Jenderal TNI. (Tit.) H. Gusti Raden Mas Dorodjatun atau yang lebih dikenal dengan nama: Sri Sultan Hamengkubuwana IX (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇; 12 April 1912 – 2 Oktober 1988,[a] lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX juga merupakan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.
A. LATAR BELAKANG
Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang
beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak
kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng
Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.
Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan
keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan
Belanda. Semenjak berusia 4 (empat)
tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS
(Neutrale Hollands Javanesche Jongen School).
Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM
Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa
didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan
keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil
sebagai Henkie (henk kecil).
Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari
Frobel School (taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang
kemudian pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan
pendidikan dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di
Semarang dan Bandung.
Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda
memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah
menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di
Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti
klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini
pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang
kelak akan menjadi Ratu Belanda.
Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda
meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
memutuskan memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum
menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air,
beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula
Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko
Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan
bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.
Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak
mudah. Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di
Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama
terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang
berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu
usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan
karena hal-hal sebagai berikut:
·
GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih
merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.
·
Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya
ditentukan oleh Belanda
·
Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat
perintah langsung dari Belanda.
Dikisahkan, setelah 4
bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,
GRM Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan
diplomat senior Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua
usulan Dr. Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu
berdasar bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang
diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.
Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak
politik dengan Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau
tandatangani tanpa dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun
naik tahta.
Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai
putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja
Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan
gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin
Panatagama Kalifatullah Kaping IX.
Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan
mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya
memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.
A. LATAR BELAKANG
Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang
beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak
kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng
Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.
Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan
keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan
Belanda. Semenjak berusia 4 (empat)
tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS
(Neutrale Hollands Javanesche Jongen School).
Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM
Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa
didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan
keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil
sebagai Henkie (henk kecil).
Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari
Frobel School (taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang
kemudian pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan
pendidikan dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di
Semarang dan Bandung.
Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda
memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah
menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di
Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti
klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini
pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang
kelak akan menjadi Ratu Belanda.
Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda
meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
memutuskan memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum
menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air,
beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula
Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko
Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan
bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.
Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak
mudah. Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di
Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama
terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang
berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu
usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan
karena hal-hal sebagai berikut:
·
GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih
merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.
·
Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya
ditentukan oleh Belanda
·
Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat
perintah langsung dari Belanda.
Dikisahkan, setelah 4
bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,
GRM Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan
diplomat senior Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua
usulan Dr. Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu
berdasar bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang
diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.
Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak
politik dengan Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau
tandatangani tanpa dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun
naik tahta.
Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai
putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja
Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan
gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin
Panatagama Kalifatullah Kaping IX.
Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan
mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya
memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.
B. KEHIDUPAN AWAL DAN PENDIDIKAN
1. MASA KECIL
Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti
Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan Gusti
Pangeran Puruboyo dari istri utamanya, Raden Ajeng Kustilah. Pada tahun 1914,
ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat
menjadi Putra Mahkota Yogyakarta. Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden
Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915.
Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia
dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918–1919. Monfries serta Roem dkk.
menuliskan bahwa penyebab pemulangan ini adalah retaknya hubungan antara KRA
Adipati Anom dengan mertuanya; sementara Romo Tirun mengatakan bahwa
penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang
merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk melindungi KRA
Adipati Anom.
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya
untuk mulai tinggal terpisah dari keraton. Dorodjatun kecil menangis keras dan
terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan. Ia tinggal
bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah
Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman. Ketika
tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie
("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.
Nama panggilan ini terus ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda,
serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai
Hamengkubuwana IX.
Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman
kanak-kanak Frobel School kemudian Eerste Europese Lagere School B untuk
pendidikan dasarnya. Setahun kemudian, ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan
bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada bulan Juli
1925. Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III
sekolah tersebut, yaitu pada bulan Februari 1921. Di sekolah tersebut,
Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat
itu.
Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hoogere
Burgerschool (HBS) Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal bersama keluarga
Voskuil, seorang sipir penjara di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup
panas, Dorodjatun merasa tidak cocok dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke
HBS Bandoeng pada tahun 1928. Di sana, ia bersama kakaknya, BRM Tinggarto,
tinggal bersama dengan seorang tentara militer Belanda, Letnan Kolonel De Boer.
2. PENDIDIKAN DI BELANDA
Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung,
ayah Dorodjatun dan Tinggarto memerintahkan mereka untuk belajar ke Belanda.
Mereka berangkat melalui jalur laut bulan Maret 1930 dengan ditemani oleh
keluarga Hofland, seorang direktur pabrik gula di Gesikan. Mereka berdua
bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem yang merupakan gabungan dari dua
lembaga berbeda, yaitu Hoogere Burgerschool B (HBS-B) dan Stedelijk Gymnasium.
Di Haarlem, mereka tinggal di kediaman kepala sekolah mereka, Mourik Broekman.[20]
Dorodjatun kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di sekolah
tersebut. Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda, ia harus
turun dua kelas di Haarlem. Ia bukanlah siswa yang istimewa maupun cemerlang di
sana. Meskipun beberapa nilainya tergolong baik, Dorodjatun harus mengulang di
beberapa mata pelajaran, terutama hingga dua kali di pelajaran geometri dan
trigonometri. Kakaknya, Tinggarto, juga mengalami hal yang sama di Haarlem.
Keduanya berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun 1934.
Dorodjatun dan kakaknya kemudian pindah ke Leiden. Mereka
masuk ke perguruan tinggi Rijksuniversiteit Leiden, kini Universitas Leiden.
Dorodjatun mengambil studi Indologi, studi yang mempelajari administrasi
kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda; sementara Tinggarto
memilih studi yang lebih populer, yakni bidang hukum. Belum sempat
menyelesaikan tesis untuk gelar doktorandusnya, Dorodjatun bersama
saudara-saudaranya yang berada di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja
untuk kembali ke Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke
Polandia tahun 1939. Tesis yang hampir selesai tersebut dibawa ke Jawa
bersamanya dalam bentuk manuskrip dan belum pernah dikumpulkan. Naskah itu
hilang dan hanya diketahui judulnya saja, yaitu "Kontrak Politik antara
Sunan Solo dan Pemerintah Belanda". Hingga akhir hayatnya, Hamengkubuwana
IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat
mengikuti wisuda kelulusannya.
C. MENJADI SULTAN YOGYAKARTA
1. PULANG KE HINDIA BELANDA
Setelah tiba di Batavia pada bulan Oktober 1939, GRM
Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok. Paman-paman
yang menjemputnya bersikap hormat serta menggunakan krama inggil untuk
menegurnya, bukan ngoko seperti biasanya. Dorodjatun beserta rombongan
penjemputnya kemudian pergi menuju Hotel des Indes, tempat ayah dan anggota
keluarga lainnya menginap di Batavia.
Ketika seorang penguasa swapraja sedang berada di Batavia,
umumnya ada banyak agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang
dihadiri keluarga kerajaan bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan
santapan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada saat bersiap
untuk menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun disematkan keris Kyai Jaka
Piturun oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada putra penguasa yang
dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini menandakan
bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.
Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia, keluarga
kerajaan beserta Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta api
Eendaagsche Express. Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit hingga
tak sadarkan diri. Sesampainya di Yogyakarta, ia segera dilarikan ke Rumah
Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga wafat pada tanggal 22 Oktober 1939.
2. KONTRA POLITIK
Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan
menandatangani kontrak politik baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum
naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika Dorodjatun akan naik takhta. Sebelum
pejabat Belanda dapat melakukan negosiasi dengan calon Sultan baru, proses
suksesi di internal keluarga kerajaan harus diselesaikan terlebih dahulu.
Dengan ini, Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para saudara
dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya.
Kesemua kerabatnya tidak keberatan jika Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya.
Banyak penulis dan sejarawan yang mengatakan bahwa secara de facto dari sini
Dorodjatun sebenarnya sudah menjadi Sultan Yogyakarta ke-9, tepatnya sekitar
tanggal 26 Oktober 1939, dua hari setelah pemakaman ayahnya.
Untuk membuat kontrak baru, Dorodjatun harus bernegosiasi
dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam sebagai perwakilan Pemerintah Hindia
Belanda. Lucien Adam merupakan seorang pejabat senior Hindia Belanda dan
seorang Javanicus (ahli adat istiadat Jawa). Monfries mencatat bahwa Gubernur
Adam ingin segera membentuk hubungan yang baik dengan Dorodjatun dalam
laporan-laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia. Mereka berdua pun
memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengambil studi di Universitas Leiden,
meskipun terpaut umur yang cukup jauh. Adam, yang umurnya sudah mendekati 50
tahun, merasa harus menjadi seperti figur ayah yang bertanggung jawab bagi
Dorodjatun. Keduanya sebenarnya termasuk cukup akrab bahkan sering saling
meminjam buku bacaan satu sama lain.
Hampir setiap hari Dorodjatun harus bertemu dengan Gubernur
Adam sejak awal November 1939 untuk merundingkan kontrak politiknya. Perjanjian
ini digunakan untuk memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa
Hamengkubuwana VIII berkuasa dan memiliki isi yang lebih detail. Perundingan
tersebut berlangsung alot. Menurut buku Takhta untuk Rakyat, pembicaraan
mengenai jabatan Patih Danurejo yang selain bertanggung jawab kepada Sultan
juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat dari Pemerintah Hindia
Belanda, serta prajurit keraton yang diminta agar berada di bawah KNIL menjadi
penyebabnya. Sementara itu, Monfries, mengutip laporan-laporan Gubernur Adam, menuliskan
bahwa Adam mengalami kesulitan dalam perundingan di bidang anggaran sipil,
kepolisian, hutan, dan jangkauan otoritas hukum Sultan atas rakyat-rakyatnya.
Monfries berpendapat bahwa sangat sulit menemukan penjelasan dari bukti-bukti
yang ada atas perbedaan yang sangat besar dari versi Hamengkubuwana dengan
laporan-laporan Gubernur Adam.
Di lain hal, Gubernur Adam, dalam laporannya kepada
pemerintah pusat di Batavia, mengatakan bahwa Dorodjatun memiliki perilaku yang
baik. Ia menambahkan bahwa Dorodjatun telah mengubah sistem perbelanjaan di
keraton dengan cepat. Rencana kebijakan lain yang disorot oleh Adam adalah
reformasi besar-besaran di keraton oleh Dorodjatun, yaitu dalam hal tingkat
kekuasaan kepada rakyatnya, pembagian antara kekayaan keraton dan kesultanan
yang lebih jelas, dan pengaturan pembayaran gaji kepada anggota keluarganya.
Selain itu, Dorodjatun ingin mengurangi jumlah pegawai negeri sembari menaikkan
gaji mereka, juga mengubah peran tentara dengan menambahkan tugas jaga kepada
mereka.
Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun
tiba-tiba menyetujui kontrak politik tersebut secara langsung tanpa adanya
penolakan atas isi-isinya sebagaimana yang telah ia sampaikan dalam
perundingan-perundingan sebelumnya. Ia mengaku melakukannya setelah mendapatkan
wisik (bisikan) dari almarhum ayahnya yang mendatanginya dalam mimpi.
Wis, Tholé, tekena waé. Landa bakal
lunga saka bumi kéné.
(Sudahlah, Nak, tanda tangani saja.
Belanda akan pergi dari bumi sini.)
Wisik yang diterima Dorodjatun.
Kegiatan perundingan selesai lebih cepat daripada laporan
Gubernur Adam tanggal 18 Februari 1940 yang menyatakan bahwa perundingan
mungkin selesai pada bulan April sebelum Grebeg diadakan. Dengan demikian,
prosesi upacara penobatan dilaksanakan sebulan lebih cepat daripada pelaksanaan
Grebeg. Kontrak politik yang terdiri atas 17 bab dan 59 pasal tersebut kemudian
ditandatangani oleh kedua pihak pada tanggal 12 Maret 1940 meskipun dalam surat
tertanggal 18 Maret 1940.
3. PENOBATAN
GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana
IX pada tanggal 18 Maret 1940, sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik
dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk
dua gelar sekaligus. Gelar pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku
Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota.
Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga
Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.
Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara,
serta dua pangeran dari Solo. Beberapa pejabat senior Belanda seperti H.J. van
Mook, Gubernur Semarang, dan Gubernur Solo juga hadir. Dalam upacara ini,
Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato yang bernada progresif dan teguh
pendirian serta menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa.
D. PERANG DUNIA II
1. PENDUDUKAN BELANDA
Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda rencananya akan
menghadiri perayaan naik takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang
dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1940. Belum sempat sampai di Yogyakarta,
Panglima dipanggil kembali ke Belanda. Dua hari setelah perayaan dilangsungkan,
Jerman menduduki Belanda. Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengumpulkan
dana perang; Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite Dukungan dengan
sumbangan sebesar 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden dari
Kesultanan Yogyakarta, dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian,
otoritas Belanda agak kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit
berbicara untuk hal ini, berbeda dengan Paku Alam yang menyatakan dukungannya
kepada Gubernur Adam.
Pada bulan April–Mei 1941, Menteri Koloni Charles Walter
sempat berkunjung ke Hindia Belanda, tetapi tidak mengunjungi Vorstenlanden
meskipun telah didesak oleh pers lokal. Tanggal 6 Desember 1941, Gubernur
Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap
Jepang setelah terjadinya Pengeboman Pearl Harbor. Gubernur Adam dalam
pertemuannya dengan Gubernur Jenderal di Batavia menyusun rencana apabila
Jepang menyerang Hindia Belanda. Monfries mengungkapkan bahwa empat penguasa
Vorstenlanden rencananya akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Jakarta
atau Bandung; sementara Sultan mengatakan bahwa keempat penguasa akan dibawa
oleh Belanda untuk mengungsi ke Australia. Hamengkubuwana menolak ajakan
tersebut dan menyatakan akan tetap berada di Yogyakarta. Dalam beberapa catatan
dan wawancara, ia juga mengatakan bahwa Belanda memiliki rencana untuk
menculiknya dan menjadikannya tawanan, tetapi pergerakan tentara Jepang yang
sangat cepat menyebabkan rencana ini gagal.
"Apa pun yang akan terjadi, saya
tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di
tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat".
2. PENDUDUKAN JEPANG
Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang.
Tentara Jepang yang datang kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada
Gubernur Adam untuk sementara. Gubernur Adam dan Hamengkubuwana IX selalu aktif
memberikan pesan publik agar tidak terjadi kepanikan di masyarakat. Setelah
keadaan Yogyakarta lebih tenang, Sultan Hamengkubuwana bersama Patih Danurejo
mengunjungi beberapa daerah kekuasaannya. Sultan menyimpulkan bahwa rakyat
tetap tenang dan tidak terlalu terganggu dengan keadaan perang. Hamengkubuwana
yang mudah mengadaptasikan pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah
Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang sangat aktif dalam mengumumkan dan
mengimplementasikan sebagian besar isi dekret pemerintahan militer Jepang,
membuat atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai. Terlepas dari
itu, Adam diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret dan
diasingkan secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.
Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan
pemerintahan di daerahnya di bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih
Dalem yang sebelumnya harus bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah
Kolonial Belanda kini hanya bertanggung jawab kepada Sultan saja. Pada tanggal
1 Agustus 1942, Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta menjadikan
Yogyakarta sebuah Kooti atau Kochi, sementara Hamengkubuwana IX menjadi Koo
(penguasa) wilayah tersebut. Jepang menganggap Sunan Pakubuwana sebagai primus
inter pares di antara keempat penguasa Vorstenlanden; ketika ada undangan
pertemuan dengan petinggi tentara Jepang, Sunan sering mewakili tiga penguasa
lainnya. Jika Sunan dan Sultan bersama-sama hadir, Sunan mewakili Surakarta dan
Mangkunegaran, sementara Sultan mewakili Yogyakarta dan Pakualaman. Bulan
September 1944, Pakubuwana XI jatuh sakit, Hamengkubuwana IX menggantikannya
menjadi perwakilan di antara para penguasa Vorstenlanden. Peran ini kemudian
diambil kembali oleh Pakubuwana XII ketika naik takhta menggantikan ayahnya
yang mangkat.
Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa,
banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi
data statistik produktivitas pertanian dan peternakan. Sultan mengajukan pembangunan sebuah kanal
irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak agar pengairan sawah dapat
dilakukan sepanjang tahun dari yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan.
Usulan ini diterima oleh pihak Jepang. Monfries mencatat bahwa pemerintah
kolonial bahkan membantu pendanaan pembangunannya sebanyak satu juta gulden.
Pembangunan saluran irigasi ini kemudian dijadikan alasan agar tidak banyak
romusa yang diambil dari Yogyakarta, sehingga masyarakat lebih difokuskan di
sini. Saluran irigasi ini kemudian disebut Selokan Mataram, sementara dalam
bahasa Jepang dinamakan Gunsei Hasuiro atau Gunsei Yosuiro (Kanal Yosuiro).
Saluran ini dinilai berhasil, ditandai dengan meningkatnya produktivitas
pertanian sehingga sumbangan bahan pangan kepada tentara Jepang juga meningkat.
Meskipun telah berhasil mengurangi jumlah romusa yang diambil kolonial, Romo
Tirun mengungkapkan bahwa tetap ada penduduk yang diambil menjadi romusa,
tetapi jika dibandingkan dengan daerah lain maka jumlah di Yogyakarta lebih
sedikit. Klaim ini dibantah oleh Monfries yang menuliskan bahwa walaupun memang
jumlahnya lebih kecil daripada keseluruhan Jawa, laporan tahun 1944 mengatakan
bahwa jumlah romusa yang dikirim malah melebihi jumlah yang diminta Jepang.
Selama masa pendudukan Jepang ini, Hamengkubuwana IX
melakukan beberapa reformasi di Kesultanan. Pada akhir bulan Juli 1942, ia
mengganti nama-nama lembaga pemerintahan daerah yang sebelumnya berbahasa
Belanda menjadi berbahasa Jawa. Pada tahun 1944, ia membuat layanan publik
dapat diakses dari kelas dan kelompok masyarakat mana pun sehingga banyak
pegawai negeri yang diterima dari kalangan biasa, membentuk komite daerah untuk
membantu para panewu (camat), juga mengeluarkan instruksi agar pelatihan pegawai
negeri dilakukan lebih intensif. Selain itu, ia menghapus distrik dan
menjadikan kapanewon (kecamatan) sebagai lembaga administratif terbawah, juga
menghapus pengadilan khusus bagi bangsawan. Selo Soemardjan mengungkapkan bahwa
sebagian besar reformasi itu adalah uji coba, sehingga tidak semuanya berjalan
dengan sukses.
Akhir tahun 1944, kesehatan Patih Danurejo yang merupakan
sepupu ayah Sultan mulai menurun. Pada tanggal 17 Juli 1945, Patih Danurejo
mengundurkan diri dengan alasan umur yang sudah lanjut dan telah mengabdi
selama 12 tahun di jabatan tersebut. Hamengkubuwana IX mengambil alih
tugas-tugasnya sejak 1 Agustus 1945 dan berkantor di Kepatihan, tempat para
patih bekerja. Meskipun dalam dekret pembentukan Kooti dijelaskan bahwa
Pemerintahan Tentara Jepang harus menunjuk seorang Somutyokan (Patih),
pemerintah saat itu tidak mempermasalahkan hal ini. Sejak saat itu, jabatan
Patih Danurejo dihapuskan.
E. MASA REVOLUSI NASIONAL
1. BERGABUNG DENGAN INDONESIA
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengirimkan telegram ucapan selamat
kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan
Indonesia. Pada tanggal 20 Agustus 1945, dikirimkan lagi telegram oleh
Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta,
menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan";
diikuti oleh Paku Alam VIII. Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai
kerajaan di Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia. Pada
tanggal 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai
daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Paku Alam VIII juga menyatakan
amanat setelahnya atas Kadipaten Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta.
Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat, ditandai dengan tibanya
Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah
pusat untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini
ditandatangani Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram
dari Yogyakarta tiba, menandakan bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian
Indonesia.
2. AWAL MASA REVOLUSI NASIONAL
Karena banyaknya jumlah laskar pemuda setelah kemerdekaan,
termasuk di Yogyakarta, Hamengkubuwana IX meminta para pemuda melapor kepadanya
di kantornya (Kepatihan) agar lebih mudah mengorganisasikan mereka. Ia kemudian
membentuk Laskar Rakyat Mataram, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tentara
Rakyat Mataram, gabungan dari laskar-laskar yang telah ada. Sri Sultan menjadi
panglimanya, sementara Selo Soemardjan menjadi kepala stafnya. Setelahnya,
Hamengkubuwana diterima menjadi perwira kehormatan senior Tentara Keamanan
Rakyat, menjadi anggota dewan tertinggi tentara bersama tiga penguasa Catur
Sagotra yang lain, serta menerima pangkat jenderal kehormatan pada bulan
November 1945.
Bulan November 1945, saat Pertempuran Surabaya terjadi, Sri
Sultan melawat ke Surabaya. Ia bertemu dengan Gubernur Soerjo di Mojokerto
sebelum tiba di pinggiran Kota Surabaya. Sultan mengatakan kepada wartawan
bahwa pertempuran ini menunjukkan kekejaman Inggris serta kebijakan diplomasi
bukanlah hal yang tepat untuk kasus ini. Terdapat cerita terkenal dari
kunjungan ini, yaitu ketika Sultan mencapai daerah sekitar Madiun, ia dicegat
sekelompok warok yang menanyakan, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab,
"Saya Suyono," dan lolos.
3. YOGYAKARTA MENJADI IBU KOTA NEGARA
Pada tanggal 3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan ibu
kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pemindahan ini pada awalnya
merupakan tawaran Sri Sultan dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui kurir
ke Jakarta. Sore tanggal 4 Januari 1946, Soekarno, Mohammad Hatta, dan para
pejabat negara kala itu berangkat dengan perjalanan kereta luar biasa ke
Yogyakarta. Kedatangan mereka di Stasiun Tugu disambut oleh Sri Sultan.
Untuk kebutuhan pemerintahan RI, banyak gedung di Yogyakarta
dijadikan kantor-kantor pemerintah. Salah satunya adalah Gedung Agung menjadi
kantor presiden yang hingga saat ini masih menjadi Istana Presiden Indonesia.
Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Sultan Hamengkubuwana membantu pendanaan
operasional pemerintahan RI.
Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Hamengkubuwana memulai
beberapa reformasi. Ia menetapkan seluruh bisnis resmi dilakukan dengan bahasa
Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa. Ia memberikan sebagian keraton untuk
digunakan Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghibahkan lahan di Bulaksumur
yang menjadi kampus UGM saat ini. Ia dinilai berhasil mengantisipasi adanya
revolusi—seperti yang terjadi di Surakarta dan sebagian besar Sumatra—di Yogyakarta
yang dikhawatirkan akan melengserkan dirinya.
4. AWAL KARIER DI KABINET
Hamengkubuwana IX ditunjuk menjadi Menteri Negara di Kabinet
Sjahrir III, pertama kalinya ia masuk ke dalam jajaran kabinet. Kala itu, ia
ditugasi dalam urusan mengenai daerah istimewa di Indonesia. Semasa menjabat
jabatan tersebut, ia memberi saran dan mencoba memecahkan masalah yang terjadi
di daerah-daerah istimewa yang lain. Ia mengunjungi Surakarta setelah
terjadinya pergolakan antarpihak pemerintahan di sana pada bulan Oktober 1946.
Ia juga mengunjungi beberapa kota di Sumatra pada bulan Maret 1946 untuk
melihat keadaan pemimpin adat dan keluarga mereka yang ditahan oleh
revolusionis di sana. Bulan April 1947, ia kembali lagi ke Sumatra mengunjung
Pematang Siantar, Bukittinggi, dan Medan. Ia mencoba menyelesaikan masalah
revolusi sosial Sumatra, yang disebutkan Monfries sebagai "usaha yang
hampir mustahil". Dalam kunjungannya ke Pematang Siantar, Hamengkubuwana
sempat menegaskan bahwa Perundingan Linggarjati tidak menjamin kemerdekaan sepenuhnya,
menekankan bahwa perlu adanya kesatuan antara tentara, pemerintah, dan
masyarakat.
Pada tahun 1948, Hamengkubuwana IX ditunjuk menjadi Menteri
Negara Koordinator Keamanan dalam Kabinet Hatta I. Hatta pada awalnya
menginginkannya menjadi Menteri Pertahanan, tetapi ia menolak sehingga Hatta
yang mengisi jabatan itu. Bulan September 1948, terjadi Pemberontakan PKI di
Madiun. Sri Sultan kemudian berdiskusi dengan Soekarno dan mengutus Abdul Haris
Nasution ke Madiun. Nasution menganggap pemberontakan tersebut harus cepat
ditumpaskan, ia khawatir komandan-komandan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur
akan bergabung dengan pemberontak. Pada pertemuan kabinet setelahnya, Soedirman
diberikan kuasa "untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi menjaga
negara". Soedirman menempatkan Nasution dalam komando strategis operasi
itu. Hamengkubuwana IX membuat siaran agar rakyat mendukung Soekarno dan
pemerintahan Hatta, menegaskan bahwa pemerintahan ini dibentuk untuk membangun
negara dan pihak komunis hanya ingin menghancurkannya. Hamengkubuwana, Gubernur
Soerjo, dan Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur lantas pergi ke Madiun.
Hamengkubuwana IX jauh di depan meninggalkan mobil Gubernur Soerjo dan Kepala
Kepolisian yang kemudian diketahui terbunuh di Walikukun. Hamengkubuwana IX mengatakan
bahwa ia dilaporkan hal tersebut oleh seorang kurir setengah jam setelah
melewati daerah tersebut, kontras dengan klaim Nasution yang menyebutkan bahwa
pembunuhan tersebut baru diketahui olehnya dua hari setelah jasad mereka
ditemukan.
Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Koordinator
Keamanan, Hamengkubuwana IX mengusulkan bentuk pemerintahan baru di Surakarta.
Ia secara terbuka menyamakan Surakarta sebagai 'Barat yang Liar' (The Wild
West). Ia melapor kepada Hatta bahwa pendekatan terbaik untuk menyelesaikan
masalah di sana adalah dengan menggunakan organ administratif yang masih layak
dengan tetap memasukkan para pangeran agar kalangan monarki tidak menjadi
"kekuatan antirevolusioner". Ia mengusulkan Daerah Istimewa Surakarta
dengan identitasnya sendiri tetapi dipandu undang-undang yang diberlakukan di
Jawa Tengah. Struktur pemerintahan yang ada adalah daerah tersebut akan
dipimpin seorang gubernur yang dipilih Presiden; dibantu tujuh orang dewan
pemerintahan: lima orang dipilih badan legislatif daerah, satu dipilih Sunan
Surakarta, dan satu dipilih Adipati Mangkunegara; dan juga dibantu oleh Dewan
Penasihat yang terdiri atas Sunan dan Adipati. Keputusan ini dianggap lumayan
memuaskan Republiken yang antifeodal tanpa menghilangkan pengaruh monarki demi
menarik sentimen lokal karena penggabungan Surakarta ke Jawa Tengah yang belum
begitu umum bagi rakyat Surakarta.
5. AGRESI MILITER II
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan
agresi militernya. Aksi militer ini diawali dengan penyerbuan Lapangan Terbang
Maguwo. Tentara Belanda mulai menyebar ke Yogyakarta dan mengepung kota.
Soekarno segera melaksanakan sidang kabinet darurat. Sebelum sidang dimulai,
Soekarno memberi tahu Sultan Hamengkubuwana IX bahwa ia tetap akan keluar kota
untuk menghindari penangkapan Belanda. Perdana Menteri Mohammad Hatta sedang
berada di Kaliurang untuk bertemu dengan Komisi Tiga Negara; karena tak kunjung
datang di Gedung Agung, Sultan diminta Soekarno untuk menjemputnya. Sultan
ditemani dengan Sjahrir berangkat ke Kaliurang, singgah sebentar di Kepatihan
untuk memerintahkan persiapan pengungsian sementara bagi pemimpin pemerintahan
di Gunungkidul, dan di tengah perjalanan menjumpai Hatta yang telah berjalan
kembali ke kota. Mereka kembali ke Yogyakarta; ketika tiba di Gedung Agung,
sidang telah selesai diputuskan. Soekarno memutuskan untuk tidak jadi keluar
kota, membiarkan dirinya ditangkap oleh Belanda, dan memberikan kekuasaan
kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Syafruddin diberitahukan
keputusan ini melalui siaran radio, tetapi ia tak mengetahuinya. Meskipun
demikian, Syafruddin telah berinisiasi membentuk pemerintahan serupa di sana,
sehingga keputusan ini telah dilaksanakan meskipun tanpa konsultasi dengan
pemerintah pusat.
6. PENGEPUNGAN YOGYAKARTA
Siang hari tanggal 19 Desember 1948, Tentara Belanda telah
sampai di tengah kota Yogya. Sultan Hamengkubuwana IX memerintahkan untuk
menutup seluruh gerbang keraton agar tidak ada mata-mata Belanda yang masuk. Ia
tidak menerima tamu kecuali rakyat yang telah mengungsi di keraton sebelum perintah
penutupan gerbang dikeluarkan. Sultan sempat bertemu dengan Kolonel van Langen
dan Westerhof, seorang pejabat Belanda, yang menunjukkannya sebuah peta
Yogyakarta yang telah diberi tanda-tanda tertentu. Peta tersebut memiliki arti
bahwa Sultan bebas bergerak tetapi hanya di dalam area keraton. Satu demi satu
pemimpin negara diasingkan. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diberangkatkan ke
Berastagi, sebelum kemudian disatukan kembali bersama Hatta, Mohamad Roem, Ali
Sastroamidjojo, dan Assaat di Bangka Beberapa pemimpin negara yang selamat
dapat meloloskan diri ke luar kota maupun hidup dalam penyamaran.
Bulan Januari 1949, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku
Alam VIII mengundurkan diri dari jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar urusan keamanan diserahkan kepada
tentara Belanda. Selain itu, karena tidak lagi mengemban tanggung jawab
pemerintah daerah, mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk bekerja sama
dengan Belanda, membuktikan bahwa rumor mereka bekerja sama dengan Belanda
adalah salah. Belanda yang menyadari masih kuatnya pengaruh Sultan terhadap
rakyatnya berusaha untuk merangkulnya. Letnan Gubernur Jenderal van Mook
kemudian digantikan oleh Komisaris Tinggi Beel. Utusan-utusan Belanda dari kalangan
bangsa Indonesia seperti Hussein Jayadiningrat dan Sultan Hamid II, juga
pejabat-pejabat Belanda seperti Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan Kolonel
van Langen yang satu persatu datang ke keraton, semuanya ditolak. Pada masa
itu, Menteri Koloni Maan Sassen merencanakan sebuah negara bagian Indonesia
yang baru di Jawa Tengah yang mungkin akan dipimpin oleh Sultan.
Sultan dibujuk dengan tawaran daerah kekuasaan di Kedu dan
Banyumas, tambahan wilayah di Jawa Timur, kemudian seluruh Jawa dan Madura
sebagai "Super Wali Negara", dan bahkan sebagai Deputi (Wakil)
Gubernur Jenderal Hindia Timur. Tak hanya itu, Sultan juga ditawari saham
perusahaan kereta api hingga sejumlah besar uang. Meskipun demikian,
utusan-utusan tersebut hanya dapat bertemu saudara Sultan seperti Prabuningrat,
Mudaningrat, dan Bintoro dengan alasan bahwa ia sedang sakit. Mereka menerima
utusan-utusan tersebut tetapi tidak memberikan jawaban atau balasan atas
tawaran yang ada. Tak peduli dengan itu, Kabinet Belanda masih tetap berharap Hamengkubuwana
akan memihak kepada mereka.
7.
SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Karena kondisi perang yang berkepanjangan, Sultan
Hamengkubuwana IX memandang rakyatnya makin menderita dan melihat semangat para
pejuang makin memudar. Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi atas Indonesia
pada tanggal 28 Januari 1949. Sultan mengetahui bahwa pada awal bulan Maret,
sebuah rapat Dewan Keamanan PBB mengenai Indonesia akan diadakan kembali. Ia
mengambil kesempatan ini dengan mengusulkan kepada Soedirman sebuah serangan
agar dunia tahu bahwa Republik Indonesia masih ada. Soedirman menyetujuinya dan
menyarankan Sultan berbicara dengan komandan setempat, Letkol Soeharto. Pada
tanggal 14 Februari 1949, Letkol Soeharto bertemu dengan Sultan. Ia menyamar
sebagai seorang abdi dalem. Pertemuan yang membahas rencana Serangan Umum 1
Maret ini, diadakan di tempat tinggal Prabuningrat, kakak Sultan.
Pada tanggal 22 Februari 1949, kompleks Kepatihan, kantor
Sultan, dijarah oleh tentara Belanda. Mereka membawa beberapa dokumen, termasuk
naskah tesis Sultan yang belum sempat dikumpulkan, dan menemukan beberapa
instruksi rahasia. Oleh karenanya, para pejabat Belanda mulai tidak sabar.
Mereka mulai berencana menggulingkan Sultan. Menteri Luar Negeri Belanda van
Maarseveen setuju bahwa Komisaris Tinggi Beel dapat "menduduki keraton dan
mengganti Sultan" jika situasinya memburuk. Beberapa sumber mencatat bahwa
beberapa anggota keluarga Sultan sempat terbujuk, tetapi tidak berlangsung
lama.
Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul enam pagi, ditandai dengan
bunyi sirene berakhirnya jam malam yang ditetapkan Belanda, pasukan Indonesia
menyerang Yogyakarta secara serentak. Setelah serangan berlangsung selama enam
jam, pasukan berhasil menduduki tempat-tempat yang telah direncanakan, kemudian
dikomando untuk menarik diri dan kembali ke pangkalan masing-masing. Ketika
bala bantuan Belanda datang dari Magelang, para pejuang sudah menarik diri.
Sore harinya, Kolonel van Langen dan Residen Stok datang, menuduh bahwa ada
tembakan dari dalam keraton selama Serangan Umum. Mereka juga memberi tahu bahwa
Jenderal Meijer, Komandan Umum Jawa Tengah, akan datang menemui Sultan.
Keesokan harinya, 2 Maret 1949, Jenderal Meijer datang.
Sultan ditemani Prabuningrat menerima mereka dengan pakaian sederhana, untuk
menunjukkan keterpaksaannya, hingga taraf sesuatu yang tidak sopan untuk
menerima tamu dalam adat Jawa. Di sini Sultan sempat berkata, "Saya tidak
meminta Tuan-Tuan datang ke Yogya," yang dimaksudkan kepada seluruh tamu
yang datang. Selain itu, Sultan bahkan telah menyiapkan satu tas penuh pakaian,
karena menduga akan ditangkap, dan akan turun takhta apabila berbagai provokasi
Belanda makin menjadi-jadi. Namun, Sultan meminta agar ia "ditinggalkan
dalam kedamaian" dan bila Belanda akan mengacak-acak keraton, "Lebih
baik saya mati dulu!" Rombongan tersebut akhirnya meninggalkan keraton
dengan tenang dan sopan.
8. PENYERAHAN KEDAULATAN INDONESIA
Pada tanggal 3 Maret 1949, Majelis Permusyawaratan Federal
(BFO) mengeluarkan resolusi yang menyerukan pemulangan pemimpin-pemimpin
Republik dari pengasingan. Pada tanggal 23 Maret, Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan Resolusi Kanada, yang dinilai berkekuatan lemah, tetapi memperkuat
resolusi bulan Januari. Perundingan Roem-Roijen dimulai pada pertengahan April
1949; mencapai kesepakatan Persetujuan Roem-Roijen yang ditandatangani pada
tanggal 7 Mei 1949. Hamengkubuwana IX membuka kembali kantor-kantor Kesultanan
pada pertengahan bulan Mei. Tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta dimulai
dari Bantul tanggal 24 Juni, dari Kota Yogyakarta tanggal 29 Juni, hingga dari
DIY sepenuhnya pada tanggal 30 Juni 1949; kekuasaan atas Yogyakarta
dikembalikan kepada Hamengkubuwana IX. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiba di Yogyakarta dari Bangka.
Syafruddin Prawiranegara mengembalikan kekuasaan dari PDRI kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada tanggal 24 Juli 1949, dibentuk susunan delegasi
Konferensi Meja Bundar. Persetujuan mengenai penyerahan kedaulatan Indonesia
ditandatangani di Den Haag pada tanggal 2 November 1949. Di Amsterdam,
dilakukan upacara penyerahan kedaulatan di Istana Dam oleh Ratu Juliana dengan
Moh. Hatta. Di Jakarta, upacara serupa dilakukan di Istana Koningsplein oleh
A.H.J. Lovink dengan Hamengkubuwana IX. Upacara dilanjutkan dengan penurunan
Bendera Belanda dan penaikan Bendera Indonesia di Istana Koningsplein. Karena
teriakan "merdeka" yang bersahutan di sana, Istana Koningsplein atau
Istana Gambir kemudian mulai disebut sebagai Istana Merdeka.
F. PASCA REVOLUSI NASIONAL
Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada
kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah
ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai Wakil
Presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih
kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang
mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai
Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada
KKN.
G. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX :
PANGERAN DALAM REPUBLIK
Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini, 17 Agustus
1945, dengan dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi,
beliau mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu
setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII,
mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian
dari wilayah Republik Indonesia.
Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modernnya,
dimana dia bukan lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara
republik. Langkah beliau yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya ini, di
kemudian hari dibuktikan dengan pengabdian yang total.
Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari
pemerintah kolonial yang datang kembali,
beliau mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Sri
Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota
negara Republik yang baru berdiri tersebut.
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga
ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di
Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi
gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan
akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah
dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan
beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi
meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.
Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran
staff kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta
sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di
Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita
ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa
beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.
Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya
saat ini mengalami fase pasang surut. Di
ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kendali
pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di
titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia
sebagai negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di
era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun
menyingsingkan lengan bajunya, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin
negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan beliau tetap bagian dari
negara itu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat
dipulihkan kembali.
Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain
menjadi pejuang pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat
sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet
Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember
1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi
Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951). Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan
di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik
Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai pada tanggal 23 Maret
1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri.
Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai
kepanduan ini, beliau menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World
Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada
kepanduan dunia.
Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung
ke Amerika, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di
George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks
Pemakaman Raja-raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka.
Pada saat itu, pohon beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara, mendadak
roboh, seakan pertanda duka yang mendalam.
Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada tanggal 30 Juli
1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
H. KEPRAMUKAAN
Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam
organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX
telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika
berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah,
Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI
saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang
penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.
Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk
Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan
Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri
Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan
Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan
Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20
Mei 1961.
Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai
Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile,
juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan
Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua
Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).
Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir
Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa
bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi
Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas
terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen.
Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).
Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun
Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”,
mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia
bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the
Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan
tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM)
kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan. Atas jasa
tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang
berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor
Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka
Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88
tentang Bapak Pramuka.
I. MANGKAT
Sultan Hamengkubuwana IX bersama KRA Nindyakirana berkunjung
ke Washington, D.C. pada tanggal 27 September 1988. Di sana, Sultan bersama KRA
Nindyakirana menginap di Hotel Embassy Row, tepat di depan KBRI Washington.
Pada tanggal 28 September, Sultan menjalankan pemeriksaan kesehatan di Rumah
Sakit Walter Reed. Ia juga menjadwalkan pemeriksaan kesehatan mata di Boston
pada tanggal 3 Oktober. Sore hari Minggu, 2 Oktober 1988 waktu setempat, Sri
Sultan diketahui muntah-muntah di hotel tempatnya menginap. 15 menit kemudian
ambulans datang; Sultan dilarikan ke unit gawat darurat George Washington
University Hospital. Tidak ada pengantar yang dapat masuk ke tempat perawatan
gawat darurat Sultan. Pada pukul 20.05 waktu setempat, tim dokter menyatakan
Hamengkubuwana IX telah meninggal dunia.
Kabar meninggalnya Hamengkubuwana IX disampaikan oleh
Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada Presiden Soeharto pukul 07.00 WIB di
kediaman Presiden di Jalan Cendana. Presiden Soeharto memutuskan untuk
melakukan upacara pemakaman kenegaraan dan menetapkan masa berkabung selama
seminggu. Beberapa saat kemudian, datang Duta Besar Amerika Serikat Paul
Wolfowitz menyampaikan surat belasungkawa Presiden Ronald Reagan. Ia juga
menyampaikan bahwa AS telah menyiapkan pesawat Air Force Two untuk menerbangkan
jenazah Sultan hingga ke Jakarta. Soeharto berterima kasih atas bantuan AS,
tetapi ia ingin pesawat Indonesia yang menjemput jenazah Sultan. Pada akhirnya
disepakati Air Force Two akan terbang dari Pangkalan Udara Bersama Andrew,
Maryland ke Pangkalan Udara Hickam, Honolulu. Pesawat Garuda Indonesia DC-10
kemudian membawa jenazah dari Honolulu ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Kamis, 6 Oktober 1988, jenazah telah sampai di Jakarta.
Dilakukan upacara penerimaan dengan inspektur upacara Jenderal Benny Moerdani.
Setelah disemayamkan sebentar di Kantor Perwakilan DIY di Jakarta, jenazah
dilepas oleh Wakil Presiden Soedharmono dan diterbangkan ke Bandara Adisutjipto
dengan pesawat Hercules milik TNI AU.
Jumat, 7 Oktober 1988, jenazah Sultan telah sampai di
Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pada pukul 10.30 WIB, dilaksanakan pernikahan massal empat putra
Sultan yang sebenarnya akan dilaksanakan tanggal 5 November. Pangeran
Pakuningrat, Cakraningrat, Candraningrat, dan Yudhaningrat dinikahkan oleh
Penghulu Keraton di depan peti jenazah Sultan. Keraton dibuka sejak pukul 14.00
hingga pukul 06.00 keesokan harinya dan langsung diramaikan oleh masyarakat
yang berkumpul untuk menyaksikan.
Prosesi pemakaman Hamengkubuwana IX dimulai pada Sabtu, 8
Oktober 1988. Jenazah dilepas dari gerbang Magangan oleh Presiden Soeharto,
Pangeran Purubojo (kakak Sultan), dan Pangeran Mangkubumi (putra sulung
Sultan). Iring-iringan pembawa jenazah dipimpin oleh Pangeran Yudhaningrat. Di
belakang kereta pembawa jenazah, kuda kesayangan Sultan dibiarkan berjalan
tanpa penunggang mengikuti iring-iringan. Sesuai dengan tradisi, kereta Kyai
Rata Pralaya yang membawa jenazah Sultan Hamengkubuwana dilewatkan di antara
dua beringin kembar di Alun-Alun Selatan lalu di bawah Gerbang Nirbaya keluar
dari kompleks keraton.
Pada pukul 15.00, iring-iringan tiba di Astana Imogiri,
pemakaman kerajaan Wangsa Mataram. Jenazah disalatkan di Masjid Pajimatan
sebelum dibawa dan dimakamkan di Astana Saptorenggo, tempat makam Sultan yang
telah disiapkan sebelumnya. Pemakaman Sultan dihadiri oleh Ketua BPK Jenderal
M. Jusuf; Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut;
Kapolri; serta Duta Besar AS Paul Wolfowitz dan Duta Besar Australia Bill
Morrisson.
J. PENINGGALAN
Meskipun sibuk di bidang pemerintahan, Hamengkubuwana IX
juga peduli akan seni dan budaya di Yogyakarta. Ia mewariskan Tari Golek Menak
yang terinspirasi dari cerita wayang golek dan Serat Menak yang bersumber
kepada Hikayat Amir Hamzah. Ia juga mewariskan Tari Bedhaya Sapta yang
dimainkan oleh tujuh orang, tidak seperti Tari Bedhaya pada umumnya yang
dimainkan sembilan orang. Selain itu, ada pula Tari Bedhaya Sangaskara[m] atau
Bedhaya Manten yang dimainkan enam orang pada saat pernikahan
putra-putrinya.[169] Tari Bedhaya Arya Penangsang dan Bedhaya Damarwulan juga
diciptakan olehnya.
Selain menekuni bidang tari, Sultan juga menekuni bidang
fotografi. Ada dua kamera yang senantiasa dipakainya yang kini disimpan di
Museum Hamengkubuwana IX, Keraton Yogyakarta. Beberapa hasil potret
Hamengkubuwana IX adalah ketika Mohammad Hatta bersalaman dengan pemain sepak
bola asal Mozambik pada tahun 1955. Pada tahun yang sama, ia juga sempat
memotret atlet kejuaraan atletik Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di Stadion
Ikada, Jakarta. Pada tahun 1972, ia juga sempat memotret Candi Borobudur
sebelum dipugar.
K. KEHIDUPAN PRIBADI
1. SILSILAH
Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan
permaisuri Raden Ajeng Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom
Hamengkunegara/Kanjeng Ratu Alit.
2. ISTRI, ANAK, MANTU
No
|
Istri
|
Anak
|
Mantu
|
1.
|
BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B.
Suryokusumo, buyut HB VI (1940)
|
BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH Hadikusuma
|
Dr. Sri Hardani
|
BRM Kaswara/GBPH Hadisurya
|
Andinidevi
|
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom
|
Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata
|
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma
|
KRT Murdakusuma
|
BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmakusuma
|
KRT Ir Suyono Darmakusuma
|
2.
|
RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy
Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943)
|
BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA
Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X
|
Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas
|
BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo
|
Hj. Nuraida
|
BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto
|
Aryuni Utari
|
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma
|
KRT Riyakusuma
|
3.
|
KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji
Trusthajumena, buyut HB VII (1948)
|
BRM Harumanta/GBPH Prabukusuma, S.Psi
|
Roswarini Sri Yuniarsih
|
BRM Kuslardiyanta
|
Jeng Yeni
|
BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM
|
Raden Roro Endang Hermaningrum
|
BRM Abirama/GBPH Candradiningrat
|
Hery Iswanti
|
BRA Kushandanari
|
|
BRA Sri Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo
|
KRT Padmokusumo Sastronegoro
|
4.
|
KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB
VII
|
BRM Anindita/GBPH Pakuningrat
|
Nurita Afridiana
|
BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat
|
Lakhsmi Indra Suharjana
|
BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat
|
Farida Indah
|
BRM Sarsana/GBPH Suryomataram
|
|
BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro
|
Iceu Cahyani
|
BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro
|
Rr. Endang Retno Werid Soelasmi Lim
|
5.
|
Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Handaru
Widharna (1977)
|
|
|
L. PENGHARGAAN
M. PENINGGALAN SRI SULTAN HAMENGKU
BUWONO IX
Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental
Sri Sultan Hamengku Buwono IX . Saluran air yang menghubungkan Sungai Progo
dengan Kali Opak yang membelah
Yogyakarta dari barat ke timur ini memberi pengairan yang tak pernah berhenti
bagi lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Proyek selokan mataram ini berhasil
menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak diikutsertakan dalam
program kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian yang tidak hanya
bisa menyelamatkan nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga membuat manfaat
yang terus bisa dinikmati hingga kini.
Di bidang pendidikan,
Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh berdirinya Universitas
Gadjah Mada. Lembaga perguruan tinggi yang telah mencetak banyak tokoh nasional maupun internasional ini
awalnya menggunakan Pagelaran dan bangunan-bangunan lain di dalam dan sekitar
keraton untuk dijadikan lokasi belajar mengajar. Sejalan dengan perkembangan
universitas, sebidang tanah di Bulak Sumur disediakan oleh Sultan untuk
dibangun gedung utama, Balairung UGM,
yang dirancang sendiri oleh Presiden Soekarno kala itu.
Seperti raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX juga mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni.
Terinspirasi dari cerita wayang golek, beliau menciptakan tari klasik Golek
Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari gaya Yogyakarta. Karya lain yang
beliau hasilkan diantaranya adalah tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara
(Manten).
N. GALERI