Perang Jawa
dari tahun 1741 hingga 1743 adalah konflik bersenjata antara gabungan tentara
Tionghoa dengan Jawa melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang
meletus di Jawa tengah dan timur. Setelah tentara Belanda membantai 10.000
orang Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta), mereka yang selamat melarikan
diri ke Semarang di bawah kepemimpinan Khe Pandjang. Meskipun telah
diperingatkan bahwa pemberontakan akan segera meletus, kepala militer VOC
Bartholomeus Visscher mengabaikan peringatan tersebut dan tidak menyiapkan bala
bantuan. Seiring perkembangan situasi, Sunan Mataram Pakubuwono II memilih
mendukung para pemberontak Tionghoa sambil berpura-pura membantu Belanda.
Setelah korban
pertama berjatuhan pada 1 Februari 1741 di Pati, para pemberontak Tionghoa
menyebar ke seluruh Jawa bagian tengah. Orang Jawa turut membantu orang
Tionghoa sembari berpura-pura bertempur melawan mereka agar orang Belanda
mengira didukung orang Jawa. Tipu daya ini menjadi semakin jelas dan tentara
Tionghoa terus mendekati Semarang, alhasil Visscher menjadi tidak stabil secara
mental. Sesudah merebut Rembang, Tanjung, dan Jepara, tentara gabungan Tionghoa
dan Jawa mengepung Semarang pada Juni 1741. Pangeran Cakraningrat IV dari
Madura menawarkan bantuan kepada Belanda, dan dari Madura ke arah barat ia
membantai semua orang Tionghoa yang dapat ia temui dan memadamkan pemberontakan
di Jawa bagian timur.
Pada akhir
tahun 1741, pengepungan Semarang berhasil dipatahkan setelah tentara Pakubuwono
II melarikan diri karena tentara Belanda, dengan bala bantuan mereka, memiliki
senjata api yang lebih unggul. Setelah Belanda melancarkan kampanye militer
pada tahun 1742, Pakubuwono II memutuskan untuk menyerah dan beralih membantu
Belanda. Namun, beberapa pangeran Jawa ingin meneruskan perang, sehingga pada 6
April Pakubuwono II tidak diakui oleh para pemberontak. Keponakan Pakubuwono
II, Raden Mas Garendi, kemudian dipilih oleh para pemberontak sebagai
penggantinya. Begitu Belanda berhasil merebut kembali semua kota di pantai
utara Jawa, para pemberontak menyerang ibu kota Pakubuwono II di Kartosuro,
sehingga dia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya. Cakraningrat IV
merebut kembali kota tersebut pada Desember 1742, dan pada awal 1743 pemberontak
Tionghoa terakhir telah menyerah. Setelah perang ini berakhir, Belanda semakin
menancapkan kekuasaannya di Jawa melalui perjanjian dengan Pakubuwono II.
A. LATAR
BELAKANG
Setelah lama
ditindas oleh pemerintah kolonial Belanda, etnis Tionghoa di Batavia (sekarang
Jakarta) memberontak pada 7 Oktober 1740, sehingga menewaskan lima puluh
tentara Belanda di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) dan Tanah Abang.
Pemberontakan ini dipadamkan oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, yang
mengirimkan 1.800 pasukan, bersama dengan schutterij (milisi) dan sebelas
batalion wajib militer, ke Meester Cornelis dan Tanah Abang; mereka menetapkan
jam malam terhadap seluruh warga Tionghoa di dalam tembok kota tersebut agar
mereka tidak dapat bersekongkol melawan Belanda. Ketika 10.000 etnis Tionghoa
dari sekitar Tangerang dan Bekasi dihadang di depan pintu gerbang pada hari
berikutnya, Valckenier segera mengadakan pertemuan darurat pada 9 Oktober. Pada
hari pertemuan tersebut, Belanda dan kelompok etnis lainnya di Batavia mulai
membunuh seluruh etnis Tionghoa di kota tersebut, mengakibatkan sekitar 10.000
orang tewas dalam waktu dua minggu.
