Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton
Surakarta (bahasa Jawa: ꧋ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦣꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀; Nagari Kasunanan
Surakarta Hadiningrat, Pegon: ناڮاري كسنانن سوراكارتا هادنڠرت) adalah sebuah kerajaan
di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745. Selanjutnya, sebagai
hasil dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755
antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan pihak- pihak yang
bersengketa di Kesultanan Mataram, menyepakati bahwa wilayah Mataram dibagi
menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
A. DAFTAR RAJA-SUSUHUNAN (SUNAN)
SURAKARTA
Nama |
Jangka Hidup |
Awal Pemerintahan |
Akhir Pemerintahan |
Keluarga |
Gambar |
Paku Buwono II a. Sunan Kumbul b. Raden
Mas Prabasuyasa |
18
Desember 1711-20 Desember 1749 (Umur 36) |
1745 |
1749 |
a. Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) : Ayah b. Ratu
Amangkurat (GKR. Kencana) : Ibu |
|
Paku Buwono III Raden
Mas Suryadi |
17
Februari 1732 – 26 September 1788 (umur 56) |
1749 |
1788 |
a. Pakubuwana II, ayah b. GKR.
Hemas, ibu |
|
Paku Buwono IV a. Sunan Bagus, Sinuhun Wali b. Raden
Mas Subadya |
2
September 1768 – 2 Oktober 1820 (umur 52) |
1788 |
1820 |
a. Pakubuwana III, ayah b. GKR.
Kencana, ibu |
|
Paku Buwono V a. Sunan Sugih, Sinuhun Ngabehi b. Raden
Sugandi |
3
Desember 1784 – 5 September 1823 (umur 39) |
1820 |
1823 |
a. Pakubuwana IV, ayah b. KRAy.
Handaya, ibu |
|
Paku Buwono VI a. Sinuhun Bangun Tapa b. Raden
Mas Sapardan |
26 April
1807 – 2 Juni 1849 (umur 42) |
1823 |
1830 |
a. Pakubuwana V, ayah b. KRAy.
Sasrakusuma, ibu |
|
Paku
Buwono VII Raden
Mas Solikin |
8 Juli
1796 – 10 Mei 1858 (umur 61) |
1830 |
1858 |
a. Pakubuwana IV, ayah b. GKR.
Kencanawungu, ibu |
|
Paku Buwono VIII Raden
Mas Kuseini |
20 April 1789 – 28 Desember
1861 (umur 72) |
1858 |
1861 |
a. Pakubuwana IV, ayah b. KRAy.
Rantansari, ibu |
|
Paku Buwono IX a. Sinuhun Bangun Kedhaton b. Raden
Mas Duksina |
22
Desember 1830 – 16 Maret 1893 (umur 62) |
1861 |
1893 |
a. Pakubuwana VI, ayah b. GKR.
Ageng, ibu |
|
Paku Buwono X a. Sinuhun Ingkang Mulya Saha Ingkang Wicaksana b. Raden
Mas Sayyidin Malikul Kusna |
29
November 1866 – 20 Februari 1939 (umur 72) |
1893 |
1939 |
a. Pakubuwana IX, ayah b. KRAy.
Kustiyah (GKR. Pakubuwana), ibu |
|
Paku Buwono XI Raden
Mas Antasena |
1
Februari 1886 – 1 Juni 1945 (umur 59) |
1939 |
1945 |
a. Pakubuwana X, ayah b. KRAy.
Mandayaretna, ibu |
|
Paku Buwono XII a. Sinuhun Hamardika b. Raden
Mas Suryo Guritno |
14 April
1925 – 11 Juni 2004 (umur 79) |
1945 |
2004 |
a. Pakubuwana XI, ayah b. KRAy.
Kuspariyah (GKR. Pakubuwana), ibu |
|
Paku Buwono XII Raden
Mas Suryo Partono |
28 Juni
1948 (umur 74) |
2004 |
Sekarang |
a. Pakubuwana XII, ayah b. KRAy.
Pradapaningrum, ibu |
|
v PAKU BUWANA II
Pakubuwana II ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ |
Sunan Kumbul |
Susuhunan Mataram ke-9 |
Bertakhta :
1726 – 1742 Pendahulu :
Amangkurat IV Digantikan :
Amangkurat V |
Susuhunan Surakarta
ke-1 |
Bertakhta :
1745 – 1749 Penerus :
Pakubuwana III |
Nama Lengkap
: Raden Mas Prabasuyasa Kelahiran : 8
Desember 1711 (Selasa Paing 26 Sawal Alip 1635 AJ) Kematian 20
Desember 1749 (umur 38) Pemakaman : Astana
Pakubuwanan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng
Kaping II |
Nama
anumerta : Sunan Kumbul Ayah : Amangkurat
IV Ibu : Ratu
Amangkurat (GKR. Kencana) Pasangan
:G.RAy. Sukiya (GKR.Mas) Bahasa
Jawa : ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana II
(bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ ꧇, translit. pakubuwana kapindo,
har. 'pakubuwana dua', dikenal juga sebagai Sunan Kumbul; 08 Desember 1711 – 20
Desember 1749) adalah raja Mataram kedua yang menguasai tahun 1726–1742 dan
menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745–1749, setelah
pemberontakan Amangkurat V. Ia juga merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi
(kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa
(kemudian bergelar Mangkunagara I).
·
SILSILAH
Sunan Pakubuwana II atau Sunan
Kumbul memiliki nama asli Raden Mas Prabasuyasa, ia merupakan putra
Amangkurat IV dan Ratu Amangkurat (GKR. Kencana) atau Ratu Mas Kadipaten,
seorang permaisuri keturunan Sunan Kudus. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember
1711 atau Hari Selasa Pon, 18 Sawal tahun jimakir 1634 J atau 1711 Masehi.
Raden Mas Prabasuyasa
naik tahta sebagai Pakubuwana II pada tanggal 15 Agustus 1726 pada usia 15
tahun, setelah Keraton Kartasura hancur dalam peristiwa Geger Pacinan. Karena
masih sangat muda, beberapa tokoh istana bersaing untuk mempengaruhinya. Para
pejabat keraton pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu golongan yang bersahabat
dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu suri) dan golongan anti VOC
dipelopori Patih Cakrajaya.
·
PEMERINTAHAN
Pada awal tahun 1755, pihak VOC
yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi
berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau
berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Jatisari (15 Februari
1755) yang ditandatangani oleh Susuhunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi
mengakibatkan terbentuknya dua kerajaan baru yaitu Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di sebagian wilayah
Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kesunanan
Surakarta mempertahankan gelar Susuhunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya
waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal
dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh
Pakubuwana terkenal dengan nama Kesunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kesunanan
Surakarta semakin berkurang karena Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757,
menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran miji alias pangeran
merdeka dengan wilayah kekuasaan berada di Kadipaten yang secara tradisional
masih berada di bawah Kesunanan, yang disebut dengan nama Kadipaten
Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara
I. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya Perang
Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah Mancanagara diberikan kepada
Belanda sebagai ganti kerugian atas biaya peperangan.
-
TERUSIR DARI KARTASURA
Cakraningrat IV, bupati Madura
Barat, adalah ipar Pakubuwana II, tetapi membenci pemerintahannya yang
dianggapnya bobrok. Ia menawarkan diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari
Mataram. VOC terpaksa menerima tawaran itu.
Keadaan pun berbalik. Para
pemberontak Tionghoa pimpinan Sunan Kuning dipukul mundur. Pakubuwana II
menyesal telah memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura. Perdamaian
pun dijalin. Kapten Baron von Hohendorff tiba di Kartasura bulan Maret 1742
sebagai wakil VOC mengatur perjanjian damai dengan Pakubuwana II.
Perdamaian ini membuat para
pemberontak sakit hati. Mereka mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi
sebagai Amangkurat V (juga disebut Sunan Kuning karena memimpin kaum berkulit
kuning), Amangkurat V adalah seorang cucu dari Amangkurat III yang masih
berusia muda. mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Tionghoa, melainkan
juga pribumi Jawa yang anti VOC, semakin banyak yang bergabung.
Pada tanggal 18 Juni 1742 Patih
Natakusuma ditangkap oleh VOC atas keinginan Pakubuwana II. Patih Natakusuma
ditangkap karena diduga diam-diam bersekongkol dengan pasukan pemberontak
pimpinan Sunan Kuning. Kemudian oleh VOC ia diasingkan ke Sri Lanka. Hal ini
memamncing kemarahan para pemberontak yang akhirnya melakukan penyerangan ke
Kartasura.
-
MENGUNGSI KE PONOROGO
Pada tanggal 30 Juni 1742,
tentara Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi telah mengalahkan pasukan
Pakubuwono II secara total dan langsung menuju ke Kartasura. Sang raja berhasil
melarikan diri dan hanya dikawal oleh segelintir orang yang setia dan petugas
VOC. Ia kemudian pergi ke Madiun untuk mengumpulkan para pendukungnya dan dari
sana melakukan upaya sia-sia untuk mendapatkan kembali mahkotanya yang hilang.
Putus asa karena bertumpuk-tumpuk kesengsaraan, ia tetap tinggal di sana untuk
sementara waktu. Ia kemudian pergi ke Ponorogo untuk bertemu Kiai Ageng
Muhammad Besari di Tegalsari atas saran kawan-kawannya.
Di Tegalsari, Pakubuwono II
memohon kepada Kiai Ageng untuk menjadi perantara antara dirinya dan Allah
serta berdoa agar ia mendapatkan kembali ayahnya. Raja juga berjanji bahwa
seumpamanya ia memudarkan martabatnya sebagai raja, ia akan menjadikan
Tegalsari sebagai tempat rujukan belajar Islam di kerajaannya dan
menganugerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya, serta
mengangkat desa itu sebagai desa perdikan, yaitu desa yang dibebaskan dari
pajak, pengiriman upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan.
Pada November 1742, Cakraningrat
IV dari Bangkalan bersama pasukannya berhasil mengusir Mas Garendi dari
Kartasura. Kompeni kemudian mengangkat kembali Pakubuwono II sebagai raja. Ia
pun menepati janjinya pada Kiai Ageng, dengan syarat sang kiai tetap mengajar
ajaran Nabi Muhammad.
-
MENDIRIKAN SURAKARTA
Berawal dari peristiwa Geger
Pacinan yang melibatkan orang Tionghoa membentuk perlawanan untuk
mempertahankan diri, semakin lama pasukan mereka menjadi kuat karena mendapat
dukungan dari para bupati pesisir serta mengangkat Sunan Kuning sebagai raja
Mataram dan berhasil menguasai Keraton Kartasura dengan gelar Amangkurat V.
Pakubuwana II beserta
keluarganya melarikan diri ke Ponorogo dan meminta bantuan VOC untuk mengusir
Amangkurat V dan para pengikutnya dari Keraton Kartasura dan VOC membantu
permintaan dari Pakubuwana II untuk mengusir Amangkurat V, usaha ini pun
berhasil Pakubuwana II kembali terbang ke Mataram.
Menurut kepercayaan Jawa jika
sebuah istana kerajaan telah rusak akibat peperangan dianggap sudah tidak
memiliki wahyu keprabon lagi. Hal tersebut mengakibatkan Pakubuwana II ingin
mendirikan istana baru ke tempat lain yang layak untuk dihuni. Setelah
dilakukan pencarian pengganti wilayah Keraton Kartasura akhirnya terpilih desa
Sala sebagai lokasi keraton baru. Pada tanggal 17 Februari 1745 keraton baru di
desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti keraton lama, kemudian
diberi nama Surakarta.
Pada periode selanjutnya di
tahun 1755 pasca Perjanjian Giyanti yang disepakati oleh putra dan adiknya,
yaitu Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi, mengakibatkan terbelahnya
Mataram menjadi dua kubu antara Pakubuwana III di Surakarta dan Pangeran
Mangkubumi di Yogyakarta. Setelah kesepakatan itu disepakati, Mataram yang
semula memiliki pemerintahan tunggal di bawah Pakubuwana III, terbagi menjadi
dua poros kerajaan. Peristiwa tersebut ditandai dengan istilah Palih Nagari dan
menandai berakhirnya kekalahan Mataram.
·
SAYEMBARA
Posisi Cakraningrat IV semakin
kuat. Ia banyak merebut daerah-daerah di timur Jawa dalam penumpasan Geger
Pacinan. Daerah-daerah tersebut ingin diambil alih olehnya, tetapi ditolak VOC.
Cakraningrat IV pun akhirnya
memberontak. VOC secara resmi memerangi bekas sekutunya itu pada Februari 1745.
Beberapa bulan kemudian Cakraningrat IV terdesak dan melarikan diri ke
Banjarmasin. Namun, sultan negeri itu justru menangkap dan menyerahkannya
kepada VOC. Cakraningrat IV akhirnya dibuang ke Tanjung Harapan.
Sisa-sisa pendukung
pemberontakan Tionghoa yang masih bertahan adalah Pangeran Sambernyawa putra
Pangeran Mangkunegara. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah
Sukawati (sekarang Sragen), bagi siapa saja yang berhasil merebut daerah itu
dari tangan Pangeran Sambernyawa.
Pangeran Mangkubumi adik dari
Pakubuwana II memenangkan sayembara itu pada tahun 1746. Sebelumnya, ia juga
pernah ikut terlibat mendukung pemberontakan Tionghoa, tetapi kembali ke
Surakarta dan menerima Pakubuwana II. Namun, Patih Pringgalaya membujuk
Pakubuwana II agar tidak menyerahkan tanah Sukawati kepada Pangeran Mangkubumi.
VOC kembali muncul dengan
melakukan itu, Baron van Imhoff memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta
mendesak Pakubuwana II agar menyewakan tempat pesisir kepada VOC dengan harga
20.000 real Spanyol setiap tahun. Pangeran Mangkubumi melawan hal itu.
Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi
di depan umum.
Pangeran Mangkubumi sakit hati
dan kabur dari Surakarta dan memilih bergabung dengan pasukan Pangeran
Sambernyawa sejak Mei 1746.
·
AKHIR PEMERINTAHAN
Pakubuwana II jatuh sakit pada
akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, yang kini menjabat gubernur pesisir
Jawa bagian timur, tiba menjenguknya di Surakarta sebagai saksi VOC atas
pergantian pergantian raja (suksesi). Pakubuwana II bahkan terpaksa menyerahkan
kekuasaan Mataram kepada von Hohendorff, akibat api pemberontakan yang tak
kunjung padam. Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai
titik awal hilangnya kerugian Mataram ke tangan Belanda.
Pakubuwana II akhirnya meninggal
dunia pada tanggal 20 Desember 1749, dan berdoa oleh Raden Mas Suryadi,
anak-anaknya yang bergelar Pakubuwana III. Pakubuwana III dalam pemerintahannya
harus berhadapan dengan kaum pemberontak yang dipelopori Pangeran Mangkubumi
dan Pangeran Sambernyawa. Di kemudian hari pada tahun 1755, kedua belah pihak
antara Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi menyepakati isi Perjanjian
Giyanti. Disusul Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 yang disepakati oleh pihak
ketiga yakni Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.
v PAKU BUWANA III
Pakubuwana III ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧓꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana III |
Susuhunan Surakarta
ke-2
|
Bertakhta :
1749 – 1788 Pendahulu :
Pakubuwana II Penerus : Pakubuwana
IV Patih : 1.
Mangkupraja I (1755‒1769) 2.
Sasradiningrat I (1769‒1782) 3. Sindureja
(1782‒1784) 4.
Jayadiningrat (1784‒1796) |
Nama Lengkap : Raden Mas Suryadi Kelahiran : 24 Februari 1732, Kartasura,
Mataram Kematian : 26 September 1788 (umur 56), Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat Pemakaman : Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul,
Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Naik Tahta / Jumeneng Nata : Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin
Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping III |
Ayah : Pakubuwana II Ibu : GKR. Hemas Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana III
(bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧓꧇, translit. pakubuwana katelu,
har. 'pakubuwana tiga'; 24 Februari 1732 – 26 September 1788) adalah susuhunan
kedua Surakarta yang menguasai tahun 1749 – 1788.
·
BIOGRAFI
Sunan Pakubuwana III memiliki
nama asli Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri
GKR. Hemas, putri Pangeran Purbaya dari Lamongan (putra Pakubuwana I).
Sri
Susuhunan Sinuwun Paku Buwana III
Pakubuwana III naik tahta pada
tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras. Ia ditunjuk
sebagai raja oleh Baron von Hohendorff sesuai wasiat Pakubuwana II kepadanya,
untuk menobatkan Raden Mas Suryadi sebagai raja selanjutnya.
·
PEMBERONTAKAN
-
PERLAWANAN PANGERAN MANGKUBUMI
Pakubuwana III ketika menjadi
raja berhadapan dengan pemberontakan di masa pemerintahan ayahnya.
Pemberontakan tersebut dipelopori oleh pamannya sendiri, Pangeran Mangkubumi
sejak tahun 1746. Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Pangeran
Mangkubumi sebagai Pakubuwana III dan Pangeran Sambernyawa sebagai patihnya
pada tanggal 12 Desember 1749 di basis pertahanan mereka.
Perjanjian
Giyanti di hadiri oleh : Pangeran Mangkubumi Menjadi Raja/Sultan Keraton
Kasultanan Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana (kiri), Paku Buwana
III-Raja Keraton Kasunanan Surakarta (tengah), dan Gubenur Jenderal Hindia
Belanda VOC Nicholas Hartigh atas nama Gubenur Jenderal Jacob Mossel
Pada tahun 1752 terjadi
perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. VOC segera
menawarkan perdamaian dengan Pangeran Mangkubumi.
Isi
Perjanjian Giyanti yang menjadikan Kekuasaan Mataram Islam di bagi dua yang
menjadi daerah kekuasaan 2 keraton lahir, yaitu : Keraton Kasunanan Surakarta
dan Keraton Yogyakarta
Perundingan dilakukan dan diakhiri dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan biaya Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi pernah mengangkat diri sebagai susuhunan dan bergelar Pakubuwana III di daerah Kabanaran, bersamaan dengan pelantikan Raden Mas Suryadi menjadi Pakubuwana III.
Berdasarkan kesepakatan yang
telah disepakati, Pangeran Mangkubumi tidak diperkenankan menggunakan gelar
susuhunan. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman
bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sebagai sultan yang bergelar Hamengkubuwana
I dan membangun kerajaan baru bernama Kesultanan Yogyakarta.
sebelah atas Keraton Kasunanan
Surakarta Hadinigrat yang dipimpin Sinuwun Sri Sunan Paku Buwono III dan
sebelah bawah Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadinigrat yang di pimpin oleh
Sinuhun Sri Sultan Hamengku Buwono I
Pada perkembangan selanjutnya,
kerajaan yang dipimpin Hamengkubuwana I disebut dengan nama Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III
disebut dengan nama Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
-
PERLAWANAN PANGERAN SAMBERNYAWA
Seusai Perjanjian Giyanti,
Pangeran Sambernyawa merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi. Akhirnya ia
pun menjadi musuh Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Perlawanan Pangeran
Sambernyawa mulai melemah akhirnya ia terdesak dan bersedia berunding dengan
VOC sejak 1756.
Perjanjian Salatiga 1757, antara Paku
Buwono III dengan Raden Mas Said
Puncaknya, pada bulan Maret 1757
Pangeran Sambernyawa menyatakan kesetiaannya terhadap VOC, Surakarta dan
Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga. Sejak itu, Pangeran Sambernyawa alias
Raden Mas Said bergelar Mangkunagara I. Daerah yang dipimpinnya bernama
Kadipaten Mangkunagaran, sebidang tanah mempersembahkan Pakubuwana III hasil
pembagian wilayah Mataram.
·
AKHIR PEMERINTAHAN
Kelemahan politik Pakubuwana III
menyebabkan keadaan pulau Jawa menjadi tegang. Muncul komplotan pemberontak
yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung
sampai kematiannya tanggal 26 September 1788.
Pakubuwana III mengikuti
anak-anak yang bergelar Pakubuwana IV, seorang raja yang lebih cakap dan
pembuat keputusan dalam mengambil sikap politiknya.
v PAKU BUWANA IV
Pakubuwana IV ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧔꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana IV |
Susuhunan Surakarta
ke-3
|
Berkuasa :
1788 – 1820 Pendahulu :
Pakubuwana III Penerus :
Pakubuwana V Gubernur
Jenderal : 1. Willem
Arnold Alting 2. Pieter van
Overstraten 3. Johannes
Siberg 4. Albertus
Wiese 5. Herman
Willem Daendels 6. Jan Willem
Janssens 7. G.A.G.Ph.
van der Capellen Gubernur
Letnan Inggris Lord Minto: 1. Thomas
Stamford Raffles 2. John
Fendal |
Kelahiran : 2 September 1768 Kematian : 2 Oktober 1820 (umur 52) Pemakaman Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul,
Yogyakarta Wangsa Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama
Ingkang Jumeneng kaping Sakawan ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap : Raden Mas Subadya Ayah : Pakubuwana III Ibu : GKR. Kencana Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana IV
(sering disingkat sebagai PB IV; 2 September 1768 – 2 Oktober 1820) adalah
susuhunan ketiga Surakarta yang memerintah tahun 1788–1820. Ia dijuluki sebagai
Sunan Bagus, karena naik tahta dalam usia muda dan berwajah tampan.
Nama aslinya adalah Raden Mas
Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari permaisuri GKR. Kencana,
keturunan Sultan Demak. Ia dilahirkan tanggal 2 September 1768 dan naik tahta
tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun.
·
PEMERINTAHAN
Pakubuwana IV adalah susuhunan
Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang
kurang cakap. Ia adalah pemeluk Islam yang taat dan mengangkat para ulama dalam
pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat berkecenderungan mistik
yang sudah mapan di istana.
Pakubuwana IV dalam babad-babad
sejarah politik lebih dikenal dengan perubahan besaran besaran untuk
mempersatukan kembali Surakarta dengan Yogyakarta, yang berujung pada dua
peristiwa besar, yakni Pakepung (pengepungan Kasunanan oleh tentara Madura,
Yogyakarta dan Mangkunegaran pada tahun 1790) serta Sepehi.
Berbeda dengan Pakubuwana III
yang agak patuh kepada VOC, penerus penerus Kesunanan Surakarta berikutnya,
yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820) adalah sosok raja yang membenci
penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi
Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh aliansi
VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena
Pakubuwana IV yang paham politik Islam dan dekat dengan kaum santri
menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat
istana yang merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi
Pakubuwana IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara
I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 aliansi tersebut
mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior
yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat
politik dan rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal 26
November 1790 dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji
untuk membuang VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV inilah terjadinya
kekacauan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kesunanan Surakarta, Kesultanan
Yogyakarta, serta Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan keunggulan
yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.
-
PERISTIWA PAKEPUNG
Keadaan Surakarta semakin
tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi raja.
Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap residen Surakarta
bernama W.A. Palm yang korup.
Residen Surakarta pengganti Palm
yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan
Pakubuwana IV. VOC mulai curiga dan menduga Hartsinck memanfaatkan Pakubuwana
IV sebagai alat perusak dari dalam.
VOC akhirnya bersekutu dengan
Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada
November 1790 VOC bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Mereka menyerang
dari tiga arah. Dari selatan oleh Hamengkubuana I, arah utara oleh Mankunegara
I dan arah barat oleh pasukan VOC. Dari dalam istana sendiri, para pejabat
senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar jauhkan para penasihat
rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.
Pakubuwana IV akhirnya mengaku
kalah pada 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang terdiri
dari para haji untuk dibuang VOC.
-
HUBUNGAN DENGAN PASUKAN SIPAHI
Melalui Mangkubumi dan Baurekso,
pasukan sipahi berhasil sesi dengan Sunan. Kontak pertama dilakukan oleh
Dhaukul Singh yang mengunjungi Sunan di keraton dengan gambar Rama di
tangannya. Ia kemudian menyanjung Sunan dengan berkata, "Jika Anda adalah
keturunan dari seorang pemuja Rama yang agung, maka Anda adalah tuanku".
Sunan yang terkesan dengan keputusan ini kemudian memberikan 300 dolar Spanyol
(jika dinilai dengan kurs sekarang kira-kira senilai 135 juta rupiah).
Kunjungan awal ini juga diikuti oleh Ripaul Singh, ia memberikan pertunjukkan
tari dan senam di kamar pribadi Sunan di keraton. Ia juga diberi hadiah oleh
Sunan berupa kalung emas, gelang, anting-anting, dan berbagai jenis kain.
Ripaul juga memperkenalkan seorang prajurit sipahi lainnya, yang bernama Mata
Deen, kepada Sunan yang dapat berbicara bahasa Melayu dengan baik.
Sunan juga sering menghadiri
berbagai upacara Hindu yang diadakan di Benteng Vastenburg. Ia biasa datang
sendirian sambil menyamar sebagai rakyat biasa, tetapi kadang-kadang juga
menemani anggota keluarganya ketika datang dengan naik kereta. Dalam kesempatan
seperti ini, Sunan akan diterima oleh Mata Deen dan Dhaukul Singh.
-
AMBISI POLITIK DAN SIKAP TERHADAP YOGYAKARTA
Pakubuwana IV dikenal sebagai
penguasa yang licik, tak terduga, dan menemui kesulitan. Salah satu ambisinya
adalah menghancurkan Yogyakarta sekaligus mengembalikan supremasi politik
Surakarta di Jawa Tengah bagian selatan.
Pada saat yang sama, munculnya
desas-desus tentang pengembalian kekuasaan Belanda di Jawa dan kekhawatiran
musuh Sipahi di Jawa tentang nasib buruk mereka karena desas-desus mereka akan
dijual ke pemerintah Belanda untuk menjamin keselamatan pemerintah Belanda
ketika kembali berkuasa. Sejak saat itulah—berdasarkan bukti dari Patih
Sosroadiningrat II—muncul hubungan antara garnisun sipahi di Surakarta dengan
Pakubuwana IV. Ia berhasil dibujuk untuk menggunakan pasukan sipahi yang tidak
puas untuk memenuhi ambisi politiknya sendiri di Jawa Tengah bagian selatan.
Kelicikan Pakubuwana IV terlihat
ketika ia berusaha untuk membujuk Hamengkubuwana II—melalui sebuah korespondensi
rahasia sejak 1811 hingga 1812—untuk melawan Inggris menggunakan kekerasan
dengan harapan tindakan gegabah ini akan menghancurkan Yogykarta. Untuk
meyakinkan Hamengkubuwana II, Pakubuwana IV menawarkan dukungan militer jika
terjadi peperangan dengan Inggris. Kesepakatan tersebut diratifikasi dalam
sebuah perjanjian rahasia pada Maret 1812. Namun, ketika Raffles menyerang
Yogyakarta pada bulan Juni di tahun yang sama, Sunan tidak mengirimkan bantuan
sama sekali dan justru menunggu hasil dari pertempuran tersebut. Selain itu,
konflik korespondensi rahasia antara Sunan dengan Hamengkubuwana II jatuh ke
tangan Inggris ketika penjarahan keraton. Bukti korespondensi rahasia dan
kenyataan bahwa pasukan Surakarta ditempatkan di seberang jalur komunikasi
Inggris selama penyerangan ke Yogyakarta hampir membuat Raffles menyerang
Surakarta dan menggulingkan Sunan. Namun, ia mengampuni Sunan dengan menyetujui
pemberhentian Patih Surakarta, Raden Adipati Cokronegoro, yang memegang peran
kunci dalam persekongkolan dengan Yogyakarta.
-
MENDIRIKAN PESANTREN JAMSAREN
Pakubuwana IV memberi izin
kepada Kyai Jamsari untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang kemudian
diberi nama Pesantren Jamsaren. Setiap tahun, Pakubuwana IV memberikan donasi
ke pesantren sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan pendidikan islam di
Surakarta. Pesantren Jamsaren sempat dibubarkan oleh pemerintah kolonial karena
keterlibatannya dalam Perang Diponegoro sehingga mengakibatkan perkembangan
pendidikan islam di Surakarta mengalami stagnansi. Setelah ditutup selama
kurang lebih 40 tahun, Pesantren Jamsaren kembali beroperasi pada masa
Pakubuwana X.
·
AKHIR PEMERINTAHAN
Pakubuwana IV masih menjadi raja
Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia mengalami pergantian
pemerintah penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda pada tahun 1816.
Pakubuwana IV meninggal dunia pada 2 Oktober 1820. Ia melengkapi anak-anak yang
bergelar Pakubuwana V. Selain Pakubuwana V, ada dua lagi putra Pakubuwana IV
yang menjadi raja Surakarta, yaitu Pakubuwana V VII dan Pakubuwana VIII.
·
GALERI
|
|
|
|
v PAKU BUWANA V
Pakubuwana V ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧕꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana V |
Susuhunan Surakarta ke-4 |
Berkuasa :
1820 – 1823 Pendahulu :
Pakubuwana IV Penerus :
Pakubuwana VI Patih : KRA. Sasradiningrat
II |
Kelahiran :
13 Desember 1784 Kematian : 5
September 1823 (umur 38) Pemakaman :
Astana Kaswargan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Gangsal ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Raden Mas Sugandi Ayah : Pakubuwana
IV Ibu : GKR.
Pakubuwana Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana V (sering
disingkat sebagai PB V; 13 Desember 1784 – 5 September 1823) adalah susuhunan
keempat Surakarta yang memerintah tahun 1820 – 1823.
Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri
Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan
Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian.
·
BIOGRAFI
Sunan Pakubuwana V memiliki nama
asli Raden Mas Sugandi, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri KRAy.
Handaya (setelah wafat bergelar GKR. Pakubuwana), putri Panembahan
Tjakradiningrat II GUNG SEPPO dari Pamekasan. GUNG SEPPO adalah Adipati
Pamekasan, putra dari Ario Adikoro III. Istri GUNG SEPPO adalah Putri dari
TJAKRANINGRAT V yang menikah dengan Putri Pakubuwono II. Sehingga GUNG SEPPO
menantu Tjakraningrat V Bangkalan. GUNG SEPPO adalah Putra kandung Ario Adikoro
III. Sehingga Pakubuwono V dari pihak Ibunya adalah cucu dari Tjakradiningrat
II Gung Seppo. Pakubuwono V buyut dari TJAKRANINGRAT V, buyut ADIKORO III.
Cicit dari Pakubuwono II, Tjokronegoro II Pangeran Rama di Sumenep dan Ario
Adikoro III di Pamekasan. Karena Ario Adikoro III putra dari Tumenggung
Wiromenggolo, Adipati Sumenep 1709-1727 M. Ario Adikoro III menantu dari Tjokronegoro
II, Pangeran Rama, Adipati Sumenep 1678-1709 M. Sehingga Pakubuwono V berdarah
Pamekasan dan Sumenep dari pihak Ibundanya. Ia naik tahta pada tanggal 10
Februari 1820, selang delapan hari setelah kepergian ayahnya.
Pakubuwana V juga dikenal dengan
sebutan Sinuhun Ngabehi atau Sunan Sugih, yang artinya baginda yang kaya harta
dan kesaktian. Ia pernah membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri, bernama
Kyai Kaget yang berasal dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni saat
terjadinya Geger Pacinan atau pemberontakan orang-orang Tionghoa pada tahun
1740.
Pakubuwana V juga memerintahkan
menulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjadi
Adipati Anom, dan yang menjadi juru tulis serat tersebut ialah Raden Ngabehi
Ranggasutrasna.
Pakubuwana V hanya memerintah selama tiga tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 September 1823. Pengganti selanjutnya adalah anak-anaknya, yaitu Pakubuwana VI, Namun ia bernasib tragis dibuang dan meninggal di Ambon karena bersekutu dengan Pangeran Diponegoro dan memberikan perlawanan terhadap Belanda.
·
GALERI
|
|
|
|
v PAKU BUWANA VI
Pakubuwana VI ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧖꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana VI |
Susuhunan Surakarta
ke-5
|
Berkuasa : 1823 – 1830 Pendahulu : Pakubuwana V Penerus : Pakubuwana VII Gubernur : 1. Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen 2. Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies 3. Johannes van den Bosch |
Kelahiran : 26 April 1807, Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 2 Juni 1849 (umur 42), Ambon,
HindiaBelanda Pemakaman : Astana
Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin
Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Enem ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap : Raden Mas Sapardan Ayah : Pakubuwana V Ibu : KRA. Sasrakusuma Pasangan : 1. GKR. Kedaton 2. GKR. Ageng 3. GKR. Anom 4. KRAy. Asmaraningrum 5. KRAy. Himbaningrum 6. KRAy. Retnaasmara 7. KRAy. Tejaningrum Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana VI (sering disingkat PB VI; 26 April
1807 – 2 Juni 1849) adalah susuhunan Surakarta kelima yang memerintah tahun
1823 – 1830. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa karena
kegemarannya melakukan tapa brata.
Sunan Pakubuwana VI telah menetapkan pemerintah Republik
Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun
1964, tanggal 17 November 1964.
·
RIWAYAT HIDUP
Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, putra Pakubuwana V,
anak laki-laki ke-11 yang lahir dari istri KRAy. Sasrakusuma, keturunan Ki Juru
Martani, patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram, dari garis darah
ibunya. Raden Mas Sapardan lahir pada 26 April 1807. Pakubuwana VI naik tahta
tanggal 15 September 1823, sepuluh hari setelah kematian ayahnya, pada usia
menginjak 16 tahun.
·
HUBUNGAN DENGAN DIPONEGORO
Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran
Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah
Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang mengikat
perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya.
Agar pertemuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran
Diponegoro tidak diketahui oleh Belanda maka dibuatlah siasat-siasat yang hanya
diketahui oleh mereka. Beberapa siasat-siasat yang pernah digunakan seperti
siasat mimis kencana, sebuah siasat dimana mereka berpura-pura saling menjual
agar pihak Belanda mengira mereka saling bermusuhan. Selain itu ada siasat
candradimuka, sebuah siasat yang penaamaanya bersumber dari cerita wayang
gatotkaca. Siasat ini digunakan untuk membicarakan tentang perburuan perang
melawan Belanda.
Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton
Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan
Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang
yang diakiri dengan Diponegoro yang melarikan diri dari istana.
Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI
menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga
mengirimkan pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar
Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan
sandiwara tersebut.
·
PENANGKAPAN OLEH BELANDA
Belanda akhirnya berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya
ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatar belakangi oleh perlawanan
Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Belanda berusaha mencari bukti
untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara
(ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota
keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan
rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya meninggal setelah
disiksa secara kejam. Oleh Belanda, mayatnya dibuang ke tengah laut.[1] Pada
tanggal 8 Juni 1830 Pakubuwana VI ditangkap di Mancingan oleh Residen
Yogyakarka Van Nes dan Letnan Kolonel B. Sollewijn. Belanda memutuskan untuk
mengasingkan Pakubuwana VI ke luar Jawa karena ditakutkan akan melakukan
pemberontakan. Pakubuwana VI dibuang ke Ambon pada 8 Juli 1830.
Fitnah yang dilancarkan pihak
Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI,
yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.
Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI
berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI,
yang bergelar Pakubuwana VII.
·
MISTERI KEMATIAN
Pakubuwana VI meninggal dunia di
Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal
karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana
VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga
raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa
tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal
GPH. Jatikusumo (salah satu putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran
peluru senapan baker.
Ditinjau dari letak lubang,
Pakubuwana VI jelas tidak meninggal karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat
berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan meninggal
dengan cara ditembak di bagian dahi.
·
GALERI
|
|
|
v PAKU BUWANA VII
Pakubuwana VII ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧗꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana VII |
Susuhunan Surakarta ke-6 |
Berkuasa :
1830 – 1858 Pendahulu :
Pakubuwana VI Penerus :
Pakubuwana VIII Gubernur
Jenderal : 1. Johannes
van den Bosch 2. JC Baud 3. Dominique
Jacques de Eerens 4. C.S.W. van
Hogendorp 5. P.Merkus 6. Jan
Cornelis Reijnst 7. Jan Jacob
Rochussen 8. A.J.
Duymaer van Twist 9. Charles
Ferdinand Pahud |
Kelahiran : 8
Juli 1796, Kematian : 10
Mei 1858 (umur 61) Pemakaman :
Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Pitu ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Raden Mas Malikis Solikin Ayah :
Pakubuwana IV Ibu : GKR.
Kencanawungu Pasangan : 1. GKR. Pakubuwana 2. KRAy.
Retnadiluwih Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana VII
(sering disingkat sebagai PB VII; 28 Juli 1796 – 10 Mei 1858), adalah susuhunan
keenam Surakarta yang memerintah tahun 1830 – 1858.
·
PEMERINTAHAN
Nama aslinya ialah Raden Mas
Malikis Solikin, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu
Sukaptinah alias Ratu Kencanawungu. Setelah dewasa ia bergelar KGPH. Purubaya.
Pakubuwana VII naik takhta
tanggal 14 Juni 1830 menggantikan keponakannya, yaitu Pakubuwana VI yang
dibuang ke Ambon oleh Belanda. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir.
Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa
raja-raja sebelumnya. Tidak ada lagi bangsawan yang memberontak besar-besaran
secara fisik setelah Pangeran Diponegoro. Jikapun ada hanyalah pemberontakan
kecil yang tidak mengganggu stabilitas keraton.
Suasana yang damai itu mendorong
tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa
pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di
Kesunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya.
Hampir sebagian besar karya Ranggawarsita lahir pada masa ini. Hubungan antara
raja dan pujangga tersebut juga dikisahkan sangat harmonis.
Pakubuwana VII juga menetapkan
undang-undang yang berlaku sampai ke pelosok negeri, bernama Anggèr-Anggèr
Nagari. Selain itu, pada masanya dirilis pula pranata mangsa versi Kasunanan
yang akan menjadi pedoman kerja bagi petani dan pihak-pihak terkait dengan
produksi pertanian. Pranata mangsa versi Kasunanan ini banyak dianut petani di
wilayah Mataraman hingga diperkenalkannya program intensifikasi pertanian di
awal tahun 1970-an.
Pemerintahannya berakhir saat
wafatnya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII
diperlakukan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Pakubuwana VIII yang naik tahta
pada usia 69 tahun.
·
GALERI
|
|
|
|
|
|
v PAKU BUWANA VIII
Pakubuwana VIII ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧘꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana VIII |
Susuhunan Surakarta ke-7 |
Berkuasa : 1858 – 1861 Pendahulu : Pakubuwana VII Penerus : Pakubuwana IX Gubernur Jenderal : Charles Ferdinand Pahud & Ary Prins |
Kelahiran : 20 April 1789, Kematian : 28 Desember 1861 (umur 72), Pemakaman : Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa : Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang
Jumeneng kaping Wolu ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap : Gusti Raden Mas Kuseini Ayah : Pakubuwana IV Ibu : KRA. Rantansari Pasangan : GKR. Pakubuwana Agama : Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana VIII
(sering disingkat sebagai PB VIII; 20 April 1789 – 28 Desember 1861) adalah
susuhunan Surakarta yang memerintah tahun 1858 – 1861. Nama aslinya adalah
Gusti Raden Mas Kuseini, putra Pakubuwana IV yang lahir dari selir bernama
KRAy. Rantansari putri R.Ng. Jayakartika, seorang menteri Surakarta.
·
PEMERINTAHAN
Pakubuwana VIII naik tahta pada
tanggal 17 Agustus 1858 menggantikan adiknya (lain ibu) yaitu Pakubuwana VII
yang meninggal dunia sebulan sebelumnya. Pakubuwana VIII naik tahta pada usia
lanjut, yaitu pada usia 69 tahun karena Pakubuwana VII tidak memiliki mahkota
putra. Ia sendiri adalah raja dari wangsa mataram pertama yang tidak melakukan
poligami. Pemerintahannya berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya,
sehingga menjadikannya penguasa Surakarta yang paling singkat masa jabatannya.
Pakubuwana VIII menyambut putra Pakubuwana VI sebagai susuhunan Surakarta
selanjutnya, yang bergelar Pakubuwana IX.
·
GALERI
|
|
|
|
v PAKU BUWANA IX
Pakubuwana IX ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧙꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana IX |
Susuhunan Surakarta
ke-8
|
Berkuasa :
1861 – 1893 Pendahulu :
Pakubuwana VIII Penerus :
Pakubuwana X Gubernur
Jenderal : 1. Ludolph
Anne Jan Wilt Sloet van de Beele 2. Ary Prins 3. Pieter
Mijer 4. James
Loudon 5. J.W. van
Lansberge 6. Frederik
s'Jacob 7. Otto van
Rees 8. Cornelis
Pijnacker Hordijk |
Kelahiran :
22 Desember 1830, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 16
Maret 1893 (umur 62), Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman :
Astana Kapingsangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata : Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sanga ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Duksina Ayah :
Pakubuwana VI Ibu : GKR.
Ageng Pasangan :
GKR. Pakubuwana & GKR. Madura (dan 53 istri selir) Agama : Islam |
·
PEMERINTAHAN
Nama aslinya adalah Gusti Raden
Mas Duksina, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan saat
ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran
Diponegoro. Ia sendiri kemudian lahir pada tanggal 22 Desember 1830. Setelah
menginjak dewasa, Raden Mas Duksina bergelar KGPH. Prabuwijaya.N
Pakubuwana IX naik tahta
menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861.
Pemerintahannya ini banyak dilukiskan oleh Ranggawarsita dalam karya-karya
sastranya, misalnya dalam Serat Kalatida.
Hubungan antara Pakubuwana IX
dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa
Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang melahirkan sebagai juru tulis keraton)
telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran
Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat
Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut
ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda.
Ranggawarsita sendiri berusaha
memperbaiki kesalahannya dengan raja melalui penyerahan naskah Serat Cemporet.
Saat itu karir Ranggawarsita sendiri sudah memasuki senja. Ia mengungkapkan
rasa lega hatinya melalui Serat Kalatida, karyanya yang sangat populer.
Dalam Serat Kalatida,
Ranggawarsita memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi
para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu
disebutnya sebagai Zaman Edan.
Pakubuwana IX memiliki dua
permaisuri yakni GKR. Pakubuwana serta GKR. Maduretna, serta dikaruniai 57
putra-putri. Semasa kepemimpinan Pakubuwana IX, keadaan Kasunanan Surakarta
mengalami kemajuan yang pesat. Bangunan fisik Keraton Surakarta banyak yang dipugar,
seperti Siti Hinggil, Panggung Sangga Buwana, dan lain-lain, sehingga ia juga
terkenal dengan sebutan Sinuhun Bangun Kedhaton. Sebagai seorang raja,
Pakubuwana IX juga aktif menulis karya sastra, di antaranya Serat Wulang Putri,
Serat Jayeng Sastra, Serat Menak Cina, Serat Wirayatna, dan beberapa karya
sastra lainnya.
Pemerintahan Pakubuwana IX berlangsung selama 32 tahun dan berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia menjadi anak-anak sebagai raja Kasunanan Surakarta selanjutnya, bergelar Pakubuwana X.
·
GALERI
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
v PAKU BUWANA X
Pakubuwana X ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧑꧐꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana X |
Susuhunan Surakarta
ke-9 |
Bertakhta :
30 Maret 1893 – 20 Februari 1939 (46 tahun berkuasa) Penobatan :
30 Maret 1893 Pendahulu :
Pakubuwana IX Penerus : Pakubuwana XI Patih : KRA.
Sasradiningrat IV & KPAA. Jayanagara |
Kelahiran :
29 November 1866, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 20
Februari 1939 (umur 72), Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Pemakaman :
Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Luitenant-jenderal
Zijne Vorstelijke Hoogheid Sri Maharaja Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana
Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping
Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: 1. Sri
Susuhunan Pakubuwana X 2. Gusti
Raden Mas Sayyidin Malikul
Kusna 3.
Hanacaraka : ꦯꦿꦷꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧐꧇ |
Ayah :
Pakubuwana IX Ibu : KRA.
Kustiyah (GKR.Pakubuwana) Pasangan :
GKR. Pakubuwana & GKR. Hemas (dan 39 istri selir) Anak : 1. Susuhunan
Pakubuwana XI 2. KGPH.
Kusumayudha 3. KGPH.
Hadiwijaya 4. Jenderal
GPH. Jatikusuma 5. Mayjen.
GPH. Purbanegara 6. GKR.
Pembayun 7. Brigjen.
GPH. Hariya Mataram 8. GPH.
Suryahamijaya (dan 56
putra-putri lainnya) Agama : Islam |
Pahlawan Nasional Indonesia S.K. Presiden No. 113/TK/2011 tanggal 7 November 2011. |
Letnan Jenderal (Tit.) Sri Susuhunan Pakubuwana X (sering disingkat sebagai PB X; 29 November 1866 – 20 Februari 1939) adalah susuhunan kesembilan dari Kesunanan Surakarta. Ia memerintah dari tahun 1893 – 1939, menjadikannya sebagai susuhunan yang paling lama memerintah dalam sejarah Surakarta.
Pakubuwana X menggantikan ayahnya, Pakubuwana IX sebagai susuhunan Surakarta ketika Pakubuwana IX meninggal pada 16 Maret 1893. Dua minggu setelahnya Pakubuwana X resmi dilantik sebagai Susuhunan pada 30 Maret 1893.
Pakubuwana X ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, atas jasa dan peran aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, pelopor pembangunan sosial-ekonomi, pendidikan rakyat, pembentukan jati diri bangsa dan integrasi.
Dalam pergerakan nasional, Pakubuwana X mendukung para pelopor perjuangan nasional melalui pemberian fasilitas, materi, keuangan dan moral. Selain itu, ia berperan serta membantu pergerakan Boedi Oetomo dan kerangka Sarekat Dagang Islam.
· AWAL KEHIDUPAN
Pakubuwana X memiliki nama lahir (asma timur) sebagai Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna, putra Pakubuwana IX yang lahir pada tanggal 29 November 1866, dari permaisuri Kanjeng Raden Ayu (KRAy.) Kustiyah, kemudian bergelar GKR. Pakubuwana.[6] Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.
Kisah kelahirannya menjadi cermin kurang harmonisnya hubungan antara Pakubuwana IX dengan R.Ng. Ranggawarsita, pujangga kenamaan keraton. Pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya kepada Ranggawarsita kelak anaknya akan lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal dia berharap bisa mendapat putra mahkota dari KRAy. Kustiyah.
Selama sebulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau bertirakat, berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan seorang bayi laki-laki. Pakubuwana IX dengan bangga menuding ramalan Ranggawarsita meleset.
Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau “cantik”, tetapi singkatan dari rahayu yang berarti “selamat”. Mendengar jawaban Ranggawarsita, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Kurang harmonisnya hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah dari Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.
· KEHIDUPAN PRIBADI
Pakubuwana X dikenal memiliki banyak selir, tetapi ia memiliki dua permaisuri (garwa padmi) adalah GKR. Pakubuwana putri Mangkunegara IV dan GKR. Hemas putri Hamengkubuwana VII. Dari kedua permaisurinya Pakubuwana X tidak memiliki putra laki-laki, pernikahannya dengan GKR. Hemas ia hanya dikaruniai seorang putri yang bernama GRAj. Sekar Kedhaton Koestijah yang kelak bergelar GKR. Pambayun.
Pakubuwana X juga memiliki 39 istri selir, dengan seluruh istrinya baik selir maupun permaisuri, Pakubuwana X memiliki 63 orang putra dan putri. Banyak dari putra-putri Pakubuwana X nantinya akan berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain:
- KGPH. Hangabehi (kemudian bergelar Susuhunan Pakubuwana XI), yang pernah menjalaninya sebagai pelindung Sarekat Islam
- KGPH. Hadiwijaya, politisi (mantan anggota Volksraad), budayawan, serta pencetus kerisologi (ilmu tentang keris)
- Mayjen. GPH TNI. Purbanegara, penasehat militer pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Renville
- Jenderal TNI (Purn.) GPH. Jatikusuma, Kepala Staf TNI Angkatan Darat pertama
- Brigjen. TNI (Purn.) Prof. GPH. Harya Mataram, S.H., rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta pertama
- GPH. Suryahamijaya, yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI serta ketua Pekan Olahraga Nasional (1948)
Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern.
· MASA PEMERINTAHAN
Pada masa pemerintahannya, Pakubuwana X melakukan pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan keterampilan. Pada bidang ekonomi Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan mendirikan Bank Bandhalumaksa yang berperan memberikan pinjaman kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika wabah pes melanda Surakarta.
Di bidang pendidikan, Pakubuwana X mendirikan Sekolah Pamardi Putri dan HIS Ksatriyan untuk kepentingan kerabat keraton serta mendirikan sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten. Selain mengembangkan pendidikan umum, Pakubuwana X juga mengembangkan pendidikan islam. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk mengembangkan pendidikan islam seperti mendirikan madrasah Mambaul Ulum dan menghidupkan kembali Pesantren Jamsaren.
Di bidang kesehatan Pakubuwana X membangun klinik kesehatan Panti Raga (kelak berkembang menjadi Rumah Sakit Kadipala) dan apotek Panti Husada yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kridha Nirmala. Infrastruktur modern banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Taman Sriwedari, Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang menghadap Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.
Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.
Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan menerbitkan media massa. Ia mendukung organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Di bidang kesenian, Pakubuwana X menciptakan Gendhing Panembrama, sebuah gending yang sering dipertunjukkan dalam acara pemberian penghargaan tanda jasa dari negara-negara sahabat. Selain itu, gending ini juga sebagai wujud legitimasi kekuasaan Pakuwana X sebagai penguasa Kesunanan Surakarta di tengah penyelesaian kekuasaan raja oleh pemerintah Hindia Belanda dan juga sebagai wujud perlawanan melalui seni karawitan.
· GELAR
Penobatan Pakubuwana X sebagai susuhunan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 30 Maret 1893 (tahun Jawa: Kemis Wage 12 Pasa 1882). Ia memiliki berbagai gelar kebangsawanan, diantaranya:
- Nama lahir: Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna
- Sebagai putra mahkota: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI
- Sebagai Susuhunan: Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat
Pakubuwana X menyandang nama dan gelar yang berbeda dalam setiap fase hidupnya, seperti kebiasaan di kalangan bangsawan Jawa yang tinggi. Ketika statusnya meningkat, gelar disesuaikan dengan perubahan status. Berikut adalah gelar yang pernah disandang oleh PB X diantaranya: Luitenant-kolonel (1884-1890), Kolonel (1890-1893), Generaal-majoor Zijne Hoogheid (1893-1923), Luitenant-generaal Zijne Hoogheid (1923-1932), Luitenant -jenderal Zijne Prinselijke Hoogheid dan Zijne Vorstelijke Hoogheid (1932-1939).
Pakubuwana X menjadi raja Kesunanan yang paling banyak menerima penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda. Pemberian gelar ini tidak lepas dari jasa-jasa Pakubuwana untuk pemerintah kolonial, seperti membantu residen dan gubernur dalam melaksanakan tugas di wilayah koloninya. Bantuan yang diberikan tentu saja dengan mempertimbangkan manfaat yang didapat bagi Kesunanan Surakarta. Intensitas pemberian gelar kepada Pakubuwana X yang lebih banyak dibandingkan elit lainnya di Jawa menyebabkan Pakubuwana X sering mengadakan tedhak loji dengan megah. Prosesi khusus dari keraton ke rumah residen yang sangat mewah tersebut menjadi sorotan masyarakat. Pakubuwana X tampil dengan megah melakukan tedhak loji disertai medali-medali, keluarga kerajaan, dan beberapa abdi dalem Kesunanan. Hubungan khusus antara Pakubuwana X dengan pemerintah kolonial menyebabkan pemerintah kolonial memberikan perlakuan khusus terhadap Pakubuwana sesuai dengan kontribusi yang diberikan.
J.F.W. van Nes, seorang dewan perwakilan kerajaan Belanda untuk wilayah Hindia Belada mengkritisi pemberian gelar ini. Ia khawatir bahwa memberikan tanda kehormatan kepada Susuhunan akan membenturkan nada tinggi yang telah terbangun. Di sisi lain, pemberian gelar ini mendapat pujian dari sesama bangsawan dari India, Jagatjit Singh. Selain itu, ia juga mengkritik pemerintah Inggris yang tidak memperkenankan bangsawan India yang menerima dan memakai medali kehormatan yang berasal dari Inggris atau negara lain.
· POLITIK
Selama pemerintahannya yang panjang, Pakubuwana X mampu menjauhi pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah-olah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Hal ini tak lepas dari cara berpolitik Pakubuwana X yang oportunistik. Pakubuwana X cenderung berhati-hati dalam bertindak dan menjauhi hal-hal buruk yang dapat mengancam kekuatannya. Dengan strategi politik ini, Pakubuwana X dapat melaksanakan kewajibannya sebagai raja Surakarta sekaligus taat kepada pemerintah Hindia Belanda sedangkan pada saat yang sama ia juga membantu organisasi pergerakan nasional dengan memberikan berbagai bentuk dukungan terhadap Budi Utomo dan SI tanpa mendapat halangan dari pemerintah Hindia Belanda.
Petunjuk bahwa Pakubuwana X cenderung terlibat dalam aktivitas politik yang dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang pribumi saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.
Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah satu yang pertama kali dicurigai sebagai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat penyamaran, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Di luar Jawa, ia juga melawat ke Bali, Lombok, serta Lampung.
Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan dengan diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Hindia Belanda. Pada bulan 1922, Pakubuwana Februari X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut penyamaran, tetapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang monogram PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai gelang emas.
Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Jawa, Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Perjalanannya bersifat penyamaran, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar.
Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.
· MOBIL
Pada tahun 1894, Pakubuwana X, menjadi orang sekaligus raja Jawa pertama yang memiliki mobil. Mobil yang dibeli adalah Benz Victoria Phaeton karya Karl Benz, Jerman.
Mobil itu dipesan melalui perusahaan Prottle & Co yang berkantor di Passer Besar, Surabaya. Harganya pada saat itu 10.000 Gulden yang kalau sekarang dirupiahkan sekitar Rp. 83 juta. Mobil ini baru diterima oleh Pakubuwana X setahun setelah pemesanan. Mobil tiba di pelabuhan laut Semarang.
Pada era 1800-an, sebagian besar transportasi darat di dunia, terutama di Jawa masih berbentuk gerobak yang ditarik kuda. Bahkan ada yang ditarik oleh sapi atau pun kerbau. Umumnya mendapat sebutan kereta. Masuknya Benz Victoria Phaeton ke tanah Jawa dianggap sebagai sesuatu yang unik, makanya disebut Kereta Setan karena ada 'kereta' yang berjalan tanpa ditarik kuda.
Kendaraan milik Pakubuwana X (1866–1939) ini pernah diikut sertakan dalam pameran RAI Amsterdam Motor Show tahun 1924. Jadi setelah di tangan PB X, mobil tersebut dibawa ke Belanda dari pulau Jawa dan kini menghuni di sebuah museum di Amsterdam.
Sebelum masuk jadi koleksi museum, pernah dimiliki oleh Royal Dutch Automobile Club (KNAC) selama bertahun-tahun. Mobil juga selalu hadir regular di acara London to Brighton Veteran Car.
Setelah memesan Benz Victoria Phaeton, selang 13 tahun kemudian, Pakubuwana X kembali memesan mobil baru asal Jerman. Pada tahun 1907, mobil bernama Britz Daimler tiba di tanah Jawa sekaligus menjadi mobil Daimler pertama yang hadir di Jawa. Pada saat itu, mobil merek ini termasuk dalam kategori mobil mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi.
· KEHORMATAN
- PAHLAWAN NASIONAL
Pada tahun 2009, karena kontribusinya terhadap kesejahteraan dan kepentingan penduduk pribumi di dalam kesunanan selama pemerintahannya, serta telah menjadi pelindung besar bagi banyak proyek ekonomi dan budaya lokal, Pakubuwana X ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
· GALERI
|
||
v PAKU BUWANA XI
Pakubuwana XI ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧑꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana XI |
Susuhunan Surakarta
ke-10
|
Berkuasa :
1939 – 1945 Pendahulu :
Pakubuwana X Penerus :
Pakubuwana XII Gubernur
Jenderal : A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer Gubernur
Militer Jepang : 1. Hitoshi
Imamura 2. Kumakichi
Harada 3. Yuichiro
Nagano |
Kelahiran : 1
Februari 1886, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 1
Juni 1945 (umur 59), Jepang Surakarta, Penduduk Jepang di Hindia
Belanda Pemakaman :
Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sewelas ing
Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Antasena Ibu : KRA.
Mandayaretna Pasangan : 1. GKR.
Kencana 2. GKR.
Pakubuwana 3. KRAy.
Dayaresmi 4. KRAy.
Dayaningsih 5. KRAy.
Dayasuma 6. KRAy.
Dayaasmara 7. KRAy.
Dayaningrat |
Sri Susuhunan Pakubuwana XI
(sering disingkat sebagai PB XI; 1 Februari 1886 – 1 Juni 1945) adalah
susuhunan Surakarta yang memerintah pada tahun 1939 – 1945.
·
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Nama aslinya adalah Raden Mas
Ontoseno, merupakan putra sulung Pakubuwana X dari istri selir KRAy.
Mandayaretna. la dilahirkan pada Senin Kliwon, 1 Februari 1886, dan setelah
dewasa bergelar KGPH. Hangabehi. Ia naik tahta sebagai Pakubuwana XI pada
tanggal 26 April 1939.
Pengangkatan KGPH. Hangabehi
menjadi Pakubuwana XI bukanlah tanpa konflik. Pasalnya, Pakubuwana X cenderung
lebih memilih KGPH. Kusumayuda (GRM. Abimanyu), adik Hangabehi, untuk
menggantikannya. Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap
sebagai bangsawan Jawa yang berkepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada
persoalan keuangan dan administrasi keraton. Di sisi lain, posisi Hangabehi juga
sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda.
Pakubuwana X sendiri memiliki putra dan putri lebih dari 60 orang. Masalah yang
mengganjal adalah bahwa Pakubuwana X tidak memperoleh putra dari kedua
permaisurinya. Dua putra Pakubuwana X yang tertua, Hangabehi dan Kusumayuda,
lahir dari selir. Sebenarnya pada tahun 1898 Pakubuwana X sudah berniat
mengangkat Kusumayuda sebagai putra mahkota meski usianya 40 hari lebih muda
dari Hangabehi. Sampai akhirnya keinginan Pakubuwana X itu diurungkan, dan ia
lebih memilih Hangabehi untuk menjadi pewaris tahta.
Hangabehi kemudian diberikan
sejumlah posisi penting, di antaranya pemilihan sebagai Wedana Tengen (jabatan
setingkat Pangageng Putra Sentana), serta mendapatkan kepercayaan sesoeratman,
sebagai Wakil Ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan. Hangabehi
juga diutus Pakubuwana X untuk menghadiri undangan peringatan 40 tahun kenaikan
tahta Ratu Wilhelmina di Belanda.
Pada akhir bulan November 1938,
Pakubuwana X sakit parah dan akhirnya wafat pada Februari 1939. Atas nasihat
Den Haag, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih
KGPH. Hangabehi untuk menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwana XI. Pengangkatan
Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan susuhunan.
Dalam kontrak politik disebutkan bahwa Hangabehi dapat diturunkan dari
kedudukannya jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana
ditentukan dalam kontrak politik ditambah pemotongan anggaran belanja keraton secara
drastis.
Pemerintahan Pakubuwana XI
terjadi pada masa sulit, yaitu terlihat dengan meletusnya Perang Dunia Kedua.
Ia juga mengalami pergantian pemerintahan penjajahan dari tangan Belanda ke
Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Kasunanan Surakarta dengan nama
Solo Koo. Pada masa pendudukan Jepang terjadi inflasi yang mengakibatkan
keuangan keraton dan para bangsawan sangat menderita. Jepang juga merampas
sebagian besar kekayaan keraton dan aset-aset Kasunanan Surakarta, hingga
akhirnya Pakubuwana XI jatuh sakit. Pakubuwana XI kemudian wafat pada tanggal 1
Juni 1945, ia berevolusi oleh anak-anak yang masih berusia sangat muda sebagai
Pakubuwana XII.
·
SILSILAH
-
Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana
X dan istri selir KRAy. Mandayaretna.
-
Memiliki dua istri permaisuri:
i.
GKR. Kencana (wafat sebelum Pakubuwana XI naik
tahta)
ii.
GKR. Pakubuwana
-
Memiliki lima istri selir:
i.
KRAy. Dayaresmi
ii.
KRAy. Dayaningsih
iii.
KRAy. Dayasuma
iv.
KRAy. Dayaasmara
v.
KRAy. Dayaningrat.
-
Memiliki enam putra:
i.
KGPH. Mangkubumi
ii.
KGPH. Hangabehi
iii.
KGPH. Prabuwijaya
iv.
GPH. Bintara
v.
GPH. Natapura
vi.
KGPH. Purbaya (naik tahta sebagai Susuhunan
Pakubuwana XII)
-
Memiliki lima putri:
i.
GKR. Ayu
ii.
GKR. Bendara
iii.
GKR. Candrakirana
iv.
GRAy. Kusumadartaya
v.
GKR. Kedaton
·
FALSAFAH HIDUP
Pakubuwana XI sering
mengemukakan falsafah hidup yang disebutnya Tiji-Tibeh. Falsafah ini merupakan
kepanjangan dari terminal mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh.
Pernyataan ini berarti mati satu mati semua, kaya satu kaya semua. Falsafah ini
berkaitan dengan nilai kebersamaan yang diterapkannya di Kesunanan Surakarta
Hadiningrat.
·
GALERI
v PAKU BUWANA XII
Pakubuwana XII ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧒꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana
XII |
Susuhunan Surakarta ke-11
|
Berkuasa : 12
Juli 1945 – 11 Juni 2004 Pendahulu :
Pakubuwana XI Penerus :
Pakubuwana XIII Gubernur
Militer Jepang : Yuichiro Nagano Presiden : 1. Soekarno 2. Soeharto 3. B.J
Habibie 4.
Abdurrahman Wahid 5. Megawati
Soekarnoputri |
Kepala Daerah Istimewa
Surakarta
|
Berkuasa :
1945 – 1946 Presiden :
Soekarno |
Kelahiran :
14 April 1925, Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda Kematian : 11
Juni 2004 (umur 79), Indonesia Surakarta, Indonesia Pemakaman :
Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Kalih Welas
ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Suryo Guritno Ayah :
Pakubuwana XI Ibu : GKR.
Pakubuwana Pasangan : 1. KRAy.
Mandayaningrum 2. KRAy.
Rogasmara 3. KRAy.
Pradapaningrum 4. KRAy. Kusumaningrum 5. KRAy.
Retnadiningrum 6. KRAy.
Pujaningrum |
Letnan Jenderal TNI (Tit.) Sri
Susuhunan Pakubuwana XII (disingkat sebagai PB XII, bahasa Jawa: ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ
XII; 14 April 1925 – 11 Juni 2004) adalah susuhunan
Surakarta yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu
selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun 1945 hingga 2004.
· · AWAL KEHIDUPAN
Nama aslinya adalah Raden Mas
Suryo Guritno, putra Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri KRAy. Koespariyah
(bergelar GKR. Pakubuwana) pada tanggal 14 April 1925. Ia juga memiliki seorang
saudara perempuan seibu bernama GRAy. Koes Sapariyam (bergelar GKR. Kedaton).
Suryo Guritno pada masa kecilnya
pernah bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Pasar Legi, Surakarta.
Oleh teman-temannya, Suryo Guritno sering dipanggil dengan nama Bobby. Di
sekolah yang sama ini pula beberapa pamannya, putra Pakubuwana X yang sebaya
dengannya menempuh pendidikan. Suryo Guritno termasuk murid yang mudah bergaul
dan berubah-ubah dengan teman-teman yang berlangsung akrab, bahkan ketika di
sekolah pun ia bergaul tanpa melihat status sosial yang disandangnya. Waktu
kecil ia gemar mempelajari tari-tarian klasik, dan yang paling digemari adalah
Tari Handaga dan Tari Garuda. Ia juga pemuda yang gemar mengaji pada Bapak
Pradjawijata dan Bapak Tjandrawijata dari Mambaul Ulum. Kegemarannya yang lain
adalah olahraga panahan. Mulai tahun 1938 Suryo Guritno terpaksa berhenti
sekolah cukup lama, sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya yang
memperoleh mandat mewakili kakeknya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama
raja-raja di Hindia Belanda saat itu untuk menghadiri acara perayaan peringatan
peringatan 40 tahun kebangkitan Ratu Wilhelmina.
Setelah itu, ia melanjutkan
pendidikan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati
SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung) bersama beberapa pamannya. Baru
dua setengah tahun ia belajar, pecah Perang Pasifik, dan waktu itu bala tentara
Jepang menang melawan sekutu dan Hindia Belanda pun jatuh ke tangan Jepang.
Pakubuwana XI memintanya pulang
dari Bandung ke Surakarta. Kemudian, ia harus menerima kenyataan sedihnya
dikarenakan pada hari Sabtu, 1 Juni 1945, Pakubuwana XI wafat. Berdasarkan
tradisi maka KGPH. Mangkubumi, putra sulung Pakubuwana XI, sesungguhnya yang
paling berhak meneruskan perkebunan. Namun peluang itu tertutup setelah
ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI), telah meninggal dunia
pada tahun 1910 sehingga tidak ada kesempatan diangkat sebagai permaisuri
tatkala suaminya memudar ke kerajaan. Makalah membuka peluang untuk Suryo Guritno
bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur paling muda.
Teka-teki itu kian terkuak saat
jenazah Pakubuwana XI dimakamkan di Astana Imogiri, Suryo Guritno tidak
terlihat hadir di pemakaman. Sebelum naik tahta sebagai raja, Suryo Guritno diangkat
sebagai putra mahkota dengan gelar KGPH. Puruboyo. Terlepas setuju atau tidak,
keluarga keraton harus mulai bisa menerima pertanda itu, karena berdasarkan
kepercayaan adat keraton, bakal raja dipanggungkan datang ke pemakaman. Namun
versi lain menyebutkan, pengangkatan Suryo Guritno itu berkaitan erat dengan
peran yang dimainkan Presiden Soekarno. Pakubuwana XII dipilih karena masih
muda dan mampu mengikuti perkembangan serta tahan terhadap situasi. Meski raja
baru telah disepakati, tetapi bukan berarti seluruh masalah terselesaikan.
Rencana penobatan Suryo Guritno sempat mendapat tentangan keras dari Kooti Jimu
Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Jepang menyatakan tidak berani
menjamin keselamatan calon raja.
· · RIWAYAT PEMERINTAHAN
-
MASA REVOLUSI FISIK
Raden Mas Suryo Guritno naik
tahta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Awal pemerintahan
Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Karena
masih sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia sering kali
didampingi ibunya, GKR. Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng.
Pakubuwana XII dijuluki Sinuhun Hamardika karena merupakan Susuhunan Surakarta
pertama yang memerintah pada era kemerdekaan.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan,
pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII, secara terpisah
mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan selamat
dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari sebelum maklumat
Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6 September 1945,
Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah
Istimewa dari Presiden Soekarno.
Selama revolusi fisik Pakubuwana
XII memperoleh gelar kehormatan militer (titel) Letnan Jenderal dari Presiden
Soekarno. Kedudukannya itu menjadikan ia sering diajak mendampingi Presiden
Soekarno meninjau ke beberapa medan pertempuran. Tanggal 12-13 Oktober 1945,
Pakubuwana XII sendiri bahkan ikut serta memuat markas Kenpetai di Kemlayan. Ia
juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu
melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII
juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan
selamat.
Belanda yang tidak merelakan
kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan.
Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena
Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh
Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Soekarno selaku kepala
negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul oposisi yang
tidak mendukung sistem pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir, misalnya
kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat
pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi
pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi
dengan berani menculik Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes
terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil
menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena
pembelaan Jenderal Sudirman. Apalagi Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak
pemerintah sehingga membekukan status daerah istimewa yang disandang
Surakarta.[1] Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kesunanan Surakarta hanya berstatus
karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan
dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII berubah menjadi
sebagai simbol dan pemangku adat Surakarta.
-
USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Pakubuwana XII juga ikut
berjuang bersama rakyat mempertahankan Kemerdekaan Indonesia karena menyadari
kedudukannya sebagai tokoh masyarakat adat terlebih dirinya adalah seorang
Letnan Jenderal (tituler) TKR. Maka Pakubuwana XII bertekad untuk ikut
berjuang, salah satunya adalah dengan memberikan aset keraton Surakarta, untuk
mendukung kebutuhan perjuangan nasional. Pakubuwana XII juga banyak memberikan
aset-aset dan inventaris baik barang maupun keuangan dalam mensuplai kebutuhan
logistik dan dana, serta berbagai macam persenjataan. Hampir seluruh kekayaan
keraton diberikan tanpa sisa untuk kepentingan perjuangan nasional.
Ketika Agresi Militer Belanda II
pecah, ia berulang kali mendampingi Presiden Soekarno melihat pertempuran depan
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain mendampingi Presiden Soekarno dalam
melakukan inspeksi ke berbagai garis pertempuran depan, Pakubuwana XII juga
kerap bersinergi dan berkonsolidasi dengan pimpinan TKR di wilayah Surakarta
seperti Kolonel Gatot Subroto pada masa Agresi Militer Belanda II. Ia juga
salah satu tokoh penyusun strategi dan kekuatan, bersama dengan Letnan Kolonel
Slamet Riyadi, dan Mayor Achmadi Hadisoemarto dalam memimpin prajurit TKR pada
Serangan Umum 4 Hari Surakarta pada tahun 1949. Pakubuwana XII juga banyak
membantu memerdekakan sejumlah pegawai besar RI dan Tentara Pelajar (TP) ) yang
semula menjadi tawanan politik maupun tawanan perang Belanda.
Tak henti-hentinya di situ,
Pakubuwana XII juga melibatkan dirinya menjadi salah satu pendamping delegasi
Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
-
ERA KEMERDEKAAN
Pada awal pemerintahannya,
Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi
politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding
Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.
Sebenarnya Pakubuwana XII sudah
berusaha untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta. Pada tanggal 15
Januari 1952 Pakubuwana XII pernah memberi penjelasan tentang Wilayah Swapraja
Surakarta secara panjang lebar pada Dewan Menteri di Jakarta, dalam kesempatan
ini ia menjelaskan bahwa Pemerintah Swapraja tidak mampu mengatasi gejolak dan
rongrongan yang disertai ancaman bersenjata, sementara Pemerintah Swapraja sendiri
tidak memiliki alat kekuasaan. Namun usaha itu tersendat-sendat karena tak
kunjung menemui titik temu. Pada tahun 1954, akhirnya Pakubuwana XII sendiri
memutuskan untuk meninggalkan keraton guna menempuh pendidikan di Jakarta. Ia
menunjuk KGPH. Kusumayudha, pamannya, sebagai wakil sementara di keraton.
Pada masa pemerintahannya,
terjadi dua kali musibah yang menimpa Keraton Surakarta. Pada tanggal 19
November 1954, bangunan tertinggi di kompleks keraton, yaitu Panggung Sangga
Buwana, mengalami kebakaran yang menghancurkan sebagian besar bangunan termasuk
atap dan hiasan di puncak bangunan. Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 1985,
pada malam Jumat Wage, kompleks inti keraton terbakar pada pukul 21.00 WIB.
Kebakaran terjadi di gedung Sasana Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina,
Dalem Ageng Prabasuyasa, Dayinta, dan Paningrat. Seluruh bangunan termasuk
segala isi dan perabotannya tersebut musnah dilalap api.
Akhirnya, pada tanggal 5
Februari 1985, Pakubuwana XII melapor kepada Presiden Soeharto atas musibah
yang menimpa Keraton Surakarta. Presiden Soeharto mengajukan usulan dengan
membentuk Panitia 13 guna mengemban tugas untuk melaksanakan rehabilitasi
keraton. KRT. Harjanagara, budayawan nasional sekaligus sahabat Pakubuwana XII,
termasuk dalam jajaran Panitia 13 ini. Keraton Surakarta berhasil pulih setelah
mendapat dana 4 miliar rupiah dari pemerintah pusat, dan pembangunan kembali
kompleks inti keraton dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1987.
Pada tanggal 26 September 1995,
lima puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan SK No.
70/SKEP/IX/1995, Pakubuwana XII mendapat penghargaan dan Medali Perjuangan
Angkatan '45 dari pemerintah pusat. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk
penghormatan kepada Pakubuwana XII yang pada masa awal kemerdekaan merupakan
raja pertama di Indonesia yang menyatakan setia dan berdiri di belakang
pemerintahan republik. Pakubuwana XII juga secara sukarela menyumbangkan
sebagian kekayaan pribadinya maupun kekayaan Keraton Surakarta kepada
pemerintah pusat saat itu.
Meskipun pada awal
pemerintahannya Pakubuwana XII dapat dikatakan kurang berhasil secara politik,
namun Pakubuwana XII tetap menjadi sosok figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada
zaman reformasi, para tokoh nasional, seperti Presiden Abdurrahman Wahid, tetap
menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.
-
AKHIR PEMERINTAHAN
Pada pertengahan tahun 2004,
Pakubuwana XII mengalami koma dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit
Panti Kosala Dr. Oen Surakarta. Akhirnya pada tanggal 11 Juni 2004, Pakubuwana
XII dinyatakan meninggal.[7] Wafatnya Pakubuwana XII bersamaan dengan keramaian
kampanye Pemilihan Umum Presiden di Surakarta. Sepeninggalnya sempat terjadi
perebutan kematian antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejowulan, yang
masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
· · SILSILAH
-
Putra pertama Susuhunan Pakubuwana XI dan
permaisuri GKR. Pakubuwana, atau anak terakhir dari sebelas putra dan putri
Susuhunan Pakubuwana XI.
-
Memiliki enam istri:
i.
KRAy. Mandayaningrum
ii.
KRAy. Rogasmara
iii.
KRAy. Pradapaningrum
iv.
KRAy. Kusumaningrum
v.
KRAy. Retnadiningrum
vi.
KRAy. Pujaningrum
-
Memiliki lima belas putra dan dua puluh putri:
i.
GRAy. Koes Handawiyah/GKR. Alit
ii.
GRM. Surya Partana/KGPH. Hangabehi (naik takhta
sebagai Susuhunan Pakubuwana XIII)
iii.
GRM. Surya Suprapta/KGPH. Hadi Prabawa
iv.
GRAy. Koes Supiyah/GKR. Galuh Kencana
v.
GRM. Suryana/KGPH. Puspa Hadikusuma
vi.
GRAy. Koes Rahmaniyah
vii.
GRAy. Koes Saparniyah
viii.
GRAy. Koes Handariyah/GKR. Sekar Kencana
ix.
GRAy. Koes Kristiyah
x.
GRAy. Koes Sapardiyah
xi.
GRAy. Koes Raspiyah
xii.
GRM. Surya Susena/KGPH. Kusumayudha
xiii.
GRAy. Koes Sutriyah
xiv.
GRAy. Koes Isbandiyah/GKR. Retna Dumilah
xv.
GRM. Surya Suteja/KGPH. Panembahan Agung
Tejawulan
xvi.
GRM. Surya Bandana/KGPH. Puger
xvii.
GRAy. Koes Partinah
xviii.
GRM. Surya Suparta/KGPH. Dipakusuma
xix.
GRM. Surya Sarasa
xx.
GRM. Surya Bandriya/KGPH. Benawa
xxi.
GRAy. Koes Niyah
xxii.
GRM. Surya Sudhira/GPH. Natakusuma
xxiii.
GRM. Surya Suharsa/GPH. Madukusuma
xxiv.
GRM. Surya Sudarsana/GPH. Wijaya Sudarsana
xxv.
GRAy. Koes Murtiyah/GKR. Wandansari
xxvi.
GRAy. Koes Sabandiyah
xxvii.
GRAy. Koes Triniyah
xxviii.
GRAy. Koes Indriyah/GKR. Ayu
xxix.
GRM. Surya Sutrisna/GPH. Surya Wicaksana
xxx.
GRM. Nur Muhammad/GPH. Cahyaningrat
xxxi.
GRAy. Koes Suwiyah
xxxii.
GRAy. Koes Ismaniyah
xxxiii.
GRAy. Koes Samsiyah
xxxiv.
GRAy. Koes Saparsiyah
xxxv. GRM. Surya Wahana/GPH. Surya Mataram
· · PENGHARGAAN MILITER
-
Titular Lieutenant General rank on November 1,
1945
-
Satyalancana War of Independence I on August 17,
1958
-
Satyalancana War of Independence II on August
17, 1958
-
Award for the Darma Bakti for the Development of
the Indonesian Armed Forces issued by President Soekarno on October 5, 1958
-
Hero's Service Medal in the Guerrilla Struggle
to Defend Independence issued by President Soekarno on 10 November 1958
- Received the Indonesian Struggle Veterans Card on June 8, 1968
· GALERI
v PAKU BUWANA XIII
Pakubuwana XIII ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ꧇꧑꧓꧇ |
Sri Susuhunan Pakubuwana XIII |
Susuhunan Surakarta
ke-12
|
Bertakhta :
10 September 2004 – sekarang Pendahulu : Pakubuwana
XII Presiden : 1. Megawati
Soekarnoputri 2. Susilo
Bambang Yudhoyono 3. Joko
Widodo |
Nama lengkap
: Gusti Raden Mas Suryo Partono Kelahiran :
28 Juni 1948 (umur 74) Surakarta, Indonesia Wangsa :
Mataram |
Nama Tahta/Jumeneng Nata: Sahandhap
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati
ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Tiga Welas
ing Nagari Surakarta Hadiningrat |
Ayah :
Pakubuwana XII Ibu : KRA.
Pradapaningrum Pasangan : 1. KRAy. Endang
Kusumaningdyah (bercerai) 2. KRAy.
Winarti (bercerai) 3. GKR.
Pakubuwana Anak : 1. GRM. Suryo
Suharto/KGPH. Mangkubumi 2. GRM. Suryo
Aryo Mustiko/KGPH. Purbaya 3. GRAy.
Rumbai Kusuma Dewayani/GKR. Timur 4. GRAy. Devi
Lelyana 5. GRAy.
Ratih Widyasari 6. BRAy.
Sugih Oceani (wafat sebelum PB XIII naik takhta) 7. GRAy.
Putri Purnaningrum Agama Islam |
Sri Susuhunan Pakubuwana XIII
(disingkat sebagai PB XIII, bahasa Jawa: ꦱꦿꦶꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤꦏꦥꦶꦁꦠꦶꦒꦮꦺꦭꦱ꧀; lahir 28 Juni 1948) adalah Susuhunan
Surakarta kedua belas yang bertakhta sejak tahun 2004. Gelar Pakubuwana XIII
awalnya diklaim oleh dua pihak, setelah wafatnya Susuhunan Pakubuwana XII tanpa
putra mahkota yang jelas karena ia tidak memiliki permaisuri, maka dua putra
Pakubuwana XII dari ibu yang berbeda saling mengakui takhta ayahnya.
Putra yang tertua, KGPH.
Hangabehi, oleh keluarga didaulat sebagai penguasa keraton dan KGPH. Tejowulan
menyatakan keluar dari keraton; dua-duanya mengklaim pemangku takhta yang sah,
dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah.
Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi
gelar Pakubuwana XIII.
Konflik Raja Kembar tersebut berlangsung selama sekitar delapan tahun, hingga pada tahun 2012 dualisme kepemimpinan di Kasunanan Surakarta akhirnya usai setelah KGPH. Tejowulan mengakui gelar Pakubuwana XIII menjadi milik KGPH. Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan KGPH. Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (kemudian mahamenteri) dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung.
·
KEHIDUPAN
Dalam buku Mas Behi:
Angger-Angger dan Perubahan Zaman yang diterbitkan Yayasan Pawiyatan Kaidulan
Keraton Surakarta tahun 2004 disebutkan, dari seorang garwa ampil Susuhunan
Pakubuwana XII bernama KRAy. Pradapaningrum, telah lahir seorang anak lelaki
tertua pada Senin, 28 Juni 1948, dengan nama GRM. Suryadi. Karena
sakit-sakitan, neneknya yang permaisuri Susuhunan Pakubuwana XI bernama GKR.
Pakubuwana, mengganti nama sang cucu menjadi GRM. Suryo Partono (bahasa Jawa:
Gusti Raden Mas Surya Partana) seperti lazimnya masyarakat kebanyakan mengikuti
petuah spiritual dalam adat Suku Jawa. Ketika sudah dewasa dan Pakubuwana XII
bersama seluruh komunitas keraton berada di alam republik, pada tahun 1979
paugeran atau pranata adat lalu menetapkan GRM. Suryo Partono yang merupakan
putra laki-laki tertua berhak menyandang nama Hangabehi dengan gelar Kangjeng
Gusti Pangeran Harya. Artinya, dia adalah seorang pangeran tertua yang
disiapkan menjadi calon penerus tahta.
Dalam pemerintahan Kasunanan
Surakarta, KGPH. Hangabehi pernah meninggal sebagai Pangageng Museum Keraton
Surakarta dan berbagai jabatan penting lainnya. Ia juga mendapat anugerah
Bintang Sri Kabadya I oleh Pakubuwana XII atas jasa-jasanya dalam mengatasi
musibah kebakaran yang melanda Keraton Surakarta tahun 1985. Dari seluruh
putra-putri Pakubuwana XII, hanya Hangabehi yang pernah memperoleh bintang
kehormatan tersebut.[3] Untuk berkarier di luar keraton, Hangabehi pernah
bekerja di Caltex Pacific Indonesia, Riau, sebelum akhirnya pindah ke
Jakarta.[3][4] Selain menerima beberapa anugerah tertinggi dari beberapa
lembaga institusi dalam negeri maupun negara asing, Hangabehi juga mendapat
gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Global (GULL, Amerika Serikat).
Kegemaran kesehariannya pun berbeda dengan kebanyakan orang di luar keraton.
Hangabehi, selain hobi bermain keyboard dan berbagai alat musik lainnya, juga
pernah aktif di Organisasi Amatir Radio Indonesia.
·
NAIK TAHTA SEBAGAI RAJA
Setelah wafatnya Susuhunan
Pakubuwana XII pada 11 Juni 2004, terjadi ketidaksepakatan di antara
putra-putri Pakubuwana XII mengenai siapa yang akan menggantikan kedudukan
raja. Pada tanggal 31 Agustus 2004, salah satu putra Pakubuwana XII, KGPH.
Tejowulan, dinobatkan sebagai raja oleh beberapa putra-putri Pakubuwana XII di
Sasana Purnama, Badran, Kottabarat, Surakarta, yang merupakan salah satu rumah
milik pengusaha BRAy. Mooryati Sudibya.
Padahal, sebelumnya dalam rapat
Forum Komunikasi Putra-Putri (FKPP) Pakubuwana XII yang berlangsung 10 Juli
2004, menetapkan bahwa putra tertua Pakubuwana XII, KGPH. Hangabehi, yang berhak
menjadi raja selanjutnya, dan memilih tanggal penobatan Hangabehi sebagai raja
pada 10 September 2004. Namun pada awal September 2004, secara tiba-tiba KGPH.
Tejowulan bersama para pendukungnya kewalahan dan mendobrak pintu Keraton
Surakarta. Keributan ini bahkan sempat menimbulkan beberapa orang luka-luka,
termasuk para bangsawan dan abdidalem yang saat itu berada di dalam keraton.
Atas kejadian tersebut, KP. Edy Wirabumi (suami GKR. Wandansari) selaku ketua
Lembaga Hukum Keraton Surakarta mendampingi beberapa orang kuasa hukum bahkan
melaporkan para pendukung Tejowulan ke Polresta Surakarta atas dasar perusakan
cagar budaya di lingkungan keraton.
Akhirnya pada 10 September 2004,
KGPH. Hangabehi tetap dinobatkan sebagai raja oleh para pendukungnya di Keraton
Surakarta. Kehadiran tiga sesepuh keraton, yaitu Brigjen. Prof.GPH. Harya
Mataram, S.H., BKPH. Prabuwinata, dan GRAy. Panembahan Bratadiningrat, yang
merestui KGPH. Hangabehi menjadi Pangeran Adipati Anom di Dalem Ageng
Prabasuyasa, merupakan salah satu legitimasi bertakhtanya Hangabehi sebagai
raja baru Kasunanan Surakarta. Ketiga sesepuh keraton tersebut juga berkenan
mengawal Hangabehi ketika berjalan menuju ke Bangsal Manguntur Tangkil di
Kompleks Sitihinggil Lor untuk menyaksikan dan merestui jumenengan nata sebagai
Susuhunan Pakubuwana XIII, berikut kesaksian oleh sejumlah putra-putridalem,
para cucu Susuhunan Pakubuwana XII (wayahdalem), para bangsawan dan pejabat
keraton (sentaladalem), para abdidalem, para duta besar negara asing, utusan-utusan
dari kerajaan-kerajaan di Indonesia, serta masyarakat.
·
REKONSILIASI DENGAN K.G.P.H. TEJOWULAN
Rekonsiliasi damai antara KGPH.
Hangabehi dan KGPH. Tejowulan berlangsung pada tahun 2012, atas prakarsa wali
kota Surakarta saat itu, Joko Widodo. Penandatanganan rekonsiliasi dilakukan di
Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, 4 Juni 2012. Rekonsiliasi itu disaksikan
berbagai pihak seperti Ketua DPR-RI Marzuki Alie, Pimpinan Komisi II, IV, dan
IX DPR-RI, perwakilan Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Wali Kota
Surakarta Joko Widodo, dan lainnya.[10] Rekonsiliasi menyepakati bahwa KGPH.
Tejowulan bersedia melepas gelar Pakubuwana XIII. Selanjutnya, Tejowulan
mendapat gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung,[1] dan gelar
Susuhunan Pakubuwana XIII secara tunggal menjadi milik KGPH. Hangabehi.
Pada awalnya, rekonsiliasi damai
tersebut sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang
dipimpin oleh GKR. Wandansari (Gusti Moeng). Saat pelaksanaan upacara
Tingalandalem Jumenengan (peringatan kenaikan pengeringan) Susuhunan Pakubuwana
XIII yang ke-8 pada 15 Juni 2012, kubu LDA yang terdiri dari beberapa orang
putra-putri Pakubuwana XII dan Pakubuwana XIII bahkan sempat menghalangi
rombongan kubu Tejowulan yang hendak memasuki Sasana Sewaka, hingga menyebabkan
terjadinya menonjol dan adu mulut antara GKR. Timur (putri tertua Pakubuwana
XIII) bersama salah seorang bibinya yang tergabung dalam kubu LDA, dengan salah
satu pangeran dari kubu pendukung rekonsiliasi. Meski demikian, upacara dapat
langsungkan dengan kondusif dan KGPH. Tejowulan yang secara resmi diundang
untuk menghadiri upacara tersebut dipersilakan duduk bersila di sebelah
singgasana Pakubuwana XIII, yang selanjutnya ia melakukan sungkem di hadapan
Pakubuwana XIII sebagai permohonan maaf.
Konflik kembali terjadi pada 26
Agustus 2013. GKR. Wandansari dan beberapa kerabat keraton yang tergabung di
LDA memaksa masuk ke dalam Sasana Putra di kawasan Keraton Surakarta dan
membuat kekacauan dengan membubarkan secara paksa acara halal bihalal sekaligus
pengukuhan Tejowulan sebagai mahamenteri yang diadakan oleh Pakubuwana XIII.
Bahkan, pada malam harinya terjadi skenario susulan yang mengakibatkan
pendobrakan pintu gerbang Sasana Putra oleh pendukung massa Pakubuwana XIII dan
sebagian warga Baluwarti. Usai mendobrak pintu Sasana Putra, massa berusaha
menyelamatkan Pakubuwana XIII dan keluarganya yang telah dimandikan oleh pihak
LDA. Setelah peristiwa tersebut, Pakubuwana XIII tidak dapat memasuki kawasan
inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya
beberapa akses dari kediamannya di Sasana Narendra menuju kawasan inti keraton.
Setelah TNI dan Polri turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana
XIII dan Lembaga Dewan Adat, pada bulan April 2017 akhirnya Pakubuwana XIII dan
Tejowulan dapat kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara
tingalandalem jumenengan yang dihadiri oleh keluarga, abdi dalem, perwakilan masyarakat,
dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.
·
RIWAYAT PEMERINTAHAN
-
PERAN SEBAGAI RAJA SURAKARTA
Sejak dinobatkan menjadi raja
Kasunanan Surakarta pada 10 September 2004, Susuhunan Pakubuwana XIII telah
berperan dan terlibat dalam berbagai peristiwa penting, khususnya mengenai
kedudukan sebagai kepala keluarga keraton dan yang dipertuan pemangku adat,
yang merupakan simbol dan pemimpin informal kebudayaan Jawa khususnya budaya
Jawa gagrak ( gaya) Surakarta. Selain menyelenggarakan berbagai upacara adat
dan acara besar keraton seperti labuhan, grebeg, sekaten, kirab malam 1 Sura,
dan lainnya, Pakubuwana XIII juga melanjutkan tradisi pemberian gelar
kebangsawanan atau kepangkatan (selain yang diberikan untuk keluarga keraton
dan abdidalem) setara honoris causa kepada pejabat pemerintahan, anggota TNI
dan Polri, politisi, pengusaha, ulama, tenaga kependidikan, seniman dan
budayawan, maupun masyarakat umum dari berbagai kalangan yang dianggap
berprestasi, memiliki perhatian terhadap pelestarian dan pengembangan budaya
Jawa, atau memiliki jasa terhadap Keraton Surakarta dan Republik Indonesia.
Sebagai raja Kasunanan Surakarta
yang secara tradisional dianggap sebagai figur pelindung kebudayaan Jawa, pada
tahun 2014 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X dari
Kesultanan Yogyakarta dan perwakilan dari Kesultanan Kasepuhan Cirebon ikut
menyaksikan kirab dan sarasehan kebudayaan dalam rangka hari jadi Kabupaten
Batang.[21] Dalam bidang pelestarian kebudayaan, Pakubuwana XIII beberapa kali
menghadiri dan berpartisipasi dalam berbagai pameran keris dan tosan aji serta
mengadakan pergelaran wayang kulit. Pada peringatan Hari Wayang Nasional dan
Dunia di Institut Seni Indonesia Surakarta tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana
XIII bersama KPA. Begug Purnomosidi (mantan bupati Wonogiri) turut menerima
penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai pemrakarsa pergelaran wayang
kulit dengan kelir terpanjang di dunia. Di tahun 2018, Susuhunan Pakubuwana
XIII selaku pemimpin tertinggi keluarga besar Keraton Surakarta memberikan
kekancingan dan surat silsilah kepada keluarga keturunan Bapak RAA. M.Sis
Cakraningrat dan GKR. Pembayun (putri tunggal Susuhunan Pakubuwana X dengan
permaisurinya, GKR. Hemas) yang menjadi bukti pengesahan bahwa mereka adalah pemilik
sah dari tanah seluas beberapa hektar di Temon, Kulon Progo yang akan digunakan
untuk bangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta, yang kepemilikannya
sempat diambil oleh orang lain .
Susuhunan Pakubuwana XIII aktif
memimpin langsung pelaksanaan upacara-upacara adat dan menghadiri peresmian
perkumpulan abdidalem di berbagai daerah. Selain itu, Pakubuwana XIII bersama
para wali Keraton Surakarta juga terus menjaga hubungan baik dengan pemerintah,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah, Kota
Surakarta, serta daerah-daerah lain. Seperti yang pernah dilakukan kepada
beberapa wali kota Surakarta sebelumnya, pada 20 September 2021 Pakubuwana XIII
secara langsung memberikan gelar kebangsawanan kepada Wali Kota Gibran Rakabuming
Raka. Pada bulan Oktober-November 2021, Pakubuwana XIII dan Keraton Surakarta
ikut membantu program pencegahan Covid-19 di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten
Pacitan dengan memberikan 20.000 dosis vaksin gratis untuk warga. Dalam
hubungannya dengan pemimpin dan kerabat Kadipaten Mangkunegaran, pada tanggal
12 Maret 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII bersama Sultan Hamengkubuwana X dan
Adipati Pakualam X secara resmi mengadakan upacara pengukuhan Adipati
Mangkunegara X di Pura Mangkunegaran Surakarta.
-
MELANTIK PUTRA MAHKOTA
Dalam upacara Tingalandalem
Jumenengan yang ke-18 pada 27 Februari 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII
mengangkat KGPH. Purbaya, yang merupakan putra laki-lakinya yang lahir dari
permaisuri, sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta dengan gelar KGPAA.
(Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamangkunagara Sudibya Rajaputra
Narendra ing Mataram. Pengukuhan Purbaya sebagai putra mahkota tersebut
disaksikan oleh kakak dan beberapa adik perempuan Pakubuwana XIII, kakak
perempuan Purbaya, keluarga besar Keraton Surakarta yang hadir, para abdidalem,
dan para tamu undangan yang terdiri dari beberapa pejabat tinggi pemerintahan
serta perwakilan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia dan masyarakat umumnya,
termasuk Ketua DPD-RI La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden
Wiranto dan Addatuang Sidenreng XXV Andi Faisal.
·
SILSILAH
-
Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana
XII dan KRAy. Pradapaningrum.
-
Menikah tiga kali:
i.
Nuk Kusumaningdyah/KRAy. Endang Kusumaningdyah
(bercerai)
ii.
Winari Sri Haryani/KRAy. Winarti (bercerai)
iii.
Asih Winarni/KRAy. Pradapaningsih/GKR.
Pakubuwana (sebagai permaisuri)
-
Memiliki dua putra:
i.
GRM. Suryo Suharto/KGPH. Mangkubumi
ii.
GRM. Suryo Aryo Mustiko/KGPH. Purbaya
(Purubaya)/KGPAA. Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram
(sebagai putra mahkota).
-
Memiliki lima putri:
i.
GRAy. Rumbai Kusuma Dewayani/GKR. Timur
ii.
GRAy. Devi Lelyana Dewi
iii.
GRAy. Ratih Widyasari
iv.
BRAy. Sugih Oceani
v.
GRAy. Putri Purnaningrum
·
GALERI
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar