunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kesunanan Surakarta.

Selanjutnya wilayah Kesunanan Surakarta semakin berkurang karena Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757, menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran miji alias pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berada di Kadipaten yang secara tradisional masih berada di bawah Kesunanan, yang disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara I. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah Mancanagara diberikan kepada Belanda sebagai ganti kerugian atas biaya peperangan.

-          TERUSIR DARI KARTASURA

Cakraningrat IV, bupati Madura Barat, adalah ipar Pakubuwana II, tetapi membenci pemerintahannya yang dianggapnya bobrok. Ia menawarkan diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari Mataram. VOC terpaksa menerima tawaran itu.

Keadaan pun berbalik. Para pemberontak Tionghoa pimpinan Sunan Kuning dipukul mundur. Pakubuwana II menyesal telah memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura. Perdamaian pun dijalin. Kapten Baron von Hohendorff tiba di Kartasura bulan Maret 1742 sebagai wakil VOC mengatur perjanjian damai dengan Pakubuwana II.

Perdamaian ini membuat para pemberontak sakit hati. Mereka mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi sebagai Amangkurat V (juga disebut Sunan Kuning karena memimpin kaum berkulit kuning), Amangkurat V adalah seorang cucu dari Amangkurat III yang masih berusia muda. mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Tionghoa, melainkan juga pribumi Jawa yang anti VOC, semakin banyak yang bergabung.

Pada tanggal 18 Juni 1742 Patih Natakusuma ditangkap oleh VOC atas keinginan Pakubuwana II. Patih Natakusuma ditangkap karena diduga diam-diam bersekongkol dengan pasukan pemberontak pimpinan Sunan Kuning. Kemudian oleh VOC ia diasingkan ke Sri Lanka. Hal ini memancing kemarahan para pemberontak yang akhirnya melakukan penyerangan ke Kartasura.

-          MENGUNGSI KE PONOROGO

Pada tanggal 30 Juni 1742, tentara Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi telah mengalahkan pasukan Pakubuwono II secara total dan langsung menuju ke Kartasura. Sang raja berhasil melarikan diri dan hanya dikawal oleh segelintir orang yang setia dan petugas VOC. Ia kemudian pergi ke Madiun untuk mengumpulkan para pendukungnya dan dari sana melakukan upaya sia-sia untuk mendapatkan kembali mahkotanya yang hilang. Putus asa karena bertumpuk-tumpuk kesengsaraan, ia tetap tinggal di sana untuk sementara waktu. Ia kemudian pergi ke Ponorogo untuk bertemu Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari atas saran kawan-kawannya.

Di Tegalsari, Pakubuwono II memohon kepada Kiai Ageng untuk menjadi perantara antara dirinya dan Allah serta berdoa agar ia mendapatkan kembali ayahnya. Raja juga berjanji bahwa seumpamanya ia memudarkan martabatnya sebagai raja, ia akan menjadikan Tegalsari sebagai tempat rujukan belajar Islam di kerajaannya dan menganugerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya, serta mengangkat desa itu sebagai desa perdikan, yaitu desa yang dibebaskan dari pajak, pengiriman upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan.

Pada November 1742, Cakraningrat IV dari Bangkalan bersama pasukannya berhasil mengusir Mas Garendi dari Kartasura. Kompeni kemudian mengangkat kembali Pakubuwono II sebagai raja. Ia pun menepati janjinya pada Kiai Ageng, dengan syarat sang kiai tetap mengajar ajaran Nabi Muhammad.

-          MENDIRIKAN SURAKARTA

Berawal dari peristiwa Geger Pacinan yang melibatkan orang Tionghoa membentuk perlawanan untuk mempertahankan diri, semakin lama pasukan mereka menjadi kuat karena mendapat dukungan dari para bupati pesisir serta mengangkat Sunan Kuning sebagai raja Mataram dan berhasil menguasai Keraton Kartasura dengan gelar Amangkurat V.

Pakubuwana II beserta keluarganya melarikan diri ke Ponorogo dan meminta bantuan VOC untuk mengusir Amangkurat V dan para pengikutnya dari Keraton Kartasura dan VOC membantu permintaan dari Pakubuwana II untuk mengusir Amangkurat V, usaha ini pun berhasil Pakubuwana II kembali terbang ke Mataram.

Menurut kepercayaan Jawa jika sebuah istana kerajaan telah rusak akibat peperangan dianggap sudah tidak memiliki wahyu keprabon lagi. Hal tersebut mengakibatkan Pakubuwana II ingin mendirikan istana baru ke tempat lain yang layak untuk dihuni. Setelah dilakukan pencarian pengganti wilayah Keraton Kartasura akhirnya terpilih desa Sala sebagai lokasi keraton baru. Pada tanggal 17 Februari 1745 keraton baru di desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti keraton lama, kemudian diberi nama Surakarta.

Pada periode selanjutnya di tahun 1755 pasca Perjanjian Giyanti yang disepakati oleh putra dan adiknya, yaitu Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi, mengakibatkan terbelahnya Mataram menjadi dua kubu antara Pakubuwana III di Surakarta dan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta. Setelah kesepakatan itu disepakati, Mataram yang semula memiliki pemerintahan tunggal di bawah Pakubuwana III, terbagi menjadi dua poros kerajaan. Peristiwa tersebut ditandai dengan istilah Palih Nagari dan menandai berakhirnya kekalahan Mataram.

·         SAYEMBARA

Posisi Cakraningrat IV semakin kuat. Ia banyak merebut daerah-daerah di timur Jawa dalam penumpasan Geger Pacinan. Daerah-daerah tersebut ingin diambil alih olehnya, tetapi ditolak VOC.

Cakraningrat IV pun akhirnya memberontak. VOC secara resmi memerangi bekas sekutunya itu pada Februari 1745. Beberapa bulan kemudian Cakraningrat IV terdesak dan melarikan diri ke Banjarmasin. Namun, sultan negeri itu justru menangkap dan menyerahkannya kepada VOC. Cakraningrat IV akhirnya dibuang ke Tanjung Harapan.

Sisa-sisa pendukung pemberontakan Tionghoa yang masih bertahan adalah Pangeran Sambernyawa putra Pangeran Mangkunegara. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sukawati (sekarang Sragen), bagi siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Pangeran Sambernyawa.

Pangeran Mangkubumi adik dari Pakubuwana II memenangkan sayembara itu pada tahun 1746. Sebelumnya, ia juga pernah ikut terlibat mendukung pemberontakan Tionghoa, tetapi kembali ke Surakarta dan menerima Pakubuwana II. Namun, Patih Pringgalaya membujuk Pakubuwana II agar tidak menyerahkan tanah Sukawati kepada Pangeran Mangkubumi.

VOC kembali muncul dengan melakukan itu, Baron van Imhoff memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II agar menyewakan tempat pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real Spanyol setiap tahun. Pangeran Mangkubumi melawan hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi di depan umum.

Pangeran Mangkubumi sakit hati dan kabur dari Surakarta dan memilih bergabung dengan pasukan Pangeran Sambernyawa sejak Mei 1746.

·         AKHIR PEMERINTAHAN

Pakubuwana II jatuh sakit pada akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, yang kini menjabat gubernur pesisir Jawa bagian timur, tiba menjenguknya di Surakarta sebagai saksi VOC atas pergantian pergantian raja (suksesi). Pakubuwana II bahkan terpaksa menyerahkan kekuasaan Mataram kepada von Hohendorff, akibat api pemberontakan yang tak kunjung padam. Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai titik awal hilangnya kerugian Mataram ke tangan Belanda.

Pakubuwana II akhirnya meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 1749, dan berdoa oleh Raden Mas Suryadi, anak-anaknya yang bergelar Pakubuwana III. Pakubuwana III dalam pemerintahannya harus berhadapan dengan kaum pemberontak yang dipelopori Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. Di kemudian hari pada tahun 1755, kedua belah pihak antara Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi menyepakati isi Perjanjian Giyanti. Disusul Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 yang disepakati oleh pihak ketiga yakni Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.

*     PAKU BUWANA III

Pakubuwana III

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧓꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana III

Susuhunan Surakarta ke-2

Bertakhta : 1749 – 1788

Pendahulu : Pakubuwana II

Penerus : Pakubuwana IV

Patih :

1. Mangkupraja I (1755‒1769)

2. Sasradiningrat I (1769‒1782)

3. Sindureja (1782‒1784)

4. Jayadiningrat (1784‒1796)

Nama Lengkap : Raden Mas Suryadi

Kelahiran : 24 Februari 1732,  Kartasura, Mataram

Kematian : 26 September 1788 (umur 56),  Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat

Pemakaman : Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping III

Ayah : Pakubuwana II

Ibu : GKR. Hemas

Agama : Islam

 

Sri Susuhunan Pakubuwana III (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧓꧇, translit. pakubuwana katelu, har. 'pakubuwana tiga'; 24 Februari 1732 – 26 September 1788) adalah susuhunan kedua Surakarta yang menguasai tahun 1749 – 1788.

·         BIOGRAFI

Sunan Pakubuwana III memiliki nama asli Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri GKR. Hemas, putri Pangeran Purbaya dari Lamongan (putra Pakubuwana I).

Pakubuwana III naik tahta pada tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras. Ia ditunjuk sebagai raja oleh Baron von Hohendorff sesuai wasiat Pakubuwana II kepadanya, untuk menobatkan Raden Mas Suryadi sebagai raja selanjutnya.

·         PEMBERONTAKAN

-          PERLAWANAN PANGERAN MANGKUBUMI

Pakubuwana III ketika menjadi raja berhadapan dengan pemberontakan di masa pemerintahan ayahnya. Pemberontakan tersebut dipelopori oleh pamannya sendiri, Pangeran Mangkubumi sejak tahun 1746. Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai Pakubuwana III dan Pangeran Sambernyawa sebagai patihnya pada tanggal 12 Desember 1749 di basis pertahanan mereka.

Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. VOC segera menawarkan perdamaian dengan Pangeran Mangkubumi.

Perundingan dilakukan dan diakhiri dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan biaya Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi pernah mengangkat diri sebagai susuhunan dan bergelar Pakubuwana III di daerah Kabanaran, bersamaan dengan pelantikan Raden Mas Suryadi menjadi Pakubuwana III.

Berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati, Pangeran Mangkubumi tidak diperkenankan menggunakan gelar susuhunan. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sebagai sultan yang bergelar Hamengkubuwana I dan membangun kerajaan baru bernama Kesultanan Yogyakarta.

sebelah atas Keraton Kasunanan Surakarta Hadinigrat yang dipimpin Sinuwun Sri Sunan Paku Buwono III dan sebelah bawah Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadinigrat yang di pimpin oleh Sinuhun Sri Sultan Hamengku Buwono I

Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan yang dipimpin Hamengkubuwana I disebut dengan nama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III disebut dengan nama Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

-          PERLAWANAN PANGERAN SAMBERNYAWA

perjanjian salatiga 1756

Seusai Perjanjian Giyanti, Pangeran Sambernyawa merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi. Akhirnya ia pun menjadi musuh Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Perlawanan Pangeran S
ambernyawa mulai melemah akhirnya ia terdesak dan bersedia berunding dengan VOC sejak 1756.

Puncaknya, pada bulan Maret 1757 Pangeran Sambernyawa menyatakan kesetiaannya terhadap VOC, Surakarta dan Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga. Sejak itu, Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said bergelar Mangkunagara I. Daerah yang dipimpinnya bernama Kadipaten Mangkunagaran, sebidang tanah mempersembahkan Pakubuwana III hasil pembagian wilayah Mataram.

·         AKHIR PEMERINTAHAN

Kelemahan politik Pakubuwana III menyebabkan keadaan pulau Jawa menjadi tegang. Muncul komplotan pemberontak yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung sampai kematiannya tanggal 26 September 1788.

Pakubuwana III mengikuti anak-anak yang bergelar Pakubuwana IV, seorang raja yang lebih cakap dan pembuat keputusan dalam mengambil sikap politiknya.

*     PAKU BUWANA IV

Pakubuwana IV

ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧔꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana IV

Susuhunan Surakarta ke-3

Berkuasa : 1788 – 1820

Pendahulu : Pakubuwana III

Penerus : Pakubuwana V

Gubernur Jenderal :

1. Willem Arnold Alting

2. Pieter van Overstraten

3. Johannes Siberg

4. Albertus Wiese

5. Herman Willem Daendels

6. Jan Willem Janssens

7. G.A.G.Ph. van der Capellen

Gubernur Letnan Inggris Lord Minto:

1. Thomas Stamford Raffles

2. John Fendal

Kelahiran : 2 September 1768,  Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat

Kematian : 2 Oktober 1820 (umur 52),  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Pemakaman : Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata :

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sakawan ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Raden Mas Subadya

Ayah : Pakubuwana III

Ibu : GKR. Kencana

Agama : Islam


Sri Susuhunan Pakubuwana IV (sering disingkat sebagai PB IV; 2 September 1768 – 2 Oktober 1820) adalah susuhunan ketiga Surakarta yang memerintah tahun 1788–1820. Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik tahta dalam usia muda dan berwajah tampan.

Nama aslinya adalah Raden Mas Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari permaisuri GKR. Kencana, keturunan Sultan Demak. Ia dilahirkan tanggal 2 September 1768 dan naik tahta tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun.

·         PEMERINTAHAN

Pakubuwana IV adalah susuhunan Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang kurang cakap. Ia adalah pemeluk Islam yang taat dan mengangkat para ulama dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat berkecenderungan mistik yang sudah mapan di istana.

Pakubuwana IV dalam babad-babad sejarah politik lebih dikenal dengan perubahan besaran besaran untuk mempersatukan kembali Surakarta dengan Yogyakarta, yang berujung pada dua peristiwa besar, yakni Pakepung (pengepungan Kasunanan oleh tentara Madura, Yogyakarta dan Mangkunegaran pada tahun 1790) serta Sepehi.

Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus penerus Kesunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh aliansi VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang paham politik Islam dan dekat dengan kaum santri menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 aliansi tersebut mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat politik dan rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk membuang VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV inilah terjadinya kekacauan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan keunggulan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.

-          PERISTIWA PAKEPUNG

Keadaan Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi raja. Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap residen Surakarta bernama W.A. Palm yang korup.

Residen Surakarta pengganti Palm yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pakubuwana IV. VOC mulai curiga dan menduga Hartsinck memanfaatkan Pakubuwana IV sebagai alat perusak dari dalam.

VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada November 1790 VOC bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Mereka menyerang dari tiga arah. Dari selatan oleh Hamengkubuana I, arah utara oleh Mankunegara I dan arah barat oleh pasukan VOC. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar jauhkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.

Pakubuwana IV akhirnya mengaku kalah pada 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC.

-          HUBUNGAN DENGAN PASUKAN SIPAHI

Melalui Mangkubumi dan Baurekso, pasukan sipahi berhasil sesi dengan Sunan. Kontak pertama dilakukan oleh Dhaukul Singh yang mengunjungi Sunan di keraton dengan gambar Rama di tangannya. Ia kemudian menyanjung Sunan dengan berkata, "Jika Anda adalah keturunan dari seorang pemuja Rama yang agung, maka Anda adalah tuanku". Sunan yang terkesan dengan keputusan ini kemudian memberikan 300 dolar Spanyol (jika dinilai dengan kurs sekarang kira-kira senilai 135 juta rupiah). Kunjungan awal ini juga diikuti oleh Ripaul Singh, ia memberikan pertunjukkan tari dan senam di kamar pribadi Sunan di keraton. Ia juga diberi hadiah oleh Sunan berupa kalung emas, gelang, anting-anting, dan berbagai jenis kain. Ripaul juga memperkenalkan seorang prajurit sipahi lainnya, yang bernama Mata Deen, kepada Sunan yang dapat berbicara bahasa Melayu dengan baik.

Sunan juga sering menghadiri berbagai upacara Hindu yang diadakan di Benteng Vastenburg. Ia biasa datang sendirian sambil menyamar sebagai rakyat biasa, tetapi kadang-kadang juga menemani anggota keluarganya ketika datang dengan naik kereta. Dalam kesempatan seperti ini, Sunan akan diterima oleh Mata Deen dan Dhaukul Singh.

-          AMBISI POLITIK DAN SIKAP TERHADAP YOGYAKARTA

Pakubuwana IV dikenal sebagai penguasa yang licik, tak terduga, dan menemui kesulitan. Salah satu ambisinya adalah menghancurkan Yogyakarta sekaligus mengembalikan supremasi politik Surakarta di Jawa Tengah bagian selatan.

Pada saat yang sama, munculnya desas-desus tentang pengembalian kekuasaan Belanda di Jawa dan kekhawatiran musuh Sipahi di Jawa tentang nasib buruk mereka karena desas-desus mereka akan dijual ke pemerintah Belanda untuk menjamin keselamatan pemerintah Belanda ketika kembali berkuasa. Sejak saat itulah—berdasarkan bukti dari Patih Sosroadiningrat II—muncul hubungan antara garnisun sipahi di Surakarta dengan Pakubuwana IV. Ia berhasil dibujuk untuk menggunakan pasukan sipahi yang tidak puas untuk memenuhi ambisi politiknya sendiri di Jawa Tengah bagian selatan.

Kelicikan Pakubuwana IV terlihat ketika ia berusaha untuk membujuk Hamengkubuwana II—melalui sebuah korespondensi rahasia sejak 1811 hingga 1812—untuk melawan Inggris menggunakan kekerasan dengan harapan tindakan gegabah ini akan menghancurkan Yogykarta. Untuk meyakinkan Hamengkubuwana II, Pakubuwana IV menawarkan dukungan militer jika terjadi peperangan dengan Inggris. Kesepakatan tersebut diratifikasi dalam sebuah perjanjian rahasia pada Maret 1812. Namun, ketika Raffles menyerang Yogyakarta pada bulan Juni di tahun yang sama, Sunan tidak mengirimkan bantuan sama sekali dan justru menunggu hasil dari pertempuran tersebut. Selain itu, konflik korespondensi rahasia antara Sunan dengan Hamengkubuwana II jatuh ke tangan Inggris ketika penjarahan keraton. Bukti korespondensi rahasia dan kenyataan bahwa pasukan Surakarta ditempatkan di seberang jalur komunikasi Inggris selama penyerangan ke Yogyakarta hampir membuat Raffles menyerang Surakarta dan menggulingkan Sunan. Namun, ia mengampuni Sunan dengan menyetujui pemberhentian Patih Surakarta, Raden Adipati Cokronegoro, yang memegang peran kunci dalam persekongkolan dengan Yogyakarta.

-          MENDIRIKAN PESANTREN JAMSAREN

Pakubuwana IV memberi izin kepada Kyai Jamsari untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang kemudian diberi nama Pesantren Jamsaren. Setiap tahun, Pakubuwana IV memberikan donasi ke pesantren sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan pendidikan islam di Surakarta. Pesantren Jamsaren sempat dibubarkan oleh pemerintah kolonial karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro sehingga mengakibatkan perkembangan pendidikan islam di Surakarta mengalami stagnansi. Setelah ditutup selama kurang lebih 40 tahun, Pesantren Jamsaren kembali beroperasi pada masa Pakubuwana X.

·         AKHIR PEMERINTAHAN

Pakubuwana IV masih menjadi raja Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia mengalami pergantian pemerintah penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda pada tahun 1816. Pakubuwana IV meninggal dunia pada 2 Oktober 1820. Ia melengkapi anak-anak yang bergelar Pakubuwana V. Selain Pakubuwana V, ada dua lagi putra Pakubuwana IV yang menjadi raja Surakarta, yaitu Pakubuwana V VII dan Pakubuwana VIII.

·         GALERI

 

 

 

 

 

 

 

*     PAKU BUWANA V

Pakubuwana V

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧕꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana V

Susuhunan Surakarta ke-4

Berkuasa : 1820 – 1823

Pendahulu : Pakubuwana IV

Penerus : Pakubuwana VI

Patih : KRA. Sasradiningrat II

Kelahiran : 13 Desember 1784, Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat

Kematian : 5 September 1823 (umur 38), Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Pemakaman : Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata:

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Gangsal ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Raden Mas Sugandi

Ayah : Pakubuwana IV

Ibu : GKR. Pakubuwana

Agama : Islam

 

Sri Susuhunan Pakubuwana V (sering disingkat sebagai PB V; 13 Desember 1784 – 5 September 1823) adalah susuhunan keempat Surakarta yang memerintah tahun 1820 – 1823.

Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian.

·        BIOGRAFI

Sunan Pakubuwana V memiliki nama asli Raden Mas Sugandi, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri KRAy. Handaya (setelah wafat bergelar GKR. Pakubuwana), putri Panembahan Tjakradiningrat II GUNG SEPPO dari Pamekasan. GUNG SEPPO adalah Adipati Pamekasan, putra dari Ario Adikoro III. Istri GUNG SEPPO adalah Putri dari TJAKRANINGRAT V yang menikah dengan Putri Pakubuwono II. Sehingga GUNG SEPPO menantu Tjakraningrat V Bangkalan. GUNG SEPPO adalah Putra kandung Ario Adikoro III. Sehingga Pakubuwono V dari pihak Ibunya adalah cucu dari Tjakradiningrat II Gung Seppo. Pakubuwono V buyut dari TJAKRANINGRAT V, buyut ADIKORO III. Cicit dari Pakubuwono II, Tjokronegoro II Pangeran Rama di Sumenep dan Ario Adikoro III di Pamekasan. Karena Ario Adikoro III putra dari Tumenggung Wiromenggolo, Adipati Sumenep 1709-1727 M. Ario Adikoro III menantu dari Tjokronegoro II, Pangeran Rama, Adipati Sumenep 1678-1709 M. Sehingga Pakubuwono V berdarah Pamekasan dan Sumenep dari pihak Ibundanya. Ia naik tahta pada tanggal 10 Februari 1820, selang delapan hari setelah kepergian ayahnya.

Pakubuwana V juga dikenal dengan sebutan Sinuhun Ngabehi atau Sunan Sugih, yang artinya baginda yang kaya harta dan kesaktian. Ia pernah membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri, bernama Kyai Kaget yang berasal dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni saat terjadinya Geger Pacinan atau pemberontakan orang-orang Tionghoa pada tahun 1740.

Pakubuwana V juga memerintahkan menulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjadi Adipati Anom, dan yang menjadi juru tulis serat tersebut ialah Raden Ngabehi Ranggasutrasna.

Pakubuwana V hanya memerintah selama tiga tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 September 1823. Pengganti selanjutnya adalah anak-anaknya, yaitu Pakubuwana VI, Namun ia bernasib tragis dibuang dan meninggal di Ambon karena bersekutu dengan Pangeran Diponegoro dan memberikan perlawanan terhadap Belanda.

·        GALERI


 

 


 

 

*     PAKU BUWANA VI

Pakubuwana VI

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧖꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana VI

Susuhunan Surakarta ke-5

Berkuasa : 1823 – 1830

Pendahulu : Pakubuwana V

Penerus : Pakubuwana VII

Gubernur :

1. Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen

2. Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies

3. Johannes van den Bosch

Kelahiran : 26 April 1807, Surakarta, Hindia Belanda

Kematian : 2 Juni 1849 (umur 42), Ambon, HindiaBelanda

Pemakaman  : Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata:

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Enem ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Raden Mas Sapardan

Ayah : Pakubuwana V

Ibu : KRA. Sasrakusuma

Pasangan :

1. GKR. Kedaton

2. GKR. Ageng

3. GKR. Anom

4. KRAy. Asmaraningrum

5. KRAy. Himbaningrum

6. KRAy. Retnaasmara

7. KRAy. Tejaningrum

Agama : Islam

 

Sri Susuhunan Pakubuwana VI (sering disingkat PB VI; 26 April 1807 – 2 Juni 1849) adalah susuhunan Surakarta kelima yang memerintah tahun 1823 – 1830. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa karena kegemarannya melakukan tapa brata.

Sunan Pakubuwana VI telah menetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.

·        RIWAYAT HIDUP

Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, putra Pakubuwana V, anak laki-laki ke-11 yang lahir dari istri KRAy. Sasrakusuma, keturunan Ki Juru Martani, patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram, dari garis darah ibunya. Raden Mas Sapardan lahir pada 26 April 1807. Pakubuwana VI naik tahta tanggal 15 September 1823, sepuluh hari setelah kematian ayahnya, pada usia menginjak 16 tahun.

·        HUBUNGAN DENGAN DIPONEGORO

Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang mengikat perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya.

Agar pertemuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro tidak diketahui oleh Belanda maka dibuatlah siasat-siasat yang hanya diketahui oleh mereka. Beberapa siasat-siasat yang pernah digunakan seperti siasat mimis kencana, sebuah siasat dimana mereka berpura-pura saling menjual agar pihak Belanda mengira mereka saling bermusuhan. Selain itu ada siasat candradimuka, sebuah siasat yang penaamaanya bersumber dari cerita wayang gatotkaca. Siasat ini digunakan untuk membicarakan tentang perburuan perang melawan Belanda.

Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang yang diakiri dengan Diponegoro yang melarikan diri dari istana.

Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirimkan pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.

·        PENANGKAPAN OLEH BELANDA

Belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatar belakangi oleh perlawanan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.

Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya meninggal setelah disiksa secara kejam. Oleh Belanda, mayatnya dibuang ke tengah laut.[1] Pada tanggal 8 Juni 1830 Pakubuwana VI ditangkap di Mancingan oleh Residen Yogyakarka Van Nes dan Letnan Kolonel B. Sollewijn. Belanda memutuskan untuk mengasingkan Pakubuwana VI ke luar Jawa karena ditakutkan akan melakukan pemberontakan. Pakubuwana VI dibuang ke Ambon pada 8 Juli 1830.

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.

·        MISTERI KEMATIAN

Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal GPH. Jatikusumo (salah satu putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan baker.

Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas tidak meninggal karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan meninggal dengan cara ditembak di bagian dahi.

·         GALERI

 



 

 

*     PAKU BUWANA VII

Pakubuwana VII

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana VII

Susuhunan Surakarta ke-6

Berkuasa : 1830 – 1858

Pendahulu : Pakubuwana VI

Penerus : Pakubuwana VIII

Gubernur Jenderal :

1. Johannes van den Bosch

2. JC Baud

3. Dominique Jacques de Eerens

4. C.S.W. van Hogendorp

5. P.Merkus

6. Jan Cornelis Reijnst

7. Jan Jacob Rochussen

8. A.J. Duymaer van Twist

9. Charles Ferdinand Pahud

Kelahiran : 8 Juli 1796,  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Kematian : 10 Mei 1858 (umur 61)  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Pemakaman : Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata :

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Pitu ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Raden Mas Malikis Solikin

Ayah : Pakubuwana IV

Ibu : GKR. Kencanawungu

Pasangan :

1.  GKR. Pakubuwana

2. KRAy. Retnadiluwih

Agama : Islam

 

Sri Susuhunan Pakubuwana VII (sering disingkat sebagai PB VII; 28 Juli 1796 – 10 Mei 1858), adalah susuhunan keenam Surakarta yang memerintah tahun 1830 – 1858.

·        PEMERINTAHAN

Nama aslinya ialah Raden Mas Malikis Solikin, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Sukaptinah alias Ratu Kencanawungu. Setelah dewasa ia bergelar KGPH. Purubaya.

Pakubuwana VII naik takhta tanggal 14 Juni 1830 menggantikan keponakannya, yaitu Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumnya. Tidak ada lagi bangsawan yang memberontak besar-besaran secara fisik setelah Pangeran Diponegoro. Jikapun ada hanyalah pemberontakan kecil yang tidak mengganggu stabilitas keraton.

Suasana yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kesunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Hampir sebagian besar karya Ranggawarsita lahir pada masa ini. Hubungan antara raja dan pujangga tersebut juga dikisahkan sangat harmonis.

Pakubuwana VII juga menetapkan undang-undang yang berlaku sampai ke pelosok negeri, bernama Anggèr-Anggèr Nagari. Selain itu, pada masanya dirilis pula pranata mangsa versi Kasunanan yang akan menjadi pedoman kerja bagi petani dan pihak-pihak terkait dengan produksi pertanian. Pranata mangsa versi Kasunanan ini banyak dianut petani di wilayah Mataraman hingga diperkenalkannya program intensifikasi pertanian di awal tahun 1970-an.

Pemerintahannya berakhir saat wafatnya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII diperlakukan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Pakubuwana VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.

·        GALERI

 

 

 

 

 

 

 

*     PAKU BUWANA VIII

Pakubuwana VIII

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧘꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana VIII

Susuhunan Surakarta ke-7

Berkuasa : 1858 – 1861

Pendahulu : Pakubuwana VII

Penerus : Pakubuwana IX

Gubernur Jenderal : Charles Ferdinand Pahud & Ary Prins

Kelahiran : 20 April 1789,  Hindia Belanda Surakarta, Koloni VOC Belanda

Kematian : 28 Desember 1861 (umur 72),  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Pemakaman : Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Wolu ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Gusti Raden Mas Kuseini

Ayah : Pakubuwana IV

Ibu : KRA. Rantansari

Pasangan : GKR. Pakubuwana

Agama : Islam

 

Sri Susuhunan Pakubuwana VIII (sering disingkat sebagai PB VIII; 20 April 1789 – 28 Desember 1861) adalah susuhunan Surakarta yang memerintah tahun 1858 – 1861. Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Kuseini, putra Pakubuwana IV yang lahir dari selir bernama KRAy. Rantansari putri R.Ng. Jayakartika, seorang menteri Surakarta.

·        PEMERINTAHAN

Pakubuwana VIII naik tahta pada tanggal 17 Agustus 1858 menggantikan adiknya (lain ibu) yaitu Pakubuwana VII yang meninggal dunia sebulan sebelumnya. Pakubuwana VIII naik tahta pada usia lanjut, yaitu pada usia 69 tahun karena Pakubuwana VII tidak memiliki mahkota putra. Ia sendiri adalah raja dari wangsa mataram pertama yang tidak melakukan poligami. Pemerintahannya berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya, sehingga menjadikannya penguasa Surakarta yang paling singkat masa jabatannya. Pakubuwana VIII menyambut putra Pakubuwana VI sebagai susuhunan Surakarta selanjutnya, yang bergelar Pakubuwana IX.

·        GALERI

 

 

 

 

 

*     PAKU BUWANA IX

Pakubuwana IX

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧙꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana IX

Susuhunan Surakarta ke-8

Berkuasa : 1861 – 1893

Pendahulu : Pakubuwana VIII

Penerus : Pakubuwana X

Gubernur Jenderal :

1. Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele

2. Ary Prins

3. Pieter Mijer

4. James Loudon

5. J.W. van Lansberge

6. Frederik s'Jacob

7. Otto van Rees

8. Cornelis Pijnacker Hordijk

Kelahiran : 22 Desember 1830,  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Kematian : 16 Maret 1893 (umur 62),  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Pemakaman : Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata :

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sanga ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Gusti Raden Mas Duksina

Ayah : Pakubuwana VI

Ibu : GKR. Ageng

Pasangan : GKR. Pakubuwana & GKR. Madura (dan 53 istri selir)

Agama : Islam

 

·        PEMERINTAHAN

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Duksina, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan saat ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro. Ia sendiri kemudian lahir pada tanggal 22 Desember 1830. Setelah menginjak dewasa, Raden Mas Duksina bergelar KGPH. Prabuwijaya.

Pakubuwana IX naik tahta menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861. Pemerintahannya ini banyak dilukiskan oleh Ranggawarsita dalam karya-karya sastranya, misalnya dalam Serat Kalatida.

Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang melahirkan sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda.

Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki kesalahannya dengan raja melalui penyerahan naskah Serat Cemporet. Saat itu karir Ranggawarsita sendiri sudah memasuki senja. Ia mengungkapkan rasa lega hatinya melalui Serat Kalatida, karyanya yang sangat populer.

Dalam Serat Kalatida, Ranggawarsita memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu disebutnya sebagai Zaman Edan.

Pakubuwana IX memiliki dua permaisuri yakni GKR. Pakubuwana serta GKR. Maduretna, serta dikaruniai 57 putra-putri. Semasa kepemimpinan Pakubuwana IX, keadaan Kasunanan Surakarta mengalami kemajuan yang pesat. Bangunan fisik Keraton Surakarta banyak yang dipugar, seperti Siti Hinggil, Panggung Sangga Buwana, dan lain-lain, sehingga ia juga terkenal dengan sebutan Sinuhun Bangun Kedhaton. Sebagai seorang raja, Pakubuwana IX juga aktif menulis karya sastra, di antaranya Serat Wulang Putri, Serat Jayeng Sastra, Serat Menak Cina, Serat Wirayatna, dan beberapa karya sastra lainnya.

Pemerintahan Pakubuwana IX berlangsung selama 32 tahun dan berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia menjadi anak-anak sebagai raja Kasunanan Surakarta selanjutnya, bergelar Pakubuwana X.

·        GALERI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




 

*     PAKU BUWANA X

Pakubuwana X

ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧑꧐꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana X

Susuhunan Surakarta ke-9

Bertakhta : 30 Maret 1893 – 20 Februari 1939 (46 tahun berkuasa)

Penobatan : 30 Maret 1893

Pendahulu : Pakubuwana IX

Penerus : Pakubuwana XI

Patih : KRA. Sasradiningrat IV & KPAA. Jayanagara

Kelahiran : 29 November 1866,  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Kematian : 20 Februari 1939 (umur 72),  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Pemakaman : Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata:

Luitenant-jenderal Zijne Vorstelijke Hoogheid Sri Maharaja Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap :

1. Sri Susuhunan Pakubuwana X

2. Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna

3. Hanacaraka : ꦯꦿꦷꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧐꧇

Ayah : Pakubuwana IX

Ibu : KRA. Kustiyah (GKR.Pakubuwana)

Pasangan : GKR. Pakubuwana & GKR. Hemas (dan 39 istri selir)

Anak :

1. Susuhunan Pakubuwana XI

2. KGPH. Kusumayudha

3. KGPH. Hadiwijaya

4. Jenderal GPH. Jatikusuma

5. Mayjen. GPH. Purbanegara

6. GKR. Pembayun

7. Brigjen. GPH. Hariya Mataram

8. GPH. Suryahamijaya

(dan 56 putra-putri lainnya)

Agama : Islam

Pahlawan Nasional Indonesia

S.K. Presiden No. 113/TK/2011 tanggal 7 November 2011.

 

Letnan Jenderal (Tit.) Sri Susuhunan Pakubuwana X (sering disingkat sebagai PB X; 29 November 1866 – 20 Februari 1939) adalah susuhunan kesembilan dari Kesunanan Surakarta. Ia memerintah dari tahun 1893 – 1939, menjadikannya sebagai susuhunan yang paling lama memerintah dalam sejarah Surakarta.

Pakubuwana X menggantikan ayahnya, Pakubuwana IX sebagai susuhunan Surakarta ketika Pakubuwana IX meninggal pada 16 Maret 1893. Dua minggu setelahnya Pakubuwana X resmi dilantik sebagai Susuhunan pada 30 Maret 1893.

Pakubuwana X ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, atas jasa dan peran aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, pelopor pembangunan sosial-ekonomi, pendidikan rakyat, pembentukan jati diri bangsa dan integrasi.

Dalam pergerakan nasional, Pakubuwana X mendukung para pelopor perjuangan nasional melalui pemberian fasilitas, materi, keuangan dan moral. Selain itu, ia berperan serta membantu pergerakan Boedi Oetomo dan kerangka Sarekat Dagang Islam.

·        AWAL KEHIDUPAN

Pakubuwana X memiliki nama lahir (asma timur) sebagai Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna, putra Pakubuwana IX yang lahir pada tanggal 29 November 1866, dari permaisuri Kanjeng Raden Ayu (KRAy.) Kustiyah, kemudian bergelar GKR. Pakubuwana.[6] Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.

Kisah kelahirannya menjadi cermin kurang harmonisnya hubungan antara Pakubuwana IX dengan R.Ng. Ranggawarsita, pujangga kenamaan keraton. Pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya kepada Ranggawarsita kelak anaknya akan lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal dia berharap bisa mendapat putra mahkota dari KRAy. Kustiyah.

Selama sebulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau bertirakat, berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan seorang bayi laki-laki. Pakubuwana IX dengan bangga menuding ramalan Ranggawarsita meleset.

Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau “cantik”, tetapi singkatan dari rahayu yang berarti “selamat”. Mendengar jawaban Ranggawarsita, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Kurang harmonisnya hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah dari Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.

·        KEHIDUPAN PRIBADI

Pakubuwana X dikenal memiliki banyak selir, tetapi ia memiliki dua permaisuri (garwa padmi) adalah GKR. Pakubuwana putri Mangkunegara IV dan GKR. Hemas putri Hamengkubuwana VII. Dari kedua permaisurinya Pakubuwana X tidak memiliki putra laki-laki, pernikahannya dengan GKR. Hemas ia hanya dikaruniai seorang putri yang bernama GRAj. Sekar Kedhaton Koestijah yang kelak bergelar GKR. Pambayun.

Pakubuwana X juga memiliki 39 istri selir, dengan seluruh istrinya baik selir maupun permaisuri, Pakubuwana X memiliki 63 orang putra dan putri. Banyak dari putra-putri Pakubuwana X nantinya akan berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain:

-          KGPH. Hangabehi (kemudian bergelar Susuhunan Pakubuwana XI), yang pernah menjalaninya sebagai pelindung Sarekat Islam

-          KGPH. Hadiwijaya, politisi (mantan anggota Volksraad), budayawan, serta pencetus kerisologi (ilmu tentang keris)

-          Mayjen. GPH TNI. Purbanegara, penasehat militer pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Renville

-          Jenderal TNI (Purn.) GPH. Jatikusuma, Kepala Staf TNI Angkatan Darat pertama

-          Brigjen. TNI (Purn.) Prof. GPH. Harya Mataram, S.H., rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta pertama

-          GPH. Suryahamijaya, yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI serta ketua Pekan Olahraga Nasional (1948)

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern.

·        MASA PEMERINTAHAN

Pada masa pemerintahannya, Pakubuwana X melakukan pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan keterampilan. Pada bidang ekonomi Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan mendirikan Bank Bandhalumaksa yang berperan memberikan pinjaman kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika wabah pes melanda Surakarta.

Di bidang pendidikan, Pakubuwana X mendirikan Sekolah Pamardi Putri dan HIS Ksatriyan untuk kepentingan kerabat keraton serta mendirikan sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten. Selain mengembangkan pendidikan umum, Pakubuwana X juga mengembangkan pendidikan islam. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk mengembangkan pendidikan islam seperti mendirikan madrasah Mambaul Ulum dan menghidupkan kembali Pesantren Jamsaren.

Di bidang kesehatan Pakubuwana X membangun klinik kesehatan Panti Raga (kelak berkembang menjadi Rumah Sakit Kadipala) dan apotek Panti Husada yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kridha Nirmala. Infrastruktur modern banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Taman Sriwedari, Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang menghadap Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.

Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan menerbitkan media massa. Ia mendukung organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Di bidang kesenian, Pakubuwana X menciptakan Gendhing Panembrama, sebuah gending yang sering dipertunjukkan dalam acara pemberian penghargaan tanda jasa dari negara-negara sahabat. Selain itu, gending ini juga sebagai wujud legitimasi kekuasaan Pakuwana X sebagai penguasa Kesunanan Surakarta di tengah penyelesaian kekuasaan raja oleh pemerintah Hindia Belanda dan juga sebagai wujud perlawanan melalui seni karawitan.

·        GELAR

Penobatan Pakubuwana X sebagai susuhunan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 30 Maret 1893 (tahun Jawa: Kemis Wage 12 Pasa 1882). Ia memiliki berbagai gelar kebangsawanan, diantaranya:

-          Nama lahir: Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna

-          Sebagai putra mahkota: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI

-          Sebagai Susuhunan: Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Pakubuwana X menyandang nama dan gelar yang berbeda dalam setiap fase hidupnya, seperti kebiasaan di kalangan bangsawan Jawa yang tinggi. Ketika statusnya meningkat, gelar disesuaikan dengan perubahan status. Berikut adalah gelar yang pernah disandang oleh PB X diantaranya: Luitenant-kolonel (1884-1890), Kolonel (1890-1893), Generaal-majoor Zijne Hoogheid (1893-1923), Luitenant-generaal Zijne Hoogheid (1923-1932), Luitenant -jenderal Zijne Prinselijke Hoogheid dan Zijne Vorstelijke Hoogheid (1932-1939).

Pakubuwana X menjadi raja Kesunanan yang paling banyak menerima penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda. Pemberian gelar ini tidak lepas dari jasa-jasa Pakubuwana untuk pemerintah kolonial, seperti membantu residen dan gubernur dalam melaksanakan tugas di wilayah koloninya. Bantuan yang diberikan tentu saja dengan mempertimbangkan manfaat yang didapat bagi Kesunanan Surakarta. Intensitas pemberian gelar kepada Pakubuwana X yang lebih banyak dibandingkan elit lainnya di Jawa menyebabkan Pakubuwana X sering mengadakan tedhak loji dengan megah. Prosesi khusus dari keraton ke rumah residen yang sangat mewah tersebut menjadi sorotan masyarakat. Pakubuwana X tampil dengan megah melakukan tedhak loji disertai medali-medali, keluarga kerajaan, dan beberapa abdi dalem Kesunanan. Hubungan khusus antara Pakubuwana X dengan pemerintah kolonial menyebabkan pemerintah kolonial memberikan perlakuan khusus terhadap Pakubuwana sesuai dengan kontribusi yang diberikan.

J.F.W. van Nes, seorang dewan perwakilan kerajaan Belanda untuk wilayah Hindia Belada mengkritisi pemberian gelar ini. Ia khawatir bahwa memberikan tanda kehormatan kepada Susuhunan akan membenturkan nada tinggi yang telah terbangun. Di sisi lain, pemberian gelar ini mendapat pujian dari sesama bangsawan dari India, Jagatjit Singh. Selain itu, ia juga mengkritik pemerintah Inggris yang tidak memperkenankan bangsawan India yang menerima dan memakai medali kehormatan yang berasal dari Inggris atau negara lain.

·        POLITIK

Selama pemerintahannya yang panjang, Pakubuwana X mampu menjauhi pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah-olah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Hal ini tak lepas dari cara berpolitik Pakubuwana X yang oportunistik. Pakubuwana X cenderung berhati-hati dalam bertindak dan menjauhi hal-hal buruk yang dapat mengancam kekuatannya. Dengan strategi politik ini, Pakubuwana X dapat melaksanakan kewajibannya sebagai raja Surakarta sekaligus taat kepada pemerintah Hindia Belanda sedangkan pada saat yang sama ia juga membantu organisasi pergerakan nasional dengan memberikan berbagai bentuk dukungan terhadap Budi Utomo dan SI tanpa mendapat halangan dari pemerintah Hindia Belanda.

Petunjuk bahwa Pakubuwana X cenderung terlibat dalam aktivitas politik yang dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang pribumi saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah satu yang pertama kali dicurigai sebagai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat penyamaran, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Di luar Jawa, ia juga melawat ke Bali, Lombok, serta Lampung.

Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan dengan diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Hindia Belanda. Pada bulan 1922, Pakubuwana Februari X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut penyamaran, tetapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang monogram PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai gelang emas.

Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Jawa, Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Perjalanannya bersifat penyamaran, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar.

Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.

·        MOBIL

Pada tahun 1894, Pakubuwana X, menjadi orang sekaligus raja Jawa pertama yang memiliki mobil. Mobil yang dibeli adalah Benz Victoria Phaeton karya Karl Benz, Jerman.

Mobil itu dipesan melalui perusahaan Prottle & Co yang berkantor di Passer Besar, Surabaya. Harganya pada saat itu 10.000 Gulden yang kalau sekarang dirupiahkan sekitar Rp. 83 juta. Mobil ini baru diterima oleh Pakubuwana X setahun setelah pemesanan. Mobil tiba di pelabuhan laut Semarang.

Pada era 1800-an, sebagian besar transportasi darat di dunia, terutama di Jawa masih berbentuk gerobak yang ditarik kuda. Bahkan ada yang ditarik oleh sapi atau pun kerbau. Umumnya mendapat sebutan kereta. Masuknya Benz Victoria Phaeton ke tanah Jawa dianggap sebagai sesuatu yang unik, makanya disebut Kereta Setan karena ada 'kereta' yang berjalan tanpa ditarik kuda.

Kendaraan milik Pakubuwana X (1866–1939) ini pernah diikut sertakan dalam pameran RAI Amsterdam Motor Show tahun 1924. Jadi setelah di tangan PB X, mobil tersebut dibawa ke Belanda dari pulau Jawa dan kini menghuni di sebuah museum di Amsterdam.

Sebelum masuk jadi koleksi museum, pernah dimiliki oleh Royal Dutch Automobile Club (KNAC) selama bertahun-tahun. Mobil juga selalu hadir regular di acara London to Brighton Veteran Car.

Setelah memesan Benz Victoria Phaeton, selang 13 tahun kemudian, Pakubuwana X kembali memesan mobil baru asal Jerman. Pada tahun 1907, mobil bernama Britz Daimler tiba di tanah Jawa sekaligus menjadi mobil Daimler pertama yang hadir di Jawa. Pada saat itu, mobil merek ini termasuk dalam kategori mobil mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi.

·        KEHORMATAN

-          PAHLAWAN NASIONAL

Pada tahun 2009, karena kontribusinya terhadap kesejahteraan dan kepentingan penduduk pribumi di dalam kesunanan selama pemerintahannya, serta telah menjadi pelindung besar bagi banyak proyek ekonomi dan budaya lokal, Pakubuwana X ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

-          PENGHARGAAN

Semasa menjadi Susuhunan Surakarta, Pakubuwana X banyak menerima penghargaan berupa tanda jasa dari sejumlah negara, diantaranya :

 

Bintang Mahaputera Adipradana -Indonesia (2009) (Anumerta)


Knight Grand Cross of the Order of the Netherlands Lion - Belanda 21 Januari

 


Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau - Belanda (10 Mei 1922) 

 

Salib Perwira - Belanda

 

Ksatria Grand Cross dari Ordo Gajah Putih yang Terberkati - Thailand

 

Knight Grand Cross dari Ordo Paling Mulia Mahkota Thailand - Thailand

 

Salib Agung Tatanan Rumah Mahkota Wendish - Dinasti Macklenburg (1910)

 


Grand Cordon dari Order of Glory – Tunisia

 

First Class of the Order of Kim Khanh - Kekaisaran Annam/Dinasti Nguyễn

 

Grand Cordon of the Order of Leopold - Belgia (1935)

 

Grand Cross of the Order of Leopold II - Belgium (1920)

 

Grand Star of the Decoration of Honor for Services to the Republic of Austria - Austria (1926)

 

Grand Cordon of the Imperial Austrian Order of Franz Joseph - Austria

 

Commander Grand Cross of the Order of the Polar Star - Sweden (1932)

 

Grand Cross of the Order of the Star of Anjouan - Sultanate of the Comoros (1936)

 

Knight Grand Cross of the Order of the Crown of Italy - Italy

 

Order of Brilliant Jade - Republik Tiongkok (1933)

 

Grand Cordon of the Order of Ouissam Alaouite - Morocco (1936)

 

Knight Grand Cross of the Order of Saint Michael - Bavaria

 

Grand Cross of the Order of the Red Eagle - Prussia

 

Commander 1st Class of the Order of Henry the Lion - Duchy of Braunschweig

 

Commander of the Order of the Dannebrog - Denmark

 

Commander of the Order of the Black Star - Benin

 

Grand Officer of the Liberator - Venezuela 

  

Salib Besar Ordo Kerajaan Kamboja - Kamboja

 

Imperial Order of the Double Dragon, First Class Second Grade - Dinasti


·       
GALERI








o




 

*     PAKU BUWANA XI

Pakubuwana XI

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧑꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana XI

Susuhunan Surakarta ke-10

Berkuasa : 1939 – 1945

Pendahulu : Pakubuwana X

Penerus : Pakubuwana XII

Gubernur Jenderal : A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer

Gubernur Militer Jepang :

1. Hitoshi Imamura

2. Kumakichi Harada

3. Yuichiro Nagano

Kelahiran : 1 Februari 1886,  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Kematian : 1 Juni 1945 (umur 59),  Jepang Surakarta, Penduduk Jepang di Hindia Belanda

Pemakaman : Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata:

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sewelas ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Gusti Raden Mas Antasena

Ibu : KRA. Mandayaretna

Pasangan :

1. GKR. Kencana

2. GKR. Pakubuwana

3. KRAy. Dayaresmi

4. KRAy. Dayaningsih

5. KRAy. Dayasuma

6. KRAy. Dayaasmara

7. KRAy. Dayaningrat

 

Sri Susuhunan Pakubuwana XI (sering disingkat sebagai PB XI; 1 Februari 1886 – 1 Juni 1945) adalah susuhunan Surakarta yang memerintah pada tahun 1939 – 1945.

·        RIWAYAT PEMERINTAHAN

Nama aslinya adalah Raden Mas Ontoseno, merupakan putra sulung Pakubuwana X dari istri selir KRAy. Mandayaretna. la dilahirkan pada Senin Kliwon, 1 Februari 1886, dan setelah dewasa bergelar KGPH. Hangabehi. Ia naik tahta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April 1939.

Pengangkatan KGPH. Hangabehi menjadi Pakubuwana XI bukanlah tanpa konflik. Pasalnya, Pakubuwana X cenderung lebih memilih KGPH. Kusumayuda (GRM. Abimanyu), adik Hangabehi, untuk menggantikannya. Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap sebagai bangsawan Jawa yang berkepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada persoalan keuangan dan administrasi keraton. Di sisi lain, posisi Hangabehi juga sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda. Pakubuwana X sendiri memiliki putra dan putri lebih dari 60 orang. Masalah yang mengganjal adalah bahwa Pakubuwana X tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya. Dua putra Pakubuwana X yang tertua, Hangabehi dan Kusumayuda, lahir dari selir. Sebenarnya pada tahun 1898 Pakubuwana X sudah berniat mengangkat Kusumayuda sebagai putra mahkota meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi. Sampai akhirnya keinginan Pakubuwana X itu diurungkan, dan ia lebih memilih Hangabehi untuk menjadi pewaris tahta.

Hangabehi kemudian diberikan sejumlah posisi penting, di antaranya pemilihan sebagai Wedana Tengen (jabatan setingkat Pangageng Putra Sentana), serta mendapatkan kepercayaan sesoeratman, sebagai Wakil Ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan. Hangabehi juga diutus Pakubuwana X untuk menghadiri undangan peringatan 40 tahun kenaikan tahta Ratu Wilhelmina di Belanda.

Pada akhir bulan November 1938, Pakubuwana X sakit parah dan akhirnya wafat pada Februari 1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih KGPH. Hangabehi untuk menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwana XI. Pengangkatan Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan susuhunan. Dalam kontrak politik disebutkan bahwa Hangabehi dapat diturunkan dari kedudukannya jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam kontrak politik ditambah pemotongan anggaran belanja keraton secara drastis.

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu terlihat dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintahan penjajahan dari tangan Belanda ke Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Kasunanan Surakarta dengan nama Solo Koo. Pada masa pendudukan Jepang terjadi inflasi yang mengakibatkan keuangan keraton dan para bangsawan sangat menderita. Jepang juga merampas sebagian besar kekayaan keraton dan aset-aset Kasunanan Surakarta, hingga akhirnya Pakubuwana XI jatuh sakit. Pakubuwana XI kemudian wafat pada tanggal 1 Juni 1945, ia berevolusi oleh anak-anak yang masih berusia sangat muda sebagai Pakubuwana XII.

·        SILSILAH

-          Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana X dan istri selir KRAy. Mandayaretna.

-          Memiliki dua istri permaisuri:

                  i.            GKR. Kencana (wafat sebelum Pakubuwana XI naik tahta)

                ii.            GKR. Pakubuwana

 

-          Memiliki lima istri selir:

                  i.            KRAy. Dayaresmi

                ii.            KRAy. Dayaningsih

               iii.            KRAy. Dayasuma

               iv.            KRAy. Dayaasmara

                 v.            KRAy. Dayaningrat.

 

-          Memiliki enam putra:

                  i.            KGPH. Mangkubumi

                ii.            KGPH. Hangabehi

               iii.            KGPH. Prabuwijaya

               iv.            GPH. Bintara

                 v.            GPH. Natapura

               vi.            KGPH. Purbaya (naik tahta sebagai Susuhunan Pakubuwana XII)

 

-          Memiliki lima putri:

                  i.            GKR. Ayu

                ii.            GKR. Bendara

               iii.            GKR. Candrakirana

               iv.            GRAy. Kusumadartaya

                 v.            GKR. Kedaton

·        FALSAFAH HIDUP

Pakubuwana XI sering mengemukakan falsafah hidup yang disebutnya Tiji-Tibeh. Falsafah ini merupakan kepanjangan dari terminal mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Pernyataan ini berarti mati satu mati semua, kaya satu kaya semua. Falsafah ini berkaitan dengan nilai kebersamaan yang diterapkannya di Kesunanan Surakarta Hadiningrat.

·        GALERI

 

*     PAKU BUWANA XII

Pakubuwana XII

ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧒꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana XII

Susuhunan Surakarta ke-11

Berkuasa : 12 Juli 1945 – 11 Juni 2004

Pendahulu : Pakubuwana XI

Penerus : Pakubuwana XIII

Gubernur Militer Jepang : Yuichiro Nagano

Presiden :

1. Soekarno

2. Soeharto

3. B.J Habibie

4. Abdurrahman Wahid

5. Megawati Soekarnoputri

Kepala Daerah Istimewa Surakarta

Berkuasa : 1945 – 1946

Presiden : Soekarno

Kelahiran : 14 April 1925,  Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda

Kematian : 11 Juni 2004 (umur 79)  Indonesia Surakarta, Indonesia

Pemakaman : Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata:

 

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Kalih Welas ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Nama lengkap : Gusti Raden Mas Suryo Guritno

Ayah : Pakubuwana XI

Ibu : GKR. Pakubuwana

Pasangan :

1. KRAy. Mandayaningrum

2. KRAy. Rogasmara

3. KRAy. Pradapaningrum

4. KRAy. Kusumaningrum

5. KRAy. Retnadiningrum

6. KRAy. Pujaningrum



Letnan Jenderal TNI (Tit.) Sri Susuhunan Pakubuwana XII (disingkat sebagai PB XII, bahasa Jawa: ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ XII; 14 April 1925 – 11 Juni 2004) adalah susuhunan Surakarta yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun 1945 hingga 2004.

·        ·        AWAL KEHIDUPAN

Nama aslinya adalah Raden Mas Suryo Guritno, putra Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri KRAy. Koespariyah (bergelar GKR. Pakubuwana) pada tanggal 14 April 1925. Ia juga memiliki seorang saudara perempuan seibu bernama GRAy. Koes Sapariyam (bergelar GKR. Kedaton).

Suryo Guritno pada masa kecilnya pernah bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Pasar Legi, Surakarta. Oleh teman-temannya, Suryo Guritno sering dipanggil dengan nama Bobby. Di sekolah yang sama ini pula beberapa pamannya, putra Pakubuwana X yang sebaya dengannya menempuh pendidikan. Suryo Guritno termasuk murid yang mudah bergaul dan berubah-ubah dengan teman-teman yang berlangsung akrab, bahkan ketika di sekolah pun ia bergaul tanpa melihat status sosial yang disandangnya. Waktu kecil ia gemar mempelajari tari-tarian klasik, dan yang paling digemari adalah Tari Handaga dan Tari Garuda. Ia juga pemuda yang gemar mengaji pada Bapak Pradjawijata dan Bapak Tjandrawijata dari Mambaul Ulum. Kegemarannya yang lain adalah olahraga panahan. Mulai tahun 1938 Suryo Guritno terpaksa berhenti sekolah cukup lama, sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya yang memperoleh mandat mewakili kakeknya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama raja-raja di Hindia Belanda saat itu untuk menghadiri acara perayaan peringatan peringatan 40 tahun kebangkitan Ratu Wilhelmina.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung) bersama beberapa pamannya. Baru dua setengah tahun ia belajar, pecah Perang Pasifik, dan waktu itu bala tentara Jepang menang melawan sekutu dan Hindia Belanda pun jatuh ke tangan Jepang.

Pakubuwana XI memintanya pulang dari Bandung ke Surakarta. Kemudian, ia harus menerima kenyataan sedihnya dikarenakan pada hari Sabtu, 1 Juni 1945, Pakubuwana XI wafat. Berdasarkan tradisi maka KGPH. Mangkubumi, putra sulung Pakubuwana XI, sesungguhnya yang paling berhak meneruskan perkebunan. Namun peluang itu tertutup setelah ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI), telah meninggal dunia pada tahun 1910 sehingga tidak ada kesempatan diangkat sebagai permaisuri tatkala suaminya memudar ke kerajaan. Makalah membuka peluang untuk Suryo Guritno bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur paling muda.

Teka-teki itu kian terkuak saat jenazah Pakubuwana XI dimakamkan di Astana Imogiri, Suryo Guritno tidak terlihat hadir di pemakaman. Sebelum naik tahta sebagai raja, Suryo Guritno diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar KGPH. Puruboyo. Terlepas setuju atau tidak, keluarga keraton harus mulai bisa menerima pertanda itu, karena berdasarkan kepercayaan adat keraton, bakal raja dipanggungkan datang ke pemakaman. Namun versi lain menyebutkan, pengangkatan Suryo Guritno itu berkaitan erat dengan peran yang dimainkan Presiden Soekarno. Pakubuwana XII dipilih karena masih muda dan mampu mengikuti perkembangan serta tahan terhadap situasi. Meski raja baru telah disepakati, tetapi bukan berarti seluruh masalah terselesaikan. Rencana penobatan Suryo Guritno sempat mendapat tentangan keras dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Jepang menyatakan tidak berani menjamin keselamatan calon raja.

·        ·        RIWAYAT PEMERINTAHAN

-          MASA REVOLUSI FISIK

Raden Mas Suryo Guritno naik tahta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Karena masih sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia sering kali didampingi ibunya, GKR. Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng. Pakubuwana XII dijuluki Sinuhun Hamardika karena merupakan Susuhunan Surakarta pertama yang memerintah pada era kemerdekaan.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan selamat dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari sebelum maklumat Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah Istimewa dari Presiden Soekarno.

Selama revolusi fisik Pakubuwana XII memperoleh gelar kehormatan militer (titel) Letnan Jenderal dari Presiden Soekarno. Kedudukannya itu menjadikan ia sering diajak mendampingi Presiden Soekarno meninjau ke beberapa medan pertempuran. Tanggal 12-13 Oktober 1945, Pakubuwana XII sendiri bahkan ikut serta memuat markas Kenpetai di Kemlayan. Ia juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan selamat.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Soekarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.

Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.

Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Apalagi Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga membekukan status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kesunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII berubah menjadi sebagai simbol dan pemangku adat Surakarta.

-          USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Pakubuwana XII juga ikut berjuang bersama rakyat mempertahankan Kemerdekaan Indonesia karena menyadari kedudukannya sebagai tokoh masyarakat adat terlebih dirinya adalah seorang Letnan Jenderal (tituler) TKR. Maka Pakubuwana XII bertekad untuk ikut berjuang, salah satunya adalah dengan memberikan aset keraton Surakarta, untuk mendukung kebutuhan perjuangan nasional. Pakubuwana XII juga banyak memberikan aset-aset dan inventaris baik barang maupun keuangan dalam mensuplai kebutuhan logistik dan dana, serta berbagai macam persenjataan. Hampir seluruh kekayaan keraton diberikan tanpa sisa untuk kepentingan perjuangan nasional.

Ketika Agresi Militer Belanda II pecah, ia berulang kali mendampingi Presiden Soekarno melihat pertempuran depan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain mendampingi Presiden Soekarno dalam melakukan inspeksi ke berbagai garis pertempuran depan, Pakubuwana XII juga kerap bersinergi dan berkonsolidasi dengan pimpinan TKR di wilayah Surakarta seperti Kolonel Gatot Subroto pada masa Agresi Militer Belanda II. Ia juga salah satu tokoh penyusun strategi dan kekuatan, bersama dengan Letnan Kolonel Slamet Riyadi, dan Mayor Achmadi Hadisoemarto dalam memimpin prajurit TKR pada Serangan Umum 4 Hari Surakarta pada tahun 1949. Pakubuwana XII juga banyak membantu memerdekakan sejumlah pegawai besar RI dan Tentara Pelajar (TP) ) yang semula menjadi tawanan politik maupun tawanan perang Belanda.

Tak henti-hentinya di situ, Pakubuwana XII juga melibatkan dirinya menjadi salah satu pendamping delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

-          ERA KEMERDEKAAN

Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

Sebenarnya Pakubuwana XII sudah berusaha untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta. Pada tanggal 15 Januari 1952 Pakubuwana XII pernah memberi penjelasan tentang Wilayah Swapraja Surakarta secara panjang lebar pada Dewan Menteri di Jakarta, dalam kesempatan ini ia menjelaskan bahwa Pemerintah Swapraja tidak mampu mengatasi gejolak dan rongrongan yang disertai ancaman bersenjata, sementara Pemerintah Swapraja sendiri tidak memiliki alat kekuasaan. Namun usaha itu tersendat-sendat karena tak kunjung menemui titik temu. Pada tahun 1954, akhirnya Pakubuwana XII sendiri memutuskan untuk meninggalkan keraton guna menempuh pendidikan di Jakarta. Ia menunjuk KGPH. Kusumayudha, pamannya, sebagai wakil sementara di keraton.

Pada masa pemerintahannya, terjadi dua kali musibah yang menimpa Keraton Surakarta. Pada tanggal 19 November 1954, bangunan tertinggi di kompleks keraton, yaitu Panggung Sangga Buwana, mengalami kebakaran yang menghancurkan sebagian besar bangunan termasuk atap dan hiasan di puncak bangunan. Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 1985, pada malam Jumat Wage, kompleks inti keraton terbakar pada pukul 21.00 WIB. Kebakaran terjadi di gedung Sasana Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina, Dalem Ageng Prabasuyasa, Dayinta, dan Paningrat. Seluruh bangunan termasuk segala isi dan perabotannya tersebut musnah dilalap api.

Akhirnya, pada tanggal 5 Februari 1985, Pakubuwana XII melapor kepada Presiden Soeharto atas musibah yang menimpa Keraton Surakarta. Presiden Soeharto mengajukan usulan dengan membentuk Panitia 13 guna mengemban tugas untuk melaksanakan rehabilitasi keraton. KRT. Harjanagara, budayawan nasional sekaligus sahabat Pakubuwana XII, termasuk dalam jajaran Panitia 13 ini. Keraton Surakarta berhasil pulih setelah mendapat dana 4 miliar rupiah dari pemerintah pusat, dan pembangunan kembali kompleks inti keraton dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1987.

Pada tanggal 26 September 1995, lima puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan SK No. 70/SKEP/IX/1995, Pakubuwana XII mendapat penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari pemerintah pusat. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada Pakubuwana XII yang pada masa awal kemerdekaan merupakan raja pertama di Indonesia yang menyatakan setia dan berdiri di belakang pemerintahan republik. Pakubuwana XII juga secara sukarela menyumbangkan sebagian kekayaan pribadinya maupun kekayaan Keraton Surakarta kepada pemerintah pusat saat itu.

Meskipun pada awal pemerintahannya Pakubuwana XII dapat dikatakan kurang berhasil secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi sosok figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, seperti Presiden Abdurrahman Wahid, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.

-          AKHIR PEMERINTAHAN

Pada pertengahan tahun 2004, Pakubuwana XII mengalami koma dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Panti Kosala Dr. Oen Surakarta. Akhirnya pada tanggal 11 Juni 2004, Pakubuwana XII dinyatakan meninggal.[7] Wafatnya Pakubuwana XII bersamaan dengan keramaian kampanye Pemilihan Umum Presiden di Surakarta. Sepeninggalnya sempat terjadi perebutan kematian antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.

·        ·        SILSILAH

-          Putra pertama Susuhunan Pakubuwana XI dan permaisuri GKR. Pakubuwana, atau anak terakhir dari sebelas putra dan putri Susuhunan Pakubuwana XI.

 

-          Memiliki enam istri:

                  i.            KRAy. Mandayaningrum

                ii.            KRAy. Rogasmara

               iii.            KRAy. Pradapaningrum

               iv.            KRAy. Kusumaningrum

                 v.            KRAy. Retnadiningrum

               vi.            KRAy. Pujaningrum

 

-          Memiliki lima belas putra dan dua puluh putri:

                  i.            GRAy. Koes Handawiyah/GKR. Alit

                ii.            GRM. Surya Partana/KGPH. Hangabehi (naik takhta sebagai Susuhunan Pakubuwana XIII)

               iii.            GRM. Surya Suprapta/KGPH. Hadi Prabawa

               iv.            GRAy. Koes Supiyah/GKR. Galuh Kencana

                 v.            GRM. Suryana/KGPH. Puspa Hadikusuma

               vi.            GRAy. Koes Rahmaniyah

             vii.            GRAy. Koes Saparniyah

           viii.            GRAy. Koes Handariyah/GKR. Sekar Kencana

               ix.             GRAy. Koes Kristiyah

                 x.            GRAy. Koes Sapardiyah

               xi.             GRAy. Koes Raspiyah

             xii.            GRM. Surya Susena/KGPH. Kusumayudha

            xiii.            GRAy. Koes Sutriyah

            xiv.            GRAy. Koes Isbandiyah/GKR. Retna Dumilah

             xv.            GRM. Surya Suteja/KGPH. Panembahan Agung Tejawulan

            xvi.            GRM. Surya Bandana/KGPH. Puger

          xvii.             GRAy. Koes Partinah

        xviii.            GRM. Surya Suparta/KGPH. Dipakusuma

            xix.            GRM. Surya Sarasa

             xx.             GRM. Surya Bandriya/KGPH. Benawa

            xxi.            GRAy. Koes Niyah

          xxii.            GRM. Surya Sudhira/GPH. Natakusuma

        xxiii.            GRM. Surya Suharsa/GPH. Madukusuma

        xxiv.             GRM. Surya Sudarsana/GPH. Wijaya Sudarsana

          xxv.            GRAy. Koes Murtiyah/GKR. Wandansari

        xxvi.             GRAy. Koes Sabandiyah

       xxvii.            GRAy. Koes Triniyah

     xxviii.            GRAy. Koes Indriyah/GKR. Ayu

         xxix.            GRM. Surya Sutrisna/GPH. Surya Wicaksana

          xxx.            GRM. Nur Muhammad/GPH. Cahyaningrat

         xxxi.            GRAy. Koes Suwiyah

       xxxii.            GRAy. Koes Ismaniyah

     xxxiii.            GRAy. Koes Samsiyah

     xxxiv.            GRAy. Koes Saparsiyah

       xxxv.            GRM. Surya Wahana/GPH. Surya Mataram

 

·        ·        PENGHARGAAN MILITER

-          Titular Lieutenant General rank on November 1, 1945

-          Satyalancana War of Independence I on August 17, 1958

-          Satyalancana War of Independence II on August 17, 1958

-          Award for the Darma Bakti for the Development of the Indonesian Armed Forces issued by President Soekarno on October 5, 1958

-          Hero's Service Medal in the Guerrilla Struggle to Defend Independence issued by President Soekarno on 10 November 1958

-          Received the Indonesian Struggle Veterans Card on June 8, 1968

 

·        ·        GALERI







 

*    PAKU BUWANA XIII

Pakubuwana XIII

ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧑꧓꧇

 

Sri Susuhunan Pakubuwana XIII

Susuhunan Surakarta ke-12

Bertakhta : 10 September 2004 – sekarang

Pendahulu : Pakubuwana XII

Presiden :

1. Megawati Soekarnoputri

2. Susilo Bambang Yudhoyono

3. Joko Widodo

Nama lengkap : Gusti Raden Mas Suryo Partono

Kelahiran : 28 Juni 1948 (umur 74) Surakarta, Indonesia

Wangsa : Mataram

Nama Tahta/Jumeneng Nata:

 

Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Tiga Welas ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Ayah : Pakubuwana XII

Ibu : KRA. Pradapaningrum

Pasangan :

1. KRAy. Endang Kusumaningdyah (bercerai)

2. KRAy. Winarti (bercerai)

3. GKR. Pakubuwana

 

Anak :

1. GRM. Suryo Suharto/KGPH. Mangkubumi

2. GRM. Suryo Aryo Mustiko/KGPH. Purbaya

3. GRAy. Rumbai Kusuma Dewayani/GKR. Timur

4. GRAy. Devi Lelyana

5. GRAy. Ratih Widyasari

6. BRAy. Sugih Oceani (wafat sebelum PB XIII naik takhta)

7. GRAy. Putri Purnaningrum

 

Agama Islam

 

Sri Susuhunan Pakubuwana XIII (disingkat sebagai PB XIII, bahasa Jawa: ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤꦏꦥꦶꦁꦠꦶꦒꦮꦺꦭꦱ꧀; lahir 28 Juni 1948) adalah Susuhunan Surakarta kedua belas yang bertakhta sejak tahun 2004. Gelar Pakubuwana XIII awalnya diklaim oleh dua pihak, setelah wafatnya Susuhunan Pakubuwana XII tanpa putra mahkota yang jelas karena ia tidak memiliki permaisuri, maka dua putra Pakubuwana XII dari ibu yang berbeda saling mengakui takhta ayahnya.

Putra yang tertua, KGPH. Hangabehi, oleh keluarga didaulat sebagai penguasa keraton dan KGPH. Tejowulan menyatakan keluar dari keraton; dua-duanya mengklaim pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Pakubuwana XIII.

Konflik Raja Kembar tersebut berlangsung selama sekitar delapan tahun, hingga pada tahun 2012 dualisme kepemimpinan di Kasunanan Surakarta akhirnya usai setelah KGPH. Tejowulan mengakui gelar Pakubuwana XIII menjadi milik KGPH. Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan KGPH. Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (kemudian mahamenteri) dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung.

·         ·         KEHIDUPAN

Dalam buku Mas Behi: Angger-Angger dan Perubahan Zaman yang diterbitkan Yayasan Pawiyatan Kaidulan Keraton Surakarta tahun 2004 disebutkan, dari seorang garwa ampil Susuhunan Pakubuwana XII bernama KRAy. Pradapaningrum, telah lahir seorang anak lelaki tertua pada Senin, 28 Juni 1948, dengan nama GRM. Suryadi. Karena sakit-sakitan, neneknya yang permaisuri Susuhunan Pakubuwana XI bernama GKR. Pakubuwana, mengganti nama sang cucu menjadi GRM. Suryo Partono (bahasa Jawa: Gusti Raden Mas Surya Partana) seperti lazimnya masyarakat kebanyakan mengikuti petuah spiritual dalam adat Suku Jawa. Ketika sudah dewasa dan Pakubuwana XII bersama seluruh komunitas keraton berada di alam republik, pada tahun 1979 paugeran atau pranata adat lalu menetapkan GRM. Suryo Partono yang merupakan putra laki-laki tertua berhak menyandang nama Hangabehi dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya. Artinya, dia adalah seorang pangeran tertua yang disiapkan menjadi calon penerus tahta.

Dalam pemerintahan Kasunanan Surakarta, KGPH. Hangabehi pernah meninggal sebagai Pangageng Museum Keraton Surakarta dan berbagai jabatan penting lainnya. Ia juga mendapat anugerah Bintang Sri Kabadya I oleh Pakubuwana XII atas jasa-jasanya dalam mengatasi musibah kebakaran yang melanda Keraton Surakarta tahun 1985. Dari seluruh putra-putri Pakubuwana XII, hanya Hangabehi yang pernah memperoleh bintang kehormatan tersebut.[3] Untuk berkarier di luar keraton, Hangabehi pernah bekerja di Caltex Pacific Indonesia, Riau, sebelum akhirnya pindah ke Jakarta.[3][4] Selain menerima beberapa anugerah tertinggi dari beberapa lembaga institusi dalam negeri maupun negara asing, Hangabehi juga mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Global (GULL, Amerika Serikat). Kegemaran kesehariannya pun berbeda dengan kebanyakan orang di luar keraton. Hangabehi, selain hobi bermain keyboard dan berbagai alat musik lainnya, juga pernah aktif di Organisasi Amatir Radio Indonesia.

·  ·         ·         NAIK TAHTA SEBAGAI RAJA

Setelah wafatnya Susuhunan Pakubuwana XII pada 11 Juni 2004, terjadi ketidaksepakatan di antara putra-putri Pakubuwana XII mengenai siapa yang akan menggantikan kedudukan raja. Pada tanggal 31 Agustus 2004, salah satu putra Pakubuwana XII, KGPH. Tejowulan, dinobatkan sebagai raja oleh beberapa putra-putri Pakubuwana XII di Sasana Purnama, Badran, Kottabarat, Surakarta, yang merupakan salah satu rumah milik pengusaha BRAy. Mooryati Sudibya.

Padahal, sebelumnya dalam rapat Forum Komunikasi Putra-Putri (FKPP) Pakubuwana XII yang berlangsung 10 Juli 2004, menetapkan bahwa putra tertua Pakubuwana XII, KGPH. Hangabehi, yang berhak menjadi raja selanjutnya, dan memilih tanggal penobatan Hangabehi sebagai raja pada 10 September 2004. Namun pada awal September 2004, secara tiba-tiba KGPH. Tejowulan bersama para pendukungnya kewalahan dan mendobrak pintu Keraton Surakarta. Keributan ini bahkan sempat menimbulkan beberapa orang luka-luka, termasuk para bangsawan dan abdidalem yang saat itu berada di dalam keraton. Atas kejadian tersebut, KP. Edy Wirabumi (suami GKR. Wandansari) selaku ketua Lembaga Hukum Keraton Surakarta mendampingi beberapa orang kuasa hukum bahkan melaporkan para pendukung Tejowulan ke Polresta Surakarta atas dasar perusakan cagar budaya di lingkungan keraton.

Akhirnya pada 10 September 2004, KGPH. Hangabehi tetap dinobatkan sebagai raja oleh para pendukungnya di Keraton Surakarta. Kehadiran tiga sesepuh keraton, yaitu Brigjen. Prof.GPH. Harya Mataram, S.H., BKPH. Prabuwinata, dan GRAy. Panembahan Bratadiningrat, yang merestui KGPH. Hangabehi menjadi Pangeran Adipati Anom di Dalem Ageng Prabasuyasa, merupakan salah satu legitimasi bertakhtanya Hangabehi sebagai raja baru Kasunanan Surakarta. Ketiga sesepuh keraton tersebut juga berkenan mengawal Hangabehi ketika berjalan menuju ke Bangsal Manguntur Tangkil di Kompleks Sitihinggil Lor untuk menyaksikan dan merestui jumenengan nata sebagai Susuhunan Pakubuwana XIII, berikut kesaksian oleh sejumlah putra-putridalem, para cucu Susuhunan Pakubuwana XII (wayahdalem), para bangsawan dan pejabat keraton (sentaladalem), para abdidalem, para duta besar negara asing, utusan-utusan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia, serta masyarakat.

·        ·         REKONSILIASI DENGAN K.G.P.H. TEJOWULAN

Rekonsiliasi damai antara KGPH. Hangabehi dan KGPH. Tejowulan berlangsung pada tahun 2012, atas prakarsa wali kota Surakarta saat itu, Joko Widodo. Penandatanganan rekonsiliasi dilakukan di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, 4 Juni 2012. Rekonsiliasi itu disaksikan berbagai pihak seperti Ketua DPR-RI Marzuki Alie, Pimpinan Komisi II, IV, dan IX DPR-RI, perwakilan Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Wali Kota Surakarta Joko Widodo, dan lainnya.[10] Rekonsiliasi menyepakati bahwa KGPH. Tejowulan bersedia melepas gelar Pakubuwana XIII. Selanjutnya, Tejowulan mendapat gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung,[1] dan gelar Susuhunan Pakubuwana XIII secara tunggal menjadi milik KGPH. Hangabehi.

Pada awalnya, rekonsiliasi damai tersebut sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh GKR. Wandansari (Gusti Moeng). Saat pelaksanaan upacara Tingalandalem Jumenengan (peringatan kenaikan pengeringan) Susuhunan Pakubuwana XIII yang ke-8 pada 15 Juni 2012, kubu LDA yang terdiri dari beberapa orang putra-putri Pakubuwana XII dan Pakubuwana XIII bahkan sempat menghalangi rombongan kubu Tejowulan yang hendak memasuki Sasana Sewaka, hingga menyebabkan terjadinya menonjol dan adu mulut antara GKR. Timur (putri tertua Pakubuwana XIII) bersama salah seorang bibinya yang tergabung dalam kubu LDA, dengan salah satu pangeran dari kubu pendukung rekonsiliasi. Meski demikian, upacara dapat langsungkan dengan kondusif dan KGPH. Tejowulan yang secara resmi diundang untuk menghadiri upacara tersebut dipersilakan duduk bersila di sebelah singgasana Pakubuwana XIII, yang selanjutnya ia melakukan sungkem di hadapan Pakubuwana XIII sebagai permohonan maaf.

Konflik kembali terjadi pada 26 Agustus 2013. GKR. Wandansari dan beberapa kerabat keraton yang tergabung di LDA memaksa masuk ke dalam Sasana Putra di kawasan Keraton Surakarta dan membuat kekacauan dengan membubarkan secara paksa acara halal bihalal sekaligus pengukuhan Tejowulan sebagai mahamenteri yang diadakan oleh Pakubuwana XIII. Bahkan, pada malam harinya terjadi skenario susulan yang mengakibatkan pendobrakan pintu gerbang Sasana Putra oleh pendukung massa Pakubuwana XIII dan sebagian warga Baluwarti. Usai mendobrak pintu Sasana Putra, massa berusaha menyelamatkan Pakubuwana XIII dan keluarganya yang telah dimandikan oleh pihak LDA. Setelah peristiwa tersebut, Pakubuwana XIII tidak dapat memasuki kawasan inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya beberapa akses dari kediamannya di Sasana Narendra menuju kawasan inti keraton. Setelah TNI dan Polri turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat, pada bulan April 2017 akhirnya Pakubuwana XIII dan Tejowulan dapat kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara tingalandalem jumenengan yang dihadiri oleh keluarga, abdi dalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.

·      ·         RIWAYAT PEMERINTAHAN

-          PERAN SEBAGAI RAJA SURAKARTA

Sejak dinobatkan menjadi raja Kasunanan Surakarta pada 10 September 2004, Susuhunan Pakubuwana XIII telah berperan dan terlibat dalam berbagai peristiwa penting, khususnya mengenai kedudukan sebagai kepala keluarga keraton dan yang dipertuan pemangku adat, yang merupakan simbol dan pemimpin informal kebudayaan Jawa khususnya budaya Jawa gagrak ( gaya) Surakarta. Selain menyelenggarakan berbagai upacara adat dan acara besar keraton seperti labuhan, grebeg, sekaten, kirab malam 1 Sura, dan lainnya, Pakubuwana XIII juga melanjutkan tradisi pemberian gelar kebangsawanan atau kepangkatan (selain yang diberikan untuk keluarga keraton dan abdidalem) setara honoris causa kepada pejabat pemerintahan, anggota TNI dan Polri, politisi, pengusaha, ulama, tenaga kependidikan, seniman dan budayawan, maupun masyarakat umum dari berbagai kalangan yang dianggap berprestasi, memiliki perhatian terhadap pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, atau memiliki jasa terhadap Keraton Surakarta dan Republik Indonesia.

Sebagai raja Kasunanan Surakarta yang secara tradisional dianggap sebagai figur pelindung kebudayaan Jawa, pada tahun 2014 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X dari Kesultanan Yogyakarta dan perwakilan dari Kesultanan Kasepuhan Cirebon ikut menyaksikan kirab dan sarasehan kebudayaan dalam rangka hari jadi Kabupaten Batang.[21] Dalam bidang pelestarian kebudayaan, Pakubuwana XIII beberapa kali menghadiri dan berpartisipasi dalam berbagai pameran keris dan tosan aji serta mengadakan pergelaran wayang kulit. Pada peringatan Hari Wayang Nasional dan Dunia di Institut Seni Indonesia Surakarta tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana XIII bersama KPA. Begug Purnomosidi (mantan bupati Wonogiri) turut menerima penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai pemrakarsa pergelaran wayang kulit dengan kelir terpanjang di dunia. Di tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana XIII selaku pemimpin tertinggi keluarga besar Keraton Surakarta memberikan kekancingan dan surat silsilah kepada keluarga keturunan Bapak RAA. M.Sis Cakraningrat dan GKR. Pembayun (putri tunggal Susuhunan Pakubuwana X dengan permaisurinya, GKR. Hemas) yang menjadi bukti pengesahan bahwa mereka adalah pemilik sah dari tanah seluas beberapa hektar di Temon, Kulon Progo yang akan digunakan untuk bangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta, yang kepemilikannya sempat diambil oleh orang lain .

Susuhunan Pakubuwana XIII aktif memimpin langsung pelaksanaan upacara-upacara adat dan menghadiri peresmian perkumpulan abdidalem di berbagai daerah. Selain itu, Pakubuwana XIII bersama para wali Keraton Surakarta juga terus menjaga hubungan baik dengan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah, Kota Surakarta, serta daerah-daerah lain. Seperti yang pernah dilakukan kepada beberapa wali kota Surakarta sebelumnya, pada 20 September 2021 Pakubuwana XIII secara langsung memberikan gelar kebangsawanan kepada Wali Kota Gibran Rakabuming Raka. Pada bulan Oktober-November 2021, Pakubuwana XIII dan Keraton Surakarta ikut membantu program pencegahan Covid-19 di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan dengan memberikan 20.000 dosis vaksin gratis untuk warga. Dalam hubungannya dengan pemimpin dan kerabat Kadipaten Mangkunegaran, pada tanggal 12 Maret 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X dan Adipati Pakualam X secara resmi mengadakan upacara pengukuhan Adipati Mangkunegara X di Pura Mangkunegaran Surakarta.

-          MELANTIK PUTRA MAHKOTA

Dalam upacara Tingalandalem Jumenengan yang ke-18 pada 27 Februari 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII mengangkat KGPH. Purbaya, yang merupakan putra laki-lakinya yang lahir dari permaisuri, sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta dengan gelar KGPAA. (Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram. Pengukuhan Purbaya sebagai putra mahkota tersebut disaksikan oleh kakak dan beberapa adik perempuan Pakubuwana XIII, kakak perempuan Purbaya, keluarga besar Keraton Surakarta yang hadir, para abdidalem, dan para tamu undangan yang terdiri dari beberapa pejabat tinggi pemerintahan serta perwakilan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia dan masyarakat umumnya, termasuk Ketua DPD-RI La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto dan Addatuang Sidenreng XXV Andi Faisal.

·      ·         SILSILAH

-          Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana XII dan KRAy. Pradapaningrum.

-          Menikah tiga kali:

                  i.            Nuk Kusumaningdyah/KRAy. Endang Kusumaningdyah (bercerai)

                ii.            Winari Sri Haryani/KRAy. Winarti (bercerai)

               iii.            Asih Winarni/KRAy. Pradapaningsih/GKR. Pakubuwana (sebagai permaisuri)

 

-          Memiliki dua putra:

                  i.            GRM. Suryo Suharto/KGPH. Mangkubumi

                ii.            GRM. Suryo Aryo Mustiko/KGPH. Purbaya (Purubaya)/KGPAA. Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram (sebagai putra mahkota).

 

-          Memiliki lima putri:

                  i.            GRAy. Rumbai Kusuma Dewayani/GKR. Timur

                ii.            GRAy. Devi Lelyana Dewi

               iii.            GRAy. Ratih Widyasari

               iv.            BRAy. Sugih Oceani

                 v.            GRAy. Putri Purnaningrum

 

·      ·         GALERI

 



 



J.    GALERI KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADINIGRAT













K. SRI RADYA LAKSANA, IDENTITAS KASUNANAN SURAKARTA HADINIGRAT? 

Kraton Surakarta Hadiningrat, salah satu kerajaan Jawa yang masih terjaga eksistensinya hingga kini, menyimpan berbagai peninggalan yang dijadikan pusaka, salah satunya adalah Radya Laksana. Banyak referensi mengartikan “radya” sebagai “kerajaan” atau “negara”, sedangkan “laksana” berarti “karakter”, “identitas”, atau “lambang”, yang jika digabungkan bermakna “lambang kerajaan”.

Wujud fisik lambang kerajaan itu berbentuk dasar garis oval warna emas yang mengitari gambar matahari, bintang, bulan, serta bumi berpaku yang menggelayut di angkasa biru. Wujud oval itu dilengkapi mahkota berwarna merah dengan garis-garis keemasan, dan berlandaskan kapas dan padi yang berbulir keemasan pula. Pita merah-putih berjuntai indah menguntai pangkal kapas dan padi itu.

Lambang Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sri Radya Laksana.

Sri Radya Laksana itu terpampang sebagai relief sejumlah aset Kasunanan Hadiningrat yang tersebar di Kota Solo. Radya Laksana dalam bentuk Iencana kerap dikenakan para kerabat Kasunanan Surakarta di sisi kiri baju, menjadi motif batik, atau dipasang sebagai vandel di rumah. Radya Laksana sejak mulanya merupakan penanda kerabat Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang terdiri atas:

1.       Sampeyan-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana, raja Kraton Solo,

2.       putra-putri dalem atau putra dan putri raja,

3.       wayah dalem atau cucu raja,

4.       sentana dalem atau kerabat raja,

5.       tedak turun dalem atau keturunan keluarga kerajaan,

6.       abdi dalem atau pegawai kerajaan, dan

7.       kawula hangedhep atau masyarakat yang berkiblat ke Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Sri Hartatiningtyas dalam buku Gelar dan Ageman Pisowan Surakarta Hadiningrat, tak hanya memaknai lambang kerajaan, karena “laksana” menurut dia bermakna “perjalanan yang tulus lahir dan batin”. Dengan demikian, makna dari lambang kraton tersebut menurutnya lebih merupakan tuntunan hidup dengan tatanan budaya Jawa.

Lebih terperinci, Eko Adhy Setiawan dalam tesis Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro berjudul Konsep Simbolisme Tata Ruang Keraton Surakarta Hadiningrat memaparkan istilah Radya Laksana terdiri atas dua kata bahasa bahasa Sansekerta atau Kawi. “Radya” berasal dari kata “radian” yang bermakna “krajan” atau “kerajaan. Sedangkan, “laksana” bisa dimaknai:

1.       Ifiri, pratanda, ngalamat, atau ciri, tanda, pertanda,

2.       Kabegjan atau keberuntungan,

3.       Laku atau jalan, perilaku.

Untuk itu, sambung Eko Adhy Setiawan dalam tesis yang dibikin tahun 2000 itu, Radya Laksana bisa diurai dalam makna simbolis dan filosofis. Makna simbolis terkait dengan nilai historis asal-usul raja, mulai dari Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I. Menurut dia, sejarah raja merupakan silsilah yang tercermin dalam lingkaran bulat telur. Gambar paku dan bumi menunjukkan nama Paku Buwana, yaitu Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono yang selanjutnya terus dipakai sebagai nama raja-raja yang memerintah di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Gambar surya atau matahari, menurut Eko Adhy Setiawan, mengisyaratkan nama R.M.G. Surya atau Sunan Hamengkurat Jawa. Gambar candra atau sasangka atau bulan mengisyaratkan nama R.M.G. Sasangka yang bernama Panembahan Purbaya. Gambar kartika atau sudama atau bintang mengisyaratkan nama R.M.G. Sudama yang juga bernama Pangeran Blitar.

A.M. Hadisiswaya dalam bukunya, Pergolakan Raja Mataram, lebih gamblang menguraikan hubungan ketiga tokoh yang perlambangnya termuat dalam Radya Laksana tersebut dengan Sunan Pakubuwono X sebagai penciptanya. Menurutnya, ketiga putra Pakubuwono I selaku pendiri Kraton Kartasura adalah leluhur yang sama bagi Pakubuwono X dan permaisurinya.  Menurut catatan sejarah, ia berpermaisurikan putri K.G.P.A.A. Mangkunagara IV bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana dan putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII bergelar Gusti Kanjeng Ratu Emas.

Sedangkan makna filosofis yang merupakan tuntunan hidup bernegara dan berperikehidupan (tuntunaning ngagesang) didasarkan Eko Adhy Setiawan pada setiap bentuk benda yang tergambar pada lambang tersebut. Format penjelasan yang sama disampaikan sejarawan Purwadi dan arkeolog Djoko Dwiyanto dalam buku mereka, Kraton Surakarta, yang diterbitkan delapan tahun setelah tesis Eko Adhy Setiawan.  Nama ada Eko Adhy Setiawan dalam daftar pustaka buku 903 halaman yang disebut penerbit Panji Pustaka sebagai karya Purwadi dan Djoko Dwiyanto itu.

1. Makutha atau mahkota merupakan simbol raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, siapa saja yang memakai atau menerima gambar mahkota selayaknya berjiwa budaya Jawa. Dalam arti jiwa budaya Jawa mestinya memberi tuntunan, budaya sebagai uwoh pangolahing budi secara lahir dan batin berdasarkan budi luhur dan keutamaan. Pakarti lahir harus seiring dengan pakarti batin, hal yang demikian mencerminkan adanya sifat keharmonisan dalam budaya Jawa,

2. Warna merah dan kuning pada mahkota dalam budaya Jawa merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini terlihat dalam bentuk lahir dan batin yang mencerminkan sabar, tidak terburu nafsu dan sejenisnya. Hal ini memiliki makna filosofis bahwa seseorang raja harus memiliki jiwa kasepuhan,

3. Warna biru muda yang menjadi warna dasar bentuk oval pada lambang itu adalah perpaduan antara warna biru dan putih. Warna biru dan putih membawa watak menolak perbuatan yang tidak baik. Wama biru muda merupakan simbol angkasa atau langit yang mencerminkan watak orang berwawasan luas dan pemberi maaf,

4. Surya atau matahari merupakan sumber kekuatan dan sumber penerang dan hidup yang akan menjadikan dunia tegak penuh dengan sinar penerang dan hidup. Hal ini merupakan simbol bahwa orang yang berjiwa budaya Jawa harus dapat menanamkan kekuatan dan dapat memancarkan sinar kehidupan dengan tidak mengharapkan imbalan. Surya menjadi sarana bagi kehidupan di bumi.

5. Candrasasangka atau bulan menjadi sumber penerang pada malam hari tanpa menimbulkan panas, tetapi teduh memberi cahaya kepada siapapun dan apapun tanpa kecuali. Hal yang demikian makna bahwa jiwa budaya Jawa harus didasari watak pemberi dan memancarkan penerang yang tidak menyebabkan silau tetapi memancarkan kelembutan dan kedamaian. Candra menjadi sarana daya rasa (batin) bagi kehidupan di planet Bumi.

6. Kartika atau bintang memiliki sifat memancarkan sinar, hanya kelihatan gemerlap di sela-sela kegelapan malam. Hal ini memiliki ajaran bahwa raja atau seseorang agar dapat memberikan penerang kepada siapapun yang sedang dalam kegelapan. Makna itu juga mengingatkan kepada manusia bahwa masalah gelap dan terang dalam kehidupan ini silih berganti. Kartika menjadi sarana dan daya menambah teduhnya kehidupan di planet Bumi.

7. Bumi secara lahiriah merupakan tempat kehidupan dan juga tempat berakhirnya kehidupan. Bumi atau jagat juga mengingatkan manusia sebagai mikrokosmos juga memiliki jagad besar atau malcrokosmos. Lambang Bumi ini sekaligus menjadi pasemon atau kiasan adanya kesatuan jagad kecil dan jagad besar. Bumi atau jagat manusia berada dalam hati. Oleh karena itu manusia agar dapat menguasai keadaan harus dapat menyatukan diri dengan dunia besar. Dalam Kejawen, sikap semacam itu disebut Manunggaling Kawula lan Gusti. Sifat bumi adalah momot dan kamet atau dapat menampung dan menerima yang gumelar (ada). Bumi sebagai lambang welas asih, dapat anyrambahi sakabehe.

8. Paku sebagai kiasan atau pasemon agar selalu kuat. Hal ini mengandung ajaran bahwa agar kehidupan di Bumi bisa kuat dan sentosa maka harus didasari jiwa yang kuat. Tidak mudah goyah atas dasar satu kekuatan yang maha besar dari Tuhan YME yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup di Bumi.

9. Kapas dan padi melambangkan sandang pangan, yakni kebutuhan lahir dalam kehidupan manusia. Sandang dinomorsatukan atau didahulukan, sedangkan pangan dinomorduakan atau dikemudiankan. Hal yang demikian mengandung ajaran bahwa sandang berhubungan dengan kesusilaan dan diutamakan, sedangkan pangan berhubungan dengan lahiriah dinomorduakan. Oleh karena itu, manusia hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada masalah pangan. Kehidupan manusia dibumi tidak lepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi.

10. Pita merah putih sebagai kiasan bahwa manusia terjadi dengan perantara ibu-bapak (ibu bumi bapa kuasa). Merah melambangkan ibu, sedangkan putih melambangkan bapak. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalu ingat kepada ibu-bapak, yang tercermin dalam ungkapan Mikul Dhuwur Mendhern Jero yang maksudnya sebagai anak harus dapat mengharumkan nama orang tua dan dapat menghapuskan kejelekan nama orang tua. Pita merah putih juga dapat diartikan laki-laki dan perempuan sebagai lambang persatuan. Untuk mencapai tujuan harus dilandasi semangat persatuan (antara gusti dan kawula).

Maka, jelaslah Radya laksana merupakan tuntunan hidup, bagi yang memakai lambang tersebut, dimana pun mereka berada akan menjalankan watak-watak yang terlukis dalam lambang (tindakna, watak wantun kang tinemu ing lambang).

Lalu dari mana Pakubuwono X beroleh gagasan membuat Radya Laksana yang kaya perlambang bermakna simbolis dan filosofis itu? Purwadi selaku dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta dalam Jurnal Seni dan Budaya Tradisi terbitan Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI) Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa Pakubuwono X membuat Radya Laksana berdasarkan, “relief gambar kuno yang yang merupakan lambang kerajaan Jawa kuno yang terdapat di atas Regol atau Kori Sri Manganti.”

Jika dugaan Purwadi bahwa lambang yang ada regol atau kori Sri Manganti itu benar  lambang kerajaan, sejatinya tidak tepat benar lambang di bagian atas kosen regol atau Kori Sri Manganti itu disebut lambang “kerajaan Jawa kuno”. Berdasarkan data yang dihimpun Eko Adhy Setiawan, regol atau Kori Sri Manganti—baik lor maupun kidul—dibangun Pakubuwono III ( 1749-1788) pada tahun 1772. Sedangkan, tim penulis Pustaka Sri Radyalaksana terbitan 1939, mencatat Kori Sri Manganti Wetan diperbaiki 1814, pada masa berkuasanya Pakubuwono IV (1788 -1820). Maka lambang di bagian atas kosen regol atau Kori Sri Manganti itu lebih mungkin lambang Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebelum diperkenalkannya Sri Radya Laksana ciptaan Pakubuwono X.

Sarjana Sastra pendidik Kesenian yang bekerja di Universitas Negeri Yogyakarta dan sejumlah perguruan tinggi lainnya itu mestinya mengerti benar bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Pakubuwono III ataupun Pakubuwono IV bukan tergolong “kerajaan Jawa kuno”. Bahkan meskipun karya kedua raja itu lebih usang ketimbang karya-karya Pakubuwono X. Pada dasarnya sejak Pakubuwono II hingga Pakubuwono XIII, kerajaan itu mestinya dipandang dalam satu kesatuan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Kalaupun Sri Radya Laksana lebih kondang sebagai lambang Kasunanan Surakarta Hadiningrat, maka tak semestinya lambang mirip lambang Kesultanan Otoman—dengan banyak wujud senjata semburat dari wujud dasar lambangnya—yang hingga kini masih bisa ditemui di bagian atas kosen regol atau Kori Sri Manganti itu disebut lambang “kerajaan Jawa kuno”.

Ketenaran Sri Radya Laksana itu tidak bisa dipisahkan dari masa keemasan selama Sampeyan-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayiddin Panotogomo Ingkang kaping X sebagai pembuat lambang baru Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu berkuasa, 1893-1939. Lambang Kasunana Surakarta Hadiningrat bikinan Pakubuwono X itu tersebar ke seantero Pulau Jawa, bahkan luar negeri.

Setiap kali melakukan kunjungan kenegaraan ataupun menerima tamu negara, ia gemar membagikan buah tangan yang mencantumkan lambang tersebut. Itupun tak selalu dalam wujud Sri Radya Laksana karena pada kenyataannya Pakubuwono X bukan hanya memperkenalkan dan menggunakan satu jenis lambang. Hingga kini, berbagai varian lambang Pakubuwono X itu masih bisa dilihat di kereta-kereta kencana atau bagian atas bangunan-bangunan yasan-dalem atau hasil karyanya di seputaran Kraton Solo maupun Kota Solo.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AR (Augmented Reality)

  A.     APA ITU AUGMENTED REALITY AR (Augmented Reality) adalah teknologi yang memperluas dunia fisik dengan cara menambahkan lapisan infor...

HALAMAN