Menjelang akhir
Oktober 1740, korban selamat dari pembantaian tersebut, yang dipimpin oleh Khe
Pandjang, berupaya untuk melarikan diri ke Banten, tetapi dihadang oleh 3.000
pasukan Kesultanan Banten. Para korban yang selamat kemudian melarikan diri ke
timur menuju Semarang. Meskipun Letnan Tionghoa Kwee Yong Khoo sudah
memperingatkan perihal kemungkinan bahwa pemberontakan akan segera terjadi,
komandan militer untuk Jawa, Bartholomeus Visscher, mengabaikan ancaman
tersebut. Walaupun orang Tionghoa merupakan kelompok minoritas di Jawa, mereka
mulai menjalin persekutuan dengan orang Jawa, yang merupakan kelompok etnis
terbesar di pulau tersebut.
Penerimaan agama
Islam pada saat itu adalah penanda status peranakan. Adipati Semarang dan
keluarga Jayaningrat berasal dari keturunan Tionghoa.
B. 1741
1. KONFLIK-KONFLIK
AWAL
Pada 1 Februari
1741, Kopral Claas Lutten dibunuh di rumahnya di Pati oleh 37 pemberontak
Tionghoa yang bersenjatakan pedang, tombak, dan garu; kelompok tersebut
kemudian menjarah rumahnya. Para pemberontak tersebut dikejar oleh sekelompok
pasukan Jawa atas perintah Bupati Kudus. Meskipun sebagian besar pemberontak
berhasil melarikan diri, satu orang ditangkap dan dibunuh dengan kepalanya
dipenggal lalu disulakan pada sebuah tiang di tengah Semarang sebagai
peringatan untuk orang-orang lain yang ingin memberontak. Sementara itu, di
sekitar Demak dan Grobogan, etnis Tionghoa berkumpul dan memilih pemimpin baru,
Singseh, dan berupaya untuk membentuk negara mereka sendiri. Keberhasilan
tentara Jawa dalam meredam pemberontakan membuat tenang Visscher, meskipun Yong
Khoo menyarankan agar ia waspada.
Pada saat itu,
Visscher beserta pasukannya hanya berjumlah 90 orang Belanda dan 208 orang
Nusantara tanpa bala bantuan dan menerima saran-saran yang saling berlawanan
dari Yong Khoo dan pamannya, Kapten Kwee Ang Khoo. Untuk mengamankan posisinya,
Visscher mengirim permohonan ke bupati-bupati dan pemimpin-pemimpin setempat untuk
menangkap dan membunuh seluruh etnis Tionghoa yang mencurigakan; meskipun
beberapa dari antara mereka langsung menaatinya dengan bukti tiga kepala yang
diberikan kepada Visscher beberapa hari kemudian, yang lainnya (seperti Sunan
Pakubuwono II dari Mataram) bertindak lebih berhati-hati dan berkata bahwa
mereka merasa tidak pasti dengan keetisan perintah tersebut.
Selama periode
pertimbangan yang berlangsung dari akhir tahun 1740 hingga bulan Juli 1741,
Pakubuwana II dan para penasihatnya berdebat tentang keuntungan bergabung
dengan Tionghoa atau bertahan dan menyelamatkan orang-orang Belanda agar
hubungan mereka menjadi lebih baik. Pakubuwono II kemudian secara diam-diam
memberikan 2.000 real kepada Mas Ibrahim untuk memulai serangan terhadap VOC
dan aset-asetnya; serta memerintahkan para bangsawan seniornya, Jayaningrat dan
Citrasoma, untuk menjadi pihak netral dalam konflik tersebut dan membiarkan
sebanyak mungkin orang Tionghoa melarikan diri. Mertopuro dari Grobogan, salah
satu pendukung yang lebih vokal mengenai perlawanan aktif, ditugaskan untuk
memanas-manasi orang Tionghoa di wilayahnya. Di dalam ibu kota Pakubuwono II di
Kartosuro, dia memerintahkan pemugaran Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan;
sekarang disebut Sasana Hinggil) di selatan keratonnya untuk menjadi alasan
pada Belanda bahwa dia tidak memiliki tenaga kerja yang tersisa. Meskipun
Visscher menerima intelijen mengenai rencana Pakubuwono II, dia tetap
memercayainya karena kesetiaannya pada VOC sebelumnya.
2. KETIDAKSTABILAN
VISSCHER DAN KEKALAHAN-KEKALAHAN AWAL
Ketika pasukan
Tionghoa (yang berjumlah 1.000 orang dan membahayakan jalur persediaan ke
Semarang) tiba di Tanjung pada April 1741, Visscher meminta agar para bupati
mengirim pasukan untuk menghadapinya. Namun, pasukan para bupati menolak pindah
sampai mereka mendapat hadiah berupa beras bermutu tinggi. Setelah Yong Khoo
mengirimkan beras, pasukan para bupati pergi ke Tanjung, berdiri di luar
jangkauan para pemberontak, lalu melepaskan tembakan dan pergi. Para
pemberontak kemudian menduduki pabrik gula di sana. Di Grobogan, Mertopuro
(yang dipersenjatai dengan senjata dari komando militer Belanda) melakukan
serangan terhadap para pemberontak Tionghoa, dan dalam serangan tersebut para
tentara Jawa melepaskan tembakan pada orang Tionghoa sebelum Belanda datang.
Begitu Belanda tiba, Mertopuro menunjukkan luka peluru pada kuda (yang
ditimbulkan oleh pasukannya sendiri) sebagai bukti bahwa dia telah bertempur.
Untuk
menanggulangi tekanan dari pemberontak Tionghoa yang semakin menguat, Visscher
mengirim perintah ke benteng kompeni di seluruh pantai utara untuk
mempekerjakan sebanyak mungkin tentara bayaran pribumi non-Jawa yang dapat
ditemukan; dia juga memerintahkan para bupati di Pati, Jepara, Kudus, dan
Cekalsewu (yang saat itu sedang berada di Semarang untuk sebuah pertemuan
militer) untuk mengirim pasukan untuk memutus jalur pelarian pemberontak. Para
bupati yang setia dengan Pakubuwono II mengirim 540 tentara ke Tanjung, lalu
diam-diam berangkat ke Kartosuro. Namun, saat pasukan tiba mereka pura-pura
menyerang, lalu mundur kembali ke Semarang. Ketika Visscher menyadari bahwa
para bupati sudah raib, Pakubuwono II mengatakan kepadanya bahwa dia akan
mengirim mereka kembali dengan 6.000 tentara tambahan, dan meminta agar
Visscher bisa menjamin kompensasi dari kantor pusat kompeni di Batavia.
Berita segera
menyebar mengenai ribuan pemberontak Tionghoa yang bersatu dengan pasukan
dengan orang Jawa di Grobogan. Pada tanggal 1 Mei, Visscher dipanggil oleh
Kapten Rudolph Carel von Glan, seorang pemimpin satuan, menanyakan mengapa
Visscher tidak melakukan apa pun untuk mengatasi pemberontakan tersebut.
Visscher dengan panas menjawab bahwa itu bukan urusan Glan. Keesokan harinya,
setelah diinterogasi oleh jaksa Jeronimus Tonnemans Jr., Yong Khoo, dan Ang
Khoo, Visscher menjadi semakin marah, memecahkan meja menjadi dua dan meneriaki
penasihat Tionghoa-nya. Ketika Yong Khoo menghilang setelah pertemuan tersebut,
Ang Khoo mengatakan pada Visscher bahwa dia telah bergabung dengan orang
Tionghoa yang memberontak. Hal ini menyebabkan Visscher, yang telah
menginvestasikan banyak uang untuk Yong Khoo, mengeluarkan keretanya dan
berteriak kepada penduduk Semarang untuk melarikan diri saat masih
memungkinkan. Ini berlanjut sampai dia menabrak tembok kota. Para penduduk
melarikan diri dari Semarang dengan panik, meninggalkan delapan meriam yang
sudah berisi peluru di luar tembok kota.
Sehari
setelahnya, Visscher menyerahkan kekuasaan militer kepada Glan. Tidak lama
kemudian, berita sampai kepadanya bahwa Yong Khoo tidak bergabung dengan
pemberontak tetapi telah dirampok, menghabiskan malam di makam anaknya di
Peterongan dalam keadaan depresi. Visscher pun kembali bersemangat; ia kembali
mengambil alih komando militer pada 4 Mei dan memerintahkan semua orang untuk
kembali ke rumah mereka. Beberapa hari setelahnya, empat bupati (Suradiningrat
dari Tuban, Martapura dari Grobogan, Suradimenggala dari Kaliwungu, dan Awangga
dari Kendal) tiba di Semarang melaporkan bahwa 6.000 tentara yang dijanjikan
sedang dalam perjalanan.
Meskipun telah
diberi tahu bahwa dia akan berada dalam bahaya jika dia melawan kompeni, pada
11 Mei Pakubuwono II meminta agar semua bupati pesisir berjanji setia
kepadanya. Dia melakukan hal yang sama untuk para anggota keratonnya pada 13
Mei. Namun, beberapa pemimpin, termasuk Pangeran Ngabehi Loringpasar yang
merupakan calon penerus takhta yang kedua, Pangeran Tepasana abang Pakubuwono
II, dan ibunya, Ratu Amangkurat, menentang revolusi; Kapten Johannes van
Velsen, residen di Kartasura, melaporkan kepada Visscher bahwa Sunan Pakubuwono
II telah berhasil dibujuk untuk tidak memberontak. Namun, Pakubuwono II menjadi
semakin yakin bahwa dia akan bergabung dengan orang Tionghoa.
Pada 23 Mei,
sekitar 1.000 orang Tionghoa meninggalkan Tanjung dan menuju ke timur,
menyerang pos Juwana yang dijaga oleh 15 prajurit, serta satu pos lainnya di
Rembang. Meskipun residen Belanda dan lima orang lainnya berhasil melarikan
diri, Belanda mencatat jumlah korban jiwa yang besar, dengan laporan bahwa
telah terjadi kanibalisme. Residen Demak telah mendengar desas-desus mengenai
kejadian ini dan juga terancam oleh 3.000 orang Tionghoa di luar tembok kota.
Ia pun meminta izin untuk mundur ke Semarang. Visscher menganggap Demak
memiliki posisi penting untuk mempertahankan Semarang, sehingga ia menolaknya
dan malah mengirim 80 sampai 100 tentara Nusantara sebagai bala bantuan.
Residen Demak akhirnya ditarik ke Semarang dan tugas untuk mempertahankan
benteng diserahkan kepada Mertopuro. Rembang jatuh ke tangan Tionghoa pada 27
Juli, sementara Jepara direbut empat hari kemudian.
3. PENGEPUNGAN
SEMARANG DAN KEKALAHAN BELANDA
Pasukan
Tionghoa dari Tanjung segera tiba di Semarang dan mengepung kota tersebut
dengan bantuan dari pasukan yang sebelumnya dikirim untuk menghancurkan mereka.
Visscher takut pasukannya tidak cukup, sehingga ia meminta bala bantuan dari
Pakubuwono II. Pakubuwono II bersedia mengirim satuan artileri, tetapi
sebenarnya satuan tersebut dimaksudkan untuk membantu pasukan Tionghoa. Pasukan
Tionghoa dan Jawa telah mencapai tembok kota Semarang, dan pada awal Juni Visscher
memerintahkan ekspedisi balasan berjumlah 46 pasukan Eropa dan 146 pasukan
Nusantara dan dibantu oleh tentara Jawa di bawah Gubernur Semarang Dipati
Sastrawijaya. Ekspedisi dilancarkan terhadap pasukan Tionghoa dan Jawa yang
berkumpul di luar perbukitan Bergota. Di luar tembok kota, pasukan Jawa
langsung berkhianat setelah merusak persediaan artileri yang ada, sementara
kelompok Nusantara lainnya meninggalkan ekspedisi tersebut begitu mereka
berhadapan dengan pasukan Tionghoa. Setelah membunuh beberapa pasukan Tionghoa,
tentara Belanda kembali ke benteng.
