Mengenai Saya

Foto saya
Hi, Nama Saya Sandra Bagus Nugroho saya pemilik Blog History Of World Empire

Rabu, 03 Mei 2023

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX | ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧙꧇

 

Hamengkubuwana IX

ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇

Sri Sultan Hamengku Buwana IX

Sultan Yogyakarta ke-9

Bertakhta

18 Maret 1940 – 2 Oktober 1988

Penobatan: 18 Maret 1940

Pendahulu: Sultan Hamengkubuwana VIII

Pengganti: Sultan Hamengkubuwana X

Wakil Presiden Indonesia ke-2

Masa jabatan

23 Maret 1973 – 23 Maret 1978

Presiden: Soeharto

Pendahulu: Mohammad Hatta

Pengganti: Adam Malik

Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1

Masa jabatan

6 September 1950 – 27 April 1951

Presiden: Soeharto

Pendahulu: Tidak ada, jabatan baru

Pengganti: Widjojo Nitisastro

Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5

Masa jabatan

6 September 1950 – 27 April 1951

Presiden: Soekarno

Perdana Menteri: Mohammad Natsir

Pendahulu: Abdul Hakim

Pengganti: Suwiryo

Menteri Negara Indonesia

1948-1949: Menteri Negara

1948–1950: Menteri Pertahanan

1952–1953: Menteri Pertahanan              

1964–1966: Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan

1966: Menteri Pariwisata

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1


Masa jabatan

4 Maret 1950 – 2 Oktober 1988

Wakil: Paku Alam VIII

Pengganti: Paku Alam VIII

Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka ke-1


Masa jabatan

14 Agustus 1961 – 27 November 1974

 

Pendahulu: Tidak ada, jabatan baru

Pengganti: M. Sarbini

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Gusti Raden Mas Dorodjatun

Lahir: 12 April 1912, Ngasem, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Keresidenan Yogyakarta, Hindia Belanda

Meninggal: 2 Oktober 1988 (umur 76) Washington, D.C., Amerika Serikat

Pemakaman: Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa: Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana VIII

Ibu: Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah)

Agama: Islam

Jenderal TNI. (Tit.) H. Gusti Raden Mas Dorodjatun atau yang lebih dikenal dengan nama: Sri Sultan Hamengkubuwana IX (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇; 12 April 1912 – 2 Oktober 1988,[a] lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX juga merupakan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.

A.    LATAR BELAKANG

Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda.  Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School).

Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil  sebagai Henkie (henk kecil).

Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School (taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan Bandung.

Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang kelak akan menjadi Ratu Belanda.

Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air, beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.

Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah. Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

·         GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.

·         Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda

·         Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.

Dikisahkan,  setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,  GRM Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr. Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu berdasar bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.

Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak politik dengan Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau tandatangani tanpa dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.

Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar  Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.

A.    LATAR BELAKANG

Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda.  Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School).

Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil  sebagai Henkie (henk kecil).

Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School (taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan Bandung.

Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang kelak akan menjadi Ratu Belanda.

Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air, beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.

Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah. Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

·         GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.

·         Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda

·         Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.

Dikisahkan,  setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,  GRM Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr. Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu berdasar bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.

Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak politik dengan Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau tandatangani tanpa dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.

Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar  Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.

B.     KEHIDUPAN AWAL DAN PENDIDIKAN

1.      MASA KECIL

Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan Gusti Pangeran Puruboyo dari istri utamanya, Raden Ajeng Kustilah. Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta. Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915. Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918–1919. Monfries serta Roem dkk. menuliskan bahwa penyebab pemulangan ini adalah retaknya hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya; sementara Romo Tirun mengatakan bahwa penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk melindungi KRA Adipati Anom.

Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal terpisah dari keraton. Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan. Ia tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman. Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda. Nama panggilan ini terus ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.

Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School kemudian Eerste Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian, ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada bulan Juli 1925. Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III sekolah tersebut, yaitu pada bulan Februari 1921. Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.

Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal bersama keluarga Voskuil, seorang sipir penjara di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup panas, Dorodjatun merasa tidak cocok dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HBS Bandoeng pada tahun 1928. Di sana, ia bersama kakaknya, BRM Tinggarto, tinggal bersama dengan seorang tentara militer Belanda, Letnan Kolonel De Boer.

2.      PENDIDIKAN DI BELANDA

Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung, ayah Dorodjatun dan Tinggarto memerintahkan mereka untuk belajar ke Belanda. Mereka berangkat melalui jalur laut bulan Maret 1930 dengan ditemani oleh keluarga Hofland, seorang direktur pabrik gula di Gesikan. Mereka berdua bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem yang merupakan gabungan dari dua lembaga berbeda, yaitu Hoogere Burgerschool B (HBS-B) dan Stedelijk Gymnasium. Di Haarlem, mereka tinggal di kediaman kepala sekolah mereka, Mourik Broekman.[20] Dorodjatun kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di sekolah tersebut. Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda, ia harus turun dua kelas di Haarlem. Ia bukanlah siswa yang istimewa maupun cemerlang di sana. Meskipun beberapa nilainya tergolong baik, Dorodjatun harus mengulang di beberapa mata pelajaran, terutama hingga dua kali di pelajaran geometri dan trigonometri. Kakaknya, Tinggarto, juga mengalami hal yang sama di Haarlem. Keduanya berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun 1934.

Dorodjatun dan kakaknya kemudian pindah ke Leiden. Mereka masuk ke perguruan tinggi Rijksuniversiteit Leiden, kini Universitas Leiden. Dorodjatun mengambil studi Indologi, studi yang mempelajari administrasi kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda; sementara Tinggarto memilih studi yang lebih populer, yakni bidang hukum. Belum sempat menyelesaikan tesis untuk gelar doktorandusnya, Dorodjatun bersama saudara-saudaranya yang berada di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja untuk kembali ke Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke Polandia tahun 1939. Tesis yang hampir selesai tersebut dibawa ke Jawa bersamanya dalam bentuk manuskrip dan belum pernah dikumpulkan. Naskah itu hilang dan hanya diketahui judulnya saja, yaitu "Kontrak Politik antara Sunan Solo dan Pemerintah Belanda". Hingga akhir hayatnya, Hamengkubuwana IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat mengikuti wisuda kelulusannya.

C.     MENJADI SULTAN YOGYAKARTA

1.      PULANG KE HINDIA BELANDA

Setelah tiba di Batavia pada bulan Oktober 1939, GRM Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok. Paman-paman yang menjemputnya bersikap hormat serta menggunakan krama inggil untuk menegurnya, bukan ngoko seperti biasanya. Dorodjatun beserta rombongan penjemputnya kemudian pergi menuju Hotel des Indes, tempat ayah dan anggota keluarga lainnya menginap di Batavia.

Ketika seorang penguasa swapraja sedang berada di Batavia, umumnya ada banyak agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang dihadiri keluarga kerajaan bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan santapan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada saat bersiap untuk menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun disematkan keris Kyai Jaka Piturun oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada putra penguasa yang dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini menandakan bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.

Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia, keluarga kerajaan beserta Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta api Eendaagsche Express. Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Sesampainya di Yogyakarta, ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga wafat pada tanggal 22 Oktober 1939.

2.      KONTRA POLITIK

Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan menandatangani kontrak politik baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika Dorodjatun akan naik takhta. Sebelum pejabat Belanda dapat melakukan negosiasi dengan calon Sultan baru, proses suksesi di internal keluarga kerajaan harus diselesaikan terlebih dahulu. Dengan ini, Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para saudara dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya. Kesemua kerabatnya tidak keberatan jika Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya. Banyak penulis dan sejarawan yang mengatakan bahwa secara de facto dari sini Dorodjatun sebenarnya sudah menjadi Sultan Yogyakarta ke-9, tepatnya sekitar tanggal 26 Oktober 1939, dua hari setelah pemakaman ayahnya.

Untuk membuat kontrak baru, Dorodjatun harus bernegosiasi dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam sebagai perwakilan Pemerintah Hindia Belanda. Lucien Adam merupakan seorang pejabat senior Hindia Belanda dan seorang Javanicus (ahli adat istiadat Jawa). Monfries mencatat bahwa Gubernur Adam ingin segera membentuk hubungan yang baik dengan Dorodjatun dalam laporan-laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia. Mereka berdua pun memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengambil studi di Universitas Leiden, meskipun terpaut umur yang cukup jauh. Adam, yang umurnya sudah mendekati 50 tahun, merasa harus menjadi seperti figur ayah yang bertanggung jawab bagi Dorodjatun. Keduanya sebenarnya termasuk cukup akrab bahkan sering saling meminjam buku bacaan satu sama lain.

Hampir setiap hari Dorodjatun harus bertemu dengan Gubernur Adam sejak awal November 1939 untuk merundingkan kontrak politiknya. Perjanjian ini digunakan untuk memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa Hamengkubuwana VIII berkuasa dan memiliki isi yang lebih detail. Perundingan tersebut berlangsung alot. Menurut buku Takhta untuk Rakyat, pembicaraan mengenai jabatan Patih Danurejo yang selain bertanggung jawab kepada Sultan juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat dari Pemerintah Hindia Belanda, serta prajurit keraton yang diminta agar berada di bawah KNIL menjadi penyebabnya. Sementara itu, Monfries, mengutip laporan-laporan Gubernur Adam, menuliskan bahwa Adam mengalami kesulitan dalam perundingan di bidang anggaran sipil, kepolisian, hutan, dan jangkauan otoritas hukum Sultan atas rakyat-rakyatnya. Monfries berpendapat bahwa sangat sulit menemukan penjelasan dari bukti-bukti yang ada atas perbedaan yang sangat besar dari versi Hamengkubuwana dengan laporan-laporan Gubernur Adam.

Di lain hal, Gubernur Adam, dalam laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia, mengatakan bahwa Dorodjatun memiliki perilaku yang baik. Ia menambahkan bahwa Dorodjatun telah mengubah sistem perbelanjaan di keraton dengan cepat. Rencana kebijakan lain yang disorot oleh Adam adalah reformasi besar-besaran di keraton oleh Dorodjatun, yaitu dalam hal tingkat kekuasaan kepada rakyatnya, pembagian antara kekayaan keraton dan kesultanan yang lebih jelas, dan pengaturan pembayaran gaji kepada anggota keluarganya. Selain itu, Dorodjatun ingin mengurangi jumlah pegawai negeri sembari menaikkan gaji mereka, juga mengubah peran tentara dengan menambahkan tugas jaga kepada mereka.

Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun tiba-tiba menyetujui kontrak politik tersebut secara langsung tanpa adanya penolakan atas isi-isinya sebagaimana yang telah ia sampaikan dalam perundingan-perundingan sebelumnya. Ia mengaku melakukannya setelah mendapatkan wisik (bisikan) dari almarhum ayahnya yang mendatanginya dalam mimpi.

Wis, Tholé, tekena waé. Landa bakal lunga saka bumi kéné.

(Sudahlah, Nak, tanda tangani saja. Belanda akan pergi dari bumi sini.)

Wisik yang diterima Dorodjatun.

Kegiatan perundingan selesai lebih cepat daripada laporan Gubernur Adam tanggal 18 Februari 1940 yang menyatakan bahwa perundingan mungkin selesai pada bulan April sebelum Grebeg diadakan. Dengan demikian, prosesi upacara penobatan dilaksanakan sebulan lebih cepat daripada pelaksanaan Grebeg. Kontrak politik yang terdiri atas 17 bab dan 59 pasal tersebut kemudian ditandatangani oleh kedua pihak pada tanggal 12 Maret 1940 meskipun dalam surat tertanggal 18 Maret 1940.

3.      PENOBATAN

GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret 1940, sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.

Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara, serta dua pangeran dari Solo. Beberapa pejabat senior Belanda seperti H.J. van Mook, Gubernur Semarang, dan Gubernur Solo juga hadir. Dalam upacara ini, Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato yang bernada progresif dan teguh pendirian serta menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa.

D.     PERANG DUNIA II

1.      PENDUDUKAN BELANDA

Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda rencananya akan menghadiri perayaan naik takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1940. Belum sempat sampai di Yogyakarta, Panglima dipanggil kembali ke Belanda. Dua hari setelah perayaan dilangsungkan, Jerman menduduki Belanda. Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengumpulkan dana perang; Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite Dukungan dengan sumbangan sebesar 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden dari Kesultanan Yogyakarta, dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian, otoritas Belanda agak kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit berbicara untuk hal ini, berbeda dengan Paku Alam yang menyatakan dukungannya kepada Gubernur Adam.

Pada bulan April–Mei 1941, Menteri Koloni Charles Walter sempat berkunjung ke Hindia Belanda, tetapi tidak mengunjungi Vorstenlanden meskipun telah didesak oleh pers lokal. Tanggal 6 Desember 1941, Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang setelah terjadinya Pengeboman Pearl Harbor. Gubernur Adam dalam pertemuannya dengan Gubernur Jenderal di Batavia menyusun rencana apabila Jepang menyerang Hindia Belanda. Monfries mengungkapkan bahwa empat penguasa Vorstenlanden rencananya akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Jakarta atau Bandung; sementara Sultan mengatakan bahwa keempat penguasa akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Australia. Hamengkubuwana menolak ajakan tersebut dan menyatakan akan tetap berada di Yogyakarta. Dalam beberapa catatan dan wawancara, ia juga mengatakan bahwa Belanda memiliki rencana untuk menculiknya dan menjadikannya tawanan, tetapi pergerakan tentara Jepang yang sangat cepat menyebabkan rencana ini gagal.

"Apa pun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat".

2.      PENDUDUKAN JEPANG

Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang. Tentara Jepang yang datang kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada Gubernur Adam untuk sementara. Gubernur Adam dan Hamengkubuwana IX selalu aktif memberikan pesan publik agar tidak terjadi kepanikan di masyarakat. Setelah keadaan Yogyakarta lebih tenang, Sultan Hamengkubuwana bersama Patih Danurejo mengunjungi beberapa daerah kekuasaannya. Sultan menyimpulkan bahwa rakyat tetap tenang dan tidak terlalu terganggu dengan keadaan perang. Hamengkubuwana yang mudah mengadaptasikan pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang sangat aktif dalam mengumumkan dan mengimplementasikan sebagian besar isi dekret pemerintahan militer Jepang, membuat atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai. Terlepas dari itu, Adam diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret dan diasingkan secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.

Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya di bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih Dalem yang sebelumnya harus bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah Kolonial Belanda kini hanya bertanggung jawab kepada Sultan saja. Pada tanggal 1 Agustus 1942, Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta menjadikan Yogyakarta sebuah Kooti atau Kochi, sementara Hamengkubuwana IX menjadi Koo (penguasa) wilayah tersebut. Jepang menganggap Sunan Pakubuwana sebagai primus inter pares di antara keempat penguasa Vorstenlanden; ketika ada undangan pertemuan dengan petinggi tentara Jepang, Sunan sering mewakili tiga penguasa lainnya. Jika Sunan dan Sultan bersama-sama hadir, Sunan mewakili Surakarta dan Mangkunegaran, sementara Sultan mewakili Yogyakarta dan Pakualaman. Bulan September 1944, Pakubuwana XI jatuh sakit, Hamengkubuwana IX menggantikannya menjadi perwakilan di antara para penguasa Vorstenlanden. Peran ini kemudian diambil kembali oleh Pakubuwana XII ketika naik takhta menggantikan ayahnya yang mangkat.

Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa, banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi data statistik produktivitas pertanian dan peternakan.  Sultan mengajukan pembangunan sebuah kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak agar pengairan sawah dapat dilakukan sepanjang tahun dari yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan. Usulan ini diterima oleh pihak Jepang. Monfries mencatat bahwa pemerintah kolonial bahkan membantu pendanaan pembangunannya sebanyak satu juta gulden. Pembangunan saluran irigasi ini kemudian dijadikan alasan agar tidak banyak romusa yang diambil dari Yogyakarta, sehingga masyarakat lebih difokuskan di sini. Saluran irigasi ini kemudian disebut Selokan Mataram, sementara dalam bahasa Jepang dinamakan Gunsei Hasuiro atau Gunsei Yosuiro (Kanal Yosuiro). Saluran ini dinilai berhasil, ditandai dengan meningkatnya produktivitas pertanian sehingga sumbangan bahan pangan kepada tentara Jepang juga meningkat. Meskipun telah berhasil mengurangi jumlah romusa yang diambil kolonial, Romo Tirun mengungkapkan bahwa tetap ada penduduk yang diambil menjadi romusa, tetapi jika dibandingkan dengan daerah lain maka jumlah di Yogyakarta lebih sedikit. Klaim ini dibantah oleh Monfries yang menuliskan bahwa walaupun memang jumlahnya lebih kecil daripada keseluruhan Jawa, laporan tahun 1944 mengatakan bahwa jumlah romusa yang dikirim malah melebihi jumlah yang diminta Jepang.

Selama masa pendudukan Jepang ini, Hamengkubuwana IX melakukan beberapa reformasi di Kesultanan. Pada akhir bulan Juli 1942, ia mengganti nama-nama lembaga pemerintahan daerah yang sebelumnya berbahasa Belanda menjadi berbahasa Jawa. Pada tahun 1944, ia membuat layanan publik dapat diakses dari kelas dan kelompok masyarakat mana pun sehingga banyak pegawai negeri yang diterima dari kalangan biasa, membentuk komite daerah untuk membantu para panewu (camat), juga mengeluarkan instruksi agar pelatihan pegawai negeri dilakukan lebih intensif. Selain itu, ia menghapus distrik dan menjadikan kapanewon (kecamatan) sebagai lembaga administratif terbawah, juga menghapus pengadilan khusus bagi bangsawan. Selo Soemardjan mengungkapkan bahwa sebagian besar reformasi itu adalah uji coba, sehingga tidak semuanya berjalan dengan sukses.

Akhir tahun 1944, kesehatan Patih Danurejo yang merupakan sepupu ayah Sultan mulai menurun. Pada tanggal 17 Juli 1945, Patih Danurejo mengundurkan diri dengan alasan umur yang sudah lanjut dan telah mengabdi selama 12 tahun di jabatan tersebut. Hamengkubuwana IX mengambil alih tugas-tugasnya sejak 1 Agustus 1945 dan berkantor di Kepatihan, tempat para patih bekerja. Meskipun dalam dekret pembentukan Kooti dijelaskan bahwa Pemerintahan Tentara Jepang harus menunjuk seorang Somutyokan (Patih), pemerintah saat itu tidak mempermasalahkan hal ini. Sejak saat itu, jabatan Patih Danurejo dihapuskan.

E.     MASA REVOLUSI NASIONAL

1.      BERGABUNG DENGAN INDONESIA

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 20 Agustus 1945, dikirimkan lagi telegram oleh Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta, menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan"; diikuti oleh Paku Alam VIII. Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai kerajaan di Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia. Pada tanggal 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Paku Alam VIII juga menyatakan amanat setelahnya atas Kadipaten Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta. Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat, ditandai dengan tibanya Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini ditandatangani Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta tiba, menandakan bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian Indonesia.

2.      AWAL MASA REVOLUSI NASIONAL

Karena banyaknya jumlah laskar pemuda setelah kemerdekaan, termasuk di Yogyakarta, Hamengkubuwana IX meminta para pemuda melapor kepadanya di kantornya (Kepatihan) agar lebih mudah mengorganisasikan mereka. Ia kemudian membentuk Laskar Rakyat Mataram, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tentara Rakyat Mataram, gabungan dari laskar-laskar yang telah ada. Sri Sultan menjadi panglimanya, sementara Selo Soemardjan menjadi kepala stafnya. Setelahnya, Hamengkubuwana diterima menjadi perwira kehormatan senior Tentara Keamanan Rakyat, menjadi anggota dewan tertinggi tentara bersama tiga penguasa Catur Sagotra yang lain, serta menerima pangkat jenderal kehormatan pada bulan November 1945.

Bulan November 1945, saat Pertempuran Surabaya terjadi, Sri Sultan melawat ke Surabaya. Ia bertemu dengan Gubernur Soerjo di Mojokerto sebelum tiba di pinggiran Kota Surabaya. Sultan mengatakan kepada wartawan bahwa pertempuran ini menunjukkan kekejaman Inggris serta kebijakan diplomasi bukanlah hal yang tepat untuk kasus ini. Terdapat cerita terkenal dari kunjungan ini, yaitu ketika Sultan mencapai daerah sekitar Madiun, ia dicegat sekelompok warok yang menanyakan, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab, "Saya Suyono," dan lolos.

3.      YOGYAKARTA MENJADI IBU KOTA NEGARA

Pada tanggal 3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pemindahan ini pada awalnya merupakan tawaran Sri Sultan dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui kurir ke Jakarta. Sore tanggal 4 Januari 1946, Soekarno, Mohammad Hatta, dan para pejabat negara kala itu berangkat dengan perjalanan kereta luar biasa ke Yogyakarta. Kedatangan mereka di Stasiun Tugu disambut oleh Sri Sultan.

Untuk kebutuhan pemerintahan RI, banyak gedung di Yogyakarta dijadikan kantor-kantor pemerintah. Salah satunya adalah Gedung Agung menjadi kantor presiden yang hingga saat ini masih menjadi Istana Presiden Indonesia. Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Sultan Hamengkubuwana membantu pendanaan operasional pemerintahan RI.

Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Hamengkubuwana memulai beberapa reformasi. Ia menetapkan seluruh bisnis resmi dilakukan dengan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa. Ia memberikan sebagian keraton untuk digunakan Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghibahkan lahan di Bulaksumur yang menjadi kampus UGM saat ini. Ia dinilai berhasil mengantisipasi adanya revolusi—seperti yang terjadi di Surakarta dan sebagian besar Sumatra—di Yogyakarta yang dikhawatirkan akan melengserkan dirinya.

4.      AWAL KARIER DI KABINET

Hamengkubuwana IX ditunjuk menjadi Menteri Negara di Kabinet Sjahrir III, pertama kalinya ia masuk ke dalam jajaran kabinet. Kala itu, ia ditugasi dalam urusan mengenai daerah istimewa di Indonesia. Semasa menjabat jabatan tersebut, ia memberi saran dan mencoba memecahkan masalah yang terjadi di daerah-daerah istimewa yang lain. Ia mengunjungi Surakarta setelah terjadinya pergolakan antarpihak pemerintahan di sana pada bulan Oktober 1946. Ia juga mengunjungi beberapa kota di Sumatra pada bulan Maret 1946 untuk melihat keadaan pemimpin adat dan keluarga mereka yang ditahan oleh revolusionis di sana. Bulan April 1947, ia kembali lagi ke Sumatra mengunjung Pematang Siantar, Bukittinggi, dan Medan. Ia mencoba menyelesaikan masalah revolusi sosial Sumatra, yang disebutkan Monfries sebagai "usaha yang hampir mustahil". Dalam kunjungannya ke Pematang Siantar, Hamengkubuwana sempat menegaskan bahwa Perundingan Linggarjati tidak menjamin kemerdekaan sepenuhnya, menekankan bahwa perlu adanya kesatuan antara tentara, pemerintah, dan masyarakat.

