Mengenai Saya

Foto saya
Hi, Nama Saya Sandra Bagus Nugroho saya pemilik Blog History Of World Empire

Senin, 01 Mei 2023

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VII | ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇

 

Hamengkubuwana VII

꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇

Sri Sultan Hamengkubuwana VII

Sultan Yogyakarta ke-7

Bertakhta: 13 Agustus 1877 - 30 Januari 1921

Penobatan: 13 Agustus 1877

Pendahulu: Sultan Hamengkubuwana VI

Penerus: Sultan Hamengkubuwana VIII

Informasi Pribadi

Nama Lengkap: Gusti Raden Mas Murtejo

Kelahiran: 4 Februari 1839 (Senin Legi, 20 Dulkaidah Je 1766) Kraton Yogyakarta

Kematian: 30 Desember 1931 (umur 92) Pesanggrahan Ambarukmo, Yogyakarta

Pemakaman: Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Naik Tahta/Jumeneng Nata:

 

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Pitu ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Ayah: Sultan Hamengkubuwana VI

Ibu: Gusti Kanjeng Ratu Sultan (Permaisuri kedua)

Permaisuri: Gusti Kanjeng Ratu Kencana/Gusti Kanjeng Ratu Wandhan, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Gusti Kanjeng Ratu Kencana II

Agama: Islam

Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦺꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇, 4 Februari 1839 – 30 Desember 1931) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877-1921. Dia juga dikenal dengan sebutan Sinuwun Behi dan Sultan Ngabehi (Sultan Sugih).

A. MASA SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII

Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo, demikian nama kecil beliau, lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan. GKR Sultan merupakan permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Permaisuri pertama, GKR Hamengku Buwono, yang merupakan puteri Paku Buwono VIII dari Surakarta tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karena itu, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI wafat, GRM Murtejo menggantikan posisi ayahandanya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 13 Agustus 1877.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, perkembangan industrialisasi meningkat seiring era Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Hal ini bisa dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pabrik gula waktu itu. Tak kurang terdapat 17 pabrik gula berdiri pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pabrik-pabrik tersebut terdiri dari pabrik milik Kasultanan, swasta maupun milik Belanda. Dari setiap pabrik, beliau menerima uang sebesar f 200.000 (f = florin, rupiah Belanda) dari Pemerintah Belanda.

Berlakunya era liberalisme semenjak 1870 juga memberi keuntungan bagi Sultan, yaitu dengan diperkenalkannya sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa 70 tahun. Selain itu karena kebutuhan pengangkutan gula, dibangun pula sarana transportasi berupa jalur kereta api serta lori-lori pengangkut tebu. Pembangunan jalur kereta api ini diprakarsai oleh perusahaan swasta Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Ongkos sewa dari pemakaian jalur ini lagi-lagi masuk ke keuangan keraton. Maka tak heran jika kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga dikenal sebagai Sultan Sugih.

Era Hamengku Buwono VII merupakan masa transisi menuju modernisasi. Banyak sekolah didirikan. Beliau juga menyekolahkan anak-anak beliau sampai perguruan tinggi, bahkan hingga mengirim mereka ke Negeri Belanda.

Pada masa Hamengku Buwono VII, seni tari mulai keluar dari tembok keraton. Beliau mendukung putra-putranya untuk mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso Wiromo. Sekolah ini tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton semata. Siapapun yang berminat belajar tari gaya Yogyakarta, dipersilakan untuk datang dan mendaftarkan diri di Dalem Tejokusuman. Bentuk dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII tidak berhenti di sini. Beliau juga mendorong tumbuh kembangnya pentas tari dan wayang, sehingga semenjak akhir 1918 pentas semacam itu semakin marak.

Pendidikan dan pola pikir terbuka yang ditanamkan kepada anak-anak Sri Sultan Hamengku Buwono VII, menghasilkan tidak hanya sekolah tari. Pada masa itu banyak berdiri organisasi-organisasi massa.

Muhammadiyah, salah satu organisasi besar saat ini, juga lahir dari lingkungan keraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII . Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon yang disekolahkan ke Arab Saudi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Organisasi yang menitikberatkan pada amal usaha dan pendidikan ini segera berkembang pesat keluar wilayah Kauman, tempat organisasi ini bermula.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sikap terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan.

Menjelang pertambahan usia beliau yang ke 81, Sri Sultan Hamengku Buwono VII merasa sudah saatnya turun tahta. Pada tahun 1920, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengemukakan niat tersebut kepada patih Danurejo VII dan kepada pemerintah Hindia Belanda. Beliau sendiri memilih madeg pandhita, dan mesanggrah di pesanggrahan Ambarukmo.

Keputusan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari desakan pemerintah Belanda yang ingin menerapkan program reorganisasi agraria. Progam ini dirasa oleh Sultan Hamengku Buwono VII sebagai penyempitan ruang gerak beliau sebagai Sultan. Salah satu isi dari program tersebut adalah penghapusan sistem apanage yang mengembalikan semua tanah menjadi milik raja. Sepintas program itu seperti memberi kuasa mutlak kepada raja untuk memiliki kembali tanah-tanahnya. Akan tetapi, pasal lain dari program tersebut mengharuskan pengelolaan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Hasil pengelolaan tanah-tanah tersebut harus disetor melalui lembaga bernama kas daerah (landschapkas), yang mana patih di bawah pengawasan residen menjadi penanggungjawabnya. Uang yang terkumpul tidak boleh dipergunakan langsung oleh keraton/sultan melainkan harus sepersetujuan residen. Di sini secara politis sultan seakan menjadi pegawai dari struktur pemerintahan Hindia Belanda.

B.    RIWAYAT PEMERINTAHAN

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo, putra tertua Sultan Sri Sultan Hamengkubuwana VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Dia naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 13 Agustus 1877.

Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar F200.000,00. Hal ini membuat Sultan sangat kaya sehingga sering memperoleh julukan Sultan Sugih.

Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.

Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkotanya yang keempat (Gusti Raden Mas Sujadi, bergelar Gusti Pangeran Harya Purbaya) sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang pertama (Gusti Raden Mas Akhaddiyat, bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara I), yang seharusnya menggantikan ayahnya, tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. Penggantinya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara II (kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Juminah, kakek dari seniman Indonesia, Bagong Kussudiardja), diberhentikan karena alasan kesehatan. Putra mahkota yang ketiga, Gusti Raden Mas Putro (bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara III), meninggal dunia tanggal 21 Februari 1913 akibat sakit keras setelah kembali dari Kulon Progo.

Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.

Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada cerita bahwa sang ayah diasingkan oleh putera mahkota yang keempat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar keraton Yogyakarta)

Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah Hamengkubuwono VII yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII (meninggal dunia setelah menjemput putra mahkota, Gusti Raden Mas Dorojatun, dari Batavia) dan Hamengkubuwono IX (meninggal dunia di Amerika Serikat). Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Pemakaman Imogiri.

Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandita (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarrukmo.

C.     KEHIDUPAN PRIBADI

Anak tertua dari Sultan Hamengkubuwana VI dan istri pertamanya Kanjeng Ratu Sepuh/Gusti Kanjeng Ratu Sultan/Gusti Kanjeng Ratu Hageng dan diangkat anak oleh Gusti Kanjeng Ratu Kencana.

1.      PERMAISURI (GARWA PADMI)

·         Bendara Raden Ayu Sukina/Bendara Raden Ayu Mangkubumi (b. 1836), putri termuda Hamengkubuwana V dengan istri keduanya, Bendara Raden Ayu Dewaningsih.

·         Gusti Kanjeng Ratu Hemas, putri dari Kanjeng Raden Tumengung Jayadipura atau dari Pangeran Suryadiningrat.

·         Gusti Kanjeng Ratu Kencana, kemudian diasingkan lalu bergelar Gusti Kanjeng Ratu Wandhan, putri dari Raden 'Ali Basa 'Abdu'l-Mustafa Senthot Prawiradirja.

·         Gusti Kanjeng Ratu Kencana II/Bendara Raden Ayu Ratna Sri Wulan, putri dari Bendara Pangeran Harya Hadinegara.

 

2.      SELIR (GARWA AMPEYAN)

·         Bendara Raden Ayu Ratnaningsih.

·         Bendara Raden Ayu Ratnaningdia.

·         Bendara Raden Ayu Ratna Adi.

·         Bendara Raden Ayu Ratnasangdia.

·         Bendara Raden Ayu Ratnajiwata.

·         Bendara Raden Ayu Puryaningdia.

·         Bendara Raden Ayu Devaratna.

·         Bensara Raden Ayu Puspitaningdiya.

·         Bendara Raden Ayu Srengkara Adinindia.

·         Bendara Raden Ayu Rukmidiningdia.

·         Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum.

·         Bendara Raden Ayu Ratna Puspita.

·         Bendara Raden Ayu Tejaningrum.

·         Bendara Raden Ayu Ratna Mandaya, putri dari Patih Dhanuraja V

 

3.      ANAK

·         Memiliki 31 putra

·         Memiliki 38 putri

 

D. PENINGGALAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VII

Selain pabrik gula, jalur kereta api dan bangunan bersejarah Pesanggrahan Ambarukmo, Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga banyak mempelopori karya di bidang seni. Tari Bedaya Sumreg , Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala adalah contoh karya beliau. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII pula, Tari Bedaya yang semula menggunakan kampuh beralih menjadi menggunakan mekak, namun riasannya tetap menggunakan paes ageng. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini pula, terdapat abdi dalem empu pembuat keris yang menghasilkan keris-keris bagus yang dikenal dengan keris tangguh kaping piton.

Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII Tugu Golong Gilig yang hancur akibat gempa pada tahun 1867 direnovasi. Proses renovasi ini melibatkan perancang Belanda bernama YPF van Brussel (pejabat perairan) di bawah pengawasan Patih Danurejo V. Setelah proses perombakan selesai, tugu yang menjadi ikon kota Yogyakarta hingga sekarang itu diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat pada tanggal 30 Desember 1921 (29 Rabingulakir 1851). Beliau dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri.

E.     GALERI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AR (Augmented Reality)

  A.     APA ITU AUGMENTED REALITY AR (Augmented Reality) adalah teknologi yang memperluas dunia fisik dengan cara menambahkan lapisan infor...

HALAMAN