Babad Giyanti (aksara Jawa: Babad Giyanti-aksara Jawa.png) adalah sebuah syair dalam bentuk tembang macapat yang dikarang oleh Yasadipura tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755. Sesudah keraton dipindahkan ke Surakarta dari Kartasura karena perang oleh orang Tionghoa, maka Pangeran Mangkubumi Hamengkubuwono I pun keluar dari keraton dan marah sampai memberontak. Sebab tanah bengkoknya dikurangi banyak sekali. Maka penyelesaianlah dia melawan keraton Surakarta. Selama peperangan ini dia dibantu oleh banyak pangeran dan bangsawan lainnya, antara lain Pangeran Samber-Nyawa (Mangkunegara I). Lalu Pangeran Samber Nyawa membuat panglima perang.
Isi Perjanjian Giyanti
Dalam peperangan ini, Pangeran Mangkubumi Hamengkubuwono I
menaklukkan daerah-daerah di sebelah barat Surakarta, di daerah Mataram.
Selanjutnya Pangeran Sambernyawa malahan bentrok dengan Pangeran Mangkubumi
Hamengkubuwono I. Terjadinya bentrok ini karena keduanya sama-sama ingin
mendapatkan supremasi tunggal cedera yang tidak terbagi. maka pilihan dan
dukungan kepada Sambernyawa melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs,
1991). Melihat dukungannya berkurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan
kekuatan bersenjata tetapi Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan
menderita kekalahan yang telak dan serius.Kekuatan bersenjata Mangkubumi kalah
telak dengan kekuatan Sambernyawa. Satu jalan cepat cepat bisa mendapat
sebagian kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh Mangkubumi.
Mangkubumi meminta Semarang memberi sebagian kekuasaan Mataram dan berjanji
setia dan tunduk kepada Belanda serta bersedia saya mbantu Surakarta dan
Belanda untuk melenyapkan Sambernyawa.Sebagai ikatan perjanjian yang baru
antara bekas musuh maka Mangkubumi bersedia untuk memberikan isterinya Raden
Ayu Retnosari dari Sukowati kepada Belanda atau VOC sebagai tanda perjanjian
persahabatan yang baru itu.Akhirnya Pangeran Mangkubumi menjadi raja sendiri;
sultan Hamengkubuwana I di kota baru yang bernama Yogyakarta Karya sastra ini
memuat kunjungan Yasadipura dari peristiwa di atas ini. Secara umum karya
sastra ini dianggap indah dan mendapatkan kritik yang baik oleh para pakar
kesustraan Jawa.
A.
MASA PENULISAN
Masa penulisan Babad Giyanti tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan karya sastra ini digubah antara tahun 1757 dan 1803. Tahun 1757 adalah tahun terakhir yang dituliskan kejadian-kejadian peristiwanya dalam karya sastra ini. Sementara tahun 1803 merupakan tahun meninggalnya senior Yasadipura.
Peta pembagian Mataram setelah
Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunegaran pada tahun 1757
Tapi perlu
dikemukakan di sini pula bahwa tidaklah pasti oleh Yasadipura yang mana karya
sastra ini dikarang. Sebab Yasadipura senior menurunkan Yasadipura junior yang
juga merupakan seorang sastrawan ternama. Yasadipura junior adalah kakek
Ranggawarsita. Oleh para pakar sastra Jawa, Babad Giyanti biasanya dianggap
dikarang oleh senior Yasadipura.
B.
RINGKASAN
Babad
Giyanti menceritakan sejarah Jawa dari runtuhnya Keraton Kartasura pada tahun
1742 dan kembalinya Pakubuwana II ke Keraton Kartasura pada tahun yang sama,
sampai akhir Perang Takhta Jawa III pada tahun 1757 dan kunjungan Natakusuma
atau Pangeran Juru ke Surakarta pada tahun 1758.
Tahun 1746
merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah
Kasunanan Mataram mencakup seluruh bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
tahun tersebut Mataram secara sekaligus kehilangan seluruh pesisir utara, dan
bahkan di antara Pasuruan dan Banyuwangi semuanya hilang. Pada waktu yang sama
muncul perang baru lagi di mana Mataram kehilangan separuh daerah yang masih
ada. Lalu ketika perjanjian perdamaian ditanda tangani sembilan tahun kemudian,
pada tahun 1755, paling tidak separuh penduduk Jawa tewas.
Alasan
langsung bencana-bencana ini ialah kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang
dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada tahun 1746. Beberapa tahun
sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur dijanjikan kepada VOC, karena
VOC telah membantu Sunan menumpas pemberontakan. Sekarang ini Van Imhoff
menuntut janji sang Sunan. Sunan Pakubuwana II yang kala itu menjabat memang
pernah menjanjikan daerah-daerah ini ketika ia sedang terjepit. Kala itu dia
harus melarikan diri dari keraton sementara dikawal oleh para serdadu VOC.
Sunan
Pakubuwana II memang tidak banyak mengenal damai dalam masa pemerintahannnya
(1726-1749). Warga Tionghoa yang memberontak dan mengacau, karena alasan yang
sangat berbeda dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena
ada pembantaian warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah
pemberontakan di Madura yang menjalar ke Jawa Timur. Selain itu di ibu kota
sendiri, banyak pangeran-pangeran, “warisan” ayahnya yang memberontak meminta
kekuasaan serta intrik-intrik keraton. Salah seorang pangeran yang banyak
mengganggu sunan Pakubuwana II adalah kakaknya sendiri, pangeran Mangkunagara.
Untungnya Pakubuwana II bisa membuangnya ke Sri Lanka berkat bantuan VOC. Namun
bagi putranya, Raden Mas Said, hal ini menjadikan alasan untuk membangkang dan
membalas dendam terhadap pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena Pakubuwana II
tidak kuat melawan Raden Mas Said, maka dia menjanjikan imbalan bagi yang bisa
mengusirnya. Seorang adik Pakubuwana II yang lain, pangeran Mangkubumi berhasil
mengusir Raden Mas Said. Namun kemudian patih Sunan Pakubuwana II berpendapat
bahwa imbalannya terlalu besar, padahal Sunan Pakubuwana II sebenarnya tidak
apa-apa.
Masalah
dengan Mangkubumi ini justru terjadi ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi
di keraton pada tahun 1746. Van Imhoff sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan
Pakubuwana II, maka diapun menegur Mangkubumi mengenai tuntutannya yang
keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan Pakubuwana II memotong imbalannya sampai
dua pertiga. Mangkubumi kehilangan mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di
keraton. Iapun pergi dan mencari kontak dengan Raden Mas Said, keponakannya
yang telah diusirnya. Kehilangan muka Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya
alasan, meski alasan utama, menjauhnya Pakubuwana II dengan Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang setuju terhadap keputusan kakaknya
menyerahkan daerah pesisir dan akan kompensasi VOC yang telah diberikan untuk
pendapatan yang hilang.
Perang
awalnya berlangsung buruk bagi sunan Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka
hanya bisa mempertahankan posisi mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh
pulau Jawa. Bahkan kota Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik
perang gerilya.
Sementara
ini Mangkubumi tujuannya tidak hanya membalas dendam saja, tetapi diapun ingin
menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana II pada saat berlangsungnya perang jatuh
sakit dan mangkat pada tahun 1749, maka Mangkubumi memproklamasikan dirinya
sebagai Susuhunan yang baru dan mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena
Surakarta dan VOC tidak mengakuinya, tetapi menobatkan putra Sunan Pakubuwana
II menjadi Sunan Pakubuwana II, maka kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.
Kala itu
terlihat jelas bahwa kedua kubu tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan
yang lain. Maka kedua kubupun sadar dengan hal ini. Selain itu
Gubernur-Jenderal Van Imhoff meninggal pada tahun 1750 dan digantikan oleh
Jacob Mossel. Lalu Pangeran Mangkubumi sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas
Said sehingga situasipun berubah. Raden Mas Said sendiri memiliki aspirasi
untuk menjadi raja. Pada tahun 1754 mulailah rundingan antara Mangkubumi dengan
VOC (tanpa melibatkan Raden Mas Said dan Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi
untuk melawan Raden Mas Said, diterima oleh VOC dengan imbalan separuh wilayah
kekuasaan Mataram yang masih ada. Tawarannya diterima oleh VOC tetapi kekuatan
mangkubumi tidak cukup untuk mengalahkan mas Said. Pada tanggal 13 Februari
1755 perjanjian ini ditanda tangani di desa Giyanti, beberapa kilometer di
sebelah timur Surakarta. Mangkubumi akhirnya mendapatkan gelar Sultan
Hamengkubuwana I. Sunan Pakubuwana III tidak bisa berbuat lain daripada
menerima kenyataan. Sementara itu Raden Mas Said dua tahun kemudian pada tahun
1757 memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan syarat dia boleh menjadi
raja. Tuntutannya dituluskan dan dia mendapat wilayah yang diambil dari wilayah
Surakarta dan diperbolehkan menyebut dirinya Pangeran Adipati.
C.
PERUNDINGAN
Menurut catatan harian Nicolaas Hartingh, Gubernur Jenderal VOC untuk Jawa Utara, pada tanggal 10 September 1754 ia berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal 22 September 1754. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Natakusuma dan Tumenggung Ronggo. Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel, dan sekretarisnya, W. Fockens. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah pendeta Bastani.
Lokasi penandatanganan Perjanjian
Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.
Pada
pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan
karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kerajaan. Mangkubumi
menyatakan bahwa di Cirebon ada lebih dari satu sultan. Hartingh pun menawarkan
Mataram sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang
lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah
bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan dapat berjalan
lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar
susuhunan dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya.
Mangkubumi
keberatan melepas gelar susuhunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai
susuhunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai
susuhunan di daerah Kabanaran ketika Pakubuwana II wafat, bersamaan saat VOC
melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III.
Perundingan
terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal 23 September
1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai
gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan. Daerah pantai utara
Jawa atau daerah pesisiran yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh
VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan
kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah
pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada
Pakubuwana III. Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III menyampaikan surat
kepada Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel mengenai persetujuannya tehadap hasil
perundingan antara Hartingh dan Pangeran Mangkubumi.
Berdasarkan
perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat
persetujuan Pakubuwana III, maka pada tanggal 13 Februari 1755
ditandatanganilah Perjanjian di Giyanti.
D. ISI
PERJANJIAN
Secara
garis besar isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Mataram menjadi dua bagian,
yakni Kesunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III dan Kesultanan
Yogyakarta di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar
Hamengkubuwana I. Sebelumnya, keraton Surakarta telah berdiri terlebih dahulu
pada kurun waktu kekuasaan Pakubuwana II sebagai calon pengganti keraton
Kartasura yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah
kepemimpinan Amangkurat V.
Perjanjian
Giyanti memuat 10 pasal, antara lain:
·
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana
Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas
separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak
turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bandara
Raden Mas Sundara.
·
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat
yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
·
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati
mulai melaksanakan masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC
di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif
sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
·
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih
Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
·
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
·
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan
daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II
kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan
memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
·
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Susuhunan
Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
·
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan
harga tertentu kepada VOC.
·
Pasal 9
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang
pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya
perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan
1749.
·
Pasal 10
Perjanjian ini dari pihak VOC ditandatangani oleh N.
Hartingh, W. H. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar