Mengenai Saya

Foto saya
Hi, Nama Saya Sandra Bagus Nugroho saya pemilik Blog History Of World Empire

Rabu, 26 April 2023

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO I | ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇

Sri Sultan Hamengku Buwono I

꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇

Susuhunan Kabanaran

Sri Sultan Hamengkubuwana I

Sultan Keraton Kasultanan Yogyakarta ke-1


Bertakhta : 13 Februari 1755 - 24 Maret 1792

Penobatan : 13 Maret 1755

Penerus : Hamengkubuwana II

Informasi Pribadi

Nama Asli : Raden Mas Sujana

Kelahiran : 4 Agustus 1717 (Rabu Pon, 26 Ruwah Wawu 1641), Kesultanan Mataram Kartasura, Mataram

Kematian : 24 Maret 1792 (umur 74), Karaton Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat

Pemakaman : Astana Kasuwargan, Imogiri, Yogyakarta

Wangsa : Mataram

Gelar Naik Tahta/Jumeneng Nata :

Ngarso Dalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat

Nama Anumerta :

- Sunan Kabanaran

- Pangeran Mangkubumi

Ayah : Amangkurat IV

Ibu : Mas Ayu Tejawati

Permaisuri : Gusti Kanjeng Ratu Kencana & Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten

Agama : Islam


 Sri Sultan Hamengkubuwana I (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧇, 6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792

A.    ASAL USUL

Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV susuhunan Mataram kedelapan, yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.

Pada tahun 1742 Keraton Kartasura diserbu kelompok pemberontak. Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukawati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukawati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Sambernyawa pada tahun 1746, tetapi ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut PB II supaya membatalkan perjanjian sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Raden Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

B.     PERLAWANAN

Perang antara Mangkubumi dan Sambernyawa melawan kedudukan Pakubuwana II yang disebut para sejarawan disebut sebagai Perang Takhta Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan Mataram kepada VOC untuk melindungi segenap keluarganya pada tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai susuhunan bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di basis pertahanannya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II yang bernama Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Raden Mas Suryadi disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kabanaran, karena bermarkas di desa Banaran di daerah Sukawati (sekarang Sragen).

Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.

C.     PERSELISIHAN

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Sambernyawa terjadi perselisihan. Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.

Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Sambernyawa akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua 10.000 real untuk Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwana III.

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah Mataram yang dikuasai Pakubuwana III dibagi menjadi dua. Mangkubumi mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwana III dan VOC menjadi persekutuan untuk menghancurkan pemberontakan kelompok Pangeran Sambernyawa.

Bersekutunya Mangkubumi dengan Pakubuwana III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

D.    PERJUANGAN ATAS BUMI MATARAM

Era tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.

Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu -Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. Akan tetapi, akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.

Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.

Di sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III. Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.

Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.

Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.

Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

E.     MENDIRIKAN KERATON KASULTANAN YOGYAKARTA HADINIGRAT

Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III sebagai susuhunan tetap melanjutkan pemerintahan di Surakarta, sedangkan Mangkubumi bergelar Hamengkubuwana I menjadi sultan di Yogyakarta. Kemudian, Mangkubumi resmi menjadi sultan namun ia belum mendirikan keraton untuk tempat pememerintahnya. Untuk mendirikan keraton Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya. Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ayogya sebuah dalem yang bernama Dalem Garjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya. Oleh karena itu, ibu kota baru dari kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan kearifan Sultan Hamengku Buwono I. Juga disebutkan mengenai kecerdasan beliau terkait ilmu tata kota dan arsitektur. Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, menurut catatan itu, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari desa Banaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kesultanan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan. Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Tidak hanya tata ruang dan bangunannya, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis, dan spiritual yang tinggi. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono juga membangun kompleks istana air Taman Sari. Atas hasil karya serta karakter kuat Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great builder”, sejajar dengan Sultan Agung.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar. Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh tanggung jawab). Konsep-konsep luhur ini menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah golong gilig manunggaling kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan) serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian alam). Semuanya menjadi nilai-nilai utama yang menjadi pedoman karakter tidak hanya bagi keraton tetapi juga masyarakat Yogyakarta.

F.     USAHA MENAKLUKAN SURAKARTA

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berambisi ingin mengembalikan Mataram menjadi kerajaan yang utuh. Surakarta saat itu dipimpin oleh Pakubuwana III yang mendapat perlindungan dari Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I untuk memerangi Surakarta sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunagara I yang memiliki ambisi yang sama, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwana IV sebagai susuhunan memiliki kesamaan dengan Hamengkubuwana I. Pakubuwana IV juga berambisi mengembalikan keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwana IV mengabaikan atas berdirinya Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwana I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi pangeran, Pakubuwana IV juga tidak mengakui hak waris takhta adipati anom (putra mahkota) Yogyakarta. Pihak VOC mulai resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka di Jawa kembali bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras.

Pakubuwana IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama Mangkubumi untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kesultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung jawab kerajaan.

Sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini beriring dengan munculnya penasihat penasihat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I kembali bersekutu bersama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Pakubuwana IV memiliki penasihat spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasihat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasihat spiritual dengan golongan bangsawan yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwana III dengan tujuan untuk mempersatukan kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan pewaris takhta Pakubuwana III lahir untuk menggantikan peran ayahnya.

G.    KELUARGA PRIBADI

·         Permaisuri (garwa padmi)

1.       Gusti Kanjeng Ratu Kencana

putri Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Kakek dari pihak ayah adalah Pakubuwana I

2.       Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten

putri Ki Ageng Drepayuda. Ia juga dikenal sebagai Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau Gusti Kanjeng Ratu Hageng setelah kematian suaminya

·         Selir (garwa ampeyan)

1.       Bendara Raden Ayu Tilarsa

2.       Bendara Mas Ayu Sawerdi

3.       Bendara Raden Ayu Srenggara

4.       putri Ki Tumenggung Natayudha, Bupati Kedu

5.       Bendara Mas Ayu Mindaka

6.       Bendara Mas Ayu Asmarawati

7.       Bendara Raden Ayu Jumanten

8.       Bendara Mas Ayu Wilapa

9.       Bendara Mas Ayu Ratnawati

10.   Bendara Mas Ayu Chindaka

11.   Bendara Mas Ayu Tandhawati

12.   Bendara Mas Ayu Turunsi

13.   Bendara Raden Ayu Ratna Puryawati

14.   Bendara Raden Ayu Daya Asmara

15.   Bendara Mas Ayu Gandasari

16.   Bendara Mas Ayu Karnakawati

17.   Bendara Mas Ayu Setyawati

18.   Bendara Mas Ayu Padmasari

19.   Bendara Mas Ayu Sari

20.   Bendara Mas Ayu Pakuwati

21.   Bendara Mas Ayu Chitra Kusuma

 

·         Anak

1.       Gusti Raden Mas Intu

2.       Gusti Pangeran Hangabehi

3.       Gusti Raden Mas Sundara

4.       Bendara Pangeran Harya Demang Tanpanangkil

5.       Bendara Pangeran Harya Dipasanta

6.       Bendara Pangeran Harya Natakusuma

7.       Bendara Pangeran Harya Kusumayudha

8.       Bendara Pangeran Harya Silarang

9.       Bendara Raden Mas Adiwijaya

10.   Bendara Pangeran Harya Mangkukusuma

11.   Bendara Pangeran Harya Hadikusuma II

12.   Bendara Pangeran Harya Dipasana

13.   Bendara Pangeran Harya Blitar

14.   Bendara Raden Mas Sudarma

15.   Bendara Raden Mas Sabiril

16.   Bendara Raden Mas Suwardi

17.   Gusti Raden Ajeng Inten

18.   Bendara Raden Ayu Jayaningrat

19.   Bendara Raden Ayu Purbayasa

20.   Bendara Raden Ayu Sasradiningrat

21.   Bendara Raden Ayu Rangga Prawiradirja

22.   Bendara Raden Ayu Natayudha I

23.   Bendara Raden Ayu Yudhakusuma I

24.   Bendara Raden Ayu Sasrakusuma I

25.   Bendara Raden Ayu Yudhakusuma II

26.   Bendara Raden Ajeng Sutiya

27.   Bendara Raden Ayu Pringgalaya

28.   Bendara Raden Ayu Dhanunegara

29.   Bendara Raden Ayu Mangkundirja

30.   Bendara Raden Ayu Ratnadinigrat

31.   Bendara Raden Ayu Purwadipura

 

H.    SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL

Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya adalah: Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo.

Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 (1 Ruwah 1718 TJ), dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Kelak, pada tanggal 3 November 2006, sebuah negara non kerajaan yang proses kelahirannya sangat lekat dengan keturunan beliau akan menganugerahi Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati diri bangsa

I.       GALERI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AR (Augmented Reality)

  A.     APA ITU AUGMENTED REALITY AR (Augmented Reality) adalah teknologi yang memperluas dunia fisik dengan cara menambahkan lapisan infor...

HALAMAN