Republik Indonesia dimulai dengan masuknya Sekutu kempris
diboncengi oleh Belanda dalam hal ini Nederlandsch Indië Civiele Administratie
(NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri
dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai
posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa
sejarah lainnya.
A. 1945
1. KEMBALINYA BELANDA BERSAMA SEKUTU
·
Latar belakang terjadinya kemerdekaan
Berdasarkan
Civil Affairs Agreement, pada 24 Agustus 1945 pihak Inggris dan Belanda
menyutujui kesepakatan untuk mengkolonialisasi kembali Indonesia. Pada 29
September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan
didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran
tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration -
pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook,
ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu
Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi
ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya
telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di
kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya
adalah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
·
Mendaratnya Inggris diwakili AFNEI
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 24 Agustus 1945
pihak Inggris dan Belanda menyutujui kesepakatan untuk mengkolonialisasi
kembali Indonesia. Pada 29 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu
tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada
Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil
Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr.
Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar
pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau
konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara
dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu
Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah
persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan Hindia
Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
2. PERTEMPURAN MELAWAN INGGRIS DAN NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat
masuknya Tentara Inggris dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan
kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
§
Pertempuran Bojong Kokosan, di Bojong Kokosan,
Sukabumi pada 9 Desember 1945, dipimpin Letkol (TKR) Eddie Sukardi.
§
Pertempuran Lima Hari, di Semarang pada 15–19
Oktober 1945 (melawan Jepang).
§
Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya pada
10 November 1945, dipimpin Kolonel (TKR) Sungkono.
§
Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan
sekitarnya pada 10 Desember 1945 hingga 10 Agustus 1946, dipimpin oleh Kolonel
(TKR) Achmad Tahir.
§
Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang
pada 12–15 Desember 1945, dipimpin Kolonel (TKR) Sudirman.
§
Pertempuran Lengkong, di daerah Lengkong,
Serpong pada 25 Januari 1946, dipimpin oleh Mayor (TKR) Daan Mogot.
§
Bandung Lautan Api, di daerah Bandung pada 23
Maret 1946, atas perintah Kolonel (TRI) A.H. Nasution.
§
Pertempuran Selat Bali, di Selat Bali pada
April, dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Markadi.
§
Pertempuran Margarana, di Margarana, Tabanan,
Bali pada 20 November 1946, dipimpin oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai.
§
Pembantaian Westerling, di Sulawesi Selatan pada
11 Desember 1946 hingga 10 Februari 1947, akibat dari perburuan terhadap Wolter
Monginsidi.
§
Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang
pada 1–5 Januari 1947, dipimpin oleh Kolonel (TRI) Bambang Utojo.
§
Pertempuran Laut Cirebon, di Cirebon pada 7
Januari 1947, dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Samadikun.
§
Pertempuran Laut Sibolga, di Sibolga pada 12 Mei
1947, dipimpin oleh Letnan II Laut (TRI) Oswald Siahaan.
§
Agresi Militer I pada 21 Juli hingga 5 Agustus
1947.
§
Pembantaian Rawagede di Rawagede, Karawang pada
9 Desember 1947, akibat dari perburuan terhadap Kapten (TNI) Lukas Kustarjo.
§
Agresi Militer II pada 19–20 Desember 1948.
§
Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta pada 1
Maret 1949, dipimpin oleh Letkol (TNI) Suharto.
§
Serangan Umum Surakarta, di Surakarta pada 7–10
Agustus 1949, dipimpin oleh Letkol (TNI) Slamet Rijadi.
3. PERUBAHAN SISTEM PEMERINTAHAN
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno
adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik
Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November
1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir
yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak
diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia (dari sistem Presidensil menjadi sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris
dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek,
dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945,
Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah
Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A.
Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan
Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan".
Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945,
"Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak
akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan
Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis
bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk
mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena
seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar
rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada
tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat
pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
B. 1946
1. IBU KOTA PINDAH KE YOGYAKARTA
Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibu kota
Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya
saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua
Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Demikian
pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga
nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA). Karena itu pada tanggal 1 Januari
1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai
untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi
negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan
Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota;
meninggalkan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi
dengan Belanda di Jakarta. Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api
berjadwal khusus, sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).
Perjalanan KLB ini menggunakan lokomotif uap nomor C2849
bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi
yang biasa digunakan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang disediakan
oleh Djawatan Kereta Api (DKA). Rangakaian terdiri dari delapan kereta,
mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta
makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta
inspeksi untuk presiden, dan satu kereta inspeksi untuk wakil presiden. Masinis
adalah Kusen, juruapi (stoker) Murtado dan Suad, serta pelayan KA Sapei.
Perjalanan diawali sore hari, dengan KLB rangsir dari Stasiun Manggarai menuju
Halte Pegangsaan (sekarang sudah dibongkar) dan kereta api berhenti tepat di
belakang kediaman resmi presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah lima belas
menit embarkasi, KLB berangkat ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6.
Kereta api melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam.
KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu signal aman dari Stasiun Klender.
Menjelang pukul 19 KLB melanjutkan perjalanan dengan lampu dimatikan dan
kecepatan lambat agar tidak menarik perhatian pencegat kereta api yang marak di
wilayah itu. Barikade gerbong kosong juga diletakkan untuk menutupi jalur rel
dari jalan raya yang sejajar di sebelahnya.
Selepas Setasiun Klender, lampu KLB dinyalakan kembali dan
kereta api melaju dengan kecepatan maksimum 90 km per jam. Pada pukul 20 KLB
berhenti di Stasiun Cikampek. Pada pukul 01 tanggal 4 Januari 1946 KLB berhenti
di Stasiun Purwokerto, dan kemudian melanjutkan perjalanan hingga tiba pada
pukul 07 di Stasiun Yogyakarta.
2. DIPLOMASI SYAHRIR
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat
pernyataan memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan
wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan
persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam
tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi
semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan
suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan
merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan
dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia
yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran
akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung
permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi
kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe.
Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan
atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau
berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala
bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu:
"mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan
dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de
facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah
perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat
ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia
kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh
dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang
samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum
kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih
samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi Indonesia
- bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan
kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan
dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh
politik utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat
rahasianya kepada van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar
di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den
Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni
surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya,
dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada
waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang
Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada
Jawa dan Sumatra.
·
Penculikan terhadap PM Syahrir
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di
radio Yogyakarta. Ia mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam
negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya,
Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada
tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan
pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang
luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan;
namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk
kabinet.
·
Kembali menjadi PM
Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana
Menteri, Sjahrir kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga
diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga
saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya
harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus
menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet."
3. KONFERENSI MALINO – TERBENTUKNYA “NEGARA”
BARU
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan
Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah
mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil
daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta
organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian;
Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
C. 1946-1947
1. PERISTIWA WESTERLING
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa
pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan
Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada
Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency
(penumpasan pemberontakan).
2. PERJANJIAN LINGGARJANTI
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk
memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan
membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu.
Konferensi antara dua belah pihak diadakan pada bulan Oktober dan November di
bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn.
Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat
-terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15
November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:
§
Belanda mengakui secara de facto Republik
Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
§
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama
dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat
yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
§
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan
membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi
komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari
wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain.
Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama
dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan
bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi
serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB.
Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan
lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali
ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir
di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati.
Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya
persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang
bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
3. PERISTIWA YANG TERJADI DENGAN HASIL
PERUNDINGAN LINGGARJATI
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M
Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam
komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP
(Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah
Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda
pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo
ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat
tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni
antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak
Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin
agar KNIP menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedangkan pihak Masyumi dan
PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati
benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M
Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan
Pesindo.
Dr. H. J. van Mook, kepala Netherland Indies Civil
Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia
Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal tiga pulau ini. Bahkan sebelum naskah
itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, ia telah memaksa terwujudnya
Negara Indonesia Timur, dengan Tjokorda Gde Raka Soekawati sebagai presiden,
lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946.
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian
Linggarjati ditandatangani di Batavia. Partai Masyumi menentang hasil
perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat
menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia.
Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada praktiknya perjanjian tersebut
sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
4. PROKLAMASI NEGARA PASUNDAN
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan
setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria
Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara
militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada
Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI
hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai
berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus
menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa
kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu
dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun
mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan
suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar
dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang
tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan
perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda
memerlukan komoditas dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatra (khususnya minyak
dan karet).
5. AGRESI MILITER I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota
Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
§
Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
§
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga
devisa bersama;
§
Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk
rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
§
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban
bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda
(gendarmerie bersama); dan
§
Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor
dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui
kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama.
Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda
terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan
kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli
1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana
mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan
yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak
termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur.
Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan
demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatra,
perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan
batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi
Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan
putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui
tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan
Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya
bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat
mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini
menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang
Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu
pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang
menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring
Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
6. NAIKNYA AMIR SYARIFUDIN SEBAGAI
PERDANA MENTERI
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli,
pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai
Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet
anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada
S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil
Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada
Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum
terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata
karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh
keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat
menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan
berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu
Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian.
Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan
politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan
sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke
arah Komunis.
D. 1948
1. PERJANJIAN RENVILLE
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB,
atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata
tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi
Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika
Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal
perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang
bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi
perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat
akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati,
karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di
pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari
federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai
diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville
Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai,
bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati: hanya meliputi
sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat
pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk
menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer.
Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar
Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi
selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan
Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang
kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung
Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah
persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali
diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana
Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau
dianggap salah.
2. RUNTUHNYA KABINET AMIR DAN NAIKNYA
MOHAMMAD HATTA SEBAGAI PERDANA MENTERI
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya
Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang
tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan
jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir
sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari
1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya
kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu
menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta
untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh
pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang
duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang
PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari
sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi
tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan
pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis
Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya
kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang
Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh
Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi
keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville
ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh
kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29
Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan
sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir
dibanding dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak
penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta
membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir
diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi,
Sumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat
berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan
Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta
kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa
ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak
menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia
meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti
orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat
Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim
-kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang
tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang
membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia
hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta
kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya
pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi
bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di
Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan
Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah.
Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi
pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan
senjata yang berulang-ulang.
E. 1948-1949
1. AGRESI MILITER II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta
penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
2. SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 ATAS
YOGYAKARTA
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949
terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan
dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III
-dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat-
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada
dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan
cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam
perundingan yang sedang berlangsung di Dewan WALDEN Keamanan PBB dengan tujuan
utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia
internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan
untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade
X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
3. PERJANJIAN ROEM ROYEN
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional
melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang
mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa
Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949,
Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
4. SERANGAN UMUM SURAKARTA
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10
Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar
dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar.
Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo
dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin
menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya
terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih
tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang
andal seperti Slamet Riyadi.
5. KONFERENSI MEJA BUNDAR
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara
pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag,
Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
§
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia
Serikat.
§
Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah
pengakuan kedaulatan.
6. PENYERAHAN KEDAULATAN OLEH BELANDA
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar