Sri Sultan Hamengku
Buwono IV ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧔꧇ |
Sri Sultan Hamengku Buwono IV |
Sultan Yogyakarta ke-4
|
Bertakhta :
10 November 1814 - 6 Desember 1823 Penobatan : 9
November 1814 (Usia 10 tahun) Pendahulu :
Sultan Hamengkubuwana III Penerus :
Sultan Hamengkubuwana V Pemahkotaan :
21 Juni 1812 Wali raja :
Paku Alam I |
Informasi Pribadi |
Nama Lengkap
: Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot Kelahiran : 3
April 1804 (Selasa Kliwon, 22 Besar Jimakir 1730), Kraton Yogyakarta,
Yogyakarta Kematian : 6
Desember 1823 (umur 19), Kraton Yogyakarta, Yogyakarta Pemakaman :
Astana Besiyaran, Imogiri, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Naik Tahta/Jumeneng Nata: Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Sekawan ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Nama
Anumerta: Sinuhun Jarot Seda Besiyar Ayah : Sultan
Hamengkubuwana III Ibu : Gusti
Kanjeng Ratu Kencana (GKR Hageng) Permaisuri
:Gusti Kanjeng Ratu Kencana Agama : Islam |
A. MASA SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IV
Lahir pada tanggal 3 April 1804 dengan nama kecil Gusti
Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, beliau ditunjuk menjadi putera mahkota saat
penobatan ayahnya sebagai sultan pada tanggal 21 Juni 1812. Tidak lama
berselang, putra Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan permaisuri Gusti Kanjeng
Ratu (GKR) Hageng ini naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada
tanggal 9 November 1814 ketika usianya masih 10 tahun.
Karena usianya yang masih belia, maka pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono IV didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang
ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I.
Kedudukannya sebagai wali ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia
16 tahun pada 1820. Walaupun demikian, menjelang penyerahan kekuasaan Inggris
ke Belanda pada tahun 1816, Ibunda Sultan –kemudian disebut Ratu Ibu, dan Patih
Danurejo IV lah yang menjalankan wewenang sebagai wali sultan sehari-hari.
Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya, Sri Sultan
Hamengku Buwono IV, digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika
sang raja dikhitan pada tanggal 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang
menutupi mata adiknya dengan kedua belah tangannya. Kemudian, dalam Kitab
Kedung Kebo dan Babad Ngayogyakarta disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat
memperhatikan pendidikan sang raja. Tidak jarang, dari Tegalrejo Pangeran
Diponegoro menemui sultan belia untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti
dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab maupun Syiria. Sang
pangeran juga sering membacakan naskah-naskah penting seperti Serat Ambiya,
Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna
Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra. Untuk mendukung pendidikan sang
raja kecil ini, Ratu Ibu juga menunjuk Kyai Ahmad Ngusman – kepala pasukan
Suronatan dan Letnan Abbas –perwira Sepoy untuk mengajar baca Al Quran dan baca
tulis Melayu.
Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan keraton mulai renggang
ketika Patih Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di Kasultanan. Patih
Danurejo IV mendukung sistem sewa tanah untuk swasta, praktek yang
mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan. Belum pernah sebelumnya
pengusaha-pengusaha Eropa menjalankan usaha perkebunan yang besar seperti kopi
dan nila hingga pada masa tersebut. Selain itu, Patih Danurejo IV juga
menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis. Puncaknya ketegangan
antara Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV terjadi tatkala Garebeg
Sawal pada tanggal 12 Juli 1820. Di hadapan Sultan yang sudah mulai berkuasa
secara mandiri itu, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah
menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.
Hanya berselang dua tahun sejak menjalankan pemerintahan
secara mandiri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dunia. Di hari beliau
wafat, 6 Desember 1823 (22 Rabingulawal 1750), Sri Sultan Hamengku Buwono IV
masih berusia 19 tahun. Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa beliau
meninggal dunia setelah kembali dari kunjungan ke pesanggrahannya. Maka
kemudian nama beliau dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Sri Sultan Hamengku
Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri.
Dari pernikahannya dengan sembilan orang istri, Sri Sultan
Hamengku Buwono IV mendapat 18 orang anak. Namun hampir sepertiga dari
anak-anaknya meninggal ketika masih kecil. Yang menjadi penerus kemudian adalah
puteranya dari permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, yang masih
berusia 3 tahun.
B. RIWAYAT PEMERINTAHAN
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, putra
kedelapan belas Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng
Ratu Kencono tanggal 3 April 1804. Ia naik tahta menggantikan ayahnya pada usia
sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I
ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih
Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki
jabatan-jabatan penting di keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada
Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang
hasilnya justru merugikan rakyat kecil.
Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan
sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan
dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1823 saat
sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar
anumerta Sinuhun Jarot, Seda Besiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini
menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra
mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai raja, bergelar
Hamengkubuwono V.
C. KEHIDUPAN PRIBADI
1. Pemaisuri (Garwah Padmi)
·
Gusti Kanjeng Ratu Kencana
Putri Dhanureja II, Patih Yogyakarta dan Gusti Kanjeng Ratu
Hangger. Kakek dari pihak ibu adalah Hamengkubuwana II.
2. Selir (Garwah Ampeyan)
·
Bendara Raden Ayu Dewaningrum
·
Bendara Raden Ayu Murcitaningrum
·
Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum
·
Bendara Raden Ayu Turunsih
·
Bendara Raden Ayu Daya Asmara
·
Bendara Raden Ayu Murtiningrum
·
janda Hamengkubuwana III
·
Bendara Raden Ayu Ratnaningrum
·
Bendara Raden Ayu Widyawati
·
putri Ki Dhalang Jiwatenaya
3.
Anak
·
Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara
Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram
lahir dari GKR. Kencana, meninggal pada usia 108 hari
·
Gusti Raden Mas Gathot Menol
lahir dari GKR. Kencana. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana
V
·
Bendara Pangeran Harya Hangabehi
lahir dari BRAy. Daya Asmara. Ia adalah pegawai KNIL, juga
dikenal sebagai Bendara Pangeran Harya Suryadiningrat atau Bendara Pangeran
Harya Panengah.
·
Gusti Raden Mas Mustaya
lahir dari GKR. Kencana. Kemudian bergelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Mangkubumi, naik takhta sebagai Hamengkubuwana VI
·
Bendara Pangeran Harya Surya Negara
lahir dari BRAy. Widyawati. Ia adalah pegawai KNIL,
sastrawan Jawa ternama, serta penulis utama Babad Ngayogyakarta.
·
Bendara Raden Mas Tritustha
lahir dari BRAy. Dewaningrum, meninggal muda
·
Gusti Bendara Raden Ayu Maduratna
lahir dari BRAy. Murcitaningrum. Menikah dengan Kanjeng
Pangeran Harya Yudhanegara I atau Kanjeng Raden Tumenggung Prawiradirja.
·
Bendara Raden Mas Sunadi
lahir dari BRAy. Dewaningrum
·
Bendara Raden Ayu Dhanureja
lahir dari BRAy. Ratna Adiningrum. Menikah dengan Dhanureja
IV, Patih Yogyakarta.
·
Bendara Raden Ayu Niti Negara
lahir dari BRAy. Turunsih. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Niti Negara II, cucu Hamengkubuwana II dari pihak ibu.
·
Bendara Raden Ayu Jayaningrat
lahir dari BRAy. Murtiningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Jayaningrat.
·
Bendara Raden Ayu Suryatmaja
lahir dari BRAy. Ratnaningrum. Menikah dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Suryatmaja.
·
Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton
lahir dari GKR. Kencana, meninggal muda
·
Bendara Raden Ajeng Mutoinah
lahir dari BRAy. Murtiningrum
·
Bendara Raden Mas Pirngadi
lahir dari BRAy. Widyawati
·
Bendara Raden Mas Samadikun
lahir dari BRAy. Ratnaningrum
C. PENINGGALAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IV
Masa pemerintahan mandiri beliau yang hanya berjalan selama
dua tahun membuat segala kebijakan lebih banyak dikendalikan oleh Ratu Ibu,
Patih Danurejo dan Belanda. Oleh karena itu bisa dimaklumi jika tidak ada karya
sastra besar maupun seni yang dihasilkan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono
IV.
Namun demikian, terdapat dua buah kereta yang saat ini ada
di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro
yang merupakan peninggalan Sultan HB IV. Dua buah kereta kecil tersebut
dirancang untuk kebutuhan pesiar yang sering dilakukan oleh Sri Sultan.
D.
GALERI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar