Mengenai Saya

Foto saya
Hi, Nama Saya Sandra Bagus Nugroho saya pemilik Blog History Of World Empire

Minggu, 05 Februari 2023

PERJANJIAN JATISARI

Perjanjian Jatisari adalah sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 15 Februari 1755. Penandatanganan perjanjian tersebut bertempat di Jatisari, yang kini menjadi sebuah wilayah di dalam desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.

Pertemuan Jatisari di Jatisari, Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, 267 tahun lalu, mempertemukan Paku Buwono III dengan sang paman Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

Perjanjian ini menentukan dasar kebudayaan bagi kedua kerajaan yang telah terbagi lebih dulu dalam Perjanjian Giyanti, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

A.     LATAR BELAKANG

Perjanjian Jatisari adalah sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 15 Februari 1755. Penandatanganan perjanjian tersebut bertempat di Jatisari, yang kini menjadi sebuah wilayah di dalam desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.

Perjanjian ini menentukan dasar kebudayaan bagi kedua kerajaan yang telah terbagi lebih dulu dalam Perjanjian Giyanti, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

B.     PERJANJIAN

Perjanjian ini timbul sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Giyanti yang telah ditandatangani pada 13 Februari 1755, dua hari sebelumnya. VOC melalui gubernur Nicolaas Hartingh bersama dengan Hamengkubuwana I melakukan perjalanan menuju Jatisari untuk menemui Pakubuwana III. Jatisari dipilih karena menjadi titik tengah antara Surakarta dan Giyanti.

Kepergian rombongan tersebut guna melakukan pertemuan untuk tujuan rekonsiliasi setelah Perjanjian Giyanti.

C.     ISI PERUNDINGAN

Perjanjian Jatisari membagi budaya Kesultanan Mataram, dalam hal ini adalah tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Kasultanan Yogyakarta memilih untuk tetap mempertahankan budaya yang sudah ada sejak masa Kesultanan Mataram, sedangkan Kasunanan Surakarta Hadiningrat memilih untuk mengembangkan budaya baru, namun tetap berdasarkan budaya Mataram.

Hal pokok lain yang disampaikan dalam pertemuan di Jatisari tersebut yakni pihak Keraton Surakarta Hadiningrat memberikan masing-masing sebagian dari wilayah Kabupaten Nayaka yang dimilikinya kepada Kasultanan Yogyakarta sebagai wulu pametu (sumber pendapatan kerajaan). Dimana Keraton Surakarta memiliki wilayah Kabupaten Nayaka di bagian Kedu dan Bagelen. Masing-masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Nayaka Tumbak Anyar, Siti Sewu, Bumija, dan Bumi. Adapun yang diberikan kepada Yogyakarta adalah Kabupaten Nayaka Bumija dan Numbak Anyar saja.

D.    WILAYAH KERAJAAN SURAKARTA DAN YOGYAKARTA

Dikutip dari buku Vincent Houben yang berjudul Kraton and Kumpeni (1994), dalam Perjanjian Giyanti disebutkan pembagian wilayah antara Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendapatkan bagian:

·         Separuh dari wilayah Negaragung, yaitu daerah-daerah sekeliling Nagari (kedudukan raja atau Keraton), luasnya mencakup 53.100 karya, yang meliputi wilayah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede.

·         Separuh dari wilayah Manca Nagara, luasnya mencakup 33.950 karya, yang meliputi Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalongbret, Ngrowo (Tulungagung), Djapan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras-Karas, Selo, Warung, dan Grobogan.

Sementara wilayah Kasunanan Surakarta, Susuhunan Paku Buwono III menguasai wilayah Negaragung meliputi Surakarta, Klaten, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Boyolali, dan Sragen.

Surakarta juga tetap berkuasa atas daerah mancanagara kulon atau barat meliputi Karesidenan Banyumas, juga beberapa daerah di mancanagara wetan.

Daerah-daerah itu di antaranya Karesidenan Madiun mendapatkan Ponorogo, Jogorogo dan separuh Pacitan.

Adapun di Karesidenan Kediri memperoleh daerah Kediri asli, Lodaya, Srengat, Blitar dan Pace atau Nganjuk. PB III juga menguasai atas daerah Wirasaba atau Majaagung yang masuk Karesidenan Surabaya dan Blora.

E.      PERTEMUAN JATISARI

Dua hari setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya pada 15 Februari 1755, Gubernur VOC Nicolaas Hartingh, Sultan Hamengku Buwono I, serta beberapa pengawalnya berangkat menuju Jatisari yang berada di titik tengah antara Surakarta dan Giyanti.

Kepergian rombongan tersebut guna melaksanakan pertemuan dengan Paku Buwono III untuk tujuan rekonsiliasi setelah Perjanjian Giyanti. di Jatisari, kedua penguasa Jawa tersebut bertemu sebagai raja yang berkedudukan sama.

Pada pertemuan tersebut, Paku Buwono III menghadiahi sang paman Hamengku Buwono I sebuah Keris Kyai Agung Kopek yang diturunkan dari Sunan Kalijaga.

Saat ini, Keris Kyai Ageng Kopek berada di lingkungan Keraton Yogyakarta dan hanya dipegang oleh Sultan yang bertahta sebagai lambang pemimpin rohani dan duniawi.

F.      PERJANJIAN JATISARI: BUDAYA SURAKARTA DAN YOGYAKARTA

Paling penting dalam Pertemuan Jatisari, pembahasan mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain.

Inti dari pertemuan ini adalah Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Kerajaan Mataram. Sementara Sunan Paku Buwono III sebagai raja yang lebih muda sepakat memodifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru dengan tetap berlandaskan pada budaya lama.

G.    PERBEDAAN BUDAYA SURAKARTA DAN YOGYAKARTA

Perbedaan antara Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat di antaranya terletak pada bangunan, cara berpakaian, dan gamelan.

·         Segi Bangunan

Keraton Yogyakarta identik dengan gaya arsitektur Jawa tradisional. Sementara bangunan Keraton Surakarta sebagian besar bernuansa putih dan biru dengan arsitektur campuran Jawa-Eropa.

·         Segi Pakaian

Dari segi pakaian yang melekat pada abdi dalem keraton, dapat ditilik dari blangkon, surjan, serta beskap yang digunakan. Blangkon pada Kesultanan Yogyakarta terdapat benjolan sebagai tempat gelungan rambut. Hal itu dikarenakan pada zaman dahulu, laki-laki mempunyai budaya untuk memanjangkan rambut.

Sementara Kasunanan Surakarta, tidak ada benjolan pada blangkon karena mengikuti budaya mencukur rambut seperti bangsa Eropa. Kesultanan Yogyakarta memiliki surjan dan beskap yang lebih bermotif, seperti motif bunga-bunga. Sementara itu, surjan dan beskap Keraton Surakarta berwarna gelap dan tidak bermotif.

·         Seni Gamelan

Keraton Yogyakarta memiliki susunan gamelan yang lebih renggang dan lebar dengan warna yang jauh lebih cerah. Sementara itu, Keraton Surakarta memiliki gamelan yang susunannya lebih rapat dengan warna cokelat kayu berpadu emas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AR (Augmented Reality)

  A.     APA ITU AUGMENTED REALITY AR (Augmented Reality) adalah teknologi yang memperluas dunia fisik dengan cara menambahkan lapisan infor...

HALAMAN