Pada tahun 1948, Hamengkubuwana IX ditunjuk menjadi Menteri Negara Koordinator Keamanan dalam Kabinet Hatta I. Hatta pada awalnya menginginkannya menjadi Menteri Pertahanan, tetapi ia menolak sehingga Hatta yang mengisi jabatan itu. Bulan September 1948, terjadi Pemberontakan PKI di Madiun. Sri Sultan kemudian berdiskusi dengan Soekarno dan mengutus Abdul Haris Nasution ke Madiun. Nasution menganggap pemberontakan tersebut harus cepat ditumpaskan, ia khawatir komandan-komandan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan bergabung dengan pemberontak. Pada pertemuan kabinet setelahnya, Soedirman diberikan kuasa "untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi menjaga negara". Soedirman menempatkan Nasution dalam komando strategis operasi itu. Hamengkubuwana IX membuat siaran agar rakyat mendukung Soekarno dan pemerintahan Hatta, menegaskan bahwa pemerintahan ini dibentuk untuk membangun negara dan pihak komunis hanya ingin menghancurkannya. Hamengkubuwana, Gubernur Soerjo, dan Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur lantas pergi ke Madiun. Hamengkubuwana IX jauh di depan meninggalkan mobil Gubernur Soerjo dan Kepala Kepolisian yang kemudian diketahui terbunuh di Walikukun. Hamengkubuwana IX mengatakan bahwa ia dilaporkan hal tersebut oleh seorang kurir setengah jam setelah melewati daerah tersebut, kontras dengan klaim Nasution yang menyebutkan bahwa pembunuhan tersebut baru diketahui olehnya dua hari setelah jasad mereka ditemukan.

Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, Hamengkubuwana IX mengusulkan bentuk pemerintahan baru di Surakarta. Ia secara terbuka menyamakan Surakarta sebagai 'Barat yang Liar' (The Wild West). Ia melapor kepada Hatta bahwa pendekatan terbaik untuk menyelesaikan masalah di sana adalah dengan menggunakan organ administratif yang masih layak dengan tetap memasukkan para pangeran agar kalangan monarki tidak menjadi "kekuatan antirevolusioner". Ia mengusulkan Daerah Istimewa Surakarta dengan identitasnya sendiri tetapi dipandu undang-undang yang diberlakukan di Jawa Tengah. Struktur pemerintahan yang ada adalah daerah tersebut akan dipimpin seorang gubernur yang dipilih Presiden; dibantu tujuh orang dewan pemerintahan: lima orang dipilih badan legislatif daerah, satu dipilih Sunan Surakarta, dan satu dipilih Adipati Mangkunegara; dan juga dibantu oleh Dewan Penasihat yang terdiri atas Sunan dan Adipati. Keputusan ini dianggap lumayan memuaskan Republiken yang antifeodal tanpa menghilangkan pengaruh monarki demi menarik sentimen lokal karena penggabungan Surakarta ke Jawa Tengah yang belum begitu umum bagi rakyat Surakarta.

5.      AGRESI MILITER II

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi militernya. Aksi militer ini diawali dengan penyerbuan Lapangan Terbang Maguwo. Tentara Belanda mulai menyebar ke Yogyakarta dan mengepung kota. Soekarno segera melaksanakan sidang kabinet darurat. Sebelum sidang dimulai, Soekarno memberi tahu Sultan Hamengkubuwana IX bahwa ia tetap akan keluar kota untuk menghindari penangkapan Belanda. Perdana Menteri Mohammad Hatta sedang berada di Kaliurang untuk bertemu dengan Komisi Tiga Negara; karena tak kunjung datang di Gedung Agung, Sultan diminta Soekarno untuk menjemputnya. Sultan ditemani dengan Sjahrir berangkat ke Kaliurang, singgah sebentar di Kepatihan untuk memerintahkan persiapan pengungsian sementara bagi pemimpin pemerintahan di Gunungkidul, dan di tengah perjalanan menjumpai Hatta yang telah berjalan kembali ke kota. Mereka kembali ke Yogyakarta; ketika tiba di Gedung Agung, sidang telah selesai diputuskan. Soekarno memutuskan untuk tidak jadi keluar kota, membiarkan dirinya ditangkap oleh Belanda, dan memberikan kekuasaan kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Syafruddin diberitahukan keputusan ini melalui siaran radio, tetapi ia tak mengetahuinya. Meskipun demikian, Syafruddin telah berinisiasi membentuk pemerintahan serupa di sana, sehingga keputusan ini telah dilaksanakan meskipun tanpa konsultasi dengan pemerintah pusat.

6.      PENGEPUNGAN YOGYAKARTA

Siang hari tanggal 19 Desember 1948, Tentara Belanda telah sampai di tengah kota Yogya. Sultan Hamengkubuwana IX memerintahkan untuk menutup seluruh gerbang keraton agar tidak ada mata-mata Belanda yang masuk. Ia tidak menerima tamu kecuali rakyat yang telah mengungsi di keraton sebelum perintah penutupan gerbang dikeluarkan. Sultan sempat bertemu dengan Kolonel van Langen dan Westerhof, seorang pejabat Belanda, yang menunjukkannya sebuah peta Yogyakarta yang telah diberi tanda-tanda tertentu. Peta tersebut memiliki arti bahwa Sultan bebas bergerak tetapi hanya di dalam area keraton. Satu demi satu pemimpin negara diasingkan. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diberangkatkan ke Berastagi, sebelum kemudian disatukan kembali bersama Hatta, Mohamad Roem, Ali Sastroamidjojo, dan Assaat di Bangka Beberapa pemimpin negara yang selamat dapat meloloskan diri ke luar kota maupun hidup dalam penyamaran.

Bulan Januari 1949, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengundurkan diri dari jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar urusan keamanan diserahkan kepada tentara Belanda. Selain itu, karena tidak lagi mengemban tanggung jawab pemerintah daerah, mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk bekerja sama dengan Belanda, membuktikan bahwa rumor mereka bekerja sama dengan Belanda adalah salah. Belanda yang menyadari masih kuatnya pengaruh Sultan terhadap rakyatnya berusaha untuk merangkulnya. Letnan Gubernur Jenderal van Mook kemudian digantikan oleh Komisaris Tinggi Beel. Utusan-utusan Belanda dari kalangan bangsa Indonesia seperti Hussein Jayadiningrat dan Sultan Hamid II, juga pejabat-pejabat Belanda seperti Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan Kolonel van Langen yang satu persatu datang ke keraton, semuanya ditolak. Pada masa itu, Menteri Koloni Maan Sassen merencanakan sebuah negara bagian Indonesia yang baru di Jawa Tengah yang mungkin akan dipimpin oleh Sultan.

Sultan dibujuk dengan tawaran daerah kekuasaan di Kedu dan Banyumas, tambahan wilayah di Jawa Timur, kemudian seluruh Jawa dan Madura sebagai "Super Wali Negara", dan bahkan sebagai Deputi (Wakil) Gubernur Jenderal Hindia Timur. Tak hanya itu, Sultan juga ditawari saham perusahaan kereta api hingga sejumlah besar uang. Meskipun demikian, utusan-utusan tersebut hanya dapat bertemu saudara Sultan seperti Prabuningrat, Mudaningrat, dan Bintoro dengan alasan bahwa ia sedang sakit. Mereka menerima utusan-utusan tersebut tetapi tidak memberikan jawaban atau balasan atas tawaran yang ada. Tak peduli dengan itu, Kabinet Belanda masih tetap berharap Hamengkubuwana akan memihak kepada mereka.

7.       SERANGAN UMUM 1 MARET 1949

Karena kondisi perang yang berkepanjangan, Sultan Hamengkubuwana IX memandang rakyatnya makin menderita dan melihat semangat para pejuang makin memudar. Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi atas Indonesia pada tanggal 28 Januari 1949. Sultan mengetahui bahwa pada awal bulan Maret, sebuah rapat Dewan Keamanan PBB mengenai Indonesia akan diadakan kembali. Ia mengambil kesempatan ini dengan mengusulkan kepada Soedirman sebuah serangan agar dunia tahu bahwa Republik Indonesia masih ada. Soedirman menyetujuinya dan menyarankan Sultan berbicara dengan komandan setempat, Letkol Soeharto. Pada tanggal 14 Februari 1949, Letkol Soeharto bertemu dengan Sultan. Ia menyamar sebagai seorang abdi dalem. Pertemuan yang membahas rencana Serangan Umum 1 Maret ini, diadakan di tempat tinggal Prabuningrat, kakak Sultan.

Pada tanggal 22 Februari 1949, kompleks Kepatihan, kantor Sultan, dijarah oleh tentara Belanda. Mereka membawa beberapa dokumen, termasuk naskah tesis Sultan yang belum sempat dikumpulkan, dan menemukan beberapa instruksi rahasia. Oleh karenanya, para pejabat Belanda mulai tidak sabar. Mereka mulai berencana menggulingkan Sultan. Menteri Luar Negeri Belanda van Maarseveen setuju bahwa Komisaris Tinggi Beel dapat "menduduki keraton dan mengganti Sultan" jika situasinya memburuk. Beberapa sumber mencatat bahwa beberapa anggota keluarga Sultan sempat terbujuk, tetapi tidak berlangsung lama.

Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul enam pagi, ditandai dengan bunyi sirene berakhirnya jam malam yang ditetapkan Belanda, pasukan Indonesia menyerang Yogyakarta secara serentak. Setelah serangan berlangsung selama enam jam, pasukan berhasil menduduki tempat-tempat yang telah direncanakan, kemudian dikomando untuk menarik diri dan kembali ke pangkalan masing-masing. Ketika bala bantuan Belanda datang dari Magelang, para pejuang sudah menarik diri. Sore harinya, Kolonel van Langen dan Residen Stok datang, menuduh bahwa ada tembakan dari dalam keraton selama Serangan Umum. Mereka juga memberi tahu bahwa Jenderal Meijer, Komandan Umum Jawa Tengah, akan datang menemui Sultan.

Keesokan harinya, 2 Maret 1949, Jenderal Meijer datang. Sultan ditemani Prabuningrat menerima mereka dengan pakaian sederhana, untuk menunjukkan keterpaksaannya, hingga taraf sesuatu yang tidak sopan untuk menerima tamu dalam adat Jawa. Di sini Sultan sempat berkata, "Saya tidak meminta Tuan-Tuan datang ke Yogya," yang dimaksudkan kepada seluruh tamu yang datang. Selain itu, Sultan bahkan telah menyiapkan satu tas penuh pakaian, karena menduga akan ditangkap, dan akan turun takhta apabila berbagai provokasi Belanda makin menjadi-jadi. Namun, Sultan meminta agar ia "ditinggalkan dalam kedamaian" dan bila Belanda akan mengacak-acak keraton, "Lebih baik saya mati dulu!" Rombongan tersebut akhirnya meninggalkan keraton dengan tenang dan sopan.

8.      PENYERAHAN KEDAULATAN INDONESIA

Pada tanggal 3 Maret 1949, Majelis Permusyawaratan Federal (BFO) mengeluarkan resolusi yang menyerukan pemulangan pemimpin-pemimpin Republik dari pengasingan. Pada tanggal 23 Maret, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Kanada, yang dinilai berkekuatan lemah, tetapi memperkuat resolusi bulan Januari. Perundingan Roem-Roijen dimulai pada pertengahan April 1949; mencapai kesepakatan Persetujuan Roem-Roijen yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Hamengkubuwana IX membuka kembali kantor-kantor Kesultanan pada pertengahan bulan Mei. Tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta dimulai dari Bantul tanggal 24 Juni, dari Kota Yogyakarta tanggal 29 Juni, hingga dari DIY sepenuhnya pada tanggal 30 Juni 1949; kekuasaan atas Yogyakarta dikembalikan kepada Hamengkubuwana IX. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiba di Yogyakarta dari Bangka. Syafruddin Prawiranegara mengembalikan kekuasaan dari PDRI kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada tanggal 24 Juli 1949, dibentuk susunan delegasi Konferensi Meja Bundar. Persetujuan mengenai penyerahan kedaulatan Indonesia ditandatangani di Den Haag pada tanggal 2 November 1949. Di Amsterdam, dilakukan upacara penyerahan kedaulatan di Istana Dam oleh Ratu Juliana dengan Moh. Hatta. Di Jakarta, upacara serupa dilakukan di Istana Koningsplein oleh A.H.J. Lovink dengan Hamengkubuwana IX. Upacara dilanjutkan dengan penurunan Bendera Belanda dan penaikan Bendera Indonesia di Istana Koningsplein. Karena teriakan "merdeka" yang bersahutan di sana, Istana Koningsplein atau Istana Gambir kemudian mulai disebut sebagai Istana Merdeka.

F.     PASCA REVOLUSI NASIONAL

Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai Wakil Presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.

G.    SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX : PANGERAN DALAM REPUBLIK

Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini, 17 Agustus 1945, dengan dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, beliau mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modernnya, dimana dia bukan lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik. Langkah beliau yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya ini, di kemudian hari dibuktikan dengan pengabdian yang total.

Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial yang datang kembali,  beliau mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik yang baru berdiri tersebut.

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.

Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini  mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali.

Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951).  Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri.

Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai kepanduan ini, beliau menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia.

Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka. Pada saat itu, pohon beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara, mendadak roboh, seakan pertanda duka yang mendalam.

Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia  Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada tanggal 30 Juli 1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

H.    KEPRAMUKAAN

Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.

Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961.

Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).

Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).

Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan. Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.

I.       MANGKAT

Sultan Hamengkubuwana IX bersama KRA Nindyakirana berkunjung ke Washington, D.C. pada tanggal 27 September 1988. Di sana, Sultan bersama KRA Nindyakirana menginap di Hotel Embassy Row, tepat di depan KBRI Washington. Pada tanggal 28 September, Sultan menjalankan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Walter Reed. Ia juga menjadwalkan pemeriksaan kesehatan mata di Boston pada tanggal 3 Oktober. Sore hari Minggu, 2 Oktober 1988 waktu setempat, Sri Sultan diketahui muntah-muntah di hotel tempatnya menginap. 15 menit kemudian ambulans datang; Sultan dilarikan ke unit gawat darurat George Washington University Hospital. Tidak ada pengantar yang dapat masuk ke tempat perawatan gawat darurat Sultan. Pada pukul 20.05 waktu setempat, tim dokter menyatakan Hamengkubuwana IX telah meninggal dunia.

Kabar meninggalnya Hamengkubuwana IX disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada Presiden Soeharto pukul 07.00 WIB di kediaman Presiden di Jalan Cendana. Presiden Soeharto memutuskan untuk melakukan upacara pemakaman kenegaraan dan menetapkan masa berkabung selama seminggu. Beberapa saat kemudian, datang Duta Besar Amerika Serikat Paul Wolfowitz menyampaikan surat belasungkawa Presiden Ronald Reagan. Ia juga menyampaikan bahwa AS telah menyiapkan pesawat Air Force Two untuk menerbangkan jenazah Sultan hingga ke Jakarta. Soeharto berterima kasih atas bantuan AS, tetapi ia ingin pesawat Indonesia yang menjemput jenazah Sultan. Pada akhirnya disepakati Air Force Two akan terbang dari Pangkalan Udara Bersama Andrew, Maryland ke Pangkalan Udara Hickam, Honolulu. Pesawat Garuda Indonesia DC-10 kemudian membawa jenazah dari Honolulu ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Kamis, 6 Oktober 1988, jenazah telah sampai di Jakarta. Dilakukan upacara penerimaan dengan inspektur upacara Jenderal Benny Moerdani. Setelah disemayamkan sebentar di Kantor Perwakilan DIY di Jakarta, jenazah dilepas oleh Wakil Presiden Soedharmono dan diterbangkan ke Bandara Adisutjipto dengan pesawat Hercules milik TNI AU.

Jumat, 7 Oktober 1988, jenazah Sultan telah sampai di Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada pukul 10.30 WIB, dilaksanakan pernikahan massal empat putra Sultan yang sebenarnya akan dilaksanakan tanggal 5 November. Pangeran Pakuningrat, Cakraningrat, Candraningrat, dan Yudhaningrat dinikahkan oleh Penghulu Keraton di depan peti jenazah Sultan. Keraton dibuka sejak pukul 14.00 hingga pukul 06.00 keesokan harinya dan langsung diramaikan oleh masyarakat yang berkumpul untuk menyaksikan.

Prosesi pemakaman Hamengkubuwana IX dimulai pada Sabtu, 8 Oktober 1988. Jenazah dilepas dari gerbang Magangan oleh Presiden Soeharto, Pangeran Purubojo (kakak Sultan), dan Pangeran Mangkubumi (putra sulung Sultan). Iring-iringan pembawa jenazah dipimpin oleh Pangeran Yudhaningrat. Di belakang kereta pembawa jenazah, kuda kesayangan Sultan dibiarkan berjalan tanpa penunggang mengikuti iring-iringan. Sesuai dengan tradisi, kereta Kyai Rata Pralaya yang membawa jenazah Sultan Hamengkubuwana dilewatkan di antara dua beringin kembar di Alun-Alun Selatan lalu di bawah Gerbang Nirbaya keluar dari kompleks keraton.

Pada pukul 15.00, iring-iringan tiba di Astana Imogiri, pemakaman kerajaan Wangsa Mataram. Jenazah disalatkan di Masjid Pajimatan sebelum dibawa dan dimakamkan di Astana Saptorenggo, tempat makam Sultan yang telah disiapkan sebelumnya. Pemakaman Sultan dihadiri oleh Ketua BPK Jenderal M. Jusuf; Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut; Kapolri; serta Duta Besar AS Paul Wolfowitz dan Duta Besar Australia Bill Morrisson.

J.       PENINGGALAN

Meskipun sibuk di bidang pemerintahan, Hamengkubuwana IX juga peduli akan seni dan budaya di Yogyakarta. Ia mewariskan Tari Golek Menak yang terinspirasi dari cerita wayang golek dan Serat Menak yang bersumber kepada Hikayat Amir Hamzah. Ia juga mewariskan Tari Bedhaya Sapta yang dimainkan oleh tujuh orang, tidak seperti Tari Bedhaya pada umumnya yang dimainkan sembilan orang. Selain itu, ada pula Tari Bedhaya Sangaskara[m] atau Bedhaya Manten yang dimainkan enam orang pada saat pernikahan putra-putrinya.[169] Tari Bedhaya Arya Penangsang dan Bedhaya Damarwulan juga diciptakan olehnya.

Selain menekuni bidang tari, Sultan juga menekuni bidang fotografi. Ada dua kamera yang senantiasa dipakainya yang kini disimpan di Museum Hamengkubuwana IX, Keraton Yogyakarta. Beberapa hasil potret Hamengkubuwana IX adalah ketika Mohammad Hatta bersalaman dengan pemain sepak bola asal Mozambik pada tahun 1955. Pada tahun yang sama, ia juga sempat memotret atlet kejuaraan atletik Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di Stadion Ikada, Jakarta. Pada tahun 1972, ia juga sempat memotret Candi Borobudur sebelum dipugar.

K.     KEHIDUPAN PRIBADI

1.      SILSILAH

Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri Raden Ajeng Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara/Kanjeng Ratu Alit.

2.      ISTRI, ANAK, MANTU

No

Istri

Anak

Mantu

 

 

 

 

 

 

1.        

 

 

 

 

 

 

BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940)

BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH Hadikusuma

Dr. Sri Hardani

BRM Kaswara/GBPH Hadisurya

Andinidevi

BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom

Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata

BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma

KRT Murdakusuma

BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmakusuma

KRT Ir Suyono Darmakusuma

 

 

 

 

 

 

2.        

 

 

 

 

 

 

RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943)

BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X

Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas

BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo

Hj. Nuraida

BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto

Aryuni Utari

BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma

KRT Riyakusuma

 

 

 

 

 

3.        

 

 

 

 

 

KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948)

BRM Harumanta/GBPH Prabukusuma, S.Psi   

Roswarini Sri Yuniarsih

BRM Kuslardiyanta

Jeng Yeni

BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM

Raden Roro Endang Hermaningrum

BRM Abirama/GBPH Candradiningrat

Hery Iswanti

BRA Kushandanari

 

BRA Sri Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo

KRT Padmokusumo Sastronegoro

 

 

 

 

 

4.        

 

 

 

 

 

KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII

BRM Anindita/GBPH Pakuningrat

Nurita Afridiana

BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat 

Lakhsmi Indra Suharjana

BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat

Farida Indah

BRM Sarsana/GBPH Suryomataram

 

BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro

Iceu Cahyani

BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro

Rr. Endang Retno Werid Soelasmi Lim

5.        

Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Handaru Widharna (1977)

 

 

L.      PENGHARGAAN


M.  PENINGGALAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental Sri Sultan Hamengku Buwono IX . Saluran air yang menghubungkan Sungai Progo dengan Kali Opak  yang membelah Yogyakarta dari barat ke timur ini memberi pengairan yang tak pernah berhenti bagi lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Proyek selokan mataram ini berhasil menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak diikutsertakan dalam program kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian yang tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga membuat manfaat yang terus bisa dinikmati hingga kini.

Di bidang pendidikan,  Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh berdirinya Universitas Gadjah Mada. Lembaga perguruan tinggi yang telah mencetak banyak  tokoh nasional maupun internasional ini awalnya menggunakan Pagelaran dan bangunan-bangunan lain di dalam dan sekitar keraton untuk dijadikan lokasi belajar mengajar. Sejalan dengan perkembangan universitas, sebidang tanah di Bulak Sumur disediakan oleh Sultan untuk dibangun gedung  utama, Balairung UGM, yang dirancang sendiri oleh Presiden Soekarno kala itu.

Seperti raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni. Terinspirasi dari cerita wayang golek, beliau menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari gaya Yogyakarta. Karya lain yang beliau hasilkan diantaranya adalah tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten).

N.    GALERI

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AR (Augmented Reality)

  A.     APA ITU AUGMENTED REALITY AR (Augmented Reality) adalah teknologi yang memperluas dunia fisik dengan cara menambahkan lapisan infor...

HALAMAN