Pada hari
berikutnya, Belanda menyita seluruh rumah orang Tionghoa, termasuk rumah Ang
Khoo. Ketika senjata dan amunisi ditemukan di rumahnya, Ang Khoo menyatakan
bahwa barang-barang tersebut adalah sisa-sisa dari perang sebelumnya pada 1718.
Tidak memercayai Ang Khoo, Belanda menangkapnya dan Yong Khoo, lalu
memerintahkan mereka dirantai dan dipenggal; Visscher kemudian memerintahkan
eksekusi semua etnis Tionghoa. Pada tanggal 14 Juni, Visscher memerintahkan
agar permukiman orang-orang Tionghoa di luar benteng diratakan dengan tanah.
Meskipun orang Tionghoa unggul dalam jumlah, mereka tidak mencoba melancarkan
serangan terakhir.
Dengan semakin
banyaknya pemberontakan yang terjadi di Jawa bagian timur, kompeni didekati
oleh Pangeran Cakraningrat IV dari Madura, yang menawarkan diri untuk bersekutu
dengan Belanda jika mereka mendukung upayanya untuk mendirikan kerajaannya
sendiri di wilayah tersebut; Cakraningrat IV, yang dulunya adalah pejuang yang
hebat bagi Mataram, merasa tersinggung dengan Pakubuwono II karena tidak diajak
ikut musyawarah perang, sehingga ia siap untuk mengobarkan perang melawan
pasukan sang Sunan. Setelah Belanda setuju, Cakraningrat IV memutuskan
hubungannya dengan Mataram dan mengembalikan istrinya (saudari Pakubuwono II)
ke Kartosuro. Sepanjang bulan Juni dan Juli, pasukan Cakraningrat IV berupaya
untuk membunuh seluruh etnis Tionghoa, pertama dimulai di Madura kemudian
menyebar ke Tuban, Surabaya, Jipang, dan Gresik. Pada 12 Juli, seluruh orang
Tionghoa di wilayah Surabaya dan Gresik telah melarikan diri atau dibunuh.
Pada 9 Juli,
Pakubuwono II memerintahkan eksekusi Pangeran Tepasana dan adik laki-laki
lainnya, yang dituduh sebagai informan Velsen; keluarga mereka, termasuk putra Tepasana
yang masih kecil, Raden Mas Garendi, diasingkan. Tak lama sesudah itu, pada
bulan Juli, Pakubuwono II secara terbuka menunjukkan dukungannya kepada para
pemberontak Tionghoa dengan melancarkan penyergapan. Pada 20 Juli, pasukannya
memasuki garnisun Belanda di Kartasura dengan berpura-pura membantu
mempersiapkan serangan terhadap orang Tionghoa. Begitu masuk, tentara Jawa
melepaskan tembakan dan mengejutkan Belanda; meskipun diserang secara mendadak
dan kehilangan tiga puluh lima orang dalam serangan awal, Belanda berhasil
bertahan selama tiga minggu. Namun, setelah pasukan Tionghoa ikut bertempur,
garnisun itu pun jatuh, Velsen dihukum mati, dan tentara lainnya yang masih
hidup diberi pilihan (atau dipaksa) untuk masuk Islam atau dibunuh. Mereka menyunat
pasukan Belanda yang selamat, sementara pasukan Jawa menangkap anak-anak dan
perempuan Belanda sebagai rampasan perang setelah mengeksekusi pemimpin
Belanda. Sementara itu, pasukan Khe Pandjang dipukul mundur dari Bekasi dan
bergabung dengan 1.000 prajurit di bawah pimpinan Kapten Ismail untuk merebut
Tegal.
Pada 25 Juli,
pengganti Visscher, Abraham Roos (yang ditugaskan pada akhir Juni karena
Visscher dianggap tidak stabil secara mental) tiba di Semarang dengan 170
pasukan. Ia mengamati bahwa kompeni hanya mengendalikan benteng, permukiman
Eropa, dan tumpuan pantai. Setelah kedatangan Roos, pemerintah Belanda mulai
mengirim lebih banyak bala bantuan, yang pada akhirnya berjumlah sedikitnya
1.400 tentara Belanda dan 1.600 tentara Nusantara. Pada November 1741, benteng
kompeni di Semarang tengah dikepung oleh 3.500 tentara Tionghoa dan 20.000
tentara Jawa, yang dipersenjatai dengan 30 meriam, sementara di pihak kompeni
hanya terdapat 3.400 tentara Belanda dan Nusantara. Dengan keunggulan senjata
api dan taktik Belanda, pasukan Pakubuwono II tercerai-berai; pengepungan
tersebut akhirnya gagal dan Belanda kemudian melancarkan ekspedisi militer yang
berhasil merebut kembali Jepara.
C. 1742-1743
1. KEJATUHAN
KARTASURA
Pada awal 1742,
Pakubuwono II menyerah kepada Belanda. Pada bulan Maret, tujuh orang Belanda
yang dipimpin oleh Kapten Johan Andries, Baron van Hohendorff, tiba di
Kartosuro untuk menentukan syarat-syarat penyerahan Pakubuwono II. Meski
awalnya Belanda meminta Pangeran Loringpasar (sang putra mahkota yang masih
muda), putra sulung Pangeran Notokusumo, serta Pangeran Pringgalaya sebagai
sandera, Loringpasar digantikan oleh Ratu Amangkurat karena sang putra mahkota
terlalu sakit untuk melakukan perjalanan.
Karena tidak
mau membiarkan orang Belanda membawa anaknya, Notokusumo (yang saat itu tengah
mengepung Semarang) melakukan serangan palsu terhadap pasukan Tionghoa: mereka
yang sakit atau terluka dibunuh sementara pasukan yang masih sehat diizinkan
melarikan diri. Tujuannya adalah untuk memberi kesan kesetiaan kepada Belanda.
Dia kemudian pergi ke Kartosuro untuk mencoba menyelamatkan putranya, tetapi
para pejabat Belanda di situ memerintahkan kepadanya untuk mengamankan jalan ke
Demak. Setelah mengulur-ulur waktu, Notokusumo bersedia melakukannya dan
melakukan perjalanan ke Semarang. Namun, setelah tiba di Semarang, dia
ditangkap oleh pimpinan pasukan yang baru, Hugo Verijsel, dengan restu dari
Pakubuwono II. Verijsel kemudian mengerahkan 300 prajurit Belanda dan 500
pasukan Nusantara untuk membersihkan wilayah di sekitar Kartosuro, tetapi mereka
terhenti di Salatiga karena diserang oleh pasukan tiga temenggung; Verijsel
kemudian mundur ke Ampel.
Karena telah
melakukan kesepakatan dengan Belanda, pada 6 April Pakubuwono II tidak lagi
diakui oleh para pangeran yang masih bertempur dan pemberontak Tionghoa. Para
pemimpin pemberontak memilih Garendi sebagai sunan yang baru; Garendi kemudian
mengambil nama Sunan Kuning. Pada 19 Juni, dikabarkan bahwa pasukan Notokusumo,
yang saat itu berada di bawah komando Kyai Mas Yudanagara, telah meninggalkan
Kartosuro untuk mendudukkan Sunan Kuning di atas takhta. Pada 30 Juni, mereka
tiba di Kartosuro bersama dengan pasukan Khe Pandjang dan menyerang kota
tersebut. Pasukan Pakubuwono II yang berjumlah 2.000 orang tetap bertahan untuk
melawan mereka, sementara Pakubuwono II, keluarganya, dan orang-orang Belanda
melarikan diri dengan menunggangi kuda dan menyeberang Sungai Bengawan Solo.
Pakubuwono II kemudian berjanji akan menyerahkan wilayah pesisir dan membiarkan
Belanda memilih patih (atau menteri utama) jika Belanda membantunya merebut
kembali takhtanya.
2. KEMBALINYA
KEKUASAAN BELANDA
Pada awal Juli,
Verijsel mengerahkan 360 pasukan Ambon, yang dipimpin oleh Kraeng Tanate, untuk
membantunya mempertahankan Semarang. Pada 21 Juli, Kapten Gerrit Mom datang
dari Sulawesi dengan 800 pasukan yang bertugas sebagai bala bantuan. Mom dan
Tanate kemudian dikirim untuk menaklukkan kembali Demak, yang diduduki oleh
4.000 pemberontak di bawah kepemimpinan jenderal Tionghoa Singseh dan jenderal
Jawa Raden Suryakusuma. Pertempuran berikutnya terjadi selama beberapa hari dan
akhirnya berhasil dimenangkan oleh Belanda.
Pasukan Belanda
melanjutkan serangannya ke Kudus; di kota tersebut, diperkirakan terdapat 2.000
prajurit Tionghoa yang menunggu kedatangan bantuan dari Kartosuro. Dengan
bantuan tambahan dari pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Secanegara dari Jepara
dan Kapten Hendrik Brule dari Semarang, Mom dan Tanate merebut kembali kota
tersebut tanpa perlawanan pada 28 Agustus. Setelah merebut kembali Demak dan
Kudus, bupati yang tersisa mulai menyerah, dan mereka sendiri telah dijanjikan
pengampunan oleh Pakubuwono II.
Koalisi
pemberontak Tionghoa dan Jawa, yang mulai berantakan, terus mempertahankan
Kartosuro hingga Desember 1742, tetapi kemudian terusir dari kota tersebut
akibat serangan Cakraningrat IV. Meskipun orang Jawa diizinkan untuk melarikan
diri, orang Tionghoa hanya bisa melarikan diri ke Prambanan di dekatnya setelah
terjadinya pertempuran di Asem. Dua bulan kemudian, orang-orang Tionghoa yang
didampingi oleh pemimpin Jawa yang terkenal, Pakunegara, berupaya untuk bertahan,
tetapi dikalahkan dan terpaksa melarikan diri ke kaki bukit di sepanjang
pesisir selatan. Maklumat pengampunan kemudian diumumkan, dan Singseh menyerah
di Surabaya.
D. KESUDAHAN
Meskipun
Belanda mengembalikan Pakubuwono II ke kekuasaannya, pada awal 1743 ia dipaksa
untuk menandatangani sebuah perjanjian. Selain harus memindahkan keratonnya ke
sekitar Solo, Pakubuwono II diwajibkan menyerahkan dua pemimpin pemberontakan
Jawa. Perjanjian tersebut juga mengatur bahwa Pakubuwono II harus menyerahkan
pantai utara Jawa, Madura, dan Jawa bagian timur kepada Belanda. Selain itu,
Pakubuwono II diwajibkan untuk membayar 8.600 ton metrik beras sebagai upeti
setiap tahun dan melarang orang-orang Jawa berlayar ke luar Jawa, Madura, dan
Bali. Pakubuwono II wafat pada 1749; ia sendiri sebenarnya adalah seorang
pemimpin tidak populer yang hanya dapat bertahan di tampuk kekuasaan berkat
perlindungan dari Belanda. Perselisihan terus berlanjut antara orang-orang
keraton setelah kematian Pakubuwono II, yang kemudian berujung pada pembagian
wilayah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan
Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah kepemimpinan Mangkubumi.
Pangeran
Cakraningrat IV tidak mendapatkan wilayah atau kekuasaan yang dijanjikan dan
malah dikucilkan di Madura. Cakraningrat IV merasa terkhianati dan kemudian
bergabung dengan pemberontakan lain pada 1745; setelah putranya menyerah kepada
Belanda; Cakraningrat IV melarikan diri ke Banjarmasin di Kalimantan, tetapi
ditangkap dan diasingkan di Tanjung Harapan pada 1746.
Meskipun sudah
menguasai banyak wilayah pesisir, Perusahaan Hindia Timur Belanda "sudah
sangat lelah". Menurut Merle Calvin Ricklefs, Sultan Yogyakarta yang baru,
Mangkubumi, kemudian menjadi "musuh paling berbahaya" bagi pemerintah
kolonial Belanda pada abad ke-18.
Pemerintahan
Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mendirikan sebuah monumen
untuk para korban pembantaian Batavia 1740 dan orang Jawa dan Tionghoa yang
bertempur melawan Belanda dalam perang Jawa. Monumen yang berdiri di Taman
Budaya Tionghoa Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah tersebut diberi nama
lengkap Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC 1740–1743.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar