Perjanjian Jatisari adalah sebuah perjanjian yang
ditandatangani pada 15 Februari 1755. Penandatanganan perjanjian tersebut
bertempat di Jatisari, yang kini menjadi sebuah wilayah di dalam desa Sapen,
Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.
Pertemuan Jatisari di Jatisari, Desa Sapen, Kecamatan
Mojolaban, Sukoharjo, 267 tahun lalu, mempertemukan Paku Buwono III dengan sang
paman Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Perjanjian ini menentukan dasar kebudayaan bagi kedua
kerajaan yang telah terbagi lebih dulu dalam Perjanjian Giyanti, yakni
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
A. LATAR BELAKANG
Perjanjian Jatisari adalah sebuah perjanjian yang
ditandatangani pada 15 Februari 1755. Penandatanganan perjanjian tersebut
bertempat di Jatisari, yang kini menjadi sebuah wilayah di dalam desa Sapen,
Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.
Perjanjian ini menentukan dasar kebudayaan bagi kedua
kerajaan yang telah terbagi lebih dulu dalam Perjanjian Giyanti, yakni
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
B. PERJANJIAN
Perjanjian ini timbul sebagai tindak lanjut dari Perjanjian
Giyanti yang telah ditandatangani pada 13 Februari 1755, dua hari sebelumnya.
VOC melalui gubernur Nicolaas Hartingh bersama dengan Hamengkubuwana I
melakukan perjalanan menuju Jatisari untuk menemui Pakubuwana III. Jatisari
dipilih karena menjadi titik tengah antara Surakarta dan Giyanti.
Kepergian rombongan tersebut guna melakukan pertemuan untuk
tujuan rekonsiliasi setelah Perjanjian Giyanti.
C. ISI PERUNDINGAN
Perjanjian Jatisari membagi budaya Kesultanan Mataram, dalam
hal ini adalah tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan,
tari-tarian, dan lain-lain. Kasultanan Yogyakarta memilih untuk tetap
mempertahankan budaya yang sudah ada sejak masa Kesultanan Mataram, sedangkan
Kasunanan Surakarta Hadiningrat memilih untuk mengembangkan budaya baru, namun
tetap berdasarkan budaya Mataram.
Hal pokok lain yang disampaikan dalam pertemuan di Jatisari
tersebut yakni pihak Keraton Surakarta Hadiningrat memberikan masing-masing
sebagian dari wilayah Kabupaten Nayaka yang dimilikinya kepada Kasultanan
Yogyakarta sebagai wulu pametu (sumber pendapatan kerajaan). Dimana Keraton
Surakarta memiliki wilayah Kabupaten Nayaka di bagian Kedu dan Bagelen.
Masing-masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Nayaka Tumbak Anyar, Siti Sewu,
Bumija, dan Bumi. Adapun yang diberikan kepada Yogyakarta adalah Kabupaten
Nayaka Bumija dan Numbak Anyar saja.
D. WILAYAH KERAJAAN SURAKARTA DAN
YOGYAKARTA
Dikutip dari buku Vincent Houben yang berjudul Kraton and
Kumpeni (1994), dalam Perjanjian Giyanti disebutkan pembagian wilayah antara
Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono
I mendapatkan bagian:
·
Separuh dari wilayah Negaragung, yaitu
daerah-daerah sekeliling Nagari (kedudukan raja atau Keraton), luasnya mencakup
53.100 karya, yang meliputi wilayah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati,
Bagelen, Kedu, Bumigede.
·
Separuh dari wilayah Manca Nagara, luasnya
mencakup 33.950 karya, yang meliputi Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan,
Kertosono, Kalongbret, Ngrowo (Tulungagung), Djapan (Mojokerto), Jipang
(Bojonegoro), Teras-Karas, Selo, Warung, dan Grobogan.
Sementara wilayah Kasunanan Surakarta, Susuhunan Paku Buwono
III menguasai wilayah Negaragung meliputi Surakarta, Klaten, Karanganyar,
Wonogiri, Sukoharjo, Boyolali, dan Sragen.
Surakarta juga tetap berkuasa atas daerah mancanagara kulon
atau barat meliputi Karesidenan Banyumas, juga beberapa daerah di mancanagara
wetan.
Daerah-daerah itu di antaranya Karesidenan Madiun
mendapatkan Ponorogo, Jogorogo dan separuh Pacitan.
Adapun di Karesidenan Kediri memperoleh daerah Kediri asli,
Lodaya, Srengat, Blitar dan Pace atau Nganjuk. PB III juga menguasai atas
daerah Wirasaba atau Majaagung yang masuk Karesidenan Surabaya dan Blora.
E. PERTEMUAN JATISARI
Dua hari setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya pada 15
Februari 1755, Gubernur VOC Nicolaas Hartingh, Sultan Hamengku Buwono I, serta
beberapa pengawalnya berangkat menuju Jatisari yang berada di titik tengah
antara Surakarta dan Giyanti.
Kepergian rombongan tersebut guna melaksanakan pertemuan
dengan Paku Buwono III untuk tujuan rekonsiliasi setelah Perjanjian Giyanti. di
Jatisari, kedua penguasa Jawa tersebut bertemu sebagai raja yang berkedudukan
sama.
Pada pertemuan tersebut, Paku Buwono III menghadiahi sang
paman Hamengku Buwono I sebuah Keris Kyai Agung Kopek yang diturunkan dari Sunan
Kalijaga.
Saat ini, Keris Kyai Ageng Kopek berada di lingkungan
Keraton Yogyakarta dan hanya dipegang oleh Sultan yang bertahta sebagai lambang
pemimpin rohani dan duniawi.
F. PERJANJIAN JATISARI: BUDAYA SURAKARTA
DAN YOGYAKARTA
Paling penting dalam Pertemuan Jatisari, pembahasan mengenai
peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Bahasan di dalam
perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan,
tari-tarian, dan lain-lain.
Inti dari pertemuan ini adalah Sultan Hamengku Buwono I
memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Kerajaan Mataram. Sementara Sunan
Paku Buwono III sebagai raja yang lebih muda sepakat memodifikasi atau
menciptakan bentuk budaya baru dengan tetap berlandaskan pada budaya lama.
G. PERBEDAAN BUDAYA SURAKARTA DAN
YOGYAKARTA
Perbedaan antara Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kasunanan Surakarta Hadiningrat di antaranya terletak pada bangunan, cara
berpakaian, dan gamelan.
·
Segi Bangunan
Keraton Yogyakarta identik dengan gaya arsitektur Jawa
tradisional. Sementara bangunan Keraton Surakarta sebagian besar bernuansa
putih dan biru dengan arsitektur campuran Jawa-Eropa.
·
Segi Pakaian
Dari segi pakaian yang melekat pada abdi dalem keraton,
dapat ditilik dari blangkon, surjan, serta beskap yang digunakan. Blangkon pada
Kesultanan Yogyakarta terdapat benjolan sebagai tempat gelungan rambut. Hal itu
dikarenakan pada zaman dahulu, laki-laki mempunyai budaya untuk memanjangkan
rambut.
Sementara Kasunanan Surakarta, tidak ada benjolan pada
blangkon karena mengikuti budaya mencukur rambut seperti bangsa Eropa. Kesultanan
Yogyakarta memiliki surjan dan beskap yang lebih bermotif, seperti motif
bunga-bunga. Sementara itu, surjan dan beskap Keraton Surakarta berwarna gelap
dan tidak bermotif.
·
Seni Gamelan
Keraton Yogyakarta memiliki susunan gamelan yang lebih
renggang dan lebar dengan warna yang jauh lebih cerah. Sementara itu, Keraton
Surakarta memiliki gamelan yang susunannya lebih rapat dengan warna cokelat
kayu berpadu